INSTITUSI pendidikan di Indonesia dinilai belum siap mendapatkan status Badan Hukum Pendidikan (BHP). Padahal, pemerintah tetap bersikukuh melakukan privatisasi atas semua tingkat institusi pendidikan seiring dengan rencana disahkannya Rancangan Undang Undang (RUU) BHP pada akhir tahun ini.
Diubahnya institusi pendidikan sebagai BHP bukan satu-satunya solusi memajukan dunia pendidikan. Menurut pengamat pendidikan Winarno Surakhmad, pemerintah Indonesia lupa akan inti permasalahan pendidikan yang terjadi saat ini.
"Pendidikan nasional tidak lagi dipandang sebagai pendidikan itu sendiri. Saat ini pemerintah hanya memahami pendidikan dari sudut pandang kepentingan dan birokrasi," ujar Winarno dalam diskusi Dampak Liberalisasi bagi Pendidikan Nasional di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (3/10).
Kepentingan dan birokrasi tersebut, menurut mantan rektor IKIP Jakarta (kini UNJ) itu, terlihat pada sikap ngotot pemerintah yang tetap mem-BHP-kan institusi pendidikan. Dari segi logika, dia masih bisa memahami bahwa wacana pemerintah tersebut demi memajukan institusi pendidikan sebagai lembaga yang mandiri. "Ide itu bagus, dalam arti ada peta kompetitif di setiap institusi pendidikan menjadi yang terbaik," ujarnya.
Namun, lanjut Winarno, pemerintah tidak memandang bahwa iklim pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya tertata dengan kukuh. Ratusan sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih memiliki problem tersendiri bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan mereka masing-masing.
"Modal asing yang masuk tentunya hanya akan ditanam di sekolah-sekolah berkualitas di kota besar. Tidak mungkin ditanam di sekolah di pelosok hutan Kalimantan," kata Winarno. Selain itu, akses masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan bermutu praktis tertutup. "Sekolah nantinya menjadi institusi pendidik yang berhitung pada keuntungan dan manajerial," lanjutnya.
Pemerintah, kata Winarno, perlu memahami kembali bahwa BHP bukan sebagai hal yang urgen dalam memajukan pendidikan. Menurut dia, memajukan pendidikan tidak lagi berurusan dengan kepentingan birokrasi apa pun. Yang terpenting adalah mengembalikan esensi pendidikan sesuai konteks konstitusi UUD 1945.
"Tidak harus murah ataupun gratis, namun pendidikan bermutu itu adalah pendidikan yang bisa dijangkau seluruh elemen rakyat Indonesia tanpa kecuali," jelasnya.
Di tempat yang sama, Pembantu Rektor IV Unika Atmajaya Jakarta Marcellinus Marcellino menilai, RUU BHP tersebut merupakan tindak lanjut kerja sama pemerintah yang turut dalam perjanjian WTO. "Dampak penandatanganan treaty luar negeri adalah tentu negara itu harus ikut apa yang digariskan. Itu yang saat ini mengancam pendidikan Indonesia," ujar Marcell. (bay)
Sunday, October 21, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment