Saturday, October 27, 2007

Abdul Mu'ti:

SUARA MERDEKA
Minggu, 28 Oktober 2007 BINCANG BINCANG

ABDUL Mu'ti adalah MEd Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civillisations (CDCC), Jakarta.Tak banyak ''anak muda'' apalagi yang merintis karier di daerah memiliki peran menonjol di dunia kepemudaan dan pendidikan internasional. Apa pendapat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah 2002-2006 ini terhadap keterpurukan pemuda Indonesia? Bagaimana menimbulkan pencerahan di tengah-tengah ketakberdayaan bangsa. Berikut perbincangan dengan Penasihat Bidang Islam dan Kepemudaan The British Council,Inggris 2006-sekarang ini di Jakarta, belum lama ini.

Pada masa pergerakan nasional, anak-anak muda semacam Soekarno atau Hatta mampu memimpin menggerakkan kesadaran dan perlawanan terhadap penjajah. Mengapa sekarang tidak muncul lagi anak-anak muda seperti itu?

Ada beberapa faktor yang harus kita lihat, mengapa peran pemuda pada zaman pergerakan nasional berbeda dari saat ini. Pertama, saat zaman pergerakan kita masih sebagai bangsa terjajah. Struktur pemerintahan Indonesia belum ada. Kondisi saat itu menyebabkan siapa saja bisa tampil dan menjadi pemimpin melalui organisasi masing-masing. Secara sistemik karena tidak ada antrian maka siapa saja bisa tampil.

Kedua, secara psikologis ketika seseorang hidup dalam zaman yang menghadirkan tantangan begitu berat, maka tingkat kematangannya akan bisa lebih cepat terbentuk sehingga para pemimpin kita saat itu bisa tampil pada usia muda. Belum lagi, juga disertai dengan begitu banyak hasrat dan semangat yang membara untuk merdeka.

Berbeda dari sekarang, situasi yang terjadi telah membuat kaum muda harus antre dari orang tua yang ingin mempertahankan posisi dan kemapanan. Belum lagi kini banyak anak muda yang menjadi generasi anak mama.

Kemakmuran ekonomi kadang membuat orang menjadi manja. Ketersediaan bermacam-macam fasilitas oleh keluarga juga sering membuat seseorang jadi enggan menghadapi tantangan. Mereka merasa kondisi seperti ini sudah enak dan berusaha mempertahankan. Itu saja. Jadi mereka tak punya tantangan untuk lebih mandiri dan berkarya. Padahal mereka sebenarnya punya kesempatan.

Sebenarnya apa saja titik lemah generasi muda kita saat ini? Mengapa banyak yang apatis terhadap perbaikan nasib masyarakat dan bangsa?

Banyak sikap generasi muda kita yang saya prihatinkan. Mereka tidak peka lagi terhadap aspek sosial masyarakat. Juga terhadap politik. Mereka jadi generasi cuek yang tidak merasa dekat dengan masyarakat. Mengenai mereka yang apatis terhadap politik, ini mungkin karena pertama, mereka menganggap politik sebagai sesuatu yang dianggap kotor.

Selain itu saat ini juga tidak ada figur atau tokoh politik yang bisa menjadi idola, karena penampilan politikus kita juga masih memprihatinkan. Faktor lain adalah pendidikan. Saat ini pendidikan politik juga tidak mereka dapatkan di sekolah. Mereka hanya mendapat pelajaran tentang kewarganegaraan yang lebih bersifat teoritis, karena memang sekolah harus steril dari politik.

Yang juga sangat memprihatinkan, generasi muda kita lemah dalam bidang kewiraswastaan. Mereka memang ingin bekerja, namun hanya sebagai pekerja, bukan orang yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Ini masalah yang sangat serius karena jumlah wiraswasta kita kan masih di bawah 1%. Padahal jika kita ingin menjadi bangsa yang secara ekonomi lebih cepat kemajuannya, maka jumlah wiraswasta sekurang-kurangnya 2% dari jumlah penduduk. Untuk menjadi wiraswasta yang tangguh seorang harus memulai sejak muda.

Memang kita sudah memiliki lembaga-lembaga seperti HIPMI dan sebagainya, namun ia belum efektif untuk mendorong kelahiran wiraswasta-wiraswasta muda yang benar-benar ingin memacu kreativitas dan kemandirian dalam menciptakan lapangan kerja.

Nah, jumlah kaum muda kita memang mayoritas, tetapi secara kualitas sangat jauh dari negara-negara maju. Kalau ini tidak segera dibenahi secara serius oleh pemerintah melalui jalur pendidikan, terutama yang menyangkut masalah kepemimpinan, ke-ormas-an dan jalur politik, maka masa depan kepemimpinan kita bisa sangat memprihatinkan.

Nasionalisme kaum muda telah luntur? Apa penyebabnya?

Ini juga akibat dampak negatif globalisasi yang luar biasa. Mereka memang tampil sebagai generasi slengekan. Kaum muda terlalu banyak guyon, berplesetan, dan berhura-hura saja. Akhirnya hal-hal yang serius sering diabaikan. Kalaupun dibahas ya diplesetkan seperti politik yang kini juga sering diplesetkan.

Karena pengaruh globalisasi yang kuat dan di sisi lain keterpurukan di berbagai bidang menyebabkan generasi muda kita tidak punya kebanggaan sebagai anak Indonesia. Bidang olahraga kita tidak bisa membanggakan diri lagi.

Kita memang sempat bangkit, yaitu saat penyelenggaraan final Piala Asia. Anak-anak muda kita bangkit dengan penuh semangat memberikan dukungan dan perhatian yang begitu hebat walaupun tim nasional hanya menang sekali. Dengan sekali menang saja sepertinya sudah mampu membangkitkan nasionalisme, kecintaan, dan kebanggan terhadap prestasi bangsa.

Dalam soal pemimpin pun, kita juga memiliki problem. Siapa sih pemimpin nasional yang kini bisa kita banggakan? Hampir saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan hadiah Nobel terkait perdamaian di Aceh, tetapi itu pun pupus juga. Kita mungkin bisa berbangga dengan prestasi anak-anak kita yang tergabung dalam tim olimpiade fisika, juga biologi dan sebagainya. Akan tetapi mereka itu anak-anak hibrida. Yang perlu kita cermati adalah tidak sedikit dari anak-anak hibrida tersebut sudah diijon oleh perguruan tinggi ternama di luar negeri. Bila apresiasi di sana lebih baik, maka akan semakin sedikit dari mereka yang nanti pulang ke Indonesia. Saat ini mereka dapat hadiah yang nilainya tidak seberapa dibandngkan prestasi yang mereka raih. Ini tentu akan sangat bertolak belakang dari mereka yang ikut Indonesian Idol, AFI dan sebagainya. Dalam waktu yang relatif singkat mereka itu bahkan bisa menjadi miliader pada usia muda.

Bagaimana cara membangkitkan mereka? Juga apa tafsir baru untuk nasionalisme sehingga bisa merasuk ke generasi muda saat ini?

Berdasarkan penelitian, anak-anak muda lebih suka menonton televisi yang dipenuhi program tak mendidik. Terlalu banyak menonton televisi menyebabkan kemampuan menulis dan membaca lemah. Mereka menjadi orang yang pasif. Terlalu banyak tayangan yang isinya hanya pacaran anak-anak SMP dan SMA.

Aduh sangat sedih kita ini. Untuk menanggulangi berbagai masalah ini, perlu langkah bersama yang sistemik. Sekolah atau pendidikan bukan segalanya, karena tetap perlu dukungan dari orang tua dan masyarakat dalam pembenahan karakter kaum muda kita.

Cara yang lain adalah dengan memberi mereka pengalaman berharga, seperti pertukaran pemuda dengan negara lain, teruma negara maju. Saya yakin ini akan menumbuhkan nasionalisme. Saya beberapa waktu lalu ke Selandia Baru. Generasi muda Selandia Baru adalah orang keturunan Maori atau Fiji yang tetap mampu berbahasa asli mereka, mampu berbahasa Inggris sebagai bahasa negara, lalu mereka mengambil major bahasa Jepang dan siap mengikuti pertukaran pemuda ke negara mana pun juga.

Berinteraksi secara global perlu untuk menunjukkan jati diri. Saya sekarang sedih karena tidak bisa menyanyikan lagu Jawa. Hanya sedikit yang saya hafal. Padahal pada saat pertukaran pelajar atau pemuda, kita diharapkan mampu menghadirkannya. Mereka tidak mengharapkan kita menyanyikan lagu-lagu dunia, tapi mereka ingin dengar lagu kita, lagu daerah kita, juga pakaian khas kita. Saya justru bangga dan sering pakai batik akibat saya sering bergaul dengan pemuda-pemuda dari banyak negara. Untuk hal seperti ini kita perlu mencontoh Jepang. Mereka maju sedemikian rupa tanpa meninggalkan warisan sejarah dan budaya.

Bagaimana permasalahan yang menimpa generasi muda Islam Indonesia? Juga bagaimana solusinya?

Kita banyak mengalami ketertinggalan, misalnya dalam bidang keilmuan. Sebagian besar mereka yang berprestasi di tingkat internasional adalah anak-anak nonmuslim. Memang ada kecenderungan radikalisme dan eksklusivisme meningkat. Banyak yang lahir kembali sebagai pemuda muslim tapi menunjukkan sifat radikal yang bahkan justru tertarik terorisme.

Masalah pengangguran dan kemiskinan juga menimpa generasi muda muslim. Dan ini juga ikut menyuburkan bibit-bibit radikalisme. Ada pula persoalan kriminalitas dan narkoba. Menghadapi masalah yang seperti ini, maka pola pendidikan dan pembinaan generasi muda muslim tidak cukup dengan memperbanyak ceramah. (Hartono Harimurti-35)

No comments: