Tuesday, October 9, 2007

Mengubah Diri untuk Sukses

Jakarta, Bekerja membuat manusia mampu mengeksplorasi segenap potensinya sehingga berhasil meraih kesuksesan. Sayangnya, itu tak cukup hanya dengan mau bekerja. Kesuksesan butuh lebih dari itu. Salah satu jawabnya adalah bekerja secara profesional.

“Ketika bekerja, sesungguhnya engkau sedang mewujudkan mimpi terindah milik dunia, yang selalu menuntut kepadamu, kapan mimpi itu akan terwujud,” ujar Khalil Gibran dalam salah satu puisinya. Gibran juga berpendapat, orang akan tersingkir dari dunia apabila dia tidak bekerja. Tapi, kerja saja tidak cukup. Kecintaan pada pekerjaanlah yang membuat seseorang dapat mewujudkan mimpi terindah milik dunia itu.

Pendapat Gibran barangkali ada benarnya. Apalagi manusia, siapa pun itu, dibekali Tuhan dengan beragam potensi yang seharusnya dapat diaktualisasikan ketika ia bekerja. Memang tidak semua orang memandang kerja sebagai sarana eksplorasi dan bagian dari aktualisasi diri. Bahkan, sebagian besar orang berpendapat, kerja adalah sebuah keharusan. Karena, bila tidak bekerja, bagaimana mungkin kebutuhan hidup bisa terpenuhi.

Sama seperti yang diungkapkan Gibran, ternyata bekerja saja tidak cukup. Paling tidak, pekerjaan yang dikerjakan dengan terpaksa tidak akan membuahkan kesuksesan. Bekerja pada dasarnya juga membutuhkan rasa cinta dan sebuah kesanggupan untuk bersikap profesional.

Lalu, apa yang dibutuhkan agar seseorang menjadi profesional? Jansen Sinamo dalam bukunya 8 Etos Kerja Profesional, Navigator Anda Menuju Sukses menjawabnya. Menurut Jansen, kesuksesan, terutama kesuksesan dalam bekerja, membutuhkan sesuatu. Dan, sesuatu itu adalah etos kerja.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan etos kerja? Mengapa ia begitu dibutuhkan dalam bekerja? Secara etimologi, etos berasal dari bahasa Yunani. Mula-mula artinya adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna.

Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Sedangkan, McKean dalam The New Oxford Dictionary mendefinisikan etos sebagai the characteristic spirit of a culture, era, or community as manifested in it’s attitudes and aspirations.

Jansen sendiri mendefinisikan etos kerja profesional sebagai seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai dengan komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, memercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi etos kerja dan budaya kerja.

Terdapat tiga unsur konsep etos yang mengangkat etos menjadi roh keberhasilan. Satu, etos mencetak prestasi dengan motivasi superior. Jansen mencontohkan, bila ada seratus orang pekerja lulusan sekolah dasar (SD) dan satu orang mempunyai motivasi superior, dia akan lebih unggul dibandingkan dengan sembilan puluh sembilan pekerja lainnya.

Dua, etos relevan dengan pembangunan masa depan dengan kepemimpinan visioner. Yang dimaksud dengan kepemimpinan di sini tidak terbatas pada organizational leadership, tapi lebih kepada self leadership. Tiga, etos menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif. Jensen menyebut tiga unsur ini sebagai Tri Darma Mahardika, yang dalam bahasa Sanskerta berarti tiga jalan keberhasilan.

Pertanyaannya, bagaimana mewujudkan tiga jalan keberhasilan itu? Ternyata, bisa dengan beragam cara dan berbagai jalan. Salah satu jalan yang ditempuh Jensen adalah dengan membaca berbagai buku literatur, kitab, hingga dongeng. Dari bacaan tersebut, ia menemukan bahwa jawaban atas berbagai keberhasilan tak lain adalah sejumlah perilaku positif. Perilaku positif ini kemudian dijabarkannya dalam delapan etos kerja.

Etos pertama, kerja adalah rahmat. Ya, hidup dan kerja ternyata harus dimaknai sebagai rahmat dari-Nya. Apakah rahmat itu? Rahmat adalah kebaikan yang diterima seseorang karena kasih sayang Sang Pemberi. Rahmat merupakan tanda cinta Tuhan. Apa pun jenis pekerjaan seseorang, dia harus mensyukuri sekaligus menganggapnya sebagai rahmat yang tak terhingga.

Dengan menganggap pekerjaan sebagai rahmat, niscaya akan memengaruhi karakter kita, seperti rela menolong orang lain yang ditimpa kesusahan, tidak pelit, dan tidak takut kekurangan (harta atau kekayaan). Orang yang menghayati paradigma rahmat juga akan selalu percaya bahwa rezeki diatur oleh Sang Maha Pencipta. Sehingga, dia tidak akan merasa takut dan jauh dari sikap mudah putus asa.

Kerja juga amanah. Inilah etos kedua yang disebut Jansen. Jika menganggap kerja sebagai amanah, orang tentu akan bekerja dengan benar, tekun, dan penuh tanggung jawab. Menurut Jansen, amanah akan melahirkan manusia yang antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karena, bagaimanapun KKN berorientasi pada kepentingan sendiri dan merugikan orang lain.

Etos ketiga, kerja adalah panggilan. Dengan prinsip ini, seseorang akan bekerja sampai tuntas dan penuh integritas. Banyak contoh orang yang menjalankan etos kerja ini, yaitu mengabdikan diri untuk pekerjaan yang dianggapnya menjadi bagian hidupnya. Siapa yang tidak kenal Yap Thiam Hien? Tokoh satu ini menghayati profesi advokatnya dengan menegakkan kebenaran dan keadilan sepenuh hati.

Etos keempat adalah kerja sebagai aktualisasi. Dalam kehidupan memang selalu ada rintangan. Anehnya sebagian orang menyerah. Sebagian lain malah tidak melakukan apa-apa dan hanya berpangku tangan. Di lain pihak, ada orang yang sedemikian bersemangat hingga mampu mewujudkan sesuatu yang bagi kebanyakan orang tidak mungkin menjadi kenyataan.

Walaupun demikian, Jansen tidak menganjurkan orang untuk kecanduan kerja (workaholic). Menurutnya, pekerja keras tidak sama dengan orang yang kecanduan kerja. Orang yang kecanduan kerja akan menenggelamkan diri dalam pekerjaan untuk mendapatkan rasa aman dari ketidakpastian hidup atau melarikan diri dari suatu masalah. Orang seperti ini akan menghindari komitmen dan tanggung jawab hidup lainnya.

Bekerja dengan penuh kecintaan merupakan kunci dari kerja sebagai ibadah. Etos kelima dalam buku karya Jansen ini menegaskan bahwa agama mengajarkan manusia agar berbuat baik sebanyak-banyaknya dan menjauhi kemungkaran sebisanya. Dengan menganggap kerja sebagai ibadah, niscaya seseorang selalu berpikir untuk memberikan yang terbaik dalam bekerja.

Etos keenam, kerja adalah seni. Menurut Jansen, kerja seperti ini mendatangkan kesenangan dan kegairahan kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif. Etos ketujuh, kerja adalah kehormatan. Jika memiliki etos kerja ini, seseorang akan berkarya dengan kemampuannya sendiri. Sehingga, lingkungannya menilai bahwa dia telah memberi kontribusi sekaligus dianggap produktif.

Hasilnya, kehormatan dirinya terjaga dengan baik. Imbas selanjutnya, orang itu mampu menciptakan atau menghasilkan karya-karya yang unggul supaya diakui sekitarnya. Meski, untuk mewujudkan kualitas unggulan itu dibutuhkan sejumlah strategi, kreativitas, serta imajinasi yang baik.

Etos kedelapan, kerja adalah pelayanan. Etos ini mengajarkan kita untuk bekerja dengan kerendahan hati. Melalui pelayanan, pekerjaan kita termuliakan, termasuk akhlak, budi pekerti, dan kepribadian. Siapa pun kita, rasanya perlu merenungkan kembali siapa diri kita sebenarnya dan apa tujuan kita bekerja. Apakah kita hanya bekerja demi uang? Ataukah, untuk menggapai kesuksesan belaka?

Apa pun jawaban Anda, rasanya kita perlu merenungkan kata-kata Nimrod Sitorus, salah seorang direktur Bank Mandiri. Yaitu, bahwa sesungguhnya kita terpanggil bekerja dalam rangka menggenapi rencana Tuhan yang sempurna atas diri kita masing-masing. Renungkanlah.


Sukses Bisa Berarti Tragedi

Kesuksesan tidak selalu berarti kemudahan. Lihatlah Donald Trump. Pengusaha yang sukses di bisnis real estate, penerbangan, hiburan, dan kasino ini dalam waktu kurang dari 20 tahun mampu mengumpulkan omzet miliaran dolar per tahun. Dalam waktu singkat, namanya pun mengglobal.

Ketika masih di puncak kesuksesan, kehidupan Donald tidak seenak yang dibayangkan orang. “Di atas sana ternyata hanya sedikit kebebasan. Misalnya, saya tidak berani menonton di bioskop sendirian. Biasanya dua pengawal membeli karcis lebih dulu dan duduk di tempat saya. Begitu lampu padam, tanda pertunjukan segera dimulai, barulah saya menyelinap masuk. Dengan begitu, (saya) tidak akan dikenali orang,” ujarnya.

Paradigma sukses yang dianut banyak orang ternyata tidak selamanya benar. Orang kadang tidak menyadari bahwa kesuksesan bisa saja berarti tragedi dan ironi. Tentunya bila seseorang tidak bisa me-manage kesuksesan itu.

Pesan moral yang dapat kita ambil dari kisah Donald Trump adalah jangan terobsesi secara berlebihan pada kesuksesan. Kalaupun kelak Anda sukses, berbahagialah. Jalani kesuksesan itu dengan bijaksana. Dan, jangan lupakan orang-orang di sekitar Anda.

Sukses yang benar mendatangkan sukacita dan ketentraman batin serta menjadi berkah bagi sesama dan alam. Bukan kesuksesan yang akan dicemburui orang dan menjauhkan manusia dari lingkungannya. Sebaliknya, sukses yang keliru akan mendatangkan ketidakpuasan batin dan rasa tak pernah cukup. Ini akan memicu keserakahan, membuahkan kebencian dari lingkungan sekitar, dan akhirnya mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri.

No comments: