Wednesday, January 6, 2010

JANJI ALLAH BAGI YANG AKAN NIKAH

Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan.

Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya.

Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku…

1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula),dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26)

Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin.

2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)

Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbangjuga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”.

Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiahyang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah - dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya - maka Allahakan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?

3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya“. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)

Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang.

4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya padayang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21)

5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ “. (Al Mu’min : 60)

Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dst.

Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll.

Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia, pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll.

Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dll.

Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst.

Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang adajuga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad).

Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35).

Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim).

6. “Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat“. (Al Baqarah : 153)

Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah.

7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 - 6)

Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiriyang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.

8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)

Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwahIslam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.

9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40)

10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214)

Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim.

Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah?

Renungan Pernikahan

Tidak ada yang salah manakala seorang muslimah merindukan cinta dan kasih sayang dari seseorang yang diharapkan akan menjadi pendamping hidupnya. Setiap insan termasuk seorang muslimah pun berhak dan lumrah untuk merasakan kerinduan semacam itu. Meskipun tak terungkap secara lisan, penantian dan impian untuk menggapai sebuah mahligai pernikahan adalah puncak gelisah dan kerinduan yang merupakan salah satu bentuk ujian seorang gadis muslim.

Ibarat sekuntum bunga yang sedang mekar atau bahkan telah mekar dan matang dalam waktu yang sudah cukup lama, adanya kecenderungan untuk disentuh oleh si kumbang jantan yang menawan dan memberikan sari madunya adalah adalah salahsatu fitrah yang lumrah dirasakan oleh dirasakan oleh seorang gadis. Sayangnya, saat ini banyak sekali dan semakin banyak kumbang-kumbang jantan yang hanya mengobral rayuan gombal, kata-kata picisan, hanya menggoda, bahkan hanya ingin menghisap sari madu dari sang gadis saja, setelah dapat ia terbang dan menghilang entah kemana. Sedikit sekali kumbang-kumbang jantan yang bersedia berjuang untuk membawa sang gadis dengan jalan yang diridhoi oleh Allah swt, yaitu sebuah jalan pernikahan.

Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci, maka sudah sepatutnyalah setiap langkah untuk mencapainya pun harus dilakukan dengan cara yang suci. Manakala seorang gadis telah merasakan kerinduanakan seorang pendamping hidup, artinya secara sadar maupun tidak ia telah melangkahkan kakinya pada salah satu jalan yang akan menghantarkan pikiran dan hatinya pada sebuah mahligai pernikahan. Untuk itu, hendaknya ia senantiasa berjaga dengan kuat dan berhati-hati dalam setiap langkah. Jangan sampai ada noda yang tercecer dan mengotorijalan yang suci ini hingga tiba saat yang dinanti-nanti, yaitu ketika Allah meridhoi dan mewujudkan sebuah pernikahan indah dan suci yang selama ini didambakan.

Memang, penantian tidaklah membutuhkan tenaga yang ekstra besar. Namun, sebagian besar manusia pun mengakui bahwa penantian adalah salahsatu pekerjaan yang sangat melelahkan. Terlebih lagi penantian untuk sebuah pernikahan, ini merupakan sebuah penantian besar yang sangat melelahkan. Karena, dalam penantian inilah syaithon-syaithon dalam bentuk nafsu dan syahwat senantiasa menghampiri. Manakala seorang gadis tengah berada dalam lelahnya sebuah penantian, maka pada saat itulah syaithon-syaithon sedang menatapnya sebagai sebuah sarapan pagi yang lezat dan siap untuk disantap. Oleh karena itu, seorang muslimah hendaknya benar-benar mengerti hal-hal yang sebaiknya ia lakukan dalam masa penantiannya. Dengan demikian, penantiannya untuk sebuah pernikahan yang indah dan suci tidakakan sia-sia, dan Allah akan memberikannya seorang pendamping Robbani dalam pernikahan yang telah menjadi impian.

Pernikahan adalah awal dari sebuah kehidupan dan perjalanan hidup yang baru. Idealnya, perjalanan panjang hendaknya disertai dengan bekal yang benar dan cukup. Demikian pula dengan pernikahan, membutuhkan bekal yang tidak sedikit dan sembarangan. Berikut ini adalah langkah-langkah yang sepatutnya dilakukan dan diistiqomahkan oleh seorang muslimah dalam penantiannya untuk menuju sebuah pernikahan yang diridhoi oleh Allah swt. Langkah-langkah inilah yang insya Allahakan menjadi bekal untuk berlayar di atas lautan dan gelombang kehidupan dengan ombak dan badai yang selalu mengintai. Langkah-langkah inilah yangakan menjadi kompas dan bahan bakar untuk perahu pernikahan.

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah

Menantikan seorang lelaki sholih yang akan meminang dan menyandingnya dalam sakralnya pernikahan memang akan memancing datangnya berbagai bentuk godaan. Untuk itulah, seorang muslimah hendaknya terus meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya (baik ibadah fardhu maupun sunnah) untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Insya Allah, dengan peningkatan ibadah ini Allahakan memberikan kekuatan dan pertolongannya untuk menghadapi godaan-godaan yang mencoba untuk menggoyahkan dan memikatnya.

2. Istiqomah dalam doa dan tawakal

Sesungguhnya, segala sesuatu yang terjadi maupun yang tidak terjadi adalah hanya atas kehendak Allah swt semata. Rizki, maut, dan juga jodoh, itu semua berada dalam genggaman Allah swt, tidakakan ada yang mampu merubahnya kecuali Dia. Dan sebagai manusia, yang diwajibkan hanyalah berusaha dan berdoa dengan sebaik-baiknya. Kemudian bertakwakallah kepada-Nya, serahkan dan percayakan segala keputusan final hanya kepada-Nya. Janganlah pesimis dan berburuk sangka kepada Allah, karena Allahakan mengikuti persangkaan hamba-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqoroh: 153)

Istiqomahlah dalam berdoa agar diberikan pendamping hidup yang sholeh, dan dikaruniakan sebuah pernikahan yang barokah sehingga membawa kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Yakinlah bahwa Allah lebih mengerti apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dan yakinlah, bahwa Allah hanyaakan memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya.

3. Mempersiapkan diri

Meskipun dinanti-nanti, namun pernikahan bukanlah hal sepele yang dapat dicapai dan dijalani dengan sembarangan atau asal mau saja. Ketika seorang wanita telah memasuki pintu pernikahan, maka secara otomatis kewajibannya pun telah bertambah (demikian pula halnya dengan laki-laki). Maka dari itu, hendaknya seorang muslimah senantiasa mempersiapkan dirinya sebelum seorang pangerang yang diutus oleh Allah swt datang untuk menjemput dan membawanya menuju istana pernikahan yang sakral.

Teruslah membekali diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, dan terutama ilmu agama yang berkaitan dengan masalah kerumah tanggaan. Selain itu, seorang muslimah juga harus membekali dirinya dengan keterampilan berumah tangga. Dan bekal yang terakhir adalah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang isteri sholihah yang taat dan senantiasa menyenangkan hati suami.

Saudariku, pernikahan adalah dambaan bagi setiap insan, tidak terkecuali seorang muslimah. Dan menunggu pangeran sholih yang akan menjemputnya menuju mahligai pernikahan yang sakral, bukanlah perjuangan yang ringan. Gelisah, gundah, tanda tanya, harap, cemas, semua membaur menjadisatu . Namun, sekali lagi pernikahan bukanlah ikatan yang dapat dijalin dengan “mau” saja. Untuk menuju pernikahan yang barokah, dibutuhkan bekal-bekal yang benar dan cukup. Jangan sampai kita kehabisan bahan bakar ataupun perbekalan ketikan sedang menyelami lautan pernikahan. Terlebih lagi menyelami lautan pernikahan tanpa membawa bekal, andaakan kelaparan dan kehausan. Jangan sampai anda melupakan peta dan kompas manakala hendak menjelajahi belantara pernikahan.

Saudariku, rindukanlah sebuah pernikahan sakinah, mawaddah, warrohmah. Rindukanlah seorang pendamping hidup yang akan membawa ikatan pernikahan mulia di dunia dan akhirat. Dan tidaklah sebuah pernikahan akan sakinah, mawaddah, warrohmah, melainkan dengan kita memperjuangkannya di jalan yang diridhoi oleh Allah, melainkan kita masuki pintu pernikahan tersebut dengan menyebut asma Allah. Dan tidaklah senuah pernikahan akan sakinah, mawaddah, warrohmah, kecuali kita menjalankannya dengan bekal yang cukup, dengan bekal yang benar. Allah, adalah pangkal tolak dan arah melangkah kita dalam menanti dan mengemudikan sebuah pernikahan.

Pernikahan yang barokah adalah pernikahan yang dilandasi dengan nilai-nilai iman dan takwa. Hanya pernikahan yang barokahlah yangakan memberikan kebagiaan dunia dan akhirat. Pernikahan dibawah naungan islam, pernikahan dibawah naungan Allah adalah pernikahan yang menjadi dambaan orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Tiga langkah di atas merupakan secuil ikhtiar yang jika direalisasikan dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan, insya Allahakan menjaga diri kita dari godaan-godaan yang menerpa manakala berada disebuah jalan menuju pernikahan. Dan insya Allah akan menjadi bekal yang sangat bermanfaat dalam mengaruhi bahtera pernikahan kelak.

www.syahadat.com

MENGUJI CINTA DAN KEIKHLASAN

Tulisan ini ditulis oleh : Yeni Suryasusanti, dan diambil dari situs eramuslim.com. Tulisan ini dapat menjadi suatu pelajaran, renungan bagi kita semua…semoga kita dapat mengambil hikmah positif dari tulisan ini..

Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.

Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan “fisik” terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan “mental” yang diberikan oleh Ibu saya.

Ah… betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.

Sejak satu tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, “Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?”

Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. “Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum… kok ribet banget sih…” protes saya gusar. “Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah.”

Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.

Saat itu, “Suami ideal” bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla… segala hal positif lainnya.

Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.

Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketikasaya membantahnya dengan mengajukan argumentasi.

Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung… dan kecewa…

Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya… Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah : “Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?”.

Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah? Dan berbagai kata “Mengapa” bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah “betapa tidak adilnya Islam pada wanita”… Astaghfirullah… Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu…

“Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu… lihat kelebihannya saja…” nasehat Ibu kepada saya.
“Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata, ‘”tapi”. Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah…” ucapan seorang sahabat wanitayang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.

Tahun demi tahun kami lalui… Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.

Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?

Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).

Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.

Saya pun mulai belajar menjadi “paranormal” - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya -dari berbagai kejadian.

Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata… Tidak adanya kritikan dan protes kerasyang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.

Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya…

Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami… membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan…

Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.

But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu.

Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.

Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.

Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan cintakami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya… pada usahanyayang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri. Dan… masih banyak lagi.

Subhanallah… ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti…

Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amalyang luas bagi seorang istri dan ibu.

Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya, pribadi saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya…

Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan…

Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.

Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.

Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?

Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya.

Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita… Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.

Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.

Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad… sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad …

Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak?

Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.

Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula… Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya…

Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas… Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.

Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, “Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu…” (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.

Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, “Ya, saya ikhlas mengerjakannya.”, sambil tersenyum pula.

Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.

Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta… suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya…

Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata…

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan…

Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia…

Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti

Sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/pernikahan-saya-sebuah-media-untuk-mengasah-kemampuan-berkomunikasi-dan-kompromi-menguji-cinta-dan-keikhlasan-serta-sarana-perbaikan-diri-dan-ibadah.htm

Bagaimana Cara Mempengaruhi

Persuasi adalah cara untuk menanamkan pemikiran dan kesan kepada seseorang dengan maksud menimbulkan reaksi yang diharapkan. Definisi lain menyebutkan cara berkomunikasi untuk menanamkan kepercayaan.

Persuasi atau mempengaruhi orang lain sekarang banyak dipelajari karena makin berkembangnya metode pemasaran.

Robert B. Cialdini, dalam bukunya yang terkenal di dunia marketing Influence : The Psychology of Persuasion menyebutkan ada 6 senjata pengaruh yang bisa digunakan untuk menimbulkan pengaruh terhadap seseorang.

1. Reciprocation. Balas jasa, atau dalam terminologi negatifnya bisa balas dendam. Orang cenderung terdorong untuk membalas pemberian seseorang. Hal ini berlaku juga dengan konotasi negatif, orang cenderung akan membalas perbuatan jahat di masa lampau. Konsep ini sangat terkenal di dunia marketing, contoh nyatanya adalah pembagian free sample, kegiatan amal dll.
2. Commitment and consistency. Jika orang melakukan komitmen baik lisan maupun dalam tulisan, mereka cenderung ingin memenuhinya. Selanjutnya, orang akan cenderung tetap konsisten dengan perilaku ini. Terkadang pada saat motivasi mereka untuk komitmen ini sudah tidak ada.
3. Social Proof. Orang akan melakukan apa yang dilakukan orang lain. Semacam trend. Kita cenderung untuk ikut.
4. Authority. Kekuasaan, tentu saja ini punya pengaruh tertentu. Biasanya figur yang berkuasa, akan mudah mempunyai pengaruh untuk ditaati.
5. Liking. Rasa suka, orang yang kita sukai akan lebih mudah kita ikuti. Akan lebih mudah mempengaruhi perilaku kita.
6. Scarcity. Langka, jarang terjadi, biasanya mempengaruhi kita mendesak untuk melakukan sesuatu. Misalnya tawaran discount dll.

Nah dengan 6 senjata ini, dan tidak harus semuanya tentu saja, kita bisa memberikan pengaruh tertentu pada seseorang. Tentu saja pengaruh tidak berjalan linier sebagaimana yang diharapkan. Kita mungkin bisa melihat perilaku kelompok yang cenderung sama tapi pengaruh terhadap masing-masing pribadi sangat berlainan.

Faktor internal orang yang menangkap pengaruh juga akan menjadikan langkah seseorang dalam menyikapi pengaruh tadi tidak sama. Ary Ginanjar Agustian – pengarang buku ESQ – membuat daftar yang bagus tentang faktor-faktor internal yang bisa mempengaruhi bagaimana seseorang melihat kondisi dan menyikapi hal tertentu. Hal-hal tersebut antara lain adalah :

1. Prasangka. Baik dan buruk suatu prasangka akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan akhrnya perilaku atau tindakan yang kita ambil.
2. Prinsip-prinsip hidup. Apakah itu merupakan pencerahan sendiri ataupun merupakan replikasi dari contoh-contoh tertentu, biasanya akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang
3. Pengalaman. Orang-orangtua di organisasi biasanya lebih sering berkata “dulu kita akan begini” atau “yang lalu biasanya begini” pada saat ada perubahan.
4. Kepentingan dan Prioritas. Kebutuhan seseorang akan sesuatu, terutama yang mendesak untuk didapatkannya akan sangat mempengaruhi bagaimana dia bertindak.
5. Sudut Pandang. Kadang-kadang satu hal bisa tidak sama dilihat dari berbagai sudut pandang. Tergantung bagaimana, dimana, kondisi tertentu kita melihat suatu perilaku akan mempengaruhi bagaimana suatu kejadian kita interpretasikan.
6. Pembanding. Seorang dengan tinggi badan 165cm bisa disebut pendek bila berada di sebelah orang yang tingginya 185. Tapi di sebelah orang-orang yang tingginya 135 dia akan terlihat jangkung. :-)
7. Literatur. Pengetahuan dan bahan bacaan sangat mempengaruhi bagaimana kita bisa terekspos oleh hal lain.

Nah bagaimana kita bisa menerapkan senjata-senjata dan melihat faktor-faktor yang mungkin dianut atau dimiliki oleh seseorang, sekelompok atau dalam suatu organisasi akan sangat menentukan bagaimana kita bisa memberikan pengaruh dan membuat orang lain bertindak lebih sesuai dengan yang kita inginkan.

Semoga bermanfaat.

Di Ambil dari : http://draguscn.wordpress.com/2009/03/23/bagaimana-cara-mempengaruhi/

OBAT TERSINGGUNG DAN SAKIT HATI

Salah satu penyebab kita bertengkar dan saling hentam- menghentam kerana kita tidak tahan terhadap perilaku orang kepada kita, yang akhirnya menyebabkan tersinggung dan bila sudah tersinggung biasanya sibuk bela diri , lalu tingkatan selanjutnya memikirkan kejelekan orang lain.

Kita harus latihan tidak mudah tersinggung, kerana tidak jarang kita bisa berbicara tapi ketika tersinggung tabungan amal kita habis kerana marah , sekali marah mata terbelalak…..kata-kata seperti pisau mengiris, kadang seperti palu menghentam belum lagi tanganbisa bermain, kaki bisa memaki, banyak pahala yang kita kumpulkan hilang gara-gara kita tidak tahan menghadapi singgungan.

Kenapa orang tersinggung? Orang tersinggung kerana menilai dirinya lebih dari kenyataan , merasa pintar, merasa berjasa, merasa soleh, merasa tampan, merasa sukses, setiap kalikita terus menilai diri kita lebih dari kenyataan bila ada yang menilai kurang sedikit saja ,……..langsung akan tersinggung.

Jadi memang ada sesuatu yang harus kita perbaiki iaitu kemahiran menilai diri , kita biasanya membuka peluang tersinggung kerana kita salah dalam menilai diri kita.

Jadi teknik pertama agar kita tidak mudah tersinggung adalah jangan menilai lebih kepada diri kita ; jangan banyak mengingat-ingat bahawa saya telah berjasa,saya seorang guru, saya seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat ,kerana makin banyak kita mengaku-ngaku tentang diri kita itulah yang membuat kita makin tersinggung.

Khusus dalam hal ini dalam kaitan supaya tidak mudah tersinggung, misalkan kalau kita sarjana lupakan kesarjanaan kita, atau kita seorang pengarah lupakan jabatan kita, kalau kita ustaz lupakan ustaz kita,kalau kita seorang pimpinan lupakan , kalau kita seorang terkenal lupakan, kalau kita seorang kaya lupakan ,anggap semuanya ini amanah, dalam kaitan agar kita tidak tamak kepada penghargaan.

Kalau kita sudah tidak tamak itu akan lebih ringan, kita harus melatih diri kita untuk hanya merasa sekadar hamba ALLAH yang tidak memiliki apa-apa kecuali ilmu yang dipercikan oleh ALLAH sedikit, lebih banyak tidak tahu,kita tidak punya harta sedikitpun kecuali sepercik titipan ALLAH ,kita tidak punya jabatan ataupun kedudukan sedikitpun kecuali sepercik yang ALLAH amanahkan.Dengan merasa hanya sekadar hamba ALLAH maka akan ringan hidup kita ini, kerana makin ingin dihargai, makin ingin dipuji, makin ingin dihormati, akan makin sering sakit hati.

Teknik yang kedua adalah kita harus melihat bahawa apapun yang dilakukan orang kepada kita itu bermanfaat kalau kita dapat menyikapi dengan sikap yang tepat. Seperti teori lempar kucing ,katanya kalau kucing dilempar batu, maka kucing itu lebih sibuk orang yang melempar daripada melihat batunya. Kita ini tidak akan rugi dengan perilaku orang kepada kita kalau kita menyikapinya dengan sikap yang tepat , yang rugi itu adalah ketika kita salah menyikapi kejadian, dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai dengan keinginan kita.

Yang mampu kita lakukan adalah memaksa diri kita menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita.Orang berkata apapun kepada kita itu terjadi dengan izin ALLAH , anggap saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepadaorang-orang yang sabar (QS : 2 ; 155)”

“(Iaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah , mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (QS : 2 ; 156)”

“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS : 2 ; 157)”

Teknik yang ketiga adalah kita harus mulai melihat sesuatu tidak dari sisi kita, kalau tidak ingin mudah tersinggung caranya cari seribu satu alasan untuk bisa memaklumi orang lain. Maksudnya adalah supaya kita tidak mudah menyebabkan emosi dan tersinggung. Harus diingat seribu satu alasan yang kita buat dilakukan untuk memaklumi bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita dapat mengendalikan diri.

Teknik yang keempat adalah jadikan ladang peningkatan kualiti diri , jadi ketika menghadapi penghinaan itu sebuah kesempatan, pokoknya penghinaan, perilaku buruk orang kepada kita menjadi ladang bagi kita untuk mengamalkan sifat mulia iaitu memaafkan orang yang menyakiti , membalas keburukan dengan kebaikan. Episode disakiti adalah episode peningkatan maqam diri.

Sumber :http://silakanterpesona.blogspot.com

CARA TIDUR SEORANG MUSLIM

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (QS. Ar Rum : 23)

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat” (QS. An Nabaa’ : 9)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yaitu termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya, Allah menjadikan sifat tidur bagi kalian di waktu malam dan siang. Dengan tidur, ketenangan dan rasa lapang dapat tercapai rasa lelah dan kepenatan dapat hilang” (Tafsir Ibnu Katsir III/402)

Berikut beberapa adab tidur seorang muslim yang dikerjakan oleh Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,

Pertama, berwudhu sebelum tidur. Dari Bara’ bin ‘Azib radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Idzaa atayta madhja’aka fatawadhdha’ wudhuunaka lish-shalaaH” yang artinya “Apabila kalian hendak mendatangi tempat tidur, maka berwudhulah seperti wudhu kalian untuk shalat” (HR. al Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

Imam an Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini berisi anjuran untuk berwudhu ketika hendak tidur. Apabila seseorang telah mempunyai wudhu, maka hal itu telah mencukupinya, karena maksud dari itu semua adalah tidur dalam keadaan suci khawatir maut menjemputnya seketika itu.

Maksud yang lainnya, dengan berwudhu dapat menjauhkan diri dari gangguan setan dan perasaan takut ketika tidur” (Syarah Shahiih Muslim XVII/197)

Kedua, membersihkan (mengebuti) tempat tidur. Dari Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak tidur maka kebutilah tempat tidurnya dengan ujung sarungnya, karena sesungguhnya dia tidak tahu apa yang akan menimpanya” (HR. al Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714)

Ketiga, membaca surat al Ikhlas, al Falaq dan an Naas. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa, ia berkata,

“Adalah Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam apabila hendak tidur beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu meniupnya seraya membaca surat al Ikhlas, al Falaq dan an Naas. Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke bagian tubuhyang bisa diusap. Dimulai dari kepala, wajah dan bagian tubuh lainnya sebanyak tiga kali” (HR. al Bukhari no. 5017, Abu Dawud no. 5056 dan at Tirmidzi no. 3406)

Keempat, tidur dengan berbaring ke sisi kanan. Dari Bara’ bin ‘Azib radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Idzaa atayta madhja’aka fatawadhdha’ wudhuunaka lish-shalaaH, tsummadh thaji’ ‘alaa syiq-qikal ayman” yang artinya “Apabila kalian hendak mendatangi tempat tidur, maka berwudhulah seperti wudhu kalian untuk shalat, kemudian berbaringlah ke sebelah kanan” (HR. al Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

Imam Ibnu Qayyim al Jauziyyah rahimahullaH berkata, “Adalah Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam tidur dengan berbaring ke kanan dan beliau meletakkan tangannyayang kanan di bawah pipinya yang kanan” (Zaadul Ma’aad I/150)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullaH berkata, “Keadaan tidur seperti ini sebagaimana ditegaskan oleh pakar pengobatan, adalah keadaan (posisi)yang paling baik bagi tubuh” (Fathul Baari XI/132)

Kelima, membaca doa sebelum tidur. Dari Hudzaifah radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,

“Apabila Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hendak menuju pembaringannya untuk tidur, beliau berdoa, ‘AllaHumma bismika amuutu wa ahyaa (Yaa Allah, dengan nama-Mu aku mati dan hidup kembali)’. Ketika bangun tidur, beliau berdoa, ‘AlhamdulillaHil ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayHin nusyuur (Segala puji bagi Allahyang telah menghidupkan kami kembali setelah sebelumnya mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami akan kembali)’” (HR. al Bukhari, Abu Dawud, at Tirmidzi no. 3413 dan Ibnu Majah)

Keenam, tidak tidur setelah Shubuh. Suatu ketika ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaHu ‘anHu melihat anaknya sedang tidur di waktu Shubuh, kemudian beliau berkata,

“Bangunlah !, Apakah engkau hendak tidur disaat rizki itu sedang dibagikan?” (Zaadul Ma’ad IV/221)

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tidur di waktu shubuh dapat mencegah rizki, karena pada waktu itu adalah waktu manusia mencari rizkinya. Waktu shubuh adalah waktu pembagian rizki. Maka, tidur pada waktu ini adalah dilarang kecuali apabila hal itu sangat dibutuhkan sekali. Tidur di waktu Shubuh membahayakan sekali bagi badan, dapat menyebabkan kemalasan dan lemah” (Zaadul Ma’ad IV/222)

Ketujuh, dibencinya tidur sebelum ‘Isya dan bercakap-cakap setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Barzah radhiyallaHu ‘anHu,

“Bahwasannya Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam membenci tidur sebelum ‘Isya’ dan bercakap-cakap setelahnya” (HR. al Bukhari no. 568 dan Muslim no. 647)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaH berkata, “Dibencinya tidur sebelum ‘Isya’ karena dapat melalaikan pelakunya dari shalat ‘Isya’ hingga keluar waktunya, adapun bercakap-cakap setelahnyayang tidak ada manfaatnya, dapat menyebabkan tidur hingga shalat Shubuh dan luput dari shalat malam” (Fathul Baarii I/278)

Kedelapan, dibencinya tidur dengan telungkup (tengkurap). Tikhfah al Ghifari radhiyallaHu ‘anHu berkata,

“Suatu ketika tatkala aku tidur di dalam mesjid, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiriku, sedangkan aku dalam keadaan tidur telungkup, lalu dia membangunkanku … seraya berkata,

‘Qum, HadziHi dhaj’atun yubghidhallaH (Bangunlah ! Ini adalah bentuk tidur yang dibenci Allah)’

Maka aku mengangkat kepalaku, ternyata beliau adalah Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam” (HR. at Tirmidzi no. 2768, Ibnu Majah no. 3723 dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiih Adabul Mufrad no. 905)

Syaraful Haqq al ‘Azhim Abadi berkata, “Berdasarkan hadits ini, bahwa tidur telungkup di atas perut adalah terlarang, dan itu adalah bentuk tidurnya setan” (‘Aunul Ma’buud XIII/261)

Kesembilan, dilarang meletakkan sebelah kaki di atas sebelah kaki lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,

“Jika salah seorang diantara kalian terlentang di atas punggungnya (tidur), maka janganlah menaruh salah satu kakinya di atas kaki yang lain” (HR. at Tirimdzi no. 2766, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahihah no. 1255)

Sumber Bacaan :

Karakter dan Kepribadian Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, Imam at Tirmidzi, ditahqiq oleh Syaikh al Albani, Pustaka at Tibyan, Solo.

Sifat Tidur Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, Abu ‘Abdillah bin Luqman al Atsari, Media Tarbiyah, Bogor, Cetakan Pertama, Rabi’ul Awwal 1428 H/April 2007 M.

ETOS KERJA ORANG JEPANG

Bangsa Jepang merupakan bangsa yang kuat dan memiliki harga diri yang tinggi. Berikut ini rahasia dibalik Etos Kerja dan Budaya Kerja Bangsa Jepang

Masyarakat Jepang: masyarakat yang tidak peduli pada agama

Ini merupakan ciri-ciri khusus masyarakat Jepang dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Perbedaan yang paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama.
Dalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama. ?
Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama, tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia).
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. (Pada tahun 1996, mahasiswa yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%).
Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Di Jepang pernah orang Kristen menjadi Perdana Menteri, namanya OHIRA Masayoshi, Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980. Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena toleransi padaagama, lebih tepat disebut karena ketidakpedulian orang Jepang pada agama. (Tetapi beberapa sekte tidak disukai banyak orang.)

Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama

Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam proses modernisasi. Tetapi menurut saya teori Bellah ini sangat diragukan. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon shingaku” (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi ekonomi. Selain itu, adayang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak adaagama yang mendorong proses kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman (setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antaragama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan.
Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas apa?

Etika orang Jepang: etika demi komunitas

Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompokagama, tim sepak bola dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaanorang Jepang beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong rukun komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika demi komunitas ini.
Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang.

? Etos kerja dan budaya kerja orang Jepang

Sesudah perang dunia kedua, perusahaan Jepang yang besar membentuk 3 sistem.
yaitu, (1). Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus hubungan kerja. (2). Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya tergantung umur mereka. (3). Serikat pekerjayang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja. Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap kuatdiri sendiri anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya kerjaorang Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga sistem ini dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan kecil juga.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja.
Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakanorang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” olehorang asing. 2. mendewakan langganan
Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.” (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semuaorang Jepang. Kata ini sudah motto bisinis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. bisnis adalah perang
Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku ajaran Sun Tzu (??) untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisinis sekarang. Untuk menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisinis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semuaorang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang,
kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada ajaranagama apapun.

Introduksi “performance-paid system” dan gagalnya

Sejak runtuhnya ekonomi Jepang pada awal 1990-an, banyak perusahaan Jepang memPHK secara massal.
Mereka mengintroduksi sistem gaya Amerika, yakni performance-paid system pada tahun 1990-an untuk mengirit biaya tenaga kerja. Sistem ini gajinya dibayar menurut hasil kerjanya. Tetapi sistem ini merusakkan team work di dalam perusahaan dan menghilangkan kesetiaan pekerja pada perusahaannya. Rupanya bagi orang Jepang, gajinya tidak menjadi motivasi kuat. Mungkin performance-paid system dicabut lagi dan direkonstruksi sistem yang tradisional. Etos kerja dan budaya kerja Jepang mungkin tidak begitu berubah.
Tetapi perusahaan Jepang memilih menjadi lebih langsing dan ringan. Pekerja tetap menjadi terbatas, kebanyakan pekerja adalah yang non tetap. Etos kerja pekerja non tetap ada kemungkinan berubah drastis.
Etos kerja dalam Islam
Monday, 07 December 2009 00:03 Cliping
PDF

Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.

Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.

1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)

Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)

Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.

2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)

Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).

3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)

Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.

Kedua, ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)

Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.

4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)

Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).

Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.

Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).

5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.

Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.

6. Mencermati Nilai Waktu

Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.

Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.

Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)

dari beranda.blogsome.com

Etos kerja dalam Islam

I. Mukaddimah

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)

Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).

Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).

II. Pembahasan
A. Posisi Kerja dalam Kitabullah

Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.

Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).

Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).

Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.

Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.

Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).

Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).

Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B. Kualitas Etik Kerja

Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.

Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.

1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)

Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)

Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.

2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)

Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).

3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)

Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.

Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.

Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)

Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.

4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)

Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).

Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.

Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).

5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.

Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.

6. Mencermati Nilai Waktu

Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.

Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.

Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)

III. Penutup
Jihad Sebagai Etos

Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak rofesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )

Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?

Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)

Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.

Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.

Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.

ISLAM DAN ETOS KERJA

Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl : 89).
Rasulullah saw. tidak membiarkan suatu perkara pun yang mendekatkan diri kita kepada Allah melainkan beliau menyuruh kita untuk melakukannya; dan tidak membiarkan suatu perkara pun yang menjauhkan diri kita dari Allah melainkan beliau melarang kita untuk melakukannya. Sehingga, beliau meninggalkan kita di atas mahajjah (jalan lurus; petunjuk) yang terang, malamnya sama seperti siangnya, tidak ada seorang pun yang sesat dari petunjuk itu melainkan ia seorang yang binasa—hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
Dari itu maka seluruh sisi yang dipesankan Islam kepada pemeluknya, berada pada satu rotasi, yaitu ‘ubudiyyah dan penghambaan yang total kepada Allah Ta’ala. Islam sendiri menolak pemecahan pesan-pesannya. Al-Qur’an mengecam keras sikap Bani Isra’il yang tidak beriman dengan seluruh pesan-pesan syariat mereka: “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 86). Untuk itu Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.“ (Al-Baqarah : 208).
Ada lima pilar Islam yang dikenal dengan rukun Islam. Semangat lima pilar ini mengalir deras dalam berbagai kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan oleh Islam secara tegas, dan dalam berbagai perbuatan yang ditujukan untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Semangat lima pilar ini adalah penyerahan diri serta tunduk patuh secara total kepada Allah Ta’ala semata (islamul wajhi lillah). Dari itu orang yang tidak melaksanakan shalat dengan orang yang berdusta, dalam Islam, adalah pada posisi yang sama, yaitu pelaku maksiat. Orang yang mengingkari kewajiban shalat dan kewajiban berkata jujur dalam Islam dihukum sebagai seorang yang telah mengingkari perkara-perkara yang diketahui secara pasti bagian dari agama.


Kewajiban Bekerja Dalam Islam
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah : 105).
Allah juga berfirman: “Apabila shalat telah dilaksanakan, makabertebanlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:10)
Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak.” (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Bahkan Allah Ta’ala telah memerintahkan para nabi-Nya untuk berusaha mencari rezeki. Firman Allah kepada Nabi Muhammad saw.: “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (Asy-syarh : 7-8).
Allah juga berfirman: “Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan – urusan yang panjang.” (Al-Muzammil : 7).
Dan firman Allah Ta’ala kepada keluarga Dawud: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba – hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ : 13).
Para nabi merupakan contoh nyata dari sikap menghargai nilai bekerja bagaimanapun kecil pekerjaan itu. Nabi Nuh a.s. adalah seorang pemahat. Ia memahat sendiri kapalnya. Nabi Dawud adalah seorang pandai besi. Ia membuat perisai dengan tangannya dan Allah Ta’ala telah melunakkan besi untuknya. Nabi Musa a.s. sepuluh tahun mengembala kambing milik Nabi Syu’aib a.s. sebagai mahar nikah salah seorang putrinya. Nabi Muhammad saw. mengembala kambing, memperdagangkan harta Sayyidah Khadijah r.a. dan lainnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang tidak akan dapat memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari [hasil] kerja tangannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha di muka bumi ini agar dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah lewat ia berusaha dan bekerja keras. Di samping itu, kerja juga merupakan pokok utama untuk membangun agama dan dunia sekaligus, dan merupakan wahana vital untuk melaksanakan berbagai amal ibadah lainnya. Pahala dan kedudukan seorang hamba di sisi Allah Ta’ala akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia berusaha dan bagaimana keikhlasannya dalam berusaha.
Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Ia telah mempersiapkan bumi dan menyediakannya agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat manusia bergerak dan berusaha. Bumi telah ditundukkan untuk dapat merespon aktivitas manusia sehingga ia dapat mengeluarkan rezeki bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Allah telah memuliakan manusia, menganugerahkan kepadanya berbagai nikmat sehingga ia lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya yang lain. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Kepadanya dipikulkan beban untuk memakmurkan bumi, untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, bukan untuk merusak dan menumpahkan darah. Beban besar ini tidak akan terlaksana apabila manusia berdiam diri, bermalas-malasan. Beban ini pun bukan diarahkan untuk sebagian manusia, tidak sebagian yang lain. Di setiap pundak manusia terpikul beban ini. Dan karena itu setiap manusia yang memiliki tenaga dan kemampuan untuk bekerja, tapi ia memilih untuk tidak bekerja, maka ia telah menyalahi amanat yang telah dibebankan oleh Pencipta dan Pemberi berbagai anugerah kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah menjadikan kamu dari tanah dan menjadikanmu pemakmurnya.” (Hud:61)
Maknanya: Allah menuntut manusia untuk membangun dan menghidupkan seluruh manifestasi peradaban dalam berbagai sektor kehidupan. Setiap mu’min yang melaksanakan tuntutan tersebut, maka ia telah melaksanakan suatu ‘ubudiyah kepada Allah Ta’ala sekalipun ia seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan atau pesuruh di sebuah perkantoran.
Rasulullah saw. yang merupakan teladan umat manusia di berbagai sisi hidup beliau juga telah menunjukkan berbagai teladan yang amat luhur dalam hal pemanfaatan waktu, perencanaan, ketekunan dan ketelitian dalam berbuat, serta pembagian tugas yang tepat dan sesuai keahlian masing-masing para sahabat. Karena itu semua maka Nabi saw. dalam waktu yang relatif singkat dapat mewujudkan berbagai kerja nyata yang belum tentu dapat diwujudkan oleh suatu balatentara yang memiliki fisik tangguh, kecerdasan serta keahlian.
Nilai suatu kerja juga demikian tinggi dalam pandangan para sahabat Rasulullah saw.. Abu Bakr r.a. adalah seorang pedagang kain dan pakaian. Pada hari ia dibai’at sebagai khalifah, ia pergi ke pasar untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan di pasar sekalipun ia seorang hartawan pada masa sebelum Islam, tapi pada masa Islam, harta kekayaannya telah diinfakkan di jalan menegakkan Islam. Melihat hal itu para sahabat lain melarang Abu Bakr untuk berdagang lantaran kuatir akan mengganggu kerja berat yang sedang pikulnya. Lalu dibiayai secukup keperluan pokok hidupnya dari Baitul Mal. Dan sebelum meninggal Abu Bakr berpesan untuk mencabut dan mengembalikan jatah biaya hidup tersebut ke Baitul Mal. Demikian pula para sahabat-sahabat yang lain; ‘Umar adalah seorang agen/perwakilan; ‘Utsman dan ‘Ali kedua-duanya pedagang; ‘Amru bin Al-‘Ash tukang potong daging.
‘Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, “[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa’: Ya Allah berikanlan kepada rezeki. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak.”
Langit menurunkan hujan. Bumi berinteraksi dengan tetesan hujan yang jatuh di atasnya. Tanpa usaha dan olahan tangan manusia, maka tidak akan ada hasil, takkan ada panen, takkan ada bekal, takkan berlangsung kehidupan, takkan ada gerak di muka bumi. Andaikata pun langit menurunkan emas dan perak, tapi jika tanpa ada tangan-tangan yang bekerja, sungguh manusia pun akan kelaparan, telanjang, tak bertempat tinggal, tak bisa menyembuhkan dirinya dari penyakit dan sebagainya. Oleh karena itulah Islam menekankan kerja produktif dan melarang penggunaan harta kekayaan pada hal-hal yang tidak bermanfaat, untuk menutup keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Suatu kali ‘Umar r.a. melihat Zaid bin Maslamah sedang menanam tanaman di tanahnya, maka ‘Umar mengatakan kepadanya, “Benar sekali perbuatanmu itu! Engkau tidak menggantungkan hidupmu kepada orang lain adalah cara terbaik untuk memelihara agamamu, dan termulia untuk menjaga martabat dirimu.”
‘Umar r.a. juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku memandang seorang pemuda, maka aku kagum kepadanya. Lantas aku menanyakan kepadanya apakah dia punya suatu pekerjaan. Lalu dijawab tidak, maka jatuh nilai pemuda itu dalam pandanganku.”
Islam tidak hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang ahli ibadat dan berperilaku zuhud semata tapi Islam juga hendak mewujudkan masyarakat yang bekerja dan penuh dinamika. Masyarakat yang kuat agama dan dunianya. Masyarakat yang mampu menghidupi dirinya sendiri lewat tangan-tangan anggotanya yang tekun, otak-otak yang kreatif dan tenaga-tenaga yang berpengalaman. Masyarakat konsumtif yang melulu menggantungkan hidupnya pada produk masyarakat lain adalah masyarakat yang tidak bertahan lama, lemah, cenderung tergoda dengan angan-angan palsu hingga akhirnya tersungkur dalam kemunduran serta pada gilirannya akan terpola sebagai masyarakat pengekor bagi masyarakat yang dinamis, maju, kaya, dan cerdas.
Suatu kali ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal bersifat wara’ dan zuhud, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang duduk-duduk saja di rumah atau mesjidnya sambil berkata, ‘Aku tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan pun sampai rezeki datang sendiri kepadaku.’?” Imam Ahmad serta merta menjawab, “Itu orang yang tidak berpengetahuan. Tidakkah ia tahu bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku di bawah bayang tombakku.”
Rasulullah saw. sendiri bekerja mencari rezeki. Tombak adalah alat untuk bekerja; menyemai, berburu dan lainnya. Bayang tombak akan ada saat dipergunakan untuk bekerja di siang hari. Suatu ungkapan yang sarat makna, penuh nuansa dinamis.

Amal shalih
Kerja atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala adalah perbuatan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat sekaligus (amal shalih). Allah berfirman: “Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan – kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (Al-’Ankabut : 7).
“Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka pasti akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang yang saleh.“ (Al-’Ankabut : 9).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia – nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki – laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain…” (Al ’Imran : 195).
“Sesungguhnya orang – orang yang beriman, orang – orang Yahudi, Sabi-in dan orang – orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Ma’idah : 69).
Sementara perbuatan mengganggu, merugikan dan menekan orang lain, apalagi menguasai hidup orang lain serta mengeksploitasi tenaganya secara semena-mena untuk keuntungan pribadi adalah amal fasid (buruk). Bahkan seluruh perbuatan yang tidak bermanfaat adalah amal fasid—sekalipun tidak merugikan atau membahayakan orang lain secara langsung—oleh karena tenaga dan waktu yang terbuang percuma pada sesuatu yang tidak bermanfaat padahal waktu dan tenaga adalah modal utama untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23).
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ’Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ’Ad) yang mempunyai bangunan – bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri – negeri lain, dan (terhadap) kaum Samud yang memotong batu – batu besar di lembah, dan (terhadap) Fir’aun yang mempunyai pasak – pasak (bangunan yang besar), yang berbuat sewenang – wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka, sungguh, Tuhanmu benar –benar mengawasi.“ (Al-Fajr : 6 – 14).
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri ; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kamilah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (Yunus : 23).
“Dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda – tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya, dan mereka memahat rumah – rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. Kemudian mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur pada pagi hari, sehingga tidak berguna bagi mereka, apa yang telah mereka usahakan.“ (Al-Hijr : 81 – 84).
Allah telah memerintahkan setiap individu dan masyarakat untuk menyucikan diri sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka dengan amal shalih dan bermanfaat, dan melarang segala praktek usaha dan pemanfaatan harta pada jalan-jalan yang dilarang oleh syari’at serta bertentangan dengan moral seperti berusaha lewat profesi-profesi yang tidak diperbolehkan oleh syari’at atau dengan memperdagangkan benda-benda yang diharamkan. Sebab hal ini akan mengakibatkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat, di samping pintu akan terbuka lebar bagi berbagai penyakit sosial yang sukar untuk dipulihkan sehingga tidak jarang terlihat berbagai praktek usaha yang terlarang dalam hukum Islam justru melahirkan kemiskinan dan kemunduran di berbagai lapisan masyarakat serta menumbuhkan berbagai penyakit sosial seperti pengrusakan alam, budaya sogok menyogok, penipuan, kedengkian, egoisme, pembunuhan dan berbagai tindak kriminal.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah – mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (Al-Qashash : 67).
“Tetapi orang – orang yang dianugerahi ilmu berkata, ‘Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang – orang yang sabar.” (Al-Qashash : 80).
“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa mengerjakan kebajikan maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan), agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya. Sungguh Dia tidak menyukai orang – orang yang ingkar (kafir).” (Ar-Rum : 44, 45).
“Dan bukanlah harta atau anak – anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat – tempat yang tinggi (dalam surga).” (Saba’ : 37).
Dari itu masyarakat muslim dituntut untuk berpegang kuat pada nilai-nilai keadilan yang luhur, dan atas dasar nilai-nilai ini ia bekerja dan berusaha dengan segenap tenaga sehingga ‘ubudiyyahnya kepada Allah Ta’ala adalah lewat berusaha memapankan kehidupan dunianya bukan dengan meninggalkan dunia. Sebab, masyarakat yang isi perutnya bergantung pada orang lain adalah masyarakat yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan dalam kondisi tertentu sampai tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan kewajiban agamanya.

Kualitas Kerja
Kualitas dan mutu suatu kerja amat dipentingkan dalam Islam. Allah Ta’ala telah menyuruh setiap muslim untuk memperhatikan keindahan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat gunung – gunung, yang engkau kira tetap ditempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sesungguhnya Ia Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (An-Naml : 88).
“Sibghah (celupan) Allah, siapa yang lebih baik sibghahnya dari pada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.“ (Al-Baqarah : 138).
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya.“ (At-Tin : 4).
“Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.“ (Al-Mu’minun : 14).
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis – lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?“ (Al-Mulk : 3).
“Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat pengembalaan). Dan ia mengangkut beban – bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.“(An-Nahl: 6-8)
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikitpun?“ (Qaf:6)
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serup. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang beriman.“ (Al-An’am:99)
Hal ini ditujukan agar muslim dapat memetik pelajaran bahwa setiap perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan hendaknya selalu memenuhi nilai-nilai standart kualitas tinggi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai dari kamu orang yang apabila ia mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh (sempurna).”
Untuk mewujudkan kesempurnaan dalam suatu pekerjaan, seorang muslim dituntut untuk mendalami seluk beluk bidang yang ditekuninya, berpola pikir kreatif serta gigih sehingga mampu berkarya dan produktif. Allah Ta’ala telah meletakkan hukum-hukum dan aturan-aturan bagi alam ini, yang merupakan pedukung utama kesuksesan dan kemajuan orang-orang yang kreatif dan gigih. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Az-Zikr (lauf mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya’:105).
Orang-orang shalih yang dimaksud adalah para pekerja produktif yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam berbagai pekerjaan, penelitian, karya cipta dan kemajuan mereka.

Keikhlasan dalam Bekerja.
Islam menuntut keikhlasan dalam bekerja sebab ia merupakan bagian dari ’ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Bukan banyak atau sedikit hasil yang diperoleh dari suatu kerja yang menjadi ukuran nilai di sisi Allah Ta’ala, tapi justru kerja keras dan keikhlasan itu sendiri yang akan diganjar oleh Allah Ta’ala dengan pahala. Dari itu Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila datang hari kiamat, dan [kebetulan] di tanganmu ada tunas kurma [yang hendak kau tanam], maka jangan sampai kagalauan hari kiamat menghentikanmu untuk menanamkan kurma tersebut.”
Demikian penting kerja sehingga dalam kondisi di mana kepanikan lumrah terjadi, keputusasaan wajar timbul dalam benak manusia, namun Rasulullah saw. melarang muslim untuk berhenti bekerja. Tidak ada alasan dengan demikian untuk menghentikan kerja. Terkadang berbagai pintu usaha terlihat seperti tertutup. Allah Ta’ala telah memberikan kepada manusia akal untuk berpikir serta berbagai karunia lainnya agar manusia dapat membenah jalan hidupnya. Perasaan diri lemah dan putus asa justru menjerumuskan manusia kepada kecurigaan bahwa Allah tidak menyayangi dirinya. Dan ini adalah suatu hal yang dilarang dalam Islam. Hasil suatu kerja, Allah yang menentukan, tapi manusia diwajibkan untuk berikhtiar dengan segenap kemampuannya sebagai suatu wujud ‘ubudiyyah kepadanya. Bahkan ‘ubudiyyah yang sederajat dengan berjihad di jalan Allah.
Pernah suatu kali Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabat beliau. Lalu, lewat seorang pemuda di depan mereka. Seorang pemuda yang gagah dan penuh energik. Pagi sekali ia pergi untuk bekerja mencari rezeki. Para sahabat saling komentar,“Sayang sekali pemuda itu! Andaikan tenaga muda dan kegagahannya itu dipergunakan fi sabilillah (bejihad di jalan Allah)!! Namun Rasulullah saw. ketika itu menegur mereka,“Jangan kalian berkata demikian! Sesungguhnya apabila ia berusaha mencari rezeki untuk dirinya agar dia tidak perlu meminta-minta dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain, maka dia itu sedang fi sabilillah. Dan apabila ia berusaha mencari rezeki untuk menafkahkan kedua orang tuanya atau anak-anaknya yang lemah (karena masih kecil atau sebab lainnya) supaya mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak perlu bergantung pada orang lain, maka dia sedang fi sabilillah. [Tapi] apabila pergi berusaha karena untuk berbangga-bangga dan bermegah-megahan, maka ia sedang di jalan syaitan.“ (Hadits riwayat At-Thabrani).
Nabi saw. menyetarakan perbuatan orang yang berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan jihad fi sabilillah yang merupakan salah satu ’ubudiyyah tertinggi di dalam Islam. Apabila berusaha merupakan salah satu praktek ’ubudiyyah, maka keikhlasan niat untuk mencapai ridha Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling pokok atau rukun agar ’ubudiyyah tersebut diterima oleh Allah.
Dengan keikhlasan niat yang demikian, seorang muslim akan terus menjaga gerak geriknya dalam berusaha agar ia tidak sampai melakukan sesuatu di luar garis batas syari’at Allah. Rasulullah saw. telah bersabda,“Tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan mendekatkan diri kalian kepada syurga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan aku telah menyuruh kalian untuk mengerjakannya. Dan tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan menjauhkan diri kalian dari syurga dan mendekatkan kalian kepada neraka melainkan aku telah melarang kalian mengerjakannya. Sesungguhnya Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa seseorang tidak akan mati sampai dengan ia memperoleh rezekinya sekalipun tidak langsung datang. Maka bertaqwalah kepada Allah dan baguskan diri kalian pada saat berusaha mencari rezeki! (Hadits riwayat Ahmad)
Membaguskan diri ketika mencari rezeki, yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam hadits ini adalah dengan tetap memiliki harga diri, tidak bersikap munafik dan menjilat; dengan penuh ketenangan batin dalam iman kepada Allah Ta’ala; serta melalui jalan-jalan yang dianjurkan oleh syari’at sehingga terwujud sikap membaguskan diri dengan perilaku-perilaku yang mulia.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan satu sabda Rasulullah saw.,”Makanan yang paling halal dimakan oleh seorang hamba adalah hasil jerih payah tangannya apabila dia ikhlas.” (Hadits riwayat Ahmad). Yakni ikhlas dalam pekerjaan, profesi dan pelaksanaan tugasnya, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan selalu memantau keridhaan Allah Ta’ala dalam dia berusaha baik itu menyangkut produk yang dipersembahkan bagi konsumen, pelayanan yang disuguhkan maupun lainnya.
Pekerjaan atau perbuatan bermanfaat (amal shalih) yang dilakukan atas dasar iman kepada Allah Ta’ala dan dengan hati ikhlas mengharap keridhaan-Nya akan menjamin taraf kehidupan yang baik di dunia serta pahala di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka ia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (Al-Kahf:88)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriaman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Al-Qur’an menceritakan tentang pembangunan tembok penghalang yang dilakukan oleh Dzul Qarnain untuk keamanan orang-orang yang lemah dari sekelompok orang yang suka memamerkan kekuatan di depan korban-korban mereka. Suatu pembangunan yang dilakukan bukan demi tujuan-tujuan materialistis, politis, atau duniawi lainnya, tapi hanya demi kepentingan rakyat kecil dan lemah. Ketika rakyat lemah ini menawarkan upah kepadanya, Dzul Qarnain menjawab: “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku dapat membuat dinding penghalang antara kamu dan mereka.” (Al-Kahf:95). Dengan kata lain: Tidak penting bagiku upah dari kalian. Allah telah menganugerahkan kepadaku kekuatan memimpin yang wajib aku syukuri dan kumanfaatkan untuk meraih ridha-Nya. Yang aku harap dari kalian hanya kerja sama dengan mengerahkan segenap tenaga agar apa yang kita inginkan tercapai. Kualitas kerja tim Dzul Qarnain tergambar dari sifat tembok yang dibangun mereka: “Maka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.” (Al-Kahf:97). Sesudah Dzul Qarnain merampungkan tugas tersebut, ia sadar bahwa segenap tenaga dan kekuataan dalam kerja tersebut adalah berasal dari Allah Ta’ala, dan ia menyampaikan kepada kaum tesebut bahwa tembok ini adalah rahmat dari-Nya dan tidak akan bertahan untuk selamanya; Dzul Qarnain seperti ingin mengatakan bahwa sekalipun tembok ini demikian kokoh, tapi ia tidak akan dapat menghentikan kekuasaan Allah Ta’ala. “Dia (Dzul Qarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.” (Al-Kahf:98).
Ucapan Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi besar, mengenai keutamaan bekerja dan berusaha, patut untuk direnungi. Ketika orang-orang menganggap rendah Ibrahim bin Adham gara-gara ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar untuk menghidupi dirinya, Ibrahim bin Adham mengatakan, “Sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu riwayat hadits bahwa barangsiapa yang bersedia berada pada status rendah demi mencari rezeki yang halal, maka wajib baginya syurga.”
Abu Sulaiman Ad-Darani yang juga tokoh sufi besar, “Ibadah menuruh hemat kami bukan dengan engkau merapatkan kaki di dalam barisan shalat sedangkan orang lain mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan kamu. Mulai dengan dua potong rotimu, cari keduanya, kemudian baru engkau beribadat!”
Apabila kaum muslimin tidak mau merendahkan diri mereka dengan kemuliaan bekerja dan berusaha; dengan peras keringat serta banting tulang; dan dengan mengurus urusan kebutuhan pokoknya lebih dahulu, maka mereka tidak berharga sekalipun surban dan jubah yang dipakainya. Karena bagaimana pantas seorang yang mampu bekerja memperoleh kehormatan jika selalu menengadahkan tangan dan menjadi beban orang lain. Islam tidak menyuruh berpangku tangan dan bermalasan-malasan, dan karena itu Islam tidak memuliakan orang yang berperilaku demikian.
Dari itu patut bagi setiap muslim di samping memakmurkan mesjid, ia juga memakmurkan berbagai lapangan kerja. Jika kondisi muslimin lemah di bagian dunia, maka tentu musibah dan berbagai petaka pun akan melanda mereka di bagian agama dan akhirat. Perkembangan yang disaksikan selama ini dalam wujud rongrongan budaya yang masuk deras ke daerah-daerah kaum muslimin yang papa bersama bantuan-bantuan materil yang dibawa oleh pihak-pihak yang tidak terikat tali persaudaraan aqidah dengan kaum muslimin, hendaknya menjadi dentuman keras yang menjagakan insan muslim sedaerah untuk cepat bangkit berusaha dan bekerja dengan giat di berbagai lapangan sesuai keahlian masing-masing bagaimanapun rendah dan kecilnya kerja tersebut. Satu hal barangkali ada baiknya diingat sebelum akhir bahwa hari ini bukan hari raya bagi orang yang dititipkan harta berlimpah oleh Allah Ta’ala, dan bukan hari duka bagi mereka yang papa, tapi adalah hari kerja. Hartawan dengan kekayaan dan dermanya berusaha menciptakan lapangan kerja; kaum fakir dengan tenaga dan segenap kemampuannya bekerja keras. Wallahul Musta’an.