Ilustrasi "Sekolah, Bedil, atau Nasi?" (GATRA/Enggar Yuwono)Aksi demo kini bisa menjadi milik siapa saja. Belakangan, kita sering melihat guru-guru berdemo, hal yang dulu hampir tak pernah kita bayangkan. Banyak di antara mereka getol mengusung isu kenaikan pos biaya pendidikan agar mencapai 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara. Sebagian lain, utamanya para guru bantu, menuntut diangkat jadi pegawai negeri sipil. Toh, kedua kelompok itu ujung-ujungnya meminta perbaikan nasib, perbaikan kesejahteraan, alias butuh nasi.
Lantas, apa bedanya unjuk rasa guru itu, yang kadang diwarnai aksi dorong-mendorong juga dengan aparat keamanan, dengan unjuk rasa eks karyawan PT Dirgantara Indonesia atau para pedagang kaki lima, yang membandel ketika digusur petugas satpol pamong praja? Bahkan ibu-ibu pedagang kali lima yang nekat membuka baju sambil berteriak-teriak histeris menolak penggusuran. Mereka yang disebut terakhir ini juga sama-sama mencari sesuap nasi.
Memang tidak ada bedanya. Seluruh bangsa ini, khususnya yang berada di lapisan bawah, ya, memang butuh nasi. Psikolog Abraham Maslow bilang, kalau orang masih lapar, harus dibikin kenyang dulu. Setelah itu, baru mereka bisa dituntut untuk meningkatkan harga diri atau ditantang mencapai aktualisasi diri (termasuk bersekolah untuk jadi orang pintar). Pantaslah orang Singapura dan Malaysia tidak banyak cincong, tetapi prestasinya meningkat terus. Pasalnya, pemerintah mereka sangat memperhatikan perut rakyat, walaupun banyak yang bilang bahwa di dua negara itu tak ada demokrasi.
Di sisi lain, pemerintah kita, termasuk DPR-nya, juga partai politik, para elite politik, bahkan para pakarnya, hampir tak ada yang memikirkan tentang nasi buat perut rakyat. Mereka lebih sibuk menggeluti isu-isu mentereng, tapi tak langsung terkait dengan perut rakyat. Ketika saya menjadi anggota Tim Seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya, setiap hari tim itu digempur dengan berbagai isu miring oleh media massa. Seakan-akan Tim Seleksi (Timsel) KPU ini sudah curang dari awal, termasuk oknum Sarlito yang katanya sudah makan duit negara sebanyak Rp 1 M. Nasib yang sama dialami Timsel Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada saat yang sama, acara pemilihan kepala daerah hampir di setiap tempat selalu diakhiri dengan pertengkaran, bahkan kerusuhan, karena tidak ada calon yang mau terima kalah. Di sektor parpol setali tiga uang, tak ada calon ketua parpol yang mau kalah. Akibatnya, masing-masing calon bikin partai-partai sempalan. Maka, makin kusutlah dunia perpolitikan kita.
Anehnya, keserbakusutan itu semuanya berbungkus jargon-jargon ideal yang sangat luhur (jauh lebih luhur dari nilai-nilai 1945). Yang sering kita dengar, misalnya, isu pemerataan pendidikan, hak asasi manusia, kesetaraan jender, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Namun tak ada satu pun yang bicara tentang nasi.
Padahal, disadari atau tidak, lahan-lahan produktif untuk pangan semakin lama semakin sempit karena pemekaran kota dan industri. Produksi bahan pangan pun makin merosot karena banyak panen gagal sehubungan dengan pemanasan global. Padahal, hasil tanaman dari jenis apa pun sekarang sedang dialihkan kegunaannya untuk biogas. Jadi, ada perebutan produksi tanaman antara sektor biogas dan sektor pangan.
Karena itu, saya kira sudah saatnya para politisi mulai fokus pada politik nasi. Pertanyaan utamanya, bagaimana membuat seluruh bangsa ini bisa makan kenyang. Orang yang kenyang akan mulai berpikir bagaimana caranya untuk bisa berpakaian pantas dan punya hunian yang layak. Setelah itu, otomatis soal pendidikan dan kesehatan akan diupayakannya, dan akhirnya orang-orang yang kenyang ini akan mampu membuat bedil, bahkan kapal terbang dan kapal perang sendiri, Tidak usahlah barter nasi (beras) kita dengan bedil (pesawat tempur Sukhoi) bangsa lain.
Sarlito Wirawan Sarwono
Psikolog, pemain musik
[Kolom, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 4 Oktober 2007]
Saturday, October 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment