Suplemen ini dipersembahkan the WAHID Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakhir di Majalah TEMPO.
Kritik dan saran kirim ke info@wahidinstitute.org - www.wahidinstitute.org
Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007
Sujono Samba (46) tersenyum ketika seorang murid
menyodorinya selembar surat dari Dinas Pendidikan
Nasional (Diknas) Kota Salatiga, Jawa Tengah. “Dilarang
menggunakan istilah-istilah yang ada di perguruan tinggi,”
bunyi salah satu butir surat itu.
Pengajar Sekolah Menengah Pertama Qoryah Thoyyibah
(SMP QT) ini langsung teringat beberapa istilah yang kerap
digunakan murid-muridnya seperti riset, disertasi, report,
dan lainnya. Perkara itu rupanya dianggap para pejabat dinas
pendidikan setempat menyalahi aturan dan harus diberi
peringatan.
Tapi Sujono beserta para pendamping kelas dan seluruh
siswa SMP di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir, sebelah
timur Kota Salatiga, ini tak terusik dengan surat teguran
tersebut. Aktivitas belajar tetap berjalan seperti biasa. “Kalau
keberatan istilahnya dipakai anak SMP, mestinya perguruan
tinggi cari istilah lain,” gurau Sujono yang juga menulis buku
Lebih Baik Tidak Sekolah.
Menurut Mudjab, pendamping kelas lainnya di SMP QT,
istilah-istilah tersebut adalah bentuk ekspresi dari misi pembebasan
dan kemandirian sekolah yang berdiri sejak Juli 2003
itu. Pembebasan berarti keluar dari belenggu aturan formal
yang membuat murid tidak kritis dan tidak kreatif. Sedang
kemandirian berarti belajar tanpa bergantung apapun dan
siapapun.
“Selama ini lembaga pendidikan formal membelenggu anak
dengan sederet aturan yang tidak jelas kepentingannya buat si
anak. Seperti baju seragam, sepatu seragam dan masuk harus
jam 7 pagi,” tambah Mudjab yang juga salah satu penggagas
berdirinya sekolah ini.
Pendapat Mudjab diamini Ketua Komnas Perlindungan
Anak Seto Mulyadi. Kak Seto, panggilan akrab pria berkacamata
ini, mengakui sistem pendidikan di Indonesia belum
membebaskan. “Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan
seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat
kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses,”
katanya (baca: Karena Sekolah Kita Laksana Penjara).
Untuk itulah, para pengelola SMP QT membebaskan para
peserta didiknya belajar menurut keinginan. “Sumber pembelajaran
telah tersedia tanpa batas. Bahkan pada persoalan
hidup yang muncul setiap hari,” kata Kepala Sekolah SMP
QT Bahruddin.
Semua murid sekolah yang dilengkapi fasilitas internet 24
jam ini tidak dikutip uang pangkal, uang seragam, uang buku
dan uang gedung. Karena untuk menyiasati kekurangan ruang
belajar, bilik-bilik milik rumah di sekitar kediaman Bahruddin
disulap menjadi kelas yang dipakai bergiliran. Sekolah ini bagai
terinspirasi sistem pesantren klasik yang tidak bergantung pada
tempat dan aturan formal.
Biaya operasional sekolah yang semula hanya menempati
teras dan garasi sang kepala sekolah, ini diambil dari APBD
yang kecil untuk pendidikan SMP terbuka dan kocek wali
murid. “Setiap anak yang mau masuk, wali murid dan pengelola
ketemu untuk menentukan besaran kontribusi yang
disanggupi. Tidak harus sama satu anak dengan yang lainnya,”
jelas Mudjab.
Kebersahajaan itu dirancang sebagai perlawanan terhadap
komersialisasi lembaga pendidikan formal. “Kalau orang berduit
yang dicari adalah kualitas, persoalan biaya tidak masalah.
Tapi kalau murah dan berkualitas kan alternatif bagi semua,”
jelas Bahruddin.
Pada tahun pertama berdiri, sekolah ini diikuti 12 anak. Kini
memasuki tahun keempat, SMP QT telah memiliki delapan
pendamping (guru) dan 99 siswa dari kelas I sampai kelas IV.
Sebagian besar, muridnya anak buruh tani dan pedagang pasar
dengan penghasilan Rp 15 sampai 20 ribu sehari.
“Bisa dibayangkan jika mereka harus membayar uang pangkal
hingga Rp 700 ribu, untuk SPP perbulan Rp 35 sampai Rp
40 ribu, belum lagi uang buku, uang saku dan macam-macam,
tentu bagi mereka sekolah adalah barang yang sangat mahal,”
urai Mudjab.
Kini peminat sekolah ini membludak, tidak hanya dari
Salatiga tetapi juga daerah lain hingga Jakarta. Namun, kata
Bahruddin, tidak ada pembedaan terhadap murid. “Kaya
Pendidikan Alternatif
yang Membebaskan
Jaringan SMP Qoryah Thoyyibah menyediakan pendidikan
murah, membebaskan dan kaya prestasi.
Hakekat pendidikan pesantren ada di sini.
Suasana belajar dalam kelas /dok. QT
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman
Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa | Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi | Desain: Widhi Cahya
Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007
miskin akan diperlakukan sama di sini,” ujar Bahruddin.
Sekolah yang terdaftar di Diknas Kota Salatiga sebagai pendidikan
luar sekolah (PLS), ini juga membebaskan muridnya
untuk mengikuti atau tidak ujian akhir nasional (UAN). Tapi
prestasi kerap diraih sekolah yang lahir dari Serikat Paguyuban
Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). Murid kelas 3 SMP QT,
telah melahirkan karya ilmiah yang mereka sebut disertasi.
“Disertasi itu sebagai tugas akhir, karena dulu kita sepakat
tidak ikut UAN,” kenang Mariatul Ulfah (15), murid kelas IV
SMP QT atau mereka kerap menyebut kelas 1 SMU singkatan
dari Sekolah Menengah Universal.
Tengoklah disertasi Amri (15) dan Zulfi (15) yang mencoba
membuat briket dari sampah dan bambu kering. Hilmy (15)
meneliti bio-urine sebagai pengganti pupuk urea. Fina (15), Izza
(14) dan Kana (15) melahirkan disertasi berjudul Lebih Asyik
Tanpa UAN. Untuk membuat karya itu, Fina rela mengikuti
UAN kelas 3 di SMP 1 Salatiga. Hasilnya, dia meraih peringkat
kedua dari seluruh peserta UAN di sekolah itu. Disertasi itu
pun dijadikan buku dan menerima Indonesian Creative Award
2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto
Mulyadi.
Tak sampai di situ, sejumlah novel pop dan kumpulan puisi
yang diproduksi murid sekolah ini sudah diterbitkan Penerbit
Matapena, Yogyakarta. Menyusul kemudian kumpulan puisi,
katalog lukisan, serta presentasi tertulis dan vcd berbagai mata
pelajaran. Kini murid-murid sekolah itu sedang mempersiapkan
sebuah album musik dan film hasil ciptaan mereka.
Atas berbagai prestasi itu, Universitas Sanata Dharma
(USD) Yogyakarta mengganjar SMP QT dengan Sanata
Dharma Award 2005. Ini adalah kali pertama USD memberikannya
kepada pihak luar. “Sekolah ini mencoba menawarkan
pendidikan bermutu dan murah. Bermutu bukan sekedar peringkat
tinggi, tapi yang lebih penting mereka memberdayakan
peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan sekitar,”
kata koordinator tim award USD Budiawan.
Budiawan melihat, metode pembelajaran SMP QT terfokus
kepada anak didik, bukan guru. Dalam pendekatan seperti ini,
anak-anak diberi kebebasan untuk belajar darimana saja, apa
saja, dan tidak harus di kelas. Semuanya diserahkan kepada
anak didik.
Seperti saat berkunjung ke SMP QT, the WAHID Institute
mendapati sebagian besar tempat belajar kosong pada jam
pelajaran. Ternyata murid-muridnya sedang asyik belajar di
sawah, ladang atau sungai.
Di dalam maupun di luar kelas, guru yang biasa dipanggil
pendamping atau fasilitator dilarang mengarahkan proses
pembelajaran. Pendamping hanya boleh mendengar dan menjaga
agar kegiatan kelas tetap kondusif. “Pendamping hanya
berfungsi sebagai teman belajar yang juga harus belajar. Di
sini tidak ada istilah guru-murid, yang ada adalah sekumpulan
orang-orang yang ingin belajar,” kata Mudjab.
Justru karena fungsi guru yang setara, anak-anak SMP QT
terlatih membuat perencanaan kelas, menentukan materi,
menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan hingga evaluasi belajar.
“Semuanya dilakukan sendiri. Kelas I peran pendamping 50
persen, kelas II 25 persen, kelas III dan IV sudah nggak ada
campur tangan pendamping, mandiri total,” jelas Ahmad
pendamping kelas IV.
Makanya tidak heran, kalau anak-anak kelas IV --yang
menamai kelasnya dengan Creative Kids-- merancang sendiri
metode pembelajaran kelasnya setiap hari. Waktu sekolah dari
jam 06.00 sampai jam 13.30, mereka bagi menjadi lima fase
pembelajaran. Fase I (6.00-07.00): mendampingi kelas I dalam
English Morning. Fase II (07.00-09.30): Knowledge yang
berisi penggalian pengetahuan umum yang diambil dari standar
kompetensi kurikulum nasional. Fase III (10.00-12.00): Forum,
waktu berkumpul anak-anak yang memiliki minat sama. Fase
IV (12.00-13.30): Private. Pada waktu ini biasanya para murid
membuat kesepakatan.
“Setiap dzuhur shalat berjamaah bersama dan terkadang
ashar-nya juga. Mereka juga mencari guru agama sendiri untuk
belajar agama. Kalau malam sebagian mereka belajar agama di
pesantren,” ujar Ahmad. Dan terakhir fase V (13.30-15.00):
Refleksi Bersama yang berisi evaluasi informal.
Memang, belajar dan riset dijalankan menurut rencana masing-
masing murid atau kelompok. Keuangan juga diatur mereka
sendiri. “Singkatnya dari A sampai Z diatur anak-anak sendiri,”
papar Bahruddin.
Selain mengundang kekaguman, gaya belajar a la Kalibening
ini bagai virus yang menulari
daerah sekitarnya. Dalam kurun
waktu empat tahun, telah berdiri
10 sekolah sejenis. “Tidak menutup
kemungkinan akan bertambah
terus,” kata Bahruddin.
Di Kabupaten Boyolali didirikan
SMP Terbuka Otek Makmur
di Dusun Glinggang, Desa Kendel,
Kecamatan Kemusu dan
SMP Alternatif Setyo Tunggal
di Dusun Tompak, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo. Di
Magelang ada SMP Terbuka Mandiri di Dusun Belgi, Desa
Bandongan, Kecamatan Bandongan. Sedang di Kota Salatiga
yaitu SMP Terbuka Bumi Madania di Dusun Tingkir, Desa
Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir.
Di Kabupaten Semarang berdiri tiga sekolah, yaitu Kejar
Paket B SMP Alternatif Al Barokah di Dusun Ketapang, Desa
Ketapang, Kecamatan Susukan; SMP Candi Laras Merbabu
di Dusun Nglelo, Desa Batur, Kecamatan Getasan dan SMP
QT Dusun Plantungan Desa Krandon Lor Kecamatan Suruh
Kabupaten Semarang.
Sekolah-sekolah alternatif di atas didirikan oleh cabang
Serikat Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). “Tapi pengelolaan
sekolah diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat,”
jelas Bahruddin yang bersama KH. Mahfudz Ridwan merintis
berdirinya SPPQT. Kini organisasi petani itu telah memiliki 80
cabang di Kabupaten Grobogan, Sragen, Magelang, Semarang,
Salatiga, Surakarta, Boyolali (baca: Pionir dari Kalibening).
Selain aktivis SPPQT, murid SMP QT pun tergugah untuk
membangun sekolah sejenis di daerah asalnya. Na’im, murid
kelas IV, anak seorang penilik sekolah tingkat Provinsi Jateng
asal Cilacap, misalnya, sudah mulai merintis sekolah sejenis di
Membuat media tanam dari sekam / dok. QT
Suplemen ini dipersembahkan the WAHID Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakhir di Majalah TEMPO.
Kritik dan saran kirim ke info@wahidinstitute.org - www.wahidinstitute.org
Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007
daerahnya. Sehingga ia harus bolak-balik Cilacap-Salatiga.
Kesamaan nilai yang diyakini juga menjadi pencetus berdirinya
sekolah-sekolah itu. “Nilai-nilai universal yang menjadi
landasan bersama, misalnya, kemanusiaan, keadilan, pelestarian
lingkungan dan kesetaraan gender,” kata Mudjab yang juga
merangkap Kepala Sekolah di SMP QT Harapan Makmur,
Dusun Plantungan yang berdiri sejak 2005.
Menurut Mudjab, sekolah yang dipimpinnya itu, didirikan
karena alasan yang sama seperti di Kalibening. “Kemiskinan
penyebab banyaknya anak putus sekolah. Kita ingin anak-anak
petani bisa mendapat pendidikan bermutu tapi terjangkau.
Selain itu, bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang
memberdayakan, tidak malah menindas,” jelas alumnus Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Yogyakarta ini.
Sekolahnya, kata Mudjab, yang menempati ruangan bekas
TPA itu memiliki delapan siswa. Di kelas satu tiga siswa dan
sisanya di kelas II, dengan jumlah pengajar delapan orang. “Jadi
masing-masing anak didampingi satu orang teman atau guru,”
ujar Lina, salah seorang pengajar.
Murid SMP Alternatif al Barokah Ketapang lebih banyak.
Berdiri sejak 24 Mei 2005, sekolah ini sekarang menampung 36
siswa yang terbagi dalam dua kelas. Metode pembelajaran diserahkan
kepada anak-anak, dengan ditunjang fasilitas internet
dan laboratorium alam.
“Karena sistem yang dipakai adalah kejar paket B, anakanak
lebih menekankan diri pada life skill di bidang pertanian
dan perikanan,” papar Sumarno pengajar SMP Alternatif al
Barokah.
Lagi-lagi mahalnya biaya pendidikan menjadi alasan berdirinya
sekolah ini. “Alasan lainnya, membangkitkan kembali budaya
lokal yang makin dipinggirkan modernitas,” kata Sumarno.
Dengan berbekal kemauan dan
kerja keras, Sumarno bersama delapan
guru dan lima pengelola mampu
membuktikan, bahwa model pendidikan
ini justru diterima masyarakat
dengan antusias. “Salah satu murid
di sini pindahan dari SMP negeri.
Bahkan dia anak kepala sekolah itu,”
tutur Sumarno bangga.
Kebanggan juga tampak di wajah pengajar SMP Candi Laras
Merbabu Ely Nurhayati. Sekolah yang dirintis oleh SPPQT
sejak 2004 itu telah berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan
masyarakat. “Bukan hanya karena sekolah kami mampu menerapkan
metode belajar yang disukai murid, tapi juga komitmen
para pengajar yang tidak kenal lelah,” kata Ely.
Setiap kali mengajar, Ely dan beberapa pengajar harus
menempuh perjalanan 8 kilometer. “Kami sering menginap di
sekolah karena satu-satunya transport, yaitu ojek, sudah habis,”
tambah mahasiswa tingkat akhir STAIN Magelang ini.
Dua puluh satu anak tercatat sebagai siswa SMP yang berada
di lereng Gunung Merbabu ini. Dengan menempati salah satu
rumah penduduk, sekolah yang terbagi dalam tiga kelas ini
dilengkapi akses internet, bantuan seorang pengusaha internet
dari Salatiga.
Menurut Ely saat ini muridnya sedang giat membuat film dokumenter
tentang sekolah mereka. “Memang belum seberapa,”
kata Ely. “Tapi sebagai anak yang hidup di gunung, pencapaian
seperti ini luar biasa,” imbuhnya.
Keuletan dan kegigihan membuat rakyat miskin juga mampu
mengukir prestasi. Sepatutnya pemerintah tak hanya berpangku
tangan.[] Subhi Azhari, Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi
Sebuah sepeda sarat beban terparkir di depan sebuah warung
kelontong di Salatiga, Jawa Tengah. Si empunya sedang
menemui pemilik warung guna menitipkan barang dagangan,
sekaligus mengambil uang penjualan barang yang dititipkan hari
sebelumnya. Meski letih, pemuda 17 tahun itu tetap semangat
menjalankan rutinitas sehari-harinya itu.
Bahruddin, nama pemuda itu, adalah salah satu tulang punggung
di keluarganya. Di tengah beratnya beban ekonomi, ia harus
menyisihkan waktu sepulang sekolah untuk menjajakan makanan
dan minuman ke warung-warung.
“Saya hidup bersama ibu dan adik saya. Jadi saya harus belajar
bagaimana menjawab persoalan kehidupan ini,” kata Bahruddin,
mengenang masa mudanya. Kini Pak Din,
begitu ia disapa muridnya, sudah berusia 42
tahun. Dialah Kepala Sekolah SMP Qoryah
Thoyyibah Kalibening, Salatiga.
Ia merasa bahagia jika mengenang
perjuangan hidup di masa remajanya itu.
Diakuinya, masa sekolah membentuk
karakter dan kepeduliannya terhadap
masyarakat miskin di desanya. Pria berambut
sepunggung ini kerap trenyuh melihat anak-anak tetangganya
yang umumnya petani, harus putus sekolah karena biaya yang
semakin melangit. “Sementara negara semakin tidak peduli,” tegas
pengagum Ivan Illich, penulis buku Masyarakat Tanpa Sekolah.
Pak Din tak bisa tinggal diam. Terinspirasi karya Paulo Freire,
Pendidikan Kaum Tertindas, pada 2003 ia memelopori berdirinya
SMP alternatif Qoryah Thoyyibah di Kalibening, Kecamatan
Tingkir, Salatiga, tempat ia dilahirkan dan menetap. Pak Din
meyakinkan para tetangganya bahwa keterbatasan ekonomi
bukan alasan menghambat anak-anak mereka melanjutkan belajar.
“Sekolah boleh saja berhenti, tetapi belajar harus terus berjalan,”
kata Pak Din kala itu.
Bahruddin lahir pada 9 Februari 1965. Setamat dari Pendidikan
Guru Agama Negeri Salatiga pada 1984 dan nyantri selama dua
tahun di Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Tulung Agung, Jawa
Timur, ia melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri
Walisongo cabang Salatiga dan tamat tahun 1993.
Latar keluarga yang sangat ketat menerapkan tradisi agama
membuat anak keempat dari lima bersaudara ini ikut merasakan
pendidikan a la pesantren yang diasuh ayahnya. Meskipun hal itu
tidak lama dirasakannya, karena sejak kelas 1 SMP ayahandanya,
Pionir dari Kalibening
Bahruddin, Kepala Sekolah SMP Qoryah Thoyyibah Kalibening, Salatiga
Ahmad Bahruddin
Siswa memproduksi film dokumenter/ dok. QT
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman
Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa | Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi | Desain: Widhi Cahya
Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007
Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar
bagaikan dalam penjara. Sekolah alternatif bisa menjadi solusi. Demikian disampaikan Ketua
Komnas Perlindungan Anak DR. Seto Mulyadi kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.
Berikut wawancara lengkapnya.
“Karena Sekolah Kita Laksana Penjara”
Dr. Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA)
Apa yang dimaksud pendidikan yang membebaskan?
Membebaskan anak untuk berkreasi, mengekspresikan
perasaannya, dan sebagainya. Intinya tidak membebani anak
dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Ketika anak
mendengar “hari ini boleh pulang, kerena ibu guru mau rapat,”
mereka bilang “horeee, bebas!” Ini karena sekolah kita laksana
penjara. Seharusnya sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif
mereka.
Sistem pendidikan kita sudah membebaskan?
Belum! Kesadaran bahwa pendidikan itu untuk anak, belajar
itu hak bukan kewajiban, itu masih minim. Sekarang anak-anak
lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak
untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar
nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan
kreativitas dan kemandirian anak.
Pendidikan yang membebaskan itu seperti apa?
Seperti home schooling, sekolah alternatif, juga sekolah alam yang
memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing. Kalau
ada delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus
diikuti hanya tiga; yaitu standar isi kurikulum, standar kompetensi
lulusan dan standar evaluasi. Sedangkan standar proses, standar
guru, standar biaya, standar sarana prasarana, itu bebas.
Cara mengevaluasinya?
Sama saja, pakai pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi yang
diharuskan. Bahkan kami sedang mendesak mereka tidak saja
bisa ikut ujian kesetaraan, tapi juga ujian nasional sama seperti
sekolah formal. Di sini akan dilihat anak-anak yang sekolah
lewat jalur formal dan informal itu kualitasnya sama apa tidak.
Penelitian di AS menunjukkan, mereka yang home schooling,
secara akademik maupun psiko sosial-nya banyak yang lebih
tinggi dari anak-anak yang sekolah biasa.
Peran guru dalam model sekolah ini?
Sebagai fasilitator proses belajar. Guru juga bisa belajar bersamasama
dengan murid.
Tempat belajarnya?
Bisa di mana saja. Di tenda, rumah, atau pasar. Sesekali mereka
diajak keluar. Misalnya ke kantor polisi, pemadam kebakaran
atau apa saja.
Bagaimana pendekatan belajarnya?
Tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak
untuk kurikulum, tetapi kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum
didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda. Misalnya, untuk
anak-anak di Pasar Induk Kramat Jati. Setelah belajar hari Sabtu
dan kita yang datang ke sana, mereka lalu kembali menjual koran,
menyemir sepatu, mengupas kerang atau apapun. Kalau ditanya
kenapa tidak sekolah? Mereka jawab, “Sekolahnya terlalu ketat,
kami tidak bisa kerja”. Maka pilihannya pendidikan alternatif.
Kita jemput bola. Modelnya kelas berjalan; kita datengin dan
kita sediakan fasilitas. Mereka belajar sangat semangat dan
gembira.[]
DR. Seto Mulyadi
almarhum KH Abdul Halim pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien di Kalibening
wafat.
Suami Miskiyah, 35 tahun, ini selalu melihat
kehidupan yang dilaluinya sebagai proses belajar
terus-menerus. Semasa muda, Bahruddin aktif
dalam kegiatan organisasi naungan Nahdlatul
Ulama seperti Gerakan Pemuda Ansor dan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Aktivitas
semacam ini membentuk bakat kepemimpinan
Bahruddin.
Namun, kesibukannya di atas tidak membuat
ayah Rasikh Mustagits Hilmy (16), Teovany
Zahra (10), dan Yudatama (6), ini lupa nasib
petani di desanya. Bahruddin lebih senang
bergaul dengan para petani yang setiap hari
dihadapkan pada persoalan biaya produksi yang semakin
mahal sementara hasil pertanian semakin murah.
“Kita semua tahu bagaimana nasib petani yang kerja dari
pagi sampai sore, tetapi selalu tak dapat memenuhi kebutuhan
hidup sampai perlindungan negara terhadap petani yang nyaris
tidak ada sama sekali,” keluh Bahruddin.
Dia pun menemukan akar masalahnya, yaitu
kekuatan kaum petani. Karenanya, pada 1989 bersama
kelompok-kelompok petani di desanya dan atas
dukungan pengasuh Pesantren Edy Mancoro KH.
Mahfudz Ridwan, Bahruddin mendirikan Serikat
Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT)
sebagai alat membangun kekuatan bersama. “Dengan
persoalan-persoalan yang dihadapi petani, kita perlu
berorganisasi,” ujarnya.
Meskipun pada awalnya SPPQT hanya
diniatkan sebagai wadah para petani di
Kalibening, kenyataannya ratusan kelompok
petani di luar desa itu secara sukarela menjadi
bagian dari SPPQT di daerahnya.
Dalam kurun 17 tahun terakhir, SPPQT telah menjadi
salah satu jaringan petani terbesar di Jawa Tengah. Delapan
puluh cabang SPPQT telah berdiri di 11 kabupaten, yakni
Semarang, Magelang, Salatiga, Purwodadi, Sragen, Boyolali, Jepara,
Temanggung, Kendal, Batang dan Wonosobo. Dari sana jugalah
SMP Qoryah Thoyyibah digagas.[] Subhi Azhari
Sunday, October 7, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
di bandung ada ga yaa... cabangnya :)
Memang pendidikan formal ada kelemahannya. Tapi saya setuju bahwa penggunaan istilah disertasi untuk karya tulis agak berlebihan dan terkesan kurang menghargai pendidikan Strata 3 (S3). Mari saling hormat-menghormati antar pelaku pendidikan.
Post a Comment