Jumat, 27 Juli 2007,
Rasanya, kita sudah terlalu sering mengkaji banyak soal dari Timur Tengah, terutama dari negara-negara Arab. Aspek pemikiran sosial-politik-keagaman di sana, sampai soal pergerakannya, hampir khatam kita kaji.
Sebaliknya, Turki hampir tak terpikir dalam benak kita. Baru soal jilbab dan kebab, Turki dikenal di negeri ini. Untuk perkara jilbab, Turki dikecam. Untuk urusan kebab, Turki diidam.
Kini, bukan hanya soal jilbab dan kebab Turki yang perlu dikaji. Dinamika sosial-politik Turki belakangan ini sungguh menarik. Dalam lima tahun terakhir (2002-2007), sebuah partai Islam bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) dianggap sukses memimpin Turki.
Karena itu, dalam pemilu legislatif pekan lalu, PKP kembali dipercaya mengisi mayoritas kursi di parlemen Turki (47 persen atau 341 di antara 550 anggota perlemen).
Sukses PKP boleh jadi membesarkan hati partai-partai yang punya spirit agama Islam di tempat lain. Tapi, tak gampang menjadi partai Islam mirip PKP. Sejarah politik Turki mungkin telah membuat mereka matang untuk tidak lagi terjebak dalam kubangan sloganisme sebuah partai agama. Karena itu, setidaknya selama lima tahun terakhir, mereka tidak gegabah menyuguhkan agenda-agenda Islamisme kepada rakyat Turki.
PKP konsisten berada dalam bingkai sekularisme. Bahkan, para petingginya, seperti Recep Erdogan, seakan hendak menunjukkan bahwa ajaran Islam selaras dengan praktik sekularisme politik.
Beberapa hari setelah menang pemilu, dia menyatakan tetap berada dalam garis besar haluan Musthafa Kemal Attaturk, pendiri Turki modern. Partainya menolak formalisasi agama, berhubungan secara wajar dengan Israel, dan pandai bergaul di lingkungan internasional.
Karena itu, kolomnis harian As-Syarqul Awsat Abdurrahman Rasyid menilai, PKP tidaklah segaris dengan kaum revivalis Islam di tempat lain yang terjun ke dunia politik praktis. Kaum revivalis Islam di tempat lain tidak pantas menepuk dada atas suksesnya PKP. Sebab, baik dalam wacana maupun performa politik, PKP lebih liberal daripada partai-partai Islam di mana pun.
Sampai kini, PKP tak pernah menunjukkan gelagat sebagai partai Islam yang anti kebebasan. Mereka juga tidak terobsesi untuk menyeragamkan penampilan konstituen perempuannya dengan jilbab, tidak antibunga bank, bahkan tidak canggung bertandang ke Tel Aviv atau menjamu para petinggi Israel di Ankara. Jangankan dalam tindakan, dalam wacana pun, isu itu sangat dihindari kaum Islamis di tempat lain.
Kinerja pemerintahtan Turki pada masa PM Erdogan pun dianggap cukup membanggakan. Dalam sejarah Turki, PKP paling sukses mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Investasi luar dan dalam negeri meningkat, sektor pariwisata bergeliat. Keberhasilan itu sudah cukup untuk menutup kekecewaan rakyat Turki karena diombang-ambing Uni Eropa untuk masuk klub negara-negara maju tersebut.
Erdogan juga dinilai berhasil menjaga keseimbangan politik dalam negeri Turki, sehingga hampir semua segmen masyarakat Turki yakin akan kepemimpinan PKP. Hubungan internasional Turki dengan negara-negara lain membaik, bahkan isu separatisme Kurdi mereda.
Namun, di balik optimisme itu, masih tersisa kesangsian terhadap PKP. Terutama setelah mereka sukses menguasai mayoritas kursi di parlemen dan kemungkinan akan memuluskan langkah Abdullah Gul menjadi presiden Turki. Bukan hanya militer yang jadi pengawal setia sekularisme Turki yang harap-harap cemas. Dunia pun sedang menunggu: apakah PKP memang beda atau setali tiga uang dengan watak partai kaum Islamis lainnya.
Jika PKP tetap bermain cantik dalam politik, setia pada konstitusi Turki, fokus pada pembangunan sosial-ekonomi, dan tidak mengajukan slogan Islam adalah solusi, ia layak menjadi teladan bagi partai-partai Islam di tempat lain. Tapi, jika terlalu berambisi mengambil semua dan melakukan revolusi Islam terhadap tatanan sosial-politik Turki, itulah mungkin awal kekalahannya. [novriantoni]
Wednesday, October 17, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment