Kamis, 05 Juli 07 - oleh : ppmicairo
“ADA seratus lebih kepala keluarga (KK) di Nasr City dari mahasiswa", kata Arafi Mughni, Lc. Ketua Komisi Sosialisasi dan Pendataan Tim Pembentukan Sekolah Indonesia di Nasr City. Kasak-kusuk pembentukan sekolah ini, konon sudah terencana sejak dua tahun silam. Di mana kaum bapak mulai gelisah dengan pendidikan masa depan putra-putrinya, tapi kenapa usaha pendirian sekolah khususnya pendidikan anak usia dini (PAUD) ini kandas ditelan waktu? Lalu bagaimana peran pemerintah (baca: KBRI) dalam menyikapi masalah pendidikan anak bangsanya? Dan sejauh mana keterlibatan SIC (Sekolah Indonesia Cairo) yang terletak di bilangan Dokki dalam merangkul putra-putri pasangan dari mahasiswa tersebut? Simak laporan Suara PPMI dalam Jaring Aspirasi kali ini.
Falahuddin Qudsi./ SP
Lebih jauh tentang usaha pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di Nasr City Cairo Mesir sebagaimana disinyalir di atas. Disepakatilah pembentukan tim khusus pembentukan sekolah Nasr City di bawah koordinasi organisasi induk mahasiswa (PPMI), kemudian diterbitkan SK DPP-PPMI nomor 24-A12/DPP-PPMI/XII/VI/1428-2007 tentang pembentukan tim tersebut berlandaskan pertemuan semua elemen masyarakat Nasr City pada tanggal 3 Juni 2007 di kediaman Muhammad Sami, Lc. (direktur LKSM Ruhama) yang selanjutnya terpilih secara demokratis menjadi koordinator tim. Dari tim inilah kemudian Suara PPMI coba tilik informasi seputar perkembangan selanjutnya.
Gabungan beberapa elemen penting masyarakat Nasr City dalam tim tersebut kemudian mulai melancarkan aksi pendataan dan sosialisasi melalui angket dan media lainnya. Sedikitnya ada sebelas Elemen penting yang bergabung dalam tim ini (sumber: TOR Tim Pembentukan Sekolah Indonesia di Nasr City), sebut saja:
PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) Mesir periode 2006-2007;
WIHDAH PPMI masa bakti 2006-2008;
Pwk. PP. PERSIS Mesir masa jihad 2006-2008;
PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) Mesir masa bakti 2006-2008;
PCIA (Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiah) Mesir masa bakti 2006-2008;
PCI-NU (Pimpinan Cabang Istimewa NU) Mesir masa bakti 2006-2008;
PCI-Fatayat NU Mesir periode 2006-2007,
LKSM (Lembaga Kajian Sosial Masyarakat) Ruhama masa khidmah 2007-2009;
Lembaga Bimbingan Belajar Syatibi Center masa bakti 2007-2008;
FOSMA (Forum Silaturahmi Ummahat Hay Asyir periode 2006-2007;
FOSQ (Forum Silaturahmi Qotomiyah) periode 2006-2007.
Dari 100 angket yang disebarkan tim (baru terkumpul 20 responden) dan menjaring aspirasi via telepon kepada sebanyak 37 kepala keluarga (KK) di tiga tempat terpisah kawasan Nasr City, antara Hay Asyir (10th district), Saqor Quraisy dan Qotomeya, ternyata 94.3 % responden menyatakan dukungannya terhadap rencana pembentukan sekolah Indonesia Nasr City. Dengan perincian 38,8 % sangat setuju dan 55,5 % setuju, hanya 5.5 % saja yang menyatakan tidak setuju dengan alasan "kurang perlu". Alasan terakhir bisa ditoleril, karena dia juga mencantumkan alasan dalam lembaran angket, "Belum punya anak".
Dukungan senada juga diutarakan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Kairo di sela-sela audiensi anggota tim di kantornya, rabu 13 juni lalu. Tak berbeda dengan Atdikbud, ketua komite sekolah Indonesia Cairo Bapak Saiful Bahri Siregar mengatakan: "Setiap warga Negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam pendidikan, termasuk yang di luar negeri" tutur beliau santai saat diwawancarai Suara PPMI via telepon sama persis dengan statemen beliau kepada tim beberapa waktu yang lalu.
Lalu kenapa masyarakat Nasr City tidak melirik SIC untuk menyekolahkan anaknya —yang konon juga didirikan oleh mahasiswa pada tahun 1956— di kawasan Dokki? Dari data angket yang disebarkan, mayoritas jawaban responden terfokus kepada tiga hal: (1) biaya terlalu mahal; (2) tempat terlalu jauh; (3) materi keislaman, Al-Quran dan Bahasa Arabnya minim. Hal ini bisa dilihat dari isian angket dengan perincian: 26.4 % untuk alasan pertama, 29.4 % untuk alasan kedua, dan 17.6 % untuk alasan ketiga. Selebihnya abstain 11.7 % dan alasan lain 14.7%. Alasan lain yang dimaksud sangat variatif, di antaranya karena anaknya masih sangat kecil.
Sekian argumentasi kesulitan masyarakat Nasr City untuk bergabung dengan SIC di Dokki, memang cukup rasional. Jauhnya lokasi SIC dari kawasan Nasr City misalnya, sudah sangat beralasan untuk mendirikan sekolah khusus yang lebih dekat; apalagi objeknya adalah anak usia dini. Namun, di samping alasan itu, rupanya motivasi kurikulum yang relevan dengan anak mereka juga menjadi pertimbangan utama lainnya. Ternyata benar, saat ditanyakan tentang kurikulum yang dinginkan untuk anak-anak mereka, rata-rata responden menginginkan kurikulum gabungan dari tiga unsur, yaitu: (1) kurikulum Indonesia; (2) kurikulum Mesir; dan (3) kurikulum sendiri, mencapai 83.3 % dari responden.
Sedangkan untuk biaya sekolah yang terjangkau bagi masyarakat Nasr City yang notabene dari kalangan mahasiswa ini adalah antara 10 sampai 40 pound Mesir (61.1 %), di bawah 10 pound Mesir (16.6 %) dan antara 10 sampai 15 pound Mesir (22.2 %). Sesuai dengan isian angket yang diterima Suara PPMI.
Sementara pilihan lokasi yang banyak direquest masyarakat adalah kawasan Hay Asyir (10th district) atau tempat lain yang strategis dan dihuni oleh banyak masyarakat Indonesia. Permintaan ini mencapai 83.3 % dari jumlah responden, hanya 5.5 % saja yang abstain dan 11.1 % lainnya memilih tempat strategis lain, yang tentunya juga tidak akan keluar dari kawasan hay Asyir (10th district) untuk saat sekarang.[SP]
Saturday, October 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment