Wednesday, October 24, 2007

CATATAN KHUSUS KUNJUNGAN ABBAS

SUARA MERDEKA
Rabu, 24 Oktober 2007

Terjal, Perdamaian Palestina-Israel

KETIKA KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden RI, sejumlah media massa Israel menyambut gembira, dengan menyebutnya sebagai "Israels Asian Friend". Menarik dicermati sambutan media Israel, karena sebelumnya Gus Dur melakukan lawatan ke Jerusalem, Israel akhir Juni 1994. Salah satu yang istimewa adalah keterlibatannya dalam proses perdamaian antara dua bangsa di Timur Tengah yang telah lama bertikai Palestina-Israel.

Di antara mantan Presiden Uni Sovyet dan Afrika Selatan Mikail Gorbachev dan FW De Klerk, mantan PM Israel dan Inggris Ehud Barak dan John Major, Gus Dur satu-satunya tokoh Asia yang diajak berperan membahas peluang dan prospek pascadisepakatinya peta jalan damai yang akan berdampak bukan saja pada stabilitas kawasan Timur Tengah, tapi juga internasional.

Perhatian Gus Dur terhadap perdamaian di daerah krisis paling alot di dunia memang telah lama. Di saat bangsa ini berantipati terhadap Israel, Gus Dur tahun 1994 beranjangsana ke negara mayoritas berpenduduk Yahudi itu.

Dan berselang kemudian didaulat menjadi salah satu anggota pendiri lembaga swadaya masyarakat pimpinan mantan PM Israel, Simon Peres, The Peres Center for Peace. Mestinya ada kebanggaan jika diakui sebagai sahabat sebuah negara, namun bagi Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, hal itu dapat dianggap sebagai stigma. Stigma itulah yang kemudian digunakan sebagai salah satu senjata oleh lawan-lawan politik Gus Dur untuk melengserkan dari kursi kepresidenan. Itulah risiko.

Keberadaan Gus Dur sebagai salah satu tokoh Islam yang didengarkan lingkaran Yahudi ternyata bermanfaat bagi bangsa Palestina khususnya, dan Islam umumnya ditambah dampak positif bagi terciptanya perdamaian dunia.

Jalan Terjal

Peta perdamaian yang disusun secara internasional adalah untuk mengakhiri konflik di Timteng serta Israel-Palestina menuju pengakuan adanya negara Israel oleh dunia internasional (termasuk semua negara Arab) serta pembentukan negara Palestina yang merdeka penuh.

Rencana itu dirintis melalui konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Aqaba dan di KTT AS-Arab di Kota Sarm Al Sheikh, Mesir. Rencana itu menuntut Israel menghentikan pembangunan permukiman Yahudi dan membongkar pos-pos terdepan yang selama ini dibiarkan oleh pemerintah, meskipun secara resmi dianggap ilegal. Di sisi lain, Palestina harus menghentikan semua perlawanan bersenjata terhadap Israel.

Banyak konsep disusun lembaga-lembaga internasional, pakar politik tentang masalah Timur Tengah, para diplomat yang dikirim PBB dan yang dikirim oleh negara-negara cinta damai, tetapi belum diketemukan cara yang paling tepat untuk mengatasinya. Konflik Israel-Palestina selalu muncul ke permukaan.

Meskipun Israel sebagai bangsa yang berkuasa di wilayah Palestina itu, namun kerisauannya tidak lebih kendur bila dibanding dengan kerisauan rakyat Palestina yang dikuasainya. Penduduk kedua bangsa itu terus-menerus dicekam oleh keadaan perang tak berujung.

Sebelum Perang Dunia I, wilayah Palestina di bawah kekuasaan Ottoman (Osmaniah). Setelah itu wilayah ini jatuh ke tangan Sekutu, yang diperkuat dalam perjanjian Sykes-Picot (1916) tentang pembagian wilayah antara Prancis dan Inggris.

Ketika orang-orang Arab berpihak kepada Sekutu untuk melawan Turki, Inggris justru menjanjikan kepada pihak Arab suatu negara Arab bersatu atas jazirah Arab.

Tetapi pada saat yang sama di tahun 1917, Inggris menjanjikan suatu national home bagi orang-orang Yahudi yang terkenal dengan Pernyataan Balfour.

Pernyataan itu kemudian dimanfaatkan oleh gerakan Zionis Internasional yang terus mengadakan imigrasi orang-orang Yahudi dari seantero dunia.

Pihak Zionis dengan tokoh-tokoh seperti Chaim Weizmann, Ben Guiron dan lain-lain bekerja sama dengan kolonial Inggris di Palestina. Keadaan itu menimbulkan amarah orang-orang Arab, yang sejak 1920 terus melakukan aksi-aksi protes dan perang bersenjata melawan orang Inggris dan Zionis.

Perlawanan orang-orang Arab Palestina berada di bawah pimpinan Haji Amin El Hussainy yang terus dikejar-kejar oleh penguasa kolonial Inggris dan gerakan Zionis, dengan organisasi-organisasi semacam Irgun Zwai Liumi, Stern Gang dan lain-lain.

Dua tahun setelah Perang Dunia kedua berakhir, PBB mengeluarkan resolusi yang membagi Palestina ke dalam dua bagian. Satu bagian bagi kaum Zionis Yahudi (56%), dan lainnya (44%) untuk orang-orang Arab. Suara di PBB adalah 33 mendukung, 13 menentang dan 10 abstain.

Sejak saat itu gerakan Zionis memaksa orang-orang Arab keluar dari daerahnya serta wilayah tersebut dianeksasi.

Dalam perkembangannya, Mei 1948 orang-orang Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel. Secara kontan didukung dan diakui beberapa menit saja, setelah proklamasi negara baru itu, oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Prancis.

Bangsa Arab mencoba mengusir bangsa Israel dengan kekuatan senjata, sehingga berkobarlah perang Arab-Israel mulai tahun 1948 sampai tahun 1973. Perang-perang itu telah membawa kerugian besar di kedua pihak, khususnya bangsa Arab.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman dari perang terbuka itu, tampaknya pihak yang terlibat sadar masalah Timur Tengah tidak bisa dipecahkan dengan kekuatan senjata, tapi harus lewat perundingan.

Sayangnya negara-negara Arab yang kaya dan kuat, tetapi terkotak-kotak sehingga menggunakan cara dan jalan apapun akhirnya lemah juga. Kondisi itu memperjelas betapa lemahnya posisi negara-negara Arab dalam mendukung Palestina. (A Adib-77)

No comments: