Sunday, October 7, 2007

Pencerdasan Belum Jadi Prioritas

Selasa, 30 Desember 2003 Karangan Khas

Oleh: Mungin Eddy Wibowo

ADA keprihatinan yang perlu direspons serius di negeri ini berkenaan dengan pendidikan pada tahun 2003. Pendidikan belum dianggap sebagai faktor pokok penyebab keterpurukan bangsa ini. Buktinya, selama ini tudingan-tudingan sebagian besar pengamat, apalagi para politikus, hanya diarahkan pada aspek ekonomi dan politik. Pendidikan seolah-olah bukan bagian utama penyebab nyaris ambruknya negeri ini.

Realitas ini menunjukkan, bangsa ini belum bisa berpikir jauh ke depan. Artinya, kapasitas dan wawasan kita masih berkutat pada kondisi kekinian, sehingga solusi dan pemecahan problem juga melulu bersifat teknis-pragmatis, bukan strategis jangka panjang.

Memang solusi teknis-pragmatis sangat dibutuhkan, tetapi semestinya solusi itu tidak mengorbankan program-program strategis jangka panjang. Karena itu, diperlukan keberanian untuk menetapkan prioritas di bidang pendidikan, sehingga sektor-sektor lain mengalami penghematan demi peningkatan kualitas pendidikan.

Pelanggaran Etik

Di Jawa Tengah, sepanjang tahun 2003 masih sering terjadi pelanggaran nilai moral dan etik. Indikatornya perkelahian antarpelajar, aksi corat-coret, pengalahgunaan obat/ zat terlarang, hubungan seks bebas, keterlibatan dalam pembunuhan, mengompas, menjambret, manipulasi nilai, penyalahgunaan wewenang/kekuasaan, dan korupsi. Selain itu, perilaku tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, ketidakjujuran, krisis kewibawaan, kehidupan berpura-pura, penurunan etika kerja, meningkatnya egoisme, dan menurunnya tanggung jawab warga negara.

Kondisi itu sebagai wujud kekurangberhasilan pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Itu karena pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan aspek afektif terabaikan.

Meski demikian, pembangunan pendidikan di Jawa Tengah pada tahun 2003 sudah mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun secara garis besar, masih terdapat permasalahan yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, pemerataan, efisiensi, lemahnya manajemen, dan kemandirian pendidikan.

Hal itu dapat dilihat dari pencapaian indikator pembanguan pendidikan pada tingkat sekolah dasar. Angka partisipasi kasar (APK) 107,79%, angka transisi 82,37%, dan angka drop out 0,34%. Adapun di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, APK-nya 78,40%, angka transisi 36,65%, dan drop out 1,18%. Pada tingkat sekolah lanjutan atas, APK-nya 40,21% dan drop out 1,18% serta tingkat melanjutkan ke perguruan tinggi relatif rendah. Penyebabnya antara lain rendahnya kondisi sosial dan ekonomi keluarga dan keterbatasan daya tampung perguruan tinggi.

Di samping itu, masih relatif banyak penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tergolong buta aksara, yakni 792.418 orang. Adapun dari usia wajib belajar (7-15 tahun), yang tidak bersekolah 162.491 anak.

Pada sisi lain, perhatian dan keinginan masyarakat/ swasta (dunia usaha dan industri) terhadap penyelenggaraan pendidikan nonformal masih sangat rendah. Penyebabnya, keterbatasan fasilitas, sarana, dan prasarana serta belum adanya standar kompetensi tamatan pada tiap-tiap lembaga.

Kualitas dan relevansi pendidikan yang belum sesuai dengan harapan sangat berkaitan dengan input dan output proses pendidikan, tampak pada pencapaian rasio hasil ujian akhir dan penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang belum dipahami oleh semua guru. Selain itu, keterbatasan penyediaan prasarana/sarana pendidikan, rendahnya mutu, kesejahteraan dan kekurangan tenaga kependidikan yang profesional, serta kurang relevannya (missmatch) antara tamatan pendidikan, kualifikasi/standar kompetensi, dan kebutuhan dunia usaha/industri.

Kurangnya kualitas pendidikan juga bisa dilihat dari masih adanya guru di Jawa Tengah yang kualifikasi ijazahnya belum menggambarkan kewenangan mereka sebagai pendidik di jenjang tertentu. Dari guru SMU negeri dan swasta kurang lebih 27.000 orang, 35% berpendidikan bukan sarjana keguruan. Guru SMK negeri dan swasta kurang lebih 6.000 orang, 40% bukan sarjana pendidikan. Guru SLTP negeri dan swasta kurang lebih 62.500 orang, 50% berpendidikan D3 keguruan, sarjana muda pendidikan, dan sarjana pendidikan. Guru SD negeri dan swasta kurang lebih 163.750 orang, yang berpendidikan SLTP, SLTA non-keguruan, dan D1 keguruan kurang lebih 36%.

Manajemen dan kemandirian sekolah juga masih lemah karena belum optimalnya keterlibatan sekolah dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Akibatnya, pelaksanaan program manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah dirintis sejak 1999/2000 belum memberikan hasil optimal.

Selain itu, partisipasi masyarakat baik secara individual, kelompok, maupun melalui komite sekolah dan dewan pendidikan masih terbatas pada dukungan pendanaan, belum mengarah pada pembelajaran (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). MBS yang menawarkan keleluasan pengelolaan sekolah dan berpotensi besar untuk turut menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan secara profesional, belum terwujud.

Dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah memang telah dibentuk di setiap kabupaten/ kota dan sekolah di Jawa Tengah. Namun kinerja dua lembaga itu pun belum menunjukkan hasil sesuai dengan peran yang diemban.

Adapun penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana pendidikan masih jauh di bawah standar nasional. Tidak sedikit gedung sekolah yang roboh dan tak layak sebagai tempat pembelajaran. Semua itu belum tuntas teratasi. Penyediaan buku pelajaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak ditangani secara profesional, baik dari segi isi, kualitas, maupun kesesuaiannya dengan kurikulum berlaku sehingga banyak dipermasalahkan berbagai pihak.

Rencana tukar guling SMK 7 Kota Semarang yang lebih berorientasi pada kepentingan bisnis dan mengabaikan pengembangan pendidikan pada masa depan, tampak dilakukan tanpa perencanaan yang jelas dan matang oleh pemerintah daerah. Akibatnya, timbul pro-kontra yang hingga sekarang tak terselesaikan.

Anehnya, pihak yang seharusnya ikut memberikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran, yaitu Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan, dan DPRD, tidak berperan. Malahan ada kecenderungan mendukung rencana tersebut. Ini tentu menjadi pertanda awal merosotnya kewibawaan pendidikan yang dioblok-oblok pihak yang berkuasa.

Prioritas Utama

Sekalipun pembaruan sistem pendidikan telah dilakukan lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada 8 Juli 2003, belum semua pihak memahami isi undang-undang tersebut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat yang peduli pada pendidikan, sehingga visi, misi, strategi, dan tujuan pendidikan terwujud.

Prioritas pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah dan di Indonesia pada umumnya, semestinya adalah pengimplementasian kembali program-program pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Dengan begitu, diharapkan terwujud SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar nasional, regional, dan global.

Kebijakan pembangunan bidang pendidikan untuk tahun 2004 di provinsi ini hendaknya diarahkan pada beberapa hal. Pertama, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi menuju terciptanya manusia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti dan meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Kedua, peningkatan kemampuan akademik, profesional, dan vokasional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga kependidikan.

Ketiga, melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum. Wujudnya, diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagamaan peserta didik, penyusunan kurikulum yang mengacu pada standar nasional yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat. Selain itu, diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.

Keempat, memberdayakan lembaga pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan. Juga meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kelima, peningkatan akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan melalui peningkatan manajemen berbasis sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Keenam, mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai hak, dukungan, dan lindungan sesuai dengan potensinya.

Ketujuh, pemberdayaan lembaga pendidikan baik formal dan nonformal di dalam pembentukan dan pengembangan kualitas SDM sedini mungkin, termasuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan keimanan dan ketakwaan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

Kedelapan, memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah sebagai wujud peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Sasaran pendidikan harus tetap diarahkan pada meningkatnya kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, pemerataan pelayanan pendidikan, efisiensi pendidikan, dan manajemen serta kemandirian pendidikan. Untuk dapat mewujudkan hal itu, diperlukan strategi tertentu. Yaitu pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; dan peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, penyediaan sarana belajar yang mendidik; pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; pelaksanaan wajib belajar; pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan perdayaan peran masyarakat.

Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan; dan pemetaan pendidikan baik ditingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota dan sekolah. Dengan strategi tersebut, diharapkan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. (18- c)

-Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo MPd, Pembantu Rektor I Universitas Negeri Semarang dan Ketua Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin)

No comments: