Oleh: Prof A Qodri Azizy PhD
Saya punya pengalaman menarik. Ketika ikut antre di Bandara Changi Singapore yang juga banyak orang Indonesia, saya tidak melihat desak-desakan, rebutan, apalagi sodok-sodokan satu sama lain.
Tidak ada bedanya antara orang Indonesia dan orang bule. Pengalaman sama ketika saya ikut antre untuk mendapatkan visa di Kedubes Amerika Serikat (AS), 99 persen adalah orang Indonesia yang tertib dan teratur. Kawan saya termangu-mangu dan kagum: kok bisa ya, orang kita mendadak menjadi tertib dan teratur?
Perubahan Mendasar
Pengalaman sama terjadi ketika kita mengikuti dan menyaksikan praktik berpuasa. Kita mendadak berubah total: pola makan, gaya hidup, tindak tanduk sampai menahan makan dan minum selama lebih dari 13 jam. Pendeknya, telah terjadi perubahan mendasar dan total: perubahan mindset. Kok bisa ya? Ini adalah true story yang dialami banyak orang.
Salah satu contoh kunci adalah bahwa perubahan bisa dilakukan dengan tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkannya. Intinya adalah kemauan, komitmen, dan konsistensi. Titik. Perubahan tidak berkaitan secara langsung dengan takdir, tetapi berkaitan dengan kemauan dan keseriusan untuk berubah. Innallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim (sesungguh-nya Allah tidak akan mengubah nasib suatu masyarakat sampai mereka sendiri mempunyai kemauan untuk mengubah nasibnya—QS Al-Ra’d: 11).
Ada kemauan untuk berubah, komit, dan konsisten, jadilah perubahan seperti yang diinginkan dan dicita-citakan. Kalau ini diteoretisasi, ungkapan ”watuk (batuk) bisa diobati, tapi watak (sikap perilaku) tidak dapat diobati” akan terbantahkan dengan kenyataan perubahan dalam praktik puasa. Maka teori tentang change, termasuk change management, perlu mengadopsi realitas praktik berpuasa dalam bulan Ramadhan ini.
Introspeksi
Selama satu bulan sudah kita melakukan ibadah puasa. Kita perlu merekap dan merekam kembali pelajaran apa saja yang dapat kita rasakan dan terima selama bulan puasa. Ibadah puasa merupakan ibadah istimewa karena antara lain suatu ibadah yang dijalankan dalam keadaan tetap menjalani tugas dan kerja sehari-hari dengan segala godaan dan hambatan yang ada untuk puasa.
Ibarat penelitian, ini penelitian terlibat. Ibarat survei, ini survei yang sekaligus mempraktikkannya dalam pengalaman. Bukan atas dasar pengamatan, tetapi atas dasar semua hal yang dialami dengan semua pancaindera. Dalam praktik ibadah puasa seperti itu, kita dianjurkan untuk introspeksi. Bukan sekadar merenung, tetapi merenungkan apa yang telah dan sedang dilakukan.
Dan dalam waktu bersamaan merenungkan, memikirkan serta merencanakan apa yang seharusnya dilakukan setelah bulan puasa ini. Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dalam praktik puasa selama satu bulan itu, antara lain sebagai berikut. Komitmen perubahan. Orang yang berpuasa mampu mengubah diri dari kebiasaan sehari-hari. Biasanya makan dan minum dan lainnya lagi, tetapi selama puasa ia tidak melakukannya. Ini perubahan yang sangat mendasar, perubahan yang sangat bermakna dan sekaligus perubahan mindset.
Ternyata kita sanggup dan bisa. Oleh karena itu, ini harus bisa menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik ke depan. Perubahan ini berangkat dari sebuah komitmen yang diwujudkan dengan niat. Ketika seseorang sudah berniat untuk puasa, dengan sendirinya ia konsisten untuk mempraktikkan niat itu. Inti dalam praktik perubahan itu adalah komitmen diri.
Perubahan di sini adalah dalam pengertian positif. Change is growth; change is opportunity; change increases potential (perubahan adalah pertumbuhan; perubahan adalah kesempatan; perubahan meningkatkan potensi). Itu semua dapat kita dapatkan dari makna puasa dalam bulan Ramadhan ini. Kejujuran. Kejujuran yang telah kita praktikkan adalah sangat luar biasa. Bagaimana tidak?
Kita sangat mudah berbohong kepada orang lain, kepada keluarga kita dan kepada siapa saja, selain kepada Allah. Kita dengan mudah makan atau minum dalam bulan puasa. Kita dengan mudah mengelabui orang lain untuk dipersilakan makan atau minum. Namun kita konsisten jujur menjalankan puasa. Dalam dunia kenyataan, kejujuran adalah modal untuk bisa dipercaya oleh orang lain atau trust.
Kejujuran adalah modal yang sangat berharga bagi profesional dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Ketangguhan mempertahankan puasa sampai selesai maghrib. Ini adalah sebuah perjuangan. Dalam hari-hari tertentu terkadang terasa berat betul: lapar dan haus yang disebabkan kerja ekstrakeras. Namun, kita tangguh dan tabah untuk mempertahankan sampai puasa itu selesai. Ini seharusnya menjadi pelajaran dan inspirasi yang luar biasa untuk hidup dan kehidupan kita, termasuk dalam menjalankan karier kita.
Ketangguhan untuk sampai selesai adalah modal untuk keberhasilan kita dalam segala bidang. Bisa memahami rasa penderitaan orang lain. Ketika kita lapar, kita akan merasakan betul apa yang dirasakan oleh orang lapar. Demikian pula ketika kita merasakan dahaga dan kekurangan-kekurangan yang lain.
Ini harus memberi inspirasi untuk tidak menyianyiakan mereka yang memang berkekurangan, termasuk terhadap anak yatim. Araitallazhi yukadzdzibu biddin; fadzalikalladzi yadu’ul yatim; wala yahudhdhu ’ala tha’amil miskin (QS Al- Ma’un: 1-3). Introspeksi dan sekaligus tahu diri. Dengan berpuasa, kita akan semakin tahu terhadap diri kita sendiri.
Bahkan ada masa yang cukup untuk melakukan perenungan, berdzikir, dan instrospeksi. Wafi anfusikum afala tubshirun (dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak melihatnya dengan mendalam?—QS Al- Dzariyat: 21). Kita semakin merasakan betapa besar nikmat Tuhan yang telah kita peroleh.
Maka, puasa hendaknya menjadikan kita semakian bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Lain-syakartum la’azidannakum walain-kafartum inna ’adzabi lasyadid (sesunggunya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu. Dan jika kamu kufur [mengingkari nikmat-Ku], maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih—QS Ibrahim: 7). Pelajaran bersyukur akan membawa kepada rasa simpati dan empati terhadap orang lain.
Dalam waktu bersamaan, akan membawa ajaran sharing kenikmatan, ingin membantu orang lain. Nantinya, seharusnya, puasa mampu mendidik kita mendefinisikan kebahagiaan yang mencakup ketika sudah mampu ikut membantu dan membahagiakan orang lain. Kebahagiaan bukan ketika kita telah menikmati kesedihan dan kesengsaraan orang lain atau egoisme.
Dan begitu seterusnya. Memberi inspirasi optimisme dan kesuksesan. Ketika hati kita sudah terketuk oleh rasa yang kita alami, yang kemudian membalik diri untuk bisa membantu orang lain, ada inspirasi dan dorongan kuat yang membawa kita untuk kerja keras meraih kesuksesan. Ini semakin terdorong dengan kuatnya. Ini akan terdorong dengan dahsyatnya. Ini akan terdorong dengan misteriusnya.
Agar kita bisa semakin banyak membantu orang lain. Kita merasa sakit, jengkel, dan tersinggung kalau tidak bisa membantu orang lain. Kita merasa terbelenggu dan harus meronta-ronta ketika kita belum bisa banyak membantu orang lain. Innallah fi ’auni ’abdih ma kanal ’abdu fi ’auni akhih (sesungguhnya Allah berada pada posisi membantu hambanya, selagi hamba tadi membantu kawannya—Hadits).
Wata’awanu ’alal birri wattaqwa wala ta’awanu ’alal itsmi wal ’udwan (tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan— QS Al-Ma’idah: 2). Kiranya masih banyak lagi nilai dan pelajaran yang dapat kita gali dan peroleh dari praktik berpuasa pada bulan Ramadhan. (*)
Prof A Qodri Azizy PhD
Penulis buku Cara Kaya dan Menuai Surga
Wednesday, October 17, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment