Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara memerangi korupsi. Pernahkah terpikir bahwa pengamalan ibadah yang salah justru bisa menyuburkan korupsi?
Akar terdalam dari tindakan korupsi adalah korupsi terhadap peribadatan. Al-Quran mengisyaratkan hal ini sebagai pangkal kecelakaan. "Maka celakalah orang-orang yang salat; yang lalai dalam salatnya; yang hanya pamer saja; yang tidak memberikan pertolongan."
Lebih dari tujuh dekade yang lalu, Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari "tujuh dosa sosial". Satu di antaranya adalah "peribadatan tanpa pengorbanan". Dalam Hikayat Florentin, Machiavelli menandai "kota korup" dengan sejumlah ciri. Antara lain, pemahaman keagamaan penduduk "berdasarkan kemalasan, bukan kesalehan".
Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang menekankan aspek formal dan ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran. Memuja "insan pembual daripada insan pekerja", memperindah tempat ibadah daripada menolong yang papa. Modus keagamaan seperti ini, menurut dia, "Membuat orang tak lagi beramal saleh, yang mengantarkan penduduk menjadi mangsa empuk tirani politik dan modal."
Membicarakan hal ini penting di bulan Ramadan yang padat ibadah. Alangkah malangnya jika peringatan Rasulullah menimpa kita, "Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga."
Untuk tidak tergelincir dalam praktek korupsi terhadap ibadah, kita perlu menangkap pesan moral dari setiap peribadatan. Salah satu pesan moral puasa adalah menahan diri agar perut kita tidak menjadi kuburan bagi orang lain.
Pesan ini, pertama, dialamatkan kepada golongan pemimpin. Mengapa? Rasulullah mengingatkan, "Tidak akan tersucikan suatu umat selama si lemah tidak dapat menuntut dan memperoleh kembali haknya yang dirampas oleh orang yang kuat tanpa rasa takut."
Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan penghayatan rasa lapar, untuk membangkitkan rasa kasih sayang dan tanggung jawab bagi rakyatnya. Dalam hal ini, Sayidina Ali menasihatkan, "Tanamkanlah kasih sayang di hatimu terhadap rakyatmu, dan perlakukanlah mereka secara lemah lembut. Dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan dirimu seperti binatang buas, lalu engkau menjadikan rakyatmu sendiri sebagai mangsamu."
Kedua, pesan itu juga ditujukan kepada golongan elite. Mengapa? Imam Ali mengingatkan, "Sesungguhnya rakyat yang berasal dari golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan pada saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya bila diberi, paling lambat menerima alasan bila ditolak, dan paling lemah kesabarannya bila berhadapan dengan berbagai bencana."
Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan bahwa manusia tidak akan pernah merasa "puas" hingga bisa "puasa" (menahan diri). Puasa juga mengajak mereka untuk berzuhud: "tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu" (Q.S. 57:23), dengan menumbuhkan empati terhadap yang papa dan nestapa.
Dengan demikian, puasa mengajak kita untuk melampaui ego-ego personal menuju kesadaran transpersonal. Di keluhuran kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas.
Dalam keluasan kesadaran kosmik, timbul kesediaan untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain, serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Tak mengherankan, riset baru yang dilakukan ahli-ahli ilmu saraf dan psikologi menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan puasa dan meditasi (secara benar) lebih sadar, kurang stres, lebih positif, dan lebih sehat.
Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran rabaniyah yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta; aktif hadir pada saat sekarang dan bersentuhan secara utuh dengan apa yang ada di sini.
Dengan semangat rabaniyah, timbul keinsafan akan tanggung jawab kepemimpinan. Seperti sabda Nabi Muhammad, "Setiap kamu pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Tanggung jawab kepemimpinan ini pada gilirannya bukan saja menuntut perhatian keluar, tetapi terlebih dulu harus menengok ke dalam, mengasah diri sendiri.
Mawas diri merupakan kewajiban pertama seorang pemimpin, "Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka," demikian kata Lao Tzu.
Orang yang sadar dirinya akan memahami Tuhannya. Dan orang yang memahami kebesaran Tuhannya akan menyadari bahwa semakin besar bukan kian serakah dan bahaya bagi yang lain, malah memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya.
Semoga puasa kita terbebas dari korupsi ibadah!
Yudi Latif
Doktor Sosiologi Politik, Direktur Eksekutif Reform Institute
[Perspektif,Gatra Nomor 45 Beredar Kamis, 20 September 2007]
Sunday, October 7, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment