Friday, October 12, 2007

Kamis, 11 Oktober 2007
Grameen Bank dan Muhammad Yunus
Sebuah Pengabdian untuk Warga Miskin

Kesalehan sosial Muhammad Yunus pantas diteladani para ilmuwan di dunia agar lebih memiliki kepekaan sosial.

HMS. Latif
Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah & Komisaris BNI

Ketika penulis belajar di Kota Karachi (Mantan Ibukota Republik Islam Pakistan, sebelum dipindahkan ke Islamabad) pada tahun 1980an dan Bangladesh pada saat itu masih baru merdeka, maka cerita-cerita yang muncul di telinga kami adalah Bangladesh merupakan sebuah negara miskin, penuh derita sekaligus langganan banjir.

Cerita tersebut terjadi selama 24 tahun selama berstatus sebagai Propinsi Pakistan Timur yang ditelantarkan. Bangladesh akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 16 Desember 1971, setelah berperang melawan Pakistan.

Namun, dibalik cerita kelam negara bekas Propinsi Pakistan Timur tersebut, terdapat sebuah prestasi yang diraih Muhammad Yunus, seorang profesor Bangladesh yang meraih Nobel di Oslo, Norwegia pada tanggal 13 Oktober 2006 silam. Sejak mendedikasikan diri sebagai "The Father Of Micro-Credit" pada tahun 1974, Muhammad Yunus telah menerima sekitar 70 penghargaan Internasional tanpa rekayasa.

Ketika berjumpa dengan penulis, di kantor pusat Grameen Bank di kota Dhaka, Muhammad Yunus mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi bankir terkenal dan mendapat penghargaan dari siapapun, apalagi yang bertaraf Internasional.

Kesalehan sosial yang telah dipersembahkan oleh seorang mahaguru ekonomi pembangunan sekaliber Muhammad Yunus pantas diteladani para mahaguru dan ilmuwan di negara berkembang maupun di negara maju agar lebih memiliki kepekaan sosial. Lebih membumikan ilmunya, lebh banyak berbuat daripada bicara.

Universitas dan ilmuwan kita lebih banyak berkutat di kawasan menara gading atau penelitian untuk penelitian. Sementara Muhammad Yunus mau berjalan kaki keluar masuk desa miskin mengamalkan langsung "ilmu ekonomi pembangunan" yang telah dipelajarinya.

Teori lingkaran kemiskinan atau The Vicious Cycle Of Poverty, mengajarkan kepada kita bahwa seseorang miskin karena memang dari sononya miskin, sehingga harus ada ikhtiar dari luar (invisible hands) yang memberi keberpihakan. Misalnya orang berilmu yang ikhlas mewakafkan ilmunya atau pemerintah yang juga memang berkewajiban dalam pengentasan kemiskinan.

Berkunjung ke Grameen Bank
Terdorong oleh rasa kepekaan sosial mencermati jumlah orang miskin yang terus meningkat di Indonesia yang diperkirakan dapat melewati jumlah 40 juta pada akhir tahun 2007, maka kami bersama lima orang staf bank BNI (Unit Usaha Syariah & Usaha Kecil) bertolak ke Bangladesh selama 5 hari awal September 2007 dan tidur di berbagai desa miskin, guna melihat langsung serta mendalami penerapan "The Grameen Bank System" terkait dengan program pengentasan kemiskinan di Bangladesh yang baru saja memperoleh "Hadiah Nobel" dari Komite Nobel Norwegia.

Kami telah menemukan "dasar filosofi" serta "praktek operasional" yang menjadi kekuatan handal Grameen Bank, sehingga berhasil mengangkat dan memberdayakan orang miskin di berbagai desa terpencil di Bangladesh. The Grameen Bank Model inilah yang didorong PBB dan lembaga Internasional lainnya agar diadopsi atau direplikasi di berbagai Negara berkembang melalui dukungan The Grameen Trust yang telah diakui secara internasional. Namun, dengan rendah hati para petinggi Grameen Bank mengatakan, We are still learning by doing, terus menerus memperbaiki yang kurang.

Bagi Indonesia, kami berkeyakinan bahwa tidaklah akan sesulit negara lain dalam menerapkan The Grameen Bank Missions dimaksud. Artinya, sangat terbuka bagi Indonesia untuk memodifikasi serta mengoperasionalkan model pengentasan kemiskinan Grameen Bank melalui koperasi sebagai wadah operasional utama.

Sementara lembaga keuangan mikro dimodifikasi atau disesuaikan untuk diintegrasikan menjadi sebuah model pengentasan kemiskinan yang ditopang koperasi sebagai institusi pelaksana kebijakan mikro kredit tanpa collateral.

Malahan dengan memahami beberapa kelemahan penerapan operasional Grameen Bank System, kami optimistis dapat mengkaji serta mengembangkan sebuah mixed model pengentasan kemiskinan yang sesuai kultur Indonesia, khususnya yang berakar pada pemikiran pilosofis Bapak Koperasi Indonesia - Professor Muhammad Hatta.

Selanjutnya, detail bagaimana pemikiran komparatif dimaksud, Insya Allah akan segera disampaikan secara komprehensif kepada Pemerintah RI melalui Bapak Menteri Negara BUMN sebagai salah satu masukan terkait dengan "An Operasionalized System To Overcome Poverty With Dignity Through Access To Micro Credit Without Colletaral".

Kunci Sukses Grameen bank
Kunci keberhasilan yang sekaligus menjadi kekuatan inti (The Basic Fundamental) dari Grameen Bank antara lain :

1. Dukungan penuh pemerintah
Sejak awal kelahiran Grameen bank, Pemerintah Bangladesh memberi dukungan penuh berupa kemudahan ruang gerak karena faktor key person Muhammad Yunus beserta seluruh jajarannya diyakini memiliki niat yang tulus ikhlas, serta mampu bekerja profesional guna memerangi kemiskinan di Bangladesh.

2. Faktor Key Person Profesor Muhammad Yunus yang menjadi Maha Guru Ekonomi Pembangunan dengan totalitas kehidupannya yang sederhana. Penampilannya ketika menerima kami dengan penuh keramahan di kantornya pada tanggal 2 September 2007 tidaklah berbeda jauh dengan ketika berjumpa dengan Presiden Bush di Gedung Putih.

Ia tidak canggung berjalan kaki dari desa ke desa, guna menghadiri pertemuan mingguan Centre Meetin yang beranggotakan sekitar 40 orang nasabah Grameen Bank. Muhammad Yunus memahami secara baik kultur masyarakat miskin Bangladesh, dan mampu mengintegrasikan diri dalam kultur sebagai faktor positif.

3. Grameen Bank berhasil membangun sebuah sistem. Dimana setiap jajaran personal mulai staff biasa sampai kepada direksi mampu hidup sederhana. Mendedikasikan diri untuk mengangkat hidup orang miskin, meski gajinya relatif rendah dibanding pegawai bank komersil.

Seluruh kantor cabang (branch office), area office dan zona office berlokasi di desa terpencil. Setiap hari pada jam 7 pagi, seluruh staff kantor cabang berangkat ke desa-desa hanya menggunakan sepeda. Setiap kantor cabang membawahi 22-23 desa.

4. Terkait dengan operasional perbankan Grameen Bank, kultur pelayanannya adalah :
a. Seluruh pinjaman bebas dari agunan (collateral free).
b. Seluruh nasabah tidak dibiarkan ke kantor cabang bank, melainkan bank yang mendatangi warga.
c. Tidak akan pernah mengizinkan adanya nasabah bank yang duduk diadili di pengadilan, hanya karena tidak bisa bayar utang.
d. Grameen Bank melihat orang miskin sebagai "human bonzai." Karena itu Grameen Bank berupaya keras menarik dari "the flower pot" kepada "The real soil of the society".

5. Grameen Bank dibangun di atas sebuah fondasi kesederhanaan, ''akan memberdayakan orang miskin'' dan bukan mengejar target laba sebesar-besarnya. Grameen Bank tidak didudukkan diatas fondasi pemikiran ekonomi kapitalis yang selalu mengejar profit maksimum. Hal tersebut dapat dicermati pada data empiris pencairan pinjaman tanpa collateral perbulan melalui 2.422 kantor cabang sebesar Rp. 729 miliar. Total pinjaman per 31 Desember 2007 diharapkan dapat mencapai Rp 8,8 triliun, sementara target labanya hanya sekitar Rp. 200 miliar.

7. Grameen Bank telah menjadi perekat kerukunan sosial yang luar biasa karena tidak membedakan etnik maupun agama dalam melayani orang miskin di pedesaan. Seluruh anggota team studi banding tidur di sebuah desa Hindu, namun setiap hari menyaksikan betapa tinggi keakraban antara orang Hindu dengan umat muslim. Dimanapun mereka bersua, sapaan standar mereka adalah Assalamu alaikum, tanpa melihat agama apapun diantara mereka.

Peluang penerapan di Indonesia
Langkah konkrit pengentasan kemiskinan yang dapat segera dilakukan di Indonesia, paling tidak untuk segera mengerem laju pertambahan orang miskin, antara lain :

1.Dukungan pemerintah.
Pemerintah RI perlu memberi dukungan konkrit dan serius, guna mendorong program pengentasan kemiskinan. Seperti dukungan dana awal dan fasilitas kantor.

2.Bekerjasama dengan Grameen Trust
Tujuan utama melakukan kerjasama dengan Grameen Trust (meski kita sebaiknya mengembangkan sendiri sebuah "mix model") karena Grameen Trust telah mendapatkan kepercayaan internasional, dan mudah mendapatkan dukungan dana internasional untuk anggota yang sedang mengembangkan melakukan "The Grameen Bank Missions".

3.Membentuk sebuah badan pengentasan kemiskinan.
Badan yang akan dibentuk haruslah memiliki filosofi dan kultur kerja yang mampu mengakomodasi sifat-sifat orang miskin yang ditandai dengan pola hidup sederhana. Badan dimaksud harus stril dari model kapitalis yang selalu berfikir untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

4. Sumber daya manusia melalui seleksi khusus.
Semua SDM yang terlibat dalam kegiatan Grameen Bank memiliki satu irama, yaitu komitmen memberdayakan orang miskin. Tidak ada amplop beramplop, sangat minim penyelewengan keuangan apalagi korupsi. Jadi SDM yang akan dilibatkan di Indonesia, sebaiknya mayoritas fresh graduated agar kulturnya mudah dibentuk. Disinilah faktor utama kegagalan kita, setiap ada proyek membantu orang lemah maka pengurus LSM pendamping, atau ketua Koperasi langsung membangun rumah baru, beli mobil baru dan sebaianya.

5. Kantor SDM inti dan fasilitas lainnya harus ditempatkan di desa terpencil, di pusat-pusat kemiskinan sehingga SDM yang ada di lapangan betul-betul merasakan betapa beratnya menjadi orang miskin. Ini akan melahirkan budaya kerja keberpihakan kepada si miskin, sehingga mereka tulus membantu para warga miskin.

Ketika kami mewawancarai 2 orang pemimpin unit desa bank komersil (sebanding Unit Desa BRI di Indonesia), kami menanyakan, apakah anda merasa disaingi oleh Grameen Bank atau bank anda merencanakan produk yang sama dengan produk Grameen Bank. Mereka spontan menjawab, ''kami tidak akan pernah beroperasi seperti Grameen Bank dan tidak sanggup membuat produk/layanan perbankan seperti Grameen Bank.''

Kesimpulan
Apa yang telah dilakukan Muhammad Yunus selama lebih dari 30 tahun adalah sebuah kerja keras. Sebuah kesalehan sosial yang patut diteladani bagi orang-orang yang diberi karunia akal sehat oleh Allah SWT. Setelah berada di desa-desa Bangladesh selama 5 hari memantau dari dekat operasionalisasi "The Grameen Bank System", maka akal sehat saya menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dicita-citakan Professor Muhammad Hatta di Indonesia sama dengan cita-cita yang dioperasionalkan lewat Grameen bank oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Namun, keduanya terlambat diberi Hadiah Nobel.

Sekiranya Pemerintah Indonesia bertekad melakukan pengentasan kemiskinan, maka kita hanya mengawinkan kedua jalan pikiran dimaksud dan Bismillah segera memulainya. Bukan menggelar seminar lantaran ada anggaran yang perlu dihabiskan di akhir tahun.
( )

No comments: