Senin, 08 Okt 2007,
Masyarakat Akan Makin Terbebani
AKHIR tahun ini Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan. Berbagai pihak menentang pengesahan RUU BHP. Meski demikian, pemerintah tampaknya bersikukuh memprivatisasikan institusi pendidikan sesegera mungkin.
Pendidikan di Indonesia merupakan satu fenomena yang tidak kalah gaungnya dengan dunia politik. Berbagai masalah yang muncul dalam dunian pendidikan, selalu menjadi agenda tahunan. Dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) selalu menyelesaikannya dengan cara instan. Kalaupun itu selesai pada periode ini, permasalahan lain pasti menyusul pada tahun berikutnya.
Tentang ujian nasional (unas), misalnya. Belum tercipta konsep ideal tentang format unas bagi siswa SMP dan SMA, kini Depdiknas merancang Permendiknas baru untuk unas bagi siswa SD. Sontak, berbagai kontra muncul karena rencana Depdiknas tersebut jelas-jelas bertentangan dengan amanat wajib belajar sembilan tahun. Namun, seperti biasa, Depdiknas bergeming dan berencana mengesahkan Permendiknas tersebut pada November ini.
Suara senada pun muncul di sela-sela kegiatan Depdiknas dan DPR menggodok konsep akhir RUU BHP dan ditargetkan dapat disahkan menjadi undang-undang pada 2007 ini. RUU BHP diinisiasi pemerintah sejak 2003 lalu, tetapi sampai sekarang belum disahkan. Molornya pembahasan itu secara tidak langsung membuktikan bahwa terjadi perdebatan sengit antara DPR dan pemerintah. Publik pun bertanya-tanya tentang kepantasan RUU BHP untuk menjadi lembaran negara.
Mendiknas Bambang Soedibyo saat menghadiri rapat Komisi X di DPR pada (17/9) silam menyatakan bahwa RUU BHP merupakan solusi bagi sekolah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas. Melalui kerja sama dengan luar negeri, institusi pendidikan akan mampu mengembangkan metode belajar sesuai tuntutan zaman. "Mari dibuktikan dulu manfaatnya. Jangan terlalu berprasangka," ujarnya ketika itu.
Begitu pula halnya dengan Dirjen Dikti Depdiknas Prof Ir Satryo Sumantri Brodjonegoro. Saat dikonfirmasi, dia mengatakan, RUU BHP selama ini disalahpahami. Menurut dia, RUU BHP itu justru memosisikan pendidikan secara adil. "Masak mereka yang mampu dan tidak mampu diharuskan membayar dengan nilai yang sama. Itu tidak adil," urainya.
Karena itu, mereka yang mampu harus membayar pendidikan dengan mahal, tapi mereka yang tidak mampu akan dijamin untuk tetap bisa kuliah. "Jadi, RUU BHP itu tidak akan membuat mereka yang tidak mampu tidak bisa kuliah. Mereka tetap bisa kuliah," tegasnya.
Sementara itu, kalangan mahasiswa, dosen, ataupun praktisi pendidikan memandang RUU BHP bukan solusi baru atas problematika pendidikan di Indonesia. Malah, mereka menganggap RUU BHP hanya menambah masalah baru.
Berbagai daftar inventaris masalah (DIM) yang menjadi perdebatan tak kunjung usai antara DPR dan pemerintah sudah menjadi bukti bagi publik, untuk mendesak digagalkannya RUU ini. Dari berbagai draf pasal RUU BHP yang bermasalah, publik menganggap pemerintah sudah tidak berpedoman lagi pada amanat UUD 1945.
Yang kurang disepakati publik adalah ketika semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Meski, kehadiran RUU BHP juga merupakan suatu keharusan normatif sesuai dengan tuntutan pasal 53 ayat (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan, ketentuan mengenai badan hukum pendidikan diatur dalam UU tersendiri.
Draf RUU BHP tertanggal 22 Agustus 2007 itu juga melegitimasi liberalisasi pendidikan. Hal itu terlihat jelas pada pasal 8 ayat 1 dan 2 yang memperbolehkan lembaga pendidikan asing yang telah terakreditasi mengadakan pendidikan di Indonesia dengan menyediakan biaya penyelenggaraan satuan pendidikan maksimal 49 persen dari kebutuhan penyelenggaraan satuan pendidikan.
Pasal itu melegitimasi Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007 tentang sektor-sektor yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal asing (PMA), yang salah satunya sektor pendidikan, termasuk pendidikan dasar dan menengah dengan kepemilikan maksimal 49 persen. RUU BHP ini juga mengukuhkan keberadaan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang sekarang dampak kemahalannya sudah dirasakan secara luas.
Menurut praktisi pendidikan yang juga mantan Rektor IKIP (kini UNJ) Jakarta, Winarno Surakhmad, munculnya RUU BHP tersebut wujud ketidaksinambungan benang merah pendidikan dari masa ke masa. Sejak dimulainya kabinet yang kondang dengan jargon Pelita (Pembangunan Lima Tahun) hingga kini, perhatian pemerintah hanya terfokus pada masalah situasional.
"Sejak dulu pemerintah tidak memiliki rencana visioner untuk melaksanakan UUD 45 ke dalam dunia pendidikan. Boleh dibilang, kebijakannya hanya situasi hari ini, di sini, itu yang diselesaikan," ujar Winarno.
Menurut pria gaek tersebut, pemerintah tidak boleh mengingkari bahwa semua lapis pendidikan mulai SD hingga perguruan tinggi (PT), telah terjebak dalam sistem pendidikan berbasis konvensi. Sikap tersebut yang membawa institusi pendidikan tidak mampu menunjukkan determinasi sebagai pelopor perkembangan yang berkualitas.
Akibat yang berkepanjangan tersebut membawa bukti bahwa institusi pendidikan tidak mampu mengubah dirinya sendiri menjadi pelopor yang dimaksud tersebut. "Institusi pendidikan sudah kehilangan diri dan kepercayaan sebagai institusi pendidik ilmu pengetahuan, pendidikan keberadaban, lembaga budaya," jelasnya.
Pemikiran ekstrem itu, lanjut Winarno, benar-benar terbukti jika pemerintah mau melihat kenyataan seperti apa institusi pendidikan saat ini. "Kalau pemerintah paham, institusi pendidikan sekarang hanya pelaksana birokrasi. Syarat keberhasilan mereka hanya sebatas memenuhi apa yang digariskan aturan birokrasi," tambahnya.
Bedanya, memenuhi aturan yang digariskan birokrasi, menurut Winarno, sudah jauh berbeda dari yang diamanatkan dalam UUD 1945. Institusi pendidikan saat ini sudah terlalu dijejali kebijakan yang mengatur berbagai standar dan pembakuan. Faktanya, dunia pendidikan saat ini menjadi over-regulated dan over-institusionalized dengan dampak kumulatif.
"Regulasi-regulasi ini sama sekali tidak menyentuh esensi pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Anda pasti tahu sendiri kenyataannya seperti apa," kata Winarno.
Institusi pendidikan bukannya membutuhkan berbagai regulasi untuk mengatur bagaimana agar dirinya bisa bertahan, tetapi membutuhkan suatu dukungan fasilitas dan fleksibilitas untuk dapat berkembang secara kualitas. Dalam hal ini, institusi pendidikan swasta lebih membutuhkan dukungan pemerintah demi mengembangkan potensi mereka. "Kalaupun harus mandiri, dukungan pemerintah mutlak harus ada," jelasnya.
Namun, dukungan pemerintah tersebut, menurut Winarno, bukan seperti pola kemitraan yang diusulkan pemerintah dalam pasal 23 ayat 4 RUU BHP. Pemerintah melunak dengan memberikan bantuan minimal 60 persen dari kumulasi biaya operasi, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHP. Sementara 40 persen sisanya, maksimal 20 persen tanggung jawab di antaranya dibebankan kepada masyarakat (pasal 23 ayat 5).
"Pola kemitraan itu tetap tidak dibenarkan. Sama saja dengan melanggar isi konstitusi (UUD 45)," kata Winarno. Apalagi, tidak ada jaminan mayoritas masyarakat akan mampu memenuhi kewajiban 20 persen yang diusulkan pemerintah. "Masyarakat untuk standar pendidikan seperti ini masih susah. Pada akhirnya hanya (masyarakat) yang mampu yang bisa membayar," lanjutnya.
Terlebih, yang menjadi masalah utama dalam RUU BHP adalah keinginan pemerintah memprivatisasikan institusi pendidikan sebagai layaknya badan hukum. Menurut Winarno, kemerosotan kualitas pendidikan saat ini tidak bisa diatasi dengan mem-BHP-kan sekolah dan PT.
Pemerintah harus memandang bahwa pengelolaan pendidikan adalah salah satu bagian dari sebuah birokrasi. Bagian lain yang memiliki peran lebih besar juga memerlukan perubahan dalam hal tertib kelola.
"Coba pemerintah melihat terlebih dahulu struktur birokrasi yang lebih luas. Kemerosotan pendidikan tidak hanya secara parsial, tapi lembaga yang lebih besar juga turut berperan," jelas Winarno.
RUU BHP, menurut dia, pada akhirnya hanya membawa kiblat dunia pendidikan kepada korporasi pendidikan. Tentu, korporasi hanya akan berhitung bagaimana mempertahankan diri sekaligus memperoleh laba. Problema tersebut tentu saja mengorbankan masyarakat yang pada akhirnya terbebani.
"Institusi pendidikan bukan institusi bisnis. Keduanya mengabdi pada tujuan yang berbeda. Pemerintah seharusnya memahami itu," kata Winarno. (Tri Mujoko Bayuaji)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment