Oleh: KH Dr Tarmizi Taher
Nabi Muhammad pernah berkata bahwa orang puasa Ramadhan mempunyai dua kegembiraan, yaitu ‘inda ifthar (saat berbuka) dan ‘inda liqai rabbih (saat bertemu dengan Allah).
Semoga puasa Ramadhan ini dapat mengubah diri kita dekat kepada ketakwaan, sabar, penuh keimanan hanya kepada Allah, penuh ibadah salat dan zakat serta hubungan kemanusiaan yang lebih baik. Modal puasa Ramadhan telah mengubah kepribadian kita. Perasaan diri yang hebat menjadi tahu diri, perasaan yang bakhil menjadi santun, ucapan-ucapan ketus menjadi sejuk, pribadi yang tak terkontrol menjadi terkontrol dan mengejar dunia tidak lagi menjadi berlebih-lebihan.
Betapa kemiskinan menghantui bangsa. Terkadang kita sering salah memahami agama, dalam hal ini menganggap kemiskinan adalah takdir, malahan kadang-kadang kemiskinan dipandang sebagai tanda-tanda kesalehan. Barangkali sejarah masuknya Islam di Indonesia lewat Pantai Gujarat memberi sumbangan negatif pula, di samping sumbangan yang positif.
Apakah sumbangan negatif masuknya Islam yang lewat Gujarat itu menjadikan Islam di Tanah Air ini sangat banyak dihinggapi nilai-nilai fatalistis? Semua sebab-sebab yang memudarkan pribadi, masyarakat, dan bangsa selalu dianggap sudah takdir Allah? Untuk mengubah sikap fatalistis ini, telah muncul pemikiran kritis yang mengharapkan lembaga dan organisasi Islam lebih analitis dan rasional dalam mengkaji sebab-musabab akan ketinggalan umat dan bangsa dalam ekonomi dan pendidikan.
Masa depan terletak sebagian besar dalam pendidikan. Allah akan meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu. ”Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ’Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ’Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Mujadilah: 11).
Jawaban masa depan dari umat dan bangsa Indonesia adalah pendidikan. Setiap keluarga masyarakat dan bangsa harus memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Pendidikan terbaik hanya dapat dicapai kalau gurunya baik. Mustahil nasib guru-guru yang ditelantarkan negara akan dapat mengabdi kepada murid-muridnya seratus persen. Perbaikan nasib guru-guru adalah awal perbaikan pendidikan di negara tercinta ini. Rasa curiga mencurigai dapat dikurangi dengan kerja sama ini.
Sudah saatnya kita bersama-sama seluruh unsur bangsa termasuk, guru agama, bersama membangkitkan keterpurukan pendidikan kita. Guru agama Islam maupun Katolik dan guru agama lainnya dapat menjadi teladan dalam kerukunan antarumat beragama dalam tubuh bangsa Indonesia yang besar dan amat majemuk ini. Kerukunan antarumat beragama akan tampak dari teladannya guru-guru agama dalam memberikan pendidikan agama yang bertujuan mengurangi dan mengikis benih-benih disintegrasi bangsa. Persaingan yang sehat antarkomponen bangsa akan berkembang dengan baik kalau dimulai dari antarumat.
Bangsa yang beriman memosisikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Kepentingan dan kemaslahatan rakyat menjadi agenda utama pemerintahan. Tindakan tersebut bukan sebentuk ungkapan terima kasih, melainkan menempatkan diri pemerintah sebagai pelayan rakyat. Rakyat diposisikan sebagai tuan yang harus diperhatikan nasib dan kepentingannya. Mental bangsa yang beriman sangat berbeda dengan bangsa yang kini dengan puasa ingin meningkat menjadi takwa. Bangsa yang bertakwa tentu tidak menjadikan pemilik modal sebagai “tuan”, di mana kemaslahatan bangsa akan dijual demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak berorientasi pada kepentingan bangsa, melainkan kepentingan segelintir elite. Karakter semacam itu jauh dari bangsa yang bertakwa. (*)
KH Dr Tarmizi Taher
Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia
Wednesday, October 17, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment