Wednesday, February 20, 2008

Politisi selebritis dan budaya massa

ImageKEMENANGAN aktor Rano Karno menjadi wakil bupati berpasangan dengan Ismet Iskandar sebagai bupati dalam Pilkada Kabupaten Tangerang (26/1) memotivasi selebiritis lain ke dunia politik dan bersaing dalam pilkada. Hal itu menguatkan kenyataan bahwa politisi selebritis telah menjadi fenomena. Soalnya, salahkah dengan politisi selebritis? Mengapa mereka begitu mudah memiliki akses berpolitik? Masuknya para selebritis (artis film dan sinetron, penyanyi, model, perancang busana, dsb.) ke dunia politik bukan fenomena unik. Di negara maju, berkembang lain, dan bahkan miskin, banyak selebritis dan pesohor yang merambah dunia politik, seperti Ronald Reagen, Arnold Schwartzennegger, Goerge Weah, dan sebagainya.

Sejak masa Orde Baru, parpol dan politisi sudah membuka ruang bagi para selebritis. Dalam kampanye pemilu, misalnya, artis lokal dan Jakarta ditampilkan, baik pentas musik dangdut maupun seni tradisional. Waktu itu, Golkar begitu dominan memobilisasi selebritis. Pada saat ini, hampir semua parpol berlomba menampilkan dan merekrut para selebritis.

Motif utama para selebriti berpolitik pada nasa Orde Baru untuk mendapatkan ”keamanan”, pekerjaan dan lobbi. Hanya sebagian kecil yang berambisi menjadi politisi selebritis.

Kenyataannya, elit selebritis memperoleh privilise berupa fasilitas dan kedudukan politik sebagai ”hadiah” atau ”kontra prestasi”.

Betul-betul praktik korporatisme. Sekarang ini, para selebritis berpolitik secara terbuka ingin menjadi politisi selebritis. Sedang yang bermotif pekerjaan dan lobbi memiliki komunitas di luar politisi selebritis.

Perlu data tambahan untuk menyebut bahwa fenomena politisi selebritis menunjukkan pendangkalan dunia politik. Tapi sekurangnya mengindikasikan dua hal.

Pertama, kekurangpercayaan diri para politisi dan pengurus parpol dalam menjual program kerja ke masyarakat. Kedua, lemahnya harga tawar ideologi di masyarakat. Mungkin ideologi telah mati. Jadi, politisi selebritis dimaksudkan untuk mendongkrak dukungan.

Publikasi dan budaya
konsumen Tak ada yang keliru dengan fenomena politisi selebritis. Politik adalah dunia ekspektasi dan representasi warga sehingga terbuka bagi partisipasi aktif seluruh elemen. Keterbukaan akses politik bahkan merupakan perwujudan hak pilih universal (universal suffrage). Artinya, jangankan selebritis, penganggur dan penjahat pun boleh berebut di panggung politik.

Namun harus diakui bahwa kapasitas, komitmen dan keberpihakan pada rakyat dari mereka perlu diasah dan ditingkatkan. Hal itu juga persoalan elemen lain di era transisi demokrasi. Di tengah mainstream kepolitikan yang serba terbatas popularitas selebritis menjadi nilai tambah.

Sebelum menjadi politisi, para selebritis hidup di dunia ’impian’ publik. Publikasi media tentang kehidupan pribadi dan profesi membantu mereka mendapatkan popularitas dan citra serba ’baik’ atau ’hebat’.

Tak ada, misalnya, artis yang selalu berperan antagonis dan kontroversial berani menjadi politisi. Sejauh ini pun, baru Rano Karno yang sukses dalam pilkada.

Banyak selebritis lain terpaksa menyimpan impian dan gagal dalam pilkada. Lainnya lagi menjadi anggota legislatif akibat sistem yang tidak selektif.

Salah satu faktor yang membantu Rano adalah citra positif sebagai pribadi realistis, sederhana, pekerja keras dari kaum bawah yang sukses dalam karier dan cinta melalui sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Citra itu tertanam di masyarakat se-antero Indonesia, bukan hanya di komunitas Betawi.

Dalam konteks itu, para selebritis diuntungkan oleh budaya konsumen, di mana kesan memainkan peranan utama. Dalam membangun kesan, tradisi acapkali diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol kecantikan, roman, kemewahan, ketekunan, keberhasilan, dan eksotika yang manjur, dan sebagainya.

Kesan budaya konsumen pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti-mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisional, dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Di titik itu, publikasi besarbesaran terhadap seorang selebritis membuka akses dan sukses mereka di politik.

Karena publikasi, selebritis menjadi model masyarakat. Di tengah budaya konsumen di mana gaya hidup mendapatkan kedudukan istimewa, persepsi dan kesan masyarakat mempengaruhi pilihan politik.

Sebagian masyarakat memang rasional dan mengagumi kharisma tokoh, namun sebagian terbesar sangat dipengaruhi kesan yang ditampilkan media. Kesan-kesan itulah yang memainkan peranan utama pada perilaku memilih dalam pemilu atau pilkada.

Budaya massa
Pascastrukturalisme secara sangat baik mengupas budaya massa di masyarakat. Dalam perspektif pascastrukturalisme, ciri utama budaya massa adalah bahwa masyarakat menolak gerak atau pemahaman bahwa ada sesuatu yang bersifat menyeluruh, utuh, dan tetap.

Segala sesuatu menjadi dan secara bersamaan membentuk yang lain dalam suatu keseimbangan yang tidak pernah pasti. Human object bukan koheren dan otonom sedang human subject dilihat sebagai ’titik simpul’ dari berbagai kecenderungan kekuasaan yang mengejawantahkan diri di setiap subyek manusia.

Dari sudut itu, hubungan antara warga dan politisi selebritis sesungguhnya ibarat magnit antara human object dan human subject. Para pemilih dalam pemilu dan pilkada (human object) bersifat tidak otonom dan tergantung dari politisi selebritis (human subject) yang dianggap sebagai ’pusat kekuasaan’.

Pendeknya, politisi selebritis yang dalam aksi-aksi panggung dan layarnya berkenan dan membekas di hati rakyat akan menjadi pilihan tak terhindarkan, tak peduli kurang punya kapasitas dan komitmennya.

Pascastrukturalisme juga meyakini bahwa semua hal merupakan ’hasil permainan bersama’ yang selalu berubah, tidak ajeg, tertarik ke sana-ke mari oleh berbagai kekuatan yang sedang bekerja, tidaklah mungkin mencari dan menemukan ’suatu pola dasar’ yang dengannya segala sesuatu ingin dijelaskan. Tidak mungkin menjelaskan segala sesuatu dengan, misalnya, melihat asal-usul sesuatu itu.

Terkait hal itu, pilihan-pilihan politik rakyat, termasuk terhadap politisi selebritis, tidak pernah direnungi atau dihayati. Ini soal selera dan kelebihsukaan pada saat itu. Pilihan mereka bukan nilai yang dianut. Pilihan politik adalah permainan, yang setiap saat bisa dikoreksi dan jika salah tak perlu disesali.

Karenanya, sebenarnya tak adanya pola dasar merupakan latar belakang dari apapun yang ingin dijelaskan, sekaligus berarti ada banyak hal, kasus, peristiwa, human subject yang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam arti itu, tidak ada jaminan bahwa seorang politis selebritisi selalu terpilih dalam pilkada atau pemilu. Kegagalan Marissa Haque dalam Pilkada Provinsi Banten, misalnya, tidak dapat dijelaskan dengan faktor dan proses yang terjadi dengan keberhasilan Rano.

Karenanya, jika hendak menjadikan Rano sebagai model, sebaiknya melakukan secara total dalam keseluruhan proses dan jejak, bukan parsial, artifisial, superfisial, dan instan. f

Drs Joko J Prihatmoko MSi
Dosen dan peneliti utama
FISIP Universitas Wahid Hasyim
S

No comments: