Pada kesempatan kali ini saya mengangkat tema "Hermeneutik", yang secara sederhana diartikan sebagai Ilmu Menafsir. Masalah Hermeneutik saya kira adalah masalah yang sangat relevan dibicarakan oleh umat Kristen, lebih-lebih oleh para pelayan Tuhan yang melayani Firman. Oleh karena itu semoga artikel ini membawa berkat dan selamat membac
Isi:
Banyak perdebatan modern mengenai Alkitab berkisar sekitar persoalan- persoalan mengenai hermeneutika. Ilmu Hermeneutika adalah ilmu penafsiran Alkitab. Dalam mitos Yunani, dewa Hermes adalah pembawa berita para dewa. Tugasnya adalah menafsirkan kehendak dewa-dewa. Karena itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti.
Tujuan hermeneutika adalah menetapkan garis-garis pedoman dan aturan- aturan menafsir. Hermeneutika telah berkembang menjadi ilmu yang teknis dan rumit. Dokumen tertulis mana saja adalah subjek salah tafsir. Karena itu kita telah mengembangkan aturan-aturan untuk menjaga kita dari kesalahpahaman seperti itu. Penelitian ini akan kita batasi hanya sampai pada aturan-aturan dan garis-garis pedoman yang dasar saja.
Secara historis Amerika Serikat memiliki badan khusus yang secara teoritis berfungsi sebagai majelis agung hermeneutika negaranya. Badan ini disebut Mahkamah Agung. Salah satu tugasnya yang utama ialah menafsirkan Konstitusi Amerika Serikat. Konstitusi itu merupakan dokumen tertulis dan memerlukan penafsiran. Asalnya, prosedur menafsir konstitusi itu mengikuti apa yang disebut metode gramatis historis. Maksudnya, konstitusi itu ditafsirkan dengan cara mempelajari kata-kata dokumennya sendiri melalui arti kata-kata tersebut pada waktu dipakai untuk menyusun dokumen itu.
Sejak karya Oliver Wendell Holmes, metode penafsiran konstitusi itu telah berubah secara radikal. Krisis dalam hukum dan kepercayaan masyarakat yang terjadi sekarang ini terhadap mahkamah agung nasional langsung berhubungan dengan problem dasarnya, yaitu metode penafsiran. Pada waktu Mahkamah Agung menafsirkan konstitusi menurut cara-cara modern, hasilnya adalah perubahan konstitusi itu melalui penafsiran ulang. Hasil akhirnya ialah bahwa dengan cara yang sangat halus Mahkamah Agung itu menjadi badan legislatif, jadi telah berubah dari fungsinya yang semula sebagai badan penafsir.
Krisis yang sama telah terjadi dengan penafsiran Alkitab. Ketika ahli- ahli Alkitab memakai metode penafsiran yang menyangkut "memodernkan Alkitab" melalui penafsiran ulang, maka makna asli Alkitab menjadi kabur dan beritanya dikompromikan dengan tren-tren (kecenderungan) zaman ini.
ANALOGI IMAN
Ketika para tokoh Reformasi memisahkan diri dari Roma dan menyatakan pandangan mereka bahwa Alkitab harus menjadi otoritas utama gereja (Sola Scriptura), dengan cermat mereka mendefinisikan prinsip-prinsip dasar penafsiran. Aturan utama penafsiran disebut "analogi iman." Analogi iman adalah aturan yang mengatakan bahwa Alkitab harus menafsirkan Alkitab: Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Artinya cukup sederhana, yaitu bahwa tidak ada bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Misalnya, jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macam penerjemahan atau penafsiran yang berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, dan penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran yang kedualah yang harus dipakai.
Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan. Karena itu mereka juga percaya bahwa Alkitab itu konsisten dan koheren (tetap dan berkaitan). Mereka beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Karena itu memilih suatu interpretasi yang menyebabkan Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, yang sebenarnya tak perlu demikian adalah sama dengan menghujat Roh Kudus. Di zaman kita sekarang ketelitian inspirasi Alkitab sering diabaikan. Sudah umum terdapat para penafsir modern yang tidak hanya menafsirkan Alkitab dengan melawan Alkitab sendiri, tetapi juga menyimpang untuk melakukannya. Usaha-usaha oleh ahli-ahli Alkitab ortodoks untuk menyerasikan pasal-pasal yang sulit dihina dan sangat diabaikan oleh mereka.
Terpisah dari persoalan inspirasi, metode analogi iman adalah metode yang sehat untuk menafsir buah sastra. Norma sederhana mengenai kesopanan yang umum seharusnya melindungi penulis mana saja dari tuduhan-tuduhan berkontradiksi dengan diri sendiri yang tidak berdasar. Jikalau saya dihadapkan kepada pilihan untuk menafsirkan ulasan-ulasan seseorang. Pilihan pertama ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut konsisten (tetap, tidak berubah-ubah dan tidak kontradiksi). Pilihan kedua ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut perlu berkontradiksi. Jikalau demikian tampaknya orang tersebut perlu dibebaskan dari tuduhan bahwa ulasan-ulasannya berkontradiksi, karena saya yakin tidak mungkin seseorang berkontradiksi dengan dirinya sendiri.
Pernah orang-orang bertanya kepada saya mengenai pasal-pasal yang telah saya tulis dalam buku-buku saya. Misalnya mengapa saya dapat mengatakan begini dalam pasal 6, sedangkan dalam pasal 4 saya mengatakan begini dan begitu. Saya kemudian menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam pasal 6, maka orang tersebut lalu melihat bahwa pada akhirnya kedua macam pemikiran saya itu sebenarnya tidak bertentangan. Perspektif saya dalam pasal 6 agak berbeda dengan perspektif saya dalam pasal 4. Pada pandangan pertama tampaknya kedua perspektif tersebut bertentangan, namun dengan memakai "falsafah melihat kembali kedua kalinya" maka problem itu dapat dipecahkan. Kita semua telah melakukan kesalahfahaman seperti itu, sebab itu kita perlu peka terhadap kata-kata orang lain kalau kita ingin memahaminya.
Sudah barang tentu, mungkin kata-kata saya memang bertentangan. Jadi metode kepekaan dan falsafah "pembebasan dari tuduhan karena diragukan si pelaku memang bersalah" itu hanya dapat diterapkan kalau ada keragu- raguan. Kalau tidak ada keraguan bahwa saya telah berkontradiksi dengan diri saya sendiri, maka yang boleh dilakukan hanyalah mengevaluasi saja. Meskipun demikian, jikalau kita tidak berusaha untuk menafsirkan kata-kata dengan cara konsisten, maka kata-kata yang kita baca itu menjadi sangat kacau. Kalau hal ini terjadi dalam penafsiran Alkitab, maka Alkitab menjadi seperti bunglon yang berubah-ubah warna kulitnya kalau latar belakangnya berubah. Jadi yang dimaksud ialah penafsiran berubah kalau yang menafsir lain.
Jadi jelas bahwa pandangan kita mengenai hakiki dan asal Alkitab memberikan dampak penting pada bagaimana kita akan menafsirkannya. Jika kita memandang Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan, maka analogi iman bukanlah metode pilihan, tetapi merupakan tuntutan penafsiran.
:
Sumber diambil dari:
Judul Buku : Mengenali Alkitab
Judul Artikel : -
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1994
Halaman : -
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment