Wednesday, February 20, 2008

Isu politik dalam kebijakan pendidikan


BILA seorang tokoh sedang mempengaruhi massa untuk mendukung pencalonannya sebagai penguasa, kebijakan pendidikan merupakan bagian yang paling sering dimanfaatkan sebagai bagian dari kampanye politik. Tokoh yang datang dari dunia pendidikan biasanya memiliki basis massa yang berakar, dan dukungan penuh. Karena itu, kebijakan pendidikan dibidik menjadi obsesi kampanye, seperti janji akan menyelenggarakan sekolah gratis.Padahal kebijakan pendidikan selalu berada dalam ranah kontroversi, yang menyulitkan insitutsi pelaksana pendidikan.Inilah sebabnya mutu pendidikan kian merosot.

Lebih mulia bila seorang kandidat penguasa berobsesi meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pembenahan kebijakan pendidikan. Lakukan revitalisasi pendidikan yang diarahkan untuk menyelenggarakan program pembangunan pendidikan yang berorientasi pada kebijakan pendidikan secara kontekstual.

Mengapa tidak dihidupkan kebijakan pendidikan yang memberdayakan siswa sebagai bagian masyarakat zamannya? Mengembangkan pendidikan dengan daya saing global, memang menjadi kebijakan pendidikan. Akan tetapi, mencipta siswa yang cerdas, kompetitif, bermutu dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, menjadi kebutuhan mendesak kini. Kebijakan pendidikan mestinya diarahkan untuk mencapai pemerataan pendidikan, sehingga seluruh lapis masyarakat dapat menikmatinya. Diperlukan perluasan akses memperoleh pendidikan, yang memungkinkan masyarakat marginal mengenyam pendidikan. Ini tidak berarti pendidikan bisa diselenggarakan secara gratis.

Kebijakan pendidikan selalu berada pada tataran ambiguitas yang tajam.Prioritas pendidikan selalu ditekankan untuk memenuhi pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.Begitu banyak keluarga menuntut pendidikan gratis. Tuntutan ini sering dimanfaatkan secara politis bagi calon penguasa untuk melakukan kampanye penggalangan masa. Ini bukan hal yang mudah. Sekolah-sekolah didesak untuk menggratiskan biaya pendidikan, tetapi pemenuhan sarana prasarana pendidikan dari pemerintah tidak memadai.

Pada saat yang bersamaan, kebijakan pendidikan kita menuntut peningkatan mutu pendidikan. Diperlukan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, diupayakan peningkatan mutu guru.

Kedua, upaya pemenuhan sarana prasarana pendidikan. Ketiga, peningkatan anggaran pendidikan. Akankah kandidat penguasa taruhlah calon gubernur mampu mengupayakan ketiga upaya peningkatan mutu pendidikan itu dalam kebijakan pendidikannya? Kebijakan pendidikan kita yang terjebak kontroversi itu tak pernah benar-benar melakukan peningkatan mutu guru. Program sertifikasi yang diarahkan untuk meningkatkan mutu guru dan meningkatkan kesejahteraan, tak pernah sanggup mendongkrak keterpurukan mutu pendidikan. Yang menjadi tujuan guru mengikuti sertifikasi, terutama peningkatan kesejahteraan.

Peningkatan mutu, melalui program sertifikasi segera dilupakan guru bila kesejahteraan sudah diraih. Usai sertifikasi, visi guru lebih diarahkan untuk meraih kesejahteraan dan bukannya meningkatkan kompetensi pedagogik.Pemenuhan sarana prasarana pendidikan seperti gedung, ruang belajar, laboratorium, perpustakaan, dan buku pelajaran, selama ini belum menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya.Seringkali pihak sekolah, bersama Komite Sekolah, menggalang dana pada orang tua siswa melalui penarikan SPI (Sumbangan Pengembangan Isntitusi). Bila diselenggarakan sekolah gratis, seperti yang dikampanyekan calon penguasa, sementara dana sarana prasarana pendidikan tak dipenuhi, sekolah-sekolah terancam bangkrut, rusak, dan merosot mutunya.Selama ini pihak sekolah, dengan dukungan Komite Sekolah, terpaksa menarik dana dari orang tua siswa untuk menopang pemenuhan sarana prasarana pendidikan. Pemerintah tak cukup dana untuk memenuhi sarana prasarana pendidikan secara merata.Bahkan, yang dirasakan masyarakat sekarang, pendidikan bermutu setara dengan biaya pendidikan mahal.

Tentang dana pendidikan yang mestinya mencapai 20 persen APBN, masih menjadi perkara sensitif, dan sangat sulit untuk dipenuhi. Betapa rendah biaya operasional yang mesti dilaksanakan sangat sulit untuk dipenuhi.Betapa rendah biaya operasional yang mesti dilaksanakan sebagian besar sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Anggaran pendidikan yang rendah ini mempengaruhi pencapaian mutu pendidikan. Gagallah upaya pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Jangan harap pendidikan bisa menjadi lokomotif pembangunan semua bidang dalam keadaan begini.

Wajar bila kontribusi pendidikan terhadap lapangan kerja menghasilkan tenaga kerja kasar. Mestinya ini mencemaskan calon penguasa yang memanfaatkan isu pendidikan sebagai bagian dari penggalangan massa.

Dalam laporan Competitive Year Book 2005, misalnya, menempatkan daya saing manusia Indonesia pada urutan 47 dari 49 negara. Akankah kita terusmenerus menjadi bangsa pecundang dengan sumber daya manusia rendah, yang di negerinya sendiri, menjadi mangsa mobilisasi politik? Mengapa tidak, kandidat penguasa itu mengkampanyekan pendidikan bermutu demi kualitas sumber daya manusia?

Lihat, wahai kandidat penguasa, bahwa pendidikan di Indonesia dikelola dengan sistem macro-oriented.Segala hal diatur jajaran birokrasi tingkat pusat, dijerat berbagai macam standar. Kegiatan belajar mengajar (dengan segala kesalahannya) diproyeksikan di tingkat pusat. Nah, kesenjangan inilah yang mestinya diperankan para kandidat penguasa, yang hendak meraih suara dari kalangan pendidik, orang tua siswa (masyarakat), dan siswa yang telah memiliki hak pilih. Bukan kampanye murahan: sekolah gratis! Bagi kandidat penguasa, yang membidik kedudukan gubernur, misalnya, perlu memikirkan kebijakan pendidikan yang dapat segera diimplementasikan dalam institusi pendidikan untuk membangun sumber daya manusia.Ini sungguh mendesak. Sumber daya manusia Indonesia perlu ditingkatkan daya saingnya, baik secara regional maupun global.

Kebijakan pendidikan memang mesti menyentuh hal-hal yang mendasar.Pertama, program penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Kedua pemberantasan buta aksara.

Ketiga, pemenuhan dan pemerataan pendidikan. Keempat, peningkatan kualitas guru. Kelima, pemenuhan sarana prasarana pendidikan. Jangan lupa, kandidat penguasa perlu memikirkan anggaran pendidikan yang memadai, lebih dari 20 persen APBD.

Bukan sekolah gratis yang mestinya menjadi prioritas kebijakan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan perlu diarahkan untuk menanggulangi dana pendidikan yang rendah yang tak memungkinkan sekolah digratiskan.Lagi pula, mutu pendidikan yang rendah dengan daya saing yang rendah, merupakan persoalan mendasar yang mesti segera diatasi dalam kebijakan pendidikan yang diimplementasikan di setiap institusi pendidikan.Apa kita masih akan berkampanye sekolah gratis sekarang? Sungguh, ini terlalu usang! hf

S Prasetyo Utomo
Dosen IKIP PGRI Semarang,
mahasiswa program pascasarjana
Magister Manajemen Pendidikan
UMS

Views: 41

No comments: