Friday, February 15, 2008

HANS-GEORG GADAMER



1. Pengantar

Hans-Georg Gadamer mahaguru pada Universitas Heidelberg, berasal dari lingkungan Marburg yang pada waktu itu sering mengalami disintegrasi. Gadamer “mencari orientasi baru dalam satu dunia yang kehilangan orientasi”.

Latar belakang pendidikan formalnya adalah studi bahasa-bahasa dan kebudayaan klasik serta filsafat. Selain dipengaruhi oleh Heidegger, Gadamer juga dipengaruhi oleh Plato, beberapa tema Neo-Kantianisme, Hegel (khuhsusnya dalam negativitas pengalaman). Gadamer juga melihat adanya kesinambungan Neo-Kantianisme dengan fenomenologi Husserl. Namun, perluh dicatat bahwa hermeneutika Gadamer kendati dekat dengan Hegel, tidak bertolek dari subjektivisme yangb kimplisit pada Hegel dan semua metafisika sebelum Heidegger. Meskpun dekat dengan Plato, Gadamer tidak mengendalikan doktrin ide Plato maupun konsepsinya tentang kebenaran dan bahasa.

Gadamer melihat fenomena hermeneutika pada dasarnya sama sekali bukan suatu masalah metode. Degan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekadar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam berbagai bidang kegiatan megetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umu interpretasi.

Hermeneutika dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan suatu pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologis di dalam manusia. Ia berpendapat bahwa tugas yang paling fundamental hermeneurika tidaklah mengembangkan suatu prosedur pemahaman, tetapi meneliti “apa yang selalu terjadi” manakala kita memahami. Hermeneutika adalah pnelitian semua pengalaman pemahaman. Gadamer merumuskan pemahaman sebagai sutu masalah ontologis.

2. Fenomena Pemahaman

Hemeneutika adalah memasuki diskusi dengan teks dari masa lalu. Oleh karena itu, masalah sentral hermeneutika adalah masalah konfortasi atau perjumpaan masa-kini dan masa-lalu, atau yang disebut juga masalah penerapan (applicatio). Jarak waktu menciptakan “posisi anatara” yang menjadi kancah hermeneutika. Posisi diantara yang asing dan yang dikenal berada di antara yang dimasud di waktu tertentu dalam sejarah dan ketermasukannya pada suatu tradisi.

Konfrontasi atau perjumpaan ini tidak dapat dihindari, tatapi sejauh mungkin justru harus disadari pristiwanya, kejadiannya, tidak dengan mengeluarkan masa kini, melainkan dengan sadar memainkan sehingga arti sesungguhnya dari teks atau fakta berbicara. Dengan ini, bagi Gadamer, hakikat hermeneutika adalah ontologi dab fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.

Sejalan dengan tesis Heidegger yang mengatakan bahwa Ada secara radikal historikal sifatnya, begitu juga pula Gadamer mengatakan bahwa pwmwhaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Karena “agaknya tidak dapat diragukan lagi bahwa cakrawala besar masa-lalu tempat kebudayaan dan masa-kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan atau kita takutkan dan kita khawatirkan di masa-depan”. Sejarah dan masa-lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman (juga pengetahuan, pikiran) kita. Gerak historikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa-lalu dan masa-kini.

Juga oleh gerak historikalnya, jika pemahaman adalah prosesual. Selalu mengadakan reviosi adalah ciri hakiki pemahaman. Berkat derap perjalanna waktu, senantiasa akan terdapat aspek-aspek baru yang lagi terbebaskan dan tampil ke permukaan sehingga setiap interpretasi baru dapat dipandang sebagai pontensialitas-pontensialitas data tradisi.

Pemahaman adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivita. Pemahaman adalah suatu modus keberadan, bukan sesuatu yang seseorang lakukan di antara berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud manusia. Jadi pemahaman bukan proses subjektif manusia dihadapkan dengan suatu objek, bukan suatu metode objektivikasi. Pemahaman bukan suatu pencarian keterangan tentang suatu objek.

Gadamer merekonsepsikan pemahaman sebagai bersifat partisipatorik pada suatu warisan budaya. Pemahaman masuk dalam peristiwa transmiri yang masa-lalu dan masa-kini senantiasa sedang diperantarai. Inilah, menurut penegasan Gadamer, hal yang harus diterima di dalam teori hermeneutika, yang terlalu dikuasai oleh ide prosedur, metode.

Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Dialetika bukan metodologi. Metode bukan menuju jalan kebenaran. Metode cenderung memprastrukturkan cara memandang. Metode hanya mampu membuat eksplisit macam kebenaran yang sudah implisit di dalam metode. Tujuan dialetika adalah agar kenyataan yang dijumpai menyikapi diri. Hermeneutika dialetik membuka diri untuk ditanyaai oleh kenyataan sendiri, sehingga kenyatan yang dijumpai menyatakan diri. Realisasi arti, realisasin komunikasi, realisasi pemahaman tersebut bersifat spekulatif karena kemungkinan-kemungkinan yang terbatas dari kata diorentasikan kepada arah makna yang dimaksudkan, pada yang tidak terbatas. Yang dialetikal adalah ekspresi yang spekulatif, representasi dari hal yang benar-benar termuat dalm yang spekulatif. Representasi tersebut adalah tampiln ya kenyataan itu sendiri. Oleh karena itu, hermeneutika Gadamer adalah hermeneutika diletika-spekulatif.

No comments: