Monday, September 17, 2007

PUASA DALAM TRADISI SALAF

  • Oleh Rozihan



SITI Maryam ibunda Nabi Isa Al Masih adalah wanita salihah dan terpuji di mata Tuhan. Ketika dia hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, "Hai saudara Harun, ayahmu bukanlah orang yang jahat dan ibumu bukanlah seorang pezina. Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara kepada anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Fragmen Siti Maryam ini terekam dengan indah dalam Alquran surat Maryam Ayat 28 dan 29.

Mengapa Siti Maryam yang dituduh berbuat mesum itu justru dimuliakan oleh Allah ?

Allah memerintahkan Siti Maryam untuk puasa bicara. Ia disuruh tidak menanggapi tuduhan dari masyarakat yang macam macam itu. Maryam hanya menjawab, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun pada hari ini. Maryam telah berjanji kepada Allah untuk puasa bicara.''

Puasa bicara yang dilakukan oleh Maryam ternyata mampu mendengarkan suara bayi yang dikandungnya. Ketika Maryam dihujat habis habisan oleh orang orang waktu itu, bayi yang dibawanya menjawab, "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.''( QS Maryam : 33 ).

Berbeda dari Nabi Zakaria as. Jika Siti Maryam puasa bicara dari hujatan, Nabi Zakaria. diperintahkan Tuhan untuk berpuasa bicara justru ketika menerima nikmat sebagai rasa syukur kepada Nya (QSMaryam : 10 ), karena menerima anugerah dari Allah dengan kehadiran seorang putra ketika usia telah senja.

Seorang anak bernama Yahya yang berhati lembut dan suci serta cerdas dan arif, bertakwa kepada Allah, berkhidmat kepada orang tua dan nilai nilai terpuji lainnya adalah produk puasa bicara Zakaria as ketika istrinya mengandung.

Puasa bicara yang dilakukan oleh Nabi Zakaria as lebih merupakan ungkapan syukur yang dicermikan dengan menghindari kebisingan dunia materi dengan menempuh jalan hidup suasana keilahian, bersyukur dan bertasbih kepada-Nya.

Demikian pula puasa bicara yang diilhamkan oleh Allah kepada Maryam, karena Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesuciannya melalui ucapan bayi yang dilahirkannya itu.

Pesan aplikatifnya, jika kita berdiskusi dengan orang yang hanya bermaksud mencari kesalahan atau yang tidak jernih pemikiran dan hatinya, dalam konteks ini Rasullah Muhammad bersabda " Meninggalkan sesuatu yang muspra merupakan kesempurnaan seorang muslim" (min husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'nih).

Tradisi Salaf

Dalam tradisi salaf (orang orang terdahulu ), puasa bicara atau lebih banyak diam ini dikenal sebagai sebuah ritus atau ibadah, termasuk oleh masyarakat jahiliah.

Sisa ritual itu sampai saat ini masih kelihatan bekasnya dalam bentuk mengheningkan cipta. Rasulullah Muhammad melarang puasa diam. Maka mengheningkan cipta bagi kaum muslimin Indonesia tidak boleh dipandang sebagai ibadah, tetapi lebih diapresiasi sebagai rangkaian kegiatan untuk mendoakan arwah para syuhada agar memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya.

Memaknai puasa bicara dalam tradisi salaf pada era global berarti meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Kesejatian seorang mukmin diukur ketika berbicara itu memberi manfaat atau tidak.

Pesan nabi tentang produktivitas bicara itu terekam dalam sebuah hadits, ''Al muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi" (seorang muslim yang baik adalah ketika berbicara dan bertindak selalu memberikan kesejahteraan bagi orang lain).

Jika puasa bicara Maryam dan Zakaria berbekas pada diri seorang bayi yang suci, maka pembicaraan yang produktif, efektif dan cerdas nilainya sama dengan puasa bicara yang dilakukan oleh orang orang saleh yang diajarkan dalam Alquran.

Aktivitas membaca dan berpikir serta menulis yang dapat membangun masyarakat luas sebagai sebuah karya monumental, dan merupakan ibadah sosial telah mengambil alih puasa bicara tradisi salaf pada era modern.

Demikian pula dengan kerja keras sebagai aktivitas fisik, yang dalam filsafat jawa disebut dengan ungkapan rame ing gawe sepi ing pamrih.

Semua yang disebut di atas merupakan implementasi puasa dalam tradisi salaf. Melakukan puasa seperti dilakukan orang saleh terdahulu itu dapat berlangsung kapan saja dan tidak terbatas pada bulan Ramadan.

Tetapi, puasa Ramadan tetap menjadi bulan evaluasi dari keseluruhan kehidupan kita. Terlalu banyak kredit kita kepada Allah yang belum terbayarkan. Membebaskan yang tertindas selalu menjadi topik aktual dalam pembahasan, tetapi masih jauh dalam kenyataan.

Simbol perjalanan politik Nabi Muhammad ketika mi'raj, beliau melihat seorang yang dipotong-potong lidahnya adalah isyarat pentingnya bahasa perbuatan ketimbang bahasa lisan.

Ungkapan ini lebih dikenal dalam adagium orang arab sebagai lisanul hal afsah min lisanil maqal.

Istilah amal saleh adalah bahasa perbuatan. Dan sudah selayaknya Allah hanya memberi ampunan sebagai pahala terbesar bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.

Demikian janji Allah dalam akhir surat Alfath. Masih banyak item amal saleh yang ditawarkan. Mari kita perebutkan. Wallahua'lam.

-- Drs Rozihan, SH, MAg, dosen FAI Unissula Semarang, wakil ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah, wakil ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah.



No comments: