Monday, September 24, 2007

Karakteristik Pribadi Mulia



CARI :







Jumat, 14 September 2007

JIKA seluruh manusia di dunia ini memiliki karakter pribadi mulia, dapat dibayangkan betapa indahnya kehidupan ini: tidak ada konflik, permusuhan, kerusuhan, tindak kriminal, dan sebagainya. Sebaliknya, yang ada adalah semangat kerjasama, saling berkasih-sayang, tolong-menolong, dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Dapatkah kondisi demikian tercipta? Insya Allah, jika dakwah Islamiyah terus-menerus berlangsung dengan para jurudakwah berjiwa mujaddid (pembaharu), muwahid (pemersatu), mujahid (pejuang), muadib (pendidik), dan musadid (pelurus) dengan keimanan dan keikhlasanya. Sasaran utama dakwah adalah perubahan pola pikir dan sikap, sehingga terbentuk manusia-manusia berkepribadian mulia. Itu pula yang menjadi misi Islam sejak kelahirannya, yakni membentuk budi pekerti yang mulia.

Akhlak tempatnya di dalam hati. Ia adalah “sentral komando” perilaku manusia. Akhlak adalah penentu baik-buruk perilaku seseorang. Fondasi akhlak yang membawa kebaikan amal perbuatan adalah dzikrullah, yakni selalu mengingat Allah SWT dalam segala kondisi. Dzikrullah adalah dasar akhlak mulia, bersama sifat pemaaf, suka mengajak kepada kebenaran, berpaling dari orang-orang bodoh, suka berlindung kepada Allah SWT dari godan setan (QS Al A’raf [7]: 199-201).

UPAYA dakwah hendaknya tidak lepas dari upaya pembentukan karakter pribadi mulia dengan fondasi akhlak yang mulia sebagai berikut:

Pertama, berbicara yang baik saja. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah pembicaraan dikatakan baik apabila isinya bermanfaat, mengandung kebajikan, membuat senang pendengarnya, atau tidak menyakiti hati orang lain. Pembicaraan yang baik juga bercirikan penggunaan kata-kata yang benar atau sesuai kaidah bahasa yang berlaku (qaulan sadida, QS An-Nisaa’ [4]: 9), kata-kata yang tepat sasaran, komunikatif, atau mudah dimengerti (qaulan baligha, QS 4: 63), serta mengunakan kata-kata yang santun, lemah-lembut, atau tidak kasar (qaulan karima, QS Al Isra [17]: 23). Pembicaraan yang baik juga harus penuh kejujuran atau kebenaran (shidqi).

Kedua, malu (haya’). Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Malu kepada manusia harus dalam konteks malu kepada-Nya. “Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari).

Ketiga, rendah hati (tawadhu’), yaitu perasaan lemah dan kecil di hadapan Allah. Sifat ini akan membuat seseorang tidak berlaku sombong, tidak memandang dirinya mulia apalagi merasa paling benar. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak kecil.

Keempat, senyum atau bermanis muka. Senyum adalah suatu kebajikan dan sama dengan ibadah sedekah. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar murah senyum, atau bermuka manis. Menyenangkannya senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang lain pada kita. Sebaliknya, sukakah kita melihat orang cemberut dan bermuka masam terhadap kita? Rasulullah bersabda, “Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu, tetapi hendaklah bermanis muka dan perangai yang baik dari kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).

Kelima, sabar. Bersabar dalam pergaulan adalah sifat mukmin sejati. Dalam bergaul kita menemui banyak orang dengan ragam watak dan perilakunya: ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan. Terhadap yang tidak menyenangkan, kita diharuskan bersabar menghadapi sikap mereka. “Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama". Menurut Nabi SAW ada beberapa tingkatan sabar, yaitu (1) sabar dalam menghadapi musibah, (2) sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT, dan (3) sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar yang pertama merupakan kesabaran terendah, yang kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran tertinggi (HR Ibnu Abi Ad-Dunia).

Keenam, kuat atau tahan banting. Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa dimaknai unggul dan berkualitas. Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir (QS Yusuf [12]:87).

Ketujuh, pemaaf, tidak pendendam. Memaafkan kesalahan manusia dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134). “Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan dengan kemuliaan.” (HR Muslim).

Kedelapan, menahan amarah. Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu dan syetan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak berfungsi normal. Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya (dirinya) ketika sedang marah.” (HR Bukhari Muslim). Kesembilan, zuhud. Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan manusia, Nabi SAW menegaskan, Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia menyukaimu. (HR Ibnu Majah). Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam batas-batas yang wajar. Menurut Rasulullah SAW, “Zuhud di dunia tidak mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta...” (HR Tirmidzi).

Kesepuluh, Qonaah, yaitu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Sikap demikian membuatnya tenang dan senantiasa mensyukuri pemberian-Nya, sedikit ataupun banyak. “Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya (hatinya).” (HR Bukhari dan Muslim). Kesebelas, wara, yakni menjauhi hal syubhat karena takut jatuh kepada keharaman. Syubhat artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara halal dan haram). Nabi SAW mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram. (HR Muttafaq ‘Alaih).

Keduabelas, suka menolong, yaitu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selama berada pada garis kebaikan dan takwa. Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak membuatnya malu. “Siapa yang menutupi aib orang mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR Muslim). Demikianlah karakteristik pribadi mulia yang harus kita tanamkan dalam diri kita dan didakwahkan kepada orang lain. Semoga Allah memberikan bimbingan dan pertolongan kepada kita dan para mujahid dakwah. Wallahu a’lam.

( )



© 2006 Hak Cipta oleh Republika Online

No comments: