Sunday, September 23, 2007

Puasa bagi Harmoni Keluarga


Line
Senin, 24 September 2007 NASIONAL
Line


  • Oleh Sri Suhandjati Sukri



MENGINJAK hari keempat puasa, ada seorang ibu memberitahukan melalui telepon bahwa masalah perselisihan dengan suaminya yang pernah dikeluhkan sebulan lalu, sekarang sudah selesai. Bahkan mulai puasa Ramadan ini, kebahagiaan keluarga yang sebelumnya terenggut oleh hadirnya pihak ketiga, sekarang sudah kembali seperti semula.

Kedamaian semakin dirasakan oleh anak-anak, karena ayah dan ibunya selalu bersama mereka saat berbuka puasa. Bahkan ayahnya sekarang banyak membaca buku-buku agama, mau memimpin doa sewaktu akan berbuka.

Kebersamaan di meja makan itu dilanjutkan di musala rumah mereka dengan shalat magrib berjamaah. Dan, ibu itu mengakhiri kisahnya dengan mengatakan, "Semua kekecewaan yang pernah singgah di hati ini karena ulah suami beberapa waktu yang lalu, telah hilang bersama dengan jabat tangan kami setelah selesai shalat. Saya pun tak kuasa menahan air mata, ketika anak-anak mencium tangan kami berdua dan mereka saling bersalaman antara kakak dan adik." Ibu itu mengungkapkannya sambil terisak karena haru dan bahagia.

Perekat Emosional

Ibadah puasa terbukti banyak mengandung perekat emosional, yang mampu mendekatkan hati suami dengan istri, antara orang tua dan anak serta sesama anak. Masalah yang dihadapi masyarakat di era global ini semakin kompleks, dan mempersempit ruang komunikasi dengan keluarganya, setelah bekerja seharian untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Situasi yang menyebabkan terputusnya komunikasi antara suami-istri maupun dengan anak-anak, dapat mengakibatkan masing-masing anggota keluarga pasif dan kurang peduli dengan kesulitan yang dihadapi anggota keluarga lainnya.

Dengan demikian, secara individual akan mencari solusi sendiri-sendiri. Jika solusi yang diperoleh dari teman atau media lain justru menjerumuskan pada kerusakan, maka keluargalah yang akan berantakan.

Karena itu, bulan puasa yang membuka peluang terciptanya komunikasi antaranggota keluarga, perlu digunakan untuk memperkuat ikatan kasih sayang dan kebersamaan menjadi lebih kokoh.

Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga keutuhan keluarga, yang setiap saat terancam oleh perpecahan karena berbagai sebab.

Timbulnya kedekatan emosional dengan keluarga saat melaksanakan tarawih, dirasakan pula oleh remaja yang beberapa bulan lalu mengaku kering jiwanya.

Meskipun ia telah melakukan shalat wajib, ia mengaku pada tahun lalu banyak meninggalkan puasa wajib. Karena ia kuliah di kota lain, ayah dan ibunya tidak tahu kalau anaknya sering meninggalkan kewajiban puasa.

Secara kebetulan, bulan Ramadan ini ia tinggal menyelesaikan tugas akhir, sehingga lebih banyak di rumah. Ia mengaku, merasakan nikmatnya berpuasa setelah terbuka hatinya oleh kultum yang disampaikan ayahnya pada shalat tarawih di rumah tentang hikmahnya berpuasa.

Ayahnya mengutip nasihat Lukman Hakim (seorang ahli filsafat yang bijak) kepada putranya: "Wahai anakku, jika perutmu penuh dengan makanan, maka pikiran dan semangatmu akan mati. Seluruh anggota tubuhmu menjadi malas melakukan ibadah kepada Allah, dan hilanglah kebersihan hatimu serta kehalusan perasaanmu. Padahal keduanya itu menyebabkan engkau dapat merasakan nikmatnya bermunajat pada Allah dan mendorongmu untuk selalu ingat dan memuji padaNya."

Apa yang dikutip ayahnya itu ternyata benar. Setelah beberapa hari berpuasa, ia mengaku hatinya menjadi tenang dan pikiran jernih. Kini ia bersama keluarganya sering menggunakan waktu menjelang berbuka puasa untuk membaca buku-buku agama agar pengamalan agamanya semakin bertambah baik dari hari ke hari.

Pendidikan dalam keluarga, pada prinsipnya menjadi dasar bagi pendidikan sesudahnya. Maka keharmonisan dalam keluarga akan berpengaruh pula pada hasil pendidikan lainnya.

Karena pendidikan di lingkungan keluarga saling mendukung dengan pendidikan di sekolah maupun masyarakat.

Sebagian orang tua menganggap bahwa tugas mendidik anak adalah untuk membina kecerdasannya saja. Jika tugas itu sudah dilimpahkan kepada guru di sekolah atau tempat pendidikan lain di masyarakat, mereka merasa telah bebas dari tanggung jawab.

Persepsi tentang pendidikan semacam ini perlu diubah karena pembinaan kecerdasan saja tidak menjamin anak tumbuh menjadi orang yang bermanfaat. Maka paradigma pendidikan dalam keluarga perlu diubah menjadi cerdas, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Tujuannya supaya kecerdasan tidak digunakan untuk tujuan yang merusak, tetapi untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan bangsanya.

Dan bulan Ramadan menjadi media latihan pendidikan yang tepat dan utuh, meliputi pengendalian unsur jasmani dan memperteguh rohani, agar terbentuk kepribadian muttakin.(60)

- Prof DR Sri Suhandjati Sukri, dosen IAIN Walisongo



No comments: