Monday, December 1, 2008

Pesona Libya

ovember 2008 pukul 10:20:00

"Marhaban". Ucapan selamat datang yang terpampang di Bandara Internasional Tripoli itu menyambut setiap tamu yang singgah di Negeri Sahara, Libya.Bayangan saya tentang Negeri Petro Dolar itu seketika buyar saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Tripoli. Ternyata bandara milik negara bernama Great Socialist People's Libyan Arab Jamahiriya itu tak seperti yang saya bayangkan.

Kemegahan bangunannya masih kalah jauh bila dibandingkan Bandara Hasanudin, Makassar, yang baru-baru ini diresmikan."Inilah Libya, negeri ini sedang membangun setelah diembargo selama lebih dari 10 tahun," kata KH Muhyiddin Junaidi, alumni mahasiswa Fakultas Dakwah Islamiyah Libya yang mengundang saya untuk bertandang ke negara itu.

Untuk mencapai negara yang berada di benua Afrika Utara ini, saya harus menempuh perjalanan udara sekitar 13 jam. Sekitar delapan jam dari Jakarta ke bandara Internasional Dubai untuk transit selama tiga jam. Perjalanan dari Dubai ke Tripoli -- ibu kota Libya -- mencapai lima jam. Rasa lelah pun terasa hilang begitu bus yang menjemput saya dan rombongan melaju di jalanan.

Di sepanjang jalan yang saya lalui, pembangunan tampak tengah gencar ddilakukan. Jalanan kota Tripoli tampak lengang. Di sepanjang jalan, hanya poster foto Pemimpin Libya Kolonel Muamar Kaddafi yang terlihat serta gambar-gambar peringatan 39 Tahun Revolusi Al-Fatih. Tanggal 1 September 2008 adalah tahun ke-39 Libya menyatakan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Kendaraan di kota ini didominasi mobil Jepang dan Korea berwarna putih. Berbeda dengan di Indonesia, tak satu pun sepeda motor yang melaju di jalanan yang mulus dan lengang itu. Satu-satunya motor yang saya jumpai adalah sepeda motor besar merek BMW yang digunakan polisi lalu lintas untuk mengawal tamu negara.

Dua peradaban
Libya memang khas dan unik. Negeri ini menghadirkan dua peradaban sekaligus. Nuansa Arab dan Eropa kental mewarnai kota Tripoli, khususnya. Satu lagi yang membuat saya sempat heran, hotel berbintang lima tempat saya menginap di Tripoli namanya Bab Al-Bahar -- terletak di pinggir Laut Mediterania -- ternyata tak jauh beda dengan hotel bintang tiga di Indonesia.

"Dua atau tiga tahun lagi pasti berubah. Sekarang hotel-hotel internasional sedang dibangun di sini," kata Kusworo Nursidik, ketua Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI) Libya.Yang membuat saya betah di negeri ini adalah hidangan khas Arab dan Libya yang sangat unik, namun enak. Hidangan daging kambing, ayam dan ikan dari Laut Mediterania terasa nikmat di lidah.

Keliling kota
Ditemani Atriadi Musthafa, mahasiswa Indonesia di Libya saya berkeliling kota Tripoli. Untuk mencapai pusat kota, ada dua pilihan angkutan umum yang bisa dipilih. Ada angkutan kota dan taksi. Angkutan umum di sana disebut ipeko. Bentuknya mirip mikrolet. Untuk mencapai kota ongkosnya hanya seperempat dinar Libya. Satu dinar nilainya mencapai Rp 7.500.

Sedangkan, jika menumpang taksi ongkosnya mencapai dua dinar. "Tergantung pintar-pintar kita menawar, karena di sini tak pake argo," tutur Atriadi.Tujuan pertama saya adalah Jalan Medan Aljazair. Di jalan ini berdiri dengan megah Masjid Gamal Abdul Naser. Dulunya bangunan itu adalah bekas gereja Katedral yang disulap menjadi masjid. "Orang Libya itu begitu mengagumi Gamal Abdul Naser dan Soekarno," kata Atriadi.

Penduduk Tripoli begitu ramah kepada orang Indonesia. "Indonesia and Malaysia good," celetuk dua pemuda saat melihat kami berjalan. Ada dua nama kota di Indonesia yang diabadikan di Tripoli, yakni Jalan Bandung dan Jakarta.

Di sebelah kiri masjid terdapat bangunan megah yang dijadikan tempat santai sembari menyeruput kopi khas Arab. Setelah mencoba mencicipi kopi dan roti yang cukup aneh di lidah, saya sempat mengunjungi taman kota Tripoli. Rumput yang hijau serta pohon kurma yang berbuah lebat menjadi pemandangan yang sangat indah. Seakan-akan, saya tak berada di negeri padang pasir."Jakarta saja, tak punya taman seasri dan sesejuk ini," kata seorang warga Jakarta, Alimin Abdulah, yang juga tengah bertandang ke Tripoli.

Setelah melepas lelah, saya kembali menelusuri jalan-jalan di kota yang dalam bahasa Arab disebut Tarabulus ini. Sepanjang jalan yang saya susuri bangunan pertokoan dan perumahan di pusat kota umumnya bergaya Italia. Maklum saja, negeri ini sempat dijajah Italia pada pertengahan abad ke-20 M.

Tempat bersejarah lainnya yang tak boleh dilewatkan adalah Benteng Peninggalan Turki Usmani. Letaknya di jalan Medan Syuhada. Berwarna cokelat, benteng itu masih tegap berdiri. Di sebelahnya terdapat Pasar Turki yang selalu ramai dikunjungi pembeli. Pasar ini paling ramai dikunjungi pada siang menjelang sore hari.

Satu lagi, bangunan bersejarah yang tak boleh dilewatkan yakni Istana Malik Idris raja Libya yang digulingkan perwira muda tentara pada 1 September 1969. Letaknya di Jalan Dohro. Semua tempat itu bisa dicapai dengan berjalan kaki."Indonesia, apa kabar? Ahmed Soekarno is good. Soeharto no good," sapaan seorang pria Libya itu membuat saya tertawa lepas. heri ruslan



Leptis Magna Keajaiban Dunia di Libya

Tak lengkap rasanya berkunjung ke Libya, jika tak sempat singgah ke Leptis Magna. Inilah saksi sejarah kejayaan Imperium Romawi di permulaan abad masehi. Saya dan rombongan delegasi Konferensi Umum Dakwah Islamiyah ke-8 langsung dibuat takjub ketika pertama kali melihat gerbang Leptis Magna.

"Serasa berada di Yunani," ucap Prof Juhaya S Praja, guru besar UIN Bandung.Ya, nuansa Eropa begitu kental di sini. Gerbang bekas kota peninggalan Romawi itu masih menjulang dengan kokoh. Bekas kota peninggalan Romawi itu berada di sebelah Timur Tripoli menuju ke arah kota Benghazi. Jaraknya mencapai 120 kilometer dan dengan waktu tempuh 1,5 jam.

Untuk bisa sampai di Leptis Magna, Anda bisa menumpang taksi atau menyewa mobil dari Tripoli. "Kalau naik taksi ke sini ongkosnya 30 dinar," kata Kusworo Nursidik.Untuk bisa melihat peninggalan Romawi yang memukau itu setiap orang harus membayar tiket masuk sekitar enam dinar. Kota bekas kejayaan Romawi di Libya itu begitu luas. Letaknya berada di pinggir Laut Mediterania. hri


Gedung Teater Romawi

Yang membuat saya lebih terpukau, ketika berada di dalam bangunan teater yang dibangun pada tahun 1-2 M, di kawasan Leptis Magna. Di temani angin laut Mediterania serta pemandangan yang menakjubkan, berada di gedung teater ini sungguh mengesankan.

Para pengunjung pun mengabadikan setiap sudut tempat di teater ini. Setelah mengunjungi teater, bekas pasar di zaman Romawi yang begitu megah dan unik sungguh sayang untuk dilewatkan.Bangunan lainnya yang tak kalah indahnya adalah bekas istana raja Romawi. Begitu kokoh dan megah. Sayangnya, sudah banyak bagian yang tinggal puing-puing. Di dalam istana raja, terdapat mimbar tempat raja Romawi berpidato.

Di Leptis Magna juga terdapat lapangan olahraga serta bekas kolam pemandian. Bila Anda akan mengunjungi tempat ini sebaiknya memakai topi, maklum suhunya cukup panas.Meski telah puas mengelilingi bekas-bekas kejayaan Romawi di Leptis Magna, namun rasanya sangat berat untuk meninggalkannya. Kekaguman akan Leptis Magna masih terasa hingga kini. hri
(-)

1 comment:

setyawan said...

assalamu'alaikum,
katur salam kagem ust. kusworo nursidik