Posted on October 1st, 2008 in 15 Wawasan Muhammadiyah by redaksi
Jabrohim
Banyak sekali pengalaman yang penulis dapat ketika ikut terjun mengelola Kuliah Kerja Nyata mahasiswa di pelosok-pelosok. Kehidupan riil masyarakat dapat terasa denyutnya. Demikian juga, kehidupan riil persyarikatan di pelosok-pelosok desa dan daerah yang jauh itu. Ada fakta-fakta yang menggembirakan, karena di sana persyarikatan dapat hidup dan berkembang pesat. Ada pula fakta-fakta yang memrihatinkan karena di sana persyarikatannya mengalami kemandegan, kembang kempis dan ada pula yang nyaris almarhum.
Di daerah dan di pelosok desa itu, maju mundurnya Persyarikatan ditandai oleh adanya regenerasi yang lancar atau mandek. Regenerasi bisa menyangkut usia tokoh penggerak Persyarikatan, bisa menyangkut peralihan atau transfer ide dan ideologi gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Kadang regenerasi tokoh tidak jalan dan transfer ideologi gerakan juga tidak jalan. Kalau sudah demikian, kisah sukses Persyarikatan di tempat ini tinggal menjadi masa silam. Kehebatan para perintis, kehebatan para penggerak dan para pejuang Muhammadiyah dulu, tinggal menjadi kisah sukses yang enak dikenang, tetapi tidak enak untuk dihadirkan di tengah kondisi Persyarikatan yang kurang menggembirakan. Muhammadiyah menjadi organisasi para simbah dalam arti faktual dan simbolik sekaligus. Artinya, geraknya lamban dan kurang mampu menghadapi berbagai perubahan baru dalam masyarakat.
Ada pula yang regenerasi tokoh tidak jalan tetapi proses transfer ide dan ideologi gerakan berlangsung lancar. Ini biasanya ditandai oleh suburnya Ortom anak muda. Juga, satu dua majelis yang diisi oleh aktivis muda. Kegiatan ortom sangat mewarnai masyarakat itu, meski kegiatan Muhammadiyah sendiri cenderung semakin rutin. Karena tokoh tua Persyarikatan cukup arif untuk memberi ruang dan kesempatan kepada aktivis ortom dan aktivis majelis, maka para anak muda tetap memiliki gairah untuk tetap bergerak, berjuang dan mengembangkan masyarakat dalam kerangka perjuangan Muhammadiyah. Kondisi yang demikian masih memungkinkan Persyarikatan untuk memahami dan menghadapi berbagai perubahan zaman, yang paling kini sekalipun. Mereka bisa mengantisipasi perubahan tanpa gagap dan tergagap sedikitpun.
Yang paling ideal dan optimal manakala regenerasi tokoh dan proses transfer ide serta ideologi perjuangan dan gerakan berlangsung sama-sama mulusnya. Hampir dipastikan, Persyarikatan di tempat ini maju pesat. Kemajuan Persyarikatan ditandai, secara fisik, memiliki kantor yang bagus, masjid yang bersih dan representatif, amal usaha pendidikan yang jenjangnya lengkap, punya amal sosial yang tidak mengecewakan, amal usaha kesehatan pun tidak kalah dengan tempat lain, ditambah hadirnya lembaga keuangan syariah Muhammadiyah yang dapat menjadi pusat penggerakan ekonomi masyarakat setempat. Kemajuan pesyarikatan di tempat ini secara nonfisik tampak dari gerakan dakwah jamaah, dakwah media dan multimedia, dakwah kultural dan dakwah sosial. Kemampuan Muhammadiyah setempat untuk memecahkan persoalan masyarakat menjadi maksimal. Orang miskin terlindungi dan orang kaya terayomi. Semua dapat hidup berdampingan dalam suasana kehidupan yang relatif tenteram, tenang, tetapi sekaligus dinamis, berkemajuan dan mampu hadir berada di depan kelompok masyarakat yang lain.
Ketika mahasiswa kami berada di tempat yang kondisinya masuk dalam kategori kedua dan ketiga, mereka tidak begitu mengeluh. Bahkan, para mahasiswa itu dapat berguru ke masyarakat setempat. Mereka mendapat pengalaman yang luar biasa tentang bagaimana mengelola dan menggerakkan Persyarikatan. Tetapi, ketika mahasiswa kami kebetulan berada di tempat yang kondisinya termasuk kategori pertama, maka mereka banyak mengeluh. Dalam usia yang masih muda dan miskin pengalaman, meski punya ilmu agak banyak tetapi mereka belum terampil mempraktikkan ilmunya. Masyarakat setempat yang tahu kalau para mahsiswa itu berasal dari kampus Muhammadiyah, sangat berharap dan sering memperlakukan para mahasiswa sebagai konsultan tentang bagaimana menggerakkan Muhammadiyah. Untung pembekalan yang diberikan biasanya cukup memadai. Mereka yang tangkas dalam berfikir dan bertindak biasanya mampu dan berhasil menjadi konsultan Persyarikatan ini.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana mencari entry point untuk menggerakkan Persyarikatan yang kondisinya sudah terlanjur parah ini. Bahkan tidak jarang, Persyarikatan di tempat ini benar-benar sudah almarhum karena aktivisnya sudah tidak ada lagi. Yang tersisa tinggal satu dua tokoh tua, atau anak muda yang kebetulan pernah sekolah atau dididik di sekolah Muhammadiyah. Untuk ini kondisi sosial serta semacam peta dakwah setempat harus diketahui dengan lengkap dan cermat terlebih dahulu. Kita dapat meniru metode Buya AR Sutan Mansur, yang ketika masuk ke daerah baru beliau melakukan pengamatan yang cermat selama berbulan-bulan dulu. Istilahnya, mencari titik subur dari sebidang tanah dan mencari segenggam benih yang siap ditabur dan disiram.
Mencari entry point untuk menggerakkan Persyarikatan sungguh tidak gampang. Kemungkinannya banyak. Misalnya, pertama, dengan mendekati ibu-ibu. Kalau di tempat itu belum ada TK ABA, maka upaya untuk merintis dan mendirikan TK ABA hampir dipastikan merupakan entry point yang manjur. Sebab di banyak sekali tempat, para pasukan ibu-ibu Asiyiyah ini yang lebih dahulu bergerak mendirikan TK ABA sebelum mendirikan Aisyiyah. Dengan berdirinya TK ABA, maka para aktivis bisa berkumpul, bisa selalu ada waktu untuk berembug, ada alasan untuk ketemu. Demikian juga, masyarakat, mereka dapat diajak bertemu lalu secara bersama-sama diajak untuk merawat dan memajukan TK ABA ini. Biasanya, para ibu-ibu ini senang diajak kumpul-kumpul. Para wali anak TK ABA pun dapat diajak kumpul, pengajian atau arisan atau apa. Dari sini kemudian, kalau kondisinya sudah oke, baru dirintis berdirinya Aisiyah. Kalau Aisyiyahnya berdiri, maju maka bapaknya akan lebih mudah untuk diajak pengajian, lalu merintis ranting Muhammadiyah, anaknya mendirikan ranting ortom.
Kemungkinan kedua justru dengan menggerakkan anak mudanya. Pernah ada aktivis Pemuda Muhammadiyah mengeluh,”Mas, kenapa ya, anak muda di sini sulit digerakkan. Tetapi, ketika diajak latihan Kokam mereka mau, berbondong-bondong dan semangat.” Lho, ini malah bagus. Tak usah dikeluhkan. Artinya, naluri bela negara dan naluri anak muda untuk mengatasi tantangan masih ada. Gerakan menumbuhkan Kokam, dapat menjadi entry point tersendiri. Mulai dari potensi Kokam, anak-anak muda setempat mau menggerakkan Pemuda Muhammadiyah. Mereka kemudian dapat memancing para pemudi untuk bangkit mendirikan NA. Dengan entry point berbeda.
Kalau masyarakat di situ kebetulan masyarakat yang memiliki semangat kependekaran yang tinggi, maka entry point ketiga adalah tentu saja dengan merintis latihan Tapak Suci. Kalau masyarakat setempat suka main sepakbola dan nonton sepakbola, maka sepakbola HW dapat dikenalkan dan dirintis untuk dididirkan di situ. Bisa mulai dari anak-anak, atau mulai dari anak mudanya. Kalau ada tokoh pandu HW ada di dekat tempat itu, maka perintisan dan upaya menghidupkan kembali pandu HW dapat dijadikan pilihan sebagai entry point. Sekarang ini terdapat begitu banyak fakta yang menggembirakan, yaitu bagaimana masyarakat yang dulu dikenal sebagai basis Muhammadiyah kemudian mati suri, dapat dibangkitkan kembali Muhammadiyahnya lewat gerakan Pandu HW lintas usia dan lintas generasi. Semua semangat nabuh drum band HW, dan rajin kalau diminta untuk pawai. Dari sebuah gerakan pandu HW, maka gairah ber-Muhammadiyah pun dapat dikobarkan kembali.
Masih ada entry point lain. Misalnya, keempat, dengan menghadirkan lembaga keuangan mikro dan lembaga konsultasi usaha kecil di tengah masyarakat miskin. Jangan biarkan mereka putus asa kemudian menjadi gerombolan pengemis. Mereka perlu didekati dan ditolong. Lewat upaya pertolongan pertama pada kebutuhan finansial. Caranya bisa dimulai dari langkah sederhana. Para pedagang kecil dan para pembuat makanan, atau pemilik warung kecil itu dikumpulkan. Biasanya mereka mengeluh tidak punya modal untuk mengembangkan usaha. Kalau mau pinjam rentenir atau bank resmi bunganya mencekik. Dengan mengenalkan dan dibantu modal untuk membuat dana bergulir tanpa bunga yang berasal dari zakat atau sedekah, mereka akan punya harapan untuk maju secara ekonomi. Kalau mereka sudah tertolong secara ekonomi, maka upaya untuk mendakwahi mereka menjadi lebih mudah. Dan ini, sekaligus merupakan upaya untuk membentengi iman mereka. Dan untuk masyarakat pedesaan, pola penitipan atau menggaduhkan ternak juga dapat dipilih sebagai entry point. Ternak pedaging berupa sapi atau kambing, ternak penghasil telur berupa induk ayam atau itik dapat dititipkan ke warga desa, mereka diminta untuk memelihara, kemudian hasilnya dibagi. Upaya ini merupakan kegiatan pengentasan kemiskinan yang konkret, produktif, rasional dan halal. Biasanya, mereka yang tertolong secara ekonomi ini kemudian tidak merasa berat ketika kemudian harus menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Muhammadiyah.
Entry point sederhana yang lain, entry point kelima, adalah dengan aktif mengisi pengajian di masjid, musholla, dan aktif mendidik anak-anak warga di TPA-TPA. Ini memerlukan stamina, kelompok mujahid dakwah yang tangguh, dan harus disertai rencana yang rapi dan berkelanjutan. Biasanya salah satu tanda-tanda kemunduran dan kematian persyarikatan di suatu tempat ditandai oleh matinya pengajian di tingkat ranting atau jamaah. Nah, kalau ini dihidupkan lagi, ada harapan Persyarikatan akan hidup lagi.
Tentu saja sebuah entry point memiliki kehebatan dan kelemahan tersendiri. Jadi, perlu dipilih mana yang tepat untuk kondisi masyarakat setempat. Untuk ini memang dibutuhkan apa yang bisa disebut sebagai kecerdasan berPersyarikatan, kecerdasan ber-Muhammadiyah. Para pendiri, perintis dan pelanjut Muhammadiyah kita di mana-mana ketika suskes memimpin Muhammadiyah hampir dipastikan memiliki kecerdasan ber-Muhammadiyah seperti itu. Termasuk kecerdasan dalam menentukan sebuah atau beberapa buah entry point, yang ketika disentuh akan menimbulkan efek berantai yang positif di masyarakat. Dan kuncinya hanya dua. Selama kita ikhlas dan selama kita mampu hadir sebagai pemecah masalah, maka masyarakat mana pun akan menerima kita dan Muhammadiyah kita. Begitu sebaliknya, kalau kita tidak ikhlas dan hadir justru menimbulkan masalah baru maka kita dan Muhammdiyah kita tidak bakalan diterima.l
Penulis adalah Kepala LPM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment