Al-Qur’an hanyalah sebuah teks tertulis di antara dua sampul (mushaf).
Ia tidak berbicara, namun melaluinya manusia berwacana.
Ali bin Abi Talib (w. 40/661)
Sikap al-Qur’an terhadap komunitas agama lain telah menarik perhatian banyak sarjana Barat. Dalam kesarjanaan Muslim sendiri tidak ada penjelasan tunggal dan final tentang posisi etis al-Qur’an bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan “agama lain.” Silang pendapat dan kontroversi seputar isu ini bisa menggiring orang dalam kebingungan, dan berkesimpulan bahwa al-Qur’an memang tidak memiliki pandangan koheren dan – seperti halnya kitab-kitab suci agama lain – ia dapat digunakan untuk menjustifikasi pandangan apapun yang dianut pembacanya. Mungkin saja ini benar. Namun, gagasan keragaman agama dipertunjukkan dalam Q. 5:48 sangat terang benderang sehingga menuntut elaborasi dan kontekstualisasi. Tulisan ini hendak mendiskusikan tafsir Q. 5:48 sebagai pijakan awal diskursus kesarjanaan Muslim kontemporer dalam mengadvokasi gagasan pluralisme agama. Dua pertanyaan sentralnya adalah: Sejauhmana gagasan pluralisme agama dapat dilacak dalam tradisi tafsir klasik? Apakah para pemikir Muslim kontemporer terlalu membebankan sudut pandang modern terhadap pandangan-dunia al-Qur’an yang diformulasikan pada masa pra-modern? Dua arus pemikiran akan dieksplorasi. Pertama, kita akan mengeksplorasi tafsir klasik atas Q. 5:48 untuk menelisik pandangan ulama-ulama terdahulu menyangkut isu yang menjadi concern kita di masa kini. Kedua, kita akan menganalisis pendekatan sarjana-sarjana Muslim terhadap apa yang disebut “konservatisme” tafsir klasik.
Untuk tujuan kedua ini, kita “terpaksa” harus membatasi pada tiga sarjana Muslim yang mewakili tradisi berbeda, namun semuanya merujuk pada Q. 5:48 sebagai pijakan sentral dalam argumentasinya. Mereka adalah: Nurcholish Madjid (Indonesia), Asghar Ali Engineer (India), dan Abdulaziz Sachedina (Amerika Serikat). Secara metodologis, pembatasan pada tiga sarjana itu dan pemilihan satu ayat dan mengabaikan ayat-ayat lain bisa dipertanyakan. Berikut penjelasan singkat sebagai pembelaan metodologis. Pembatasan pada ketiga sarjana di atas semata karena keterbatasan ruang (alasan yang mudah ditebak!). Namun, alasan lebih subtilnya, ketiga sarjana itu sudah cukup representatif untuk melihat sisi kontras dalam pendekatan mereka terhadap warisan masa lalu. Demikian juga pemilihan satu ayat diharapkan akan lebih fokus karena kita hendak melakukan kajian komparatif. Orang bisa mempersoalkan kenapa memilih ayat yang memang tidak problematik dalam perbincangan pluralisme agama: kenapa tidak mendiskusikan ayat-ayat polemik terhadap agama lain? Pertanyaan semacam ini, tentu saja, absah. Namun, pertanyaan itu tidak relevan bagi argumen utama tulisan ini. Yakni, visi keragaman agama yang begitu gamblang dalam Q. 5:48 itupun bisa ditafsirkan sebaliknya untuk mengokohkan sikap supremasi Islam atas agama-agama lain, seperti dapat kita semak dalam sejumlah tafsir klasik.
Tafsir Klasik atas Q. 5: 48
Pertanyaan pertama yang menarik perhatian para mufasir klasik adalah: kepada siapa ayat ini ditujukan? Untuk keperluan analisis, ayat ini bisa kita pecah menjadi dua bagian: Pertama, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran, membenarkan (mushaddiqan) kitab yang diturunkan sebelumnya, dan memverifikasinya (muhaiminan) ; maka putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka berpaling dari kebenaran yang telah datang kepadamu,” dan kedua: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan (minhāj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan kepada kalian; maka berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt). Hanya kepada Allah-lah kalian semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” Para mufasir klasik sepakat, bagian pertama ditujukan pada Nabi Muhammad. Mereka berbeda pendapat tentang audience bagian kedua. Apakah ditujukan kepada Nabi dan para pengikutnya atau juga kepada komunitas agama lain?
Bagi Muqatil bin Sulayman (w. 150/767), “wa likullin ja’alnā minkum” berarti “kaum Muslim dan ahl al-kitāb,” tanpa menjelaskan siapa yang termasuk ahl al-kitāb. Zamakhsyari (w. 538/1144) juga tidak mengidentisifikasi audience bagian kedua ini, kecuali ia menegaskan bahwa ayat itu ditujukan kepada manusia secara umum (al-nās). Tabarsi (w. 548/1153) dan Fakh al-Din al-Razi (w. 707/1209) menspesifikasi bahwa bagian kedua ayat itu ditujukan kepada tiga umat (khitāb li al-umam al-tsalāts), yaitu umat Musa, umat Isa, dan umat Muhammad, dengan alasan sederhana bahwa ketiga umat itu sudah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Tabari (w. 310/923) meriwayatkan satu pendapat dari Mujahid bahwa ayat itu ditujukan kepada umat Muhammad semata. Ayat itu, kata Mujahid, harus dipahami begini: Allah telah menjadikan al-Qur’an sebagai hukum dan jalan bagi mereka yang menganut agama Islam. Namun demikian, pendapat ini ditolak sendiri oleh Tabari dengan argumen bahwa jika umat Muhammad memang sudah satu, bagaimana mungkin al-Qur’an kemudian menegaskan: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat.” Argumen serupa diajukan Ibn Katsir (w. 774/1373), kendatipun ia memiliki agenda lain untuk diadvokasi, yakni bahwa validitas risalah keagamaan setiap umat telah dihapus (nusikha) oleh umat yang datang berikutnya, hingga akhirnya Muhammad diutus untuk menghapus seluruh agama. Sebagaimana akan didiskusikan lebih detail nanti, tampaknya Ibn Katsir sangat terobsesi dengan gagasan abrogasi (naskh).
Kecenderungan seperti ini dapat kita temukan dalam isu-isu lain yang diperbincangkan para mufasir klasik, seperti makna “muhaimin”, “syir’ah,” atau bahkan kata “khayrāt.” Namun, sebelum kita diskusikan lebih lanjut, kita lihat sejenak ciri-ciri tipikal dalam kesarjanaan tafsir klasik. Bila tafsir-tafsir di atas dilihat secara kronologis, dari yang paling awal (Muqatil) hingga paling akhir (Ibn Katsir), kita dapat mengajukan kesimpulan sementara, setidaknya terkait ayat di atas, bahwa tafsir yang awal tampak lebih toleran dan terbuka bagi keragamaan agama dibanding tafsir yang muncul belakangan. Muqatil adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam yang menulis tafsir al-Qur’an secara utuh dan karyanya sampai kepada kita sekarang. Baginya, audience ayat itu terbuka bagi komunitas agama lain. Dia bahkan tidak merasa perlu membatasi siapa saja yang bisa dikategorikan ahl al-kitāb. Bandingkan, misalnya, dengan pandangan Ibn Katsir yang begitu antusias mengkampanyekan penghapusan ayat-ayat “pluralis” dengan ayat-ayat polemis. Sungguhpun argumen abrogasi Ibn Katsir ini sangat problematik, tafsirnya begitu diminati dan populer bukan hanya di kalangan peminat studi tafsir, tapi juga di kalangan masyarakat Muslim secara umum. Mengikuti jejak gurunya, Ibn Taymiyyah, Ibn Katsir gigih memperkenalkan apa yang disebutnya “tafsir salaf,” dan membatasi ruang gerak tafsir. Tesis utama Ibn Katsir, seperti diuraikan dalam pendahuluan tafsirnya, bahwa hanya ulama yang memiliki kapasitas untuk menafsirkan al-Qur’an dan tafsir harus didasarkan pada sumber-sumber dari mereka yang disebut salaf sālih. Ia mengutip hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri (ra’y) maka tempatnya kelak di neraka,” dan hadis lain yang lebih “dramatis”: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendapatnya sendiri dan ia benar, maka ia masih dianggap salah.”
Nasib sebaliknya dialami tafsir Muqatil. Ada baiknya kita perkenalkan sedikit kontroversi tafsir Muqatil, figur yang begitu dibenci kaum tradisionalis dan konservatif ini. Seorang penulis Arab Saudi, Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrawi, menulis sub-judul bukunya “bida’ Muqātil” (beberapa bid’ah Muqatil). Ahli tafsir ternama Muhammad Husein al-Dzahabi, yang karyanya berjudul al-Tafsīr wa al-Mufassirūn menjadi textbook di berbagai universitas Islam, mengecam keras Muqatil dengan kata-kata sulit dipercaya datang dari seorang sarjana tafsir terhormat. Katanya, “karya Muqatil mengandung lebih banyak buruk daripada baiknya, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.” Di mata mereka, Muqatil adalah penganut ajaran dan doktrin sesat semacam antropomorfisme. Tuduhan seperti ini sebenarnya dapat dilacak jauh ke Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324/935), pendiri mazhab teologi Asy’ariyyah. Dalam Maqālāt al-Islāmiyyīn, al-Asy’ari mengaitkan Muqatil dengan pendapat bahwa “Tuhan memiliki badan, daging dan darah.” Tuduhan antropomorfisme ekstrem ini sebenarnya tidak terbukti dalam karya-karya tafsirnya yang sampai kepada kita sekarang. Seperti akan didiskusikan lebih lanjut nanti, barangkali faktor politik dan teologis lebih banyak mewarnai kecaman-kecaman terhadap Muqatil. Ia juga dituduh menggunakan sumber-sumber biblikal dalam menafsirkan al-Qur’an. Yang mengagetkan kita, Muqatil ini sangat dikagumi oleh ulama besar sekaliber imam Syafi’i (w. 204/820). Kata Syafi’i, “Barangsiapa hendak belajar tafsir, dia harus menyandarkan diri ke Muqatil bin Sulayman.” Sulit dibayangkan, imam Syafi’i tidak menelaah sendiri tafsir-tafsirnya sebelum ia menyarankan kita berguru ke Muqatil. Suatu saat Ubbad bin Katsir diberitahu bahwa banyak orang membenci Muqatil, ia merespons: “Jangan. Jangan benci dia. Saat ini tidak ada orang yang lebih ‘alim tentang al-Qur’an daripada Muqatil.” Yang lebih mengherankan lagi, hampir tidak ada sarjana Muslim melakukan studi serius terhadap karya-karyanya. Padahal, dilihat dari fakta bahwa dia adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam seharusnya sudah cukup untuk menyentak curiosity kita, termasuk dan terutama, untuk melihat bagaimana hubungan lintas konfesional terekam dalam tafsir-tafsirnya. Di Barat, sebaliknya, kesarjanaan bidang tafsir yang menelaah Muqatil semakin tumbuh berkembang.
Kembali ke “istilah-istilah kunci” dalam Q. 5:48. Tentang makna “muhaimin” dalam ayat itu, tafsir klasik dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Partama, diwakili Muqatil, Tabari, dan Tabarsi, adalah mereka yang menekankan bahwa al-Qur’an membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya berasal dari Tuhan. Muqatil menggunakan frase “syāhid ‘alayhi” yang berarti bahwa al-Qur’an bersaksi dan mengafirmasi kitab-kitab suci terdahulu dari Allah. Kedua, diwakili Zamakhsyari dan Razi, bahwa al-Qur’an bukan hanya mengakui kitab-kitab suci terdahulu berasal dari Allah, tapi juga membuktikan kebenaran dan validitasnya. Ketiga, diwakili Qurtubi (w. 671/1272) dan Ibn Katsir, adalah mereka yang mengaksentuasi aspek superioritas al-Qur’an atas kitab-kitab suci sebelumnya. “Muhaimin ‘alayhi” diartikan “āliyan ‘alayhi wa murtafi’an” (lebih agung dan tinggi). Ibn Katsir mengutip pendapat Ibn Abbas: “muhaimin berarti al-Qur’an menghakimi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya,” dan menambahkan bahwa al-Qur’an mengandung aspek kesempurnaan yang tidak dimiliki kitab-kitab suci terdahulu.
Kata “syir’ah” yang acapkali diterjemahkan “hukum” juga menarik perhatian para mufasir. Apa arti “bagi setiap kalian Kami berikan hukum”? Tafsir-tafsir awal lebih mengesankan sikap “pluralis” dalam menjelaskan kata syir’ah. Menarik dicatat, Muqatil menyuguhkan penjelasan paling rinci tentang perbedaan syir’ah tiga agama yang kerap disebut “agama-agama Ibrahim” itu. Poinnya adalah, perbedaan syir’ah dalam agama-agama bukanlah soal kekhususan ruang dan waktu, melainkan lebih pada aspek independensi setiap umat. Artinya, sebagaimana halnya umat Muhammad tidak diperintahkan mengikuti hukum agama lain, mereka juga tidak diperintahkan mengikuti syari’at Muhammad. Aspek independensi dan otonomi ini dielaborasi lebih jauh oleh Razi dan Zamakhsyari. Frase al-Qur’an “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan”, bagi Razi, merupakan suatu indikasi “setiap Nabi adalah otonum dengan syari’atnya sendiri.” Zamakhsyari menawarkan visi lebih pluralistik, bahwa perbedaan itu memang didesain untuk menguji apakah orang-orang yang mengamalkannya meyakini keragaman syari’at itu demi kemaslahatan umat manusia sendiri.
Beberapa tafsir yang muncul belakangan mencoba merevisi pandangan yang tampak pluralistik ini. Qurtubi, misalnya, berargumen keragaman syari’at tidak menjamin kebenaran setiap syari’at. Ide abrogasi syari’at terdahulu kelihatannya sudah mengkristal pada masa Qurtubi. Sebelum Qurtubi, Tabarsi memang sudah menyinggung soal abrogasi tetapi masih ambigu. Banyak alasan untuk mengatakan, teori abrogasi diciptakan belakangan untuk mendukung pandangan supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan Qurtubi meriwayatkan pendapat Mujahid, “syir’ah dan minhāj yang dimaksud dalam ayat itu adalah agama Muhammad, dan seluruh agama lain telah diabrogasi oleh Islam.” Menggunakan argumentum e silentio, orang bisa mempertanyakan kebenaran riwayat ini. Kenapa gagasan abrogasi yang dinisbatkan kepada Mujahid tidak kita temukan dalam karya ensiklopedik Tabari, padahal Tabari meriwayatkan banyak pernyataan Mujahid dalam tafsirnya? Saya sendiri memang curiga penisbatan ini dimunculkan belakangan untuk mendukung suatu pendapat tertentu, terutama karena banyak kontradiksi dalam periwayatan itu. Ide abrogasi lebih lantang disuarakan Ibn Katsir yang memang tampak terobsesi dengan gagasan itu. Ia menginterpretasi ayat itu begini: Tuhan bisa saja menjadikan seluruh umat sebagai tunggal, tidak diabrograsi, namun Dia telah menurunkan syari’at bagi setiap Nabi dan menghapusnya dengan syari’at Nabi berikutnya, hingga Ia menghapus seluruh syari’at dengan diutusnya Nabi Muhammad. Tafsir Ibn Katsir tentang frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt)” juga berbeda dengan mufasir terdahulu. Sementara sebagian besar mufasir menafsirkan “khayrāt” sebagai “amal baik,” bagi Ibn Katsir “khayrāt” adalah “taat kepada Allah dan mengikuti syari’at-Nya yang Ia jadikan sebagai penghapus (nāsikh) atas apa yang telah diturunkan sebelumnya.”
Dari eksplorasi singkat ini tentu tidak jujur kalau kita menolak bahwa al-Qur’an dan sumber-sumber Islam lainnya terbuka untuk ditafsirkan secara intoleran. Dalam tradisi tafsir, bahkan teks yang jelas-jelas mendukung keragaman agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan sebaliknya. Saya setuju dengan Dr. Khaled Abou el Fadl bahwa “makna teks acapkali tergantung moral pembacanya. Kalau pembacanya intoleran, penuh kebencian, dan opresif, maka demikian pula tafsirnya terhadap teks.” Saya tidak bermaksud menyangkal sebagian ayat al-Qur’an memang bersifat polemik, tetapi problemnya menjadi lebih “akut” karena al-Qur’an itu kemudian ditafsirkan oleh para mufasir klasik yang hidup dalam apa yang disebut John Wansbrough sebagai “sectarian milieu.” Kita boleh tidak setuju dengan argumen “radikal” Wansbrough bahwa al-Qur’an lahir dalam “sectarian milieu” di luar Jazirah Arab dan bahwa teks-teks al-Qur’an sendiri belum stabil hingga awal abad ke-3. Namun, kita sulit membantah bahwa tafsir terhadap al-Qur’an memang berkembang dalam lingkungan polemikal dan apologetik antar-agama. Akibatnya, kita memiliki tumpukan literatur tafsir yang mengadvokasi sikap supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan, ayat yang jelas-jelas mendukung toleransi agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan untuk memusuhi agama-agama.
Sudah barang tentu ada banyak alasan politik dan sosiologis kenapa tradisi tafsir cenderung mengarah pada konservatisme dan eksklusivisme ketika terkait soal agama lain. Faktor-faktor historis itu tidak seharusnya memenjarakan kita. Pertanyaannya sekarang: Bagaimana seharusnya kita memperlakukan warisan tafsir klasik? Dalam tradisi kesarjanaan yang serius, menampik begitu saja warisan tradisi klasik sudah tidak fashionable, karena al-Qur’an masih “berbicara” kepada jutaan umat melalui suara tafsir klasik. Sebelum mendiskusikan bagaimana sarjana-sarjana Muslim menyikapi tradisi dan tafsir klasik, kita lihat terlebih dahulu sentralitas Q. 5:48 dalam argumen mereka.
Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama
Tujuan utama bagian ini adalah membingkai diskursus pluralisme agama di kalangan pemikir Muslim kontemporer yang secara kebetulan merujuk Q. 5:48 sebagai manifesto sikap al-Qur’an terhadap pluralisme. Ketiga sarjana Muslim yang menjadi fokus studi bagian ini tidak menulis karya khusus tentang tafsir, tetapi mereka menggunakan al-Qur’an untuk merespons tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Muslim. Bagi Nurcholish Madjid (berikutnya disebut: Cak Nur), misalnya, pluralisme agama berakar kuat dalam penerimaan al-Qur’an atas keragaman agama: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Karena itu, Q. 5:48 sangat sentral dalam argumen Cak Nur bahwa pluralisme agama merupakan desain Ilahi bagi kemanusiaan. Katanya, “al-Qur’an mengakui bahwa pluralitas merupakan suatu fakta kehidupan dan bagian dari tata dunia. Pluralitas semacam ini terlihat jelas, di antaranya, dalam keragaman agama.” Selain mengakui pluralisme agama sebagai realitas sosial, Cak Nur juga menegaskan bahwa seluruh agama yang dibawa oleh semua Nabi sama-sama mengemban apa yang disebutnya “universal way,” yaitu jalan menuju Tuhan. Bahkan, “agama itu sendiri adalah “jalan”, seperti diekspresikan dalam Islam sebagai “syarī’ah, sīrah, sabīl, tarīqa, minhāj, mansak, atau tao dalam agama China, dan dharma dalam agama Hindu dan Budha. Ini juga prinsip di balik pernyataan dalam Bibel bahwa Jesus adalah jalan.”
Sampai batas tertentu, memahami agama sebagai “universal way” merupakan pergeseran signifikan dari tafsir-tafsir klasik yang biasanya menekankan aspek tawhid sebagai elemen utama dalam agama-agama yang dibawa para Nabi. Banyak orang salah-paham dengan gagasan Cak Nur ini seolah dia menyamakan semua agama, tanpa memahami konteksnya. Cak Nur tentu saja tidak menafikan kenyataan sejarah tentang keragaman agama, karena itu ia juga mendiskusikan elemen partikular agama-agama. Namun, aspek partikular dalam tradisi setiap agama seharusnya mendorong sikap saling menghargai dan terbuka untuk belajar satu sama lain. Jika kita harus meringkas gagasan Cak Nur, walaupun tentu saja kita berlaku tidak adil karena kompleksitas gagasannya tidak mungkin dirangkum dalam satu kalimat, kita bisa membingkai argumennya sebagai berikut: al-Qur’an menyuguhkan tesis kesatuan dalam framework pluralisme agama dan kultural. Yang relevan dengan diskusi kita di sini, dan akan didiskusikan lebih lanjut, adalah pandangan Cak Nur bahwa model pluralisme agama yang ditawarkan al-Qur’an telah terimplementasi dalam masyarakat-masyarak at Muslim awal. Piagam Madinah seringkali dijadikan contoh bentuk pluralisme keagamaan dalam masyarakat Muslim awal, dan diakui bahkan oleh sarjana-sarjana Barat. Di antara sarjana Barat yang sering dikutipnya adalah Robert Bellah dan Max Dimont: Bellah karena pernyataannya bahwa masyarakat Arab pada masa Nabi terlalu modern untuk berhasil di zamannya, sementara Dimont karena pengukuannya bahwa khilafah Islam awal merupakan surga toleran bagi kalangan pedagang, intelektual, dan seniman dari berbagai agama. Bagi Cak Nur, scholarly acknowledgment semacam ini seharusnya mendorong kaum Muslim menghadapi isu pluralisme agama dengan lebih percaya-diri.
Sebagaimana Cak Nur, Asghar Ali Engineer meyakini hermeneutika kontekstual terhadap al-Qur’an dapat membantu kaum Muslim menghadapi tantangan kehidupan kontemporer. Ia memang tidak memiliki latar pendidikan akademik dan tradisional yang kuat, namun di antara tiga sarjana Muslim yang kita kaji dialah satu-satunya yang mendiskusikan Q. 5:48 secara khusus dalam bukunya, Rational Approach to Islam (2001). Bagian paling signifikan dalam ayat itu, menurut Engineer, adalah “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Tentu bukan hal sulit bagi Tuhan untuk menjadikan seluruh manusia satu umat, tapi Dia menganugerahkan kita dengan pluralisme yang dapat menambah kekayaan dan keragamaan dalam hidup ini. Engineer merefleksikan frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan” sebagai berikut: “al-Qur’an tidak menawarkan pandangan sektarian sempit seperti dianut para teolog. Ia memiliki pandangan kemanusiaan yang luas dan tidak dogmatis. Al-Qur’an sangat menekankan perbuatan baik dan mengutuk keras kejahatan yang merugikan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam hal ini al-Qur’an tidak membedakan antara Muslim atau non-Muslim.”
Dalam merumuskan teori pluralisme agama, Engineer menyentuh pertanyaan-pertanya an krusial. Misalnya, apakah kebenaran itu tunggal atau tidak? Apakah kebenaran itu absolut atau relatif? Bolehkah satu agama mengklaim memiliki seluruh kebenaran? Menjawab pertanyaan-pertanya an semacam ini, ia tidak sungkan membuat statement lebih eksplisit dibanding Cak Nur tentang kesatuan agama. Bagi Engineer, Q. 5:48 telah menginspirasikan sejumlah ulama seperti Shah Waliyullah (w. 1762) dan Abul Kalam Azad (w. 1958) dari India untuk sampai pada konsep “wahdat-e-din” (yakni, kesatuan agama). Engineer tidak masuk ke dalam perbincangan yang rumit bagaimana dan kenapa secara historis agama-agama berbeda satu sama lain kendati bersumber dari din yang sama. Tampaknya belum banyak sarjana (jikapun ada) yang memberikan penjelasan teoritis cukup sophisticated sebagaimana ditawarkan Frithjof Schoun dengan teori “the transcendent unity of religion”-nya. Titik-tekan Engineer lebih pada argumen praktis untuk menghindarkan masyarakat dari klaim-klaim absolut yang bisa mengganggu ketentraman dan kedamaian. Katanya, “bukan tugas manusia untuk memperebutkan siapa yang benar atau salah, karena hal itu akan menyebabkan gangguan dan rusaknya kedamaian.” Semuanya ada di tangan Tuhan, karena Dialah yang menciptakan agama-agama ini berbeda, dan Dia pula yang kelak akan membeberkan rahasia keragaman itu.
Jika Cak Nur dan Engineer mengedepankan argumen-argumen teologis-normatif, Abdulaziz Sachedina menyuguhkan argumen filosofis-etis. Q. 5: 48 juga sentral dalam argumen Sachedina. Bab ketiga bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001) dimulai dengan kutipan ayat itu. Ia menyebut “fa istabiqū al-khayrāt” (berlomba-lombalah dalam kebaikan) sebagai “paradigma Islam tentang moralitas.” Tentang visi pluralisme yang ditawarkan Q. 5:48, ia berkata: “Pluralisme al-Qur’an dibangun di atas prinsip etika “berbuat kebaikan.” Konsep tata-moral semacam ini didasarkan pada pengakuan akan suatu tabiat yang ada pada manusia secara umum. Konsep pluralisme al-Qur’an memandang tabiat universal ini disokong dengan kesadaran moral dan kapasitas untuk bernalar secara moral sehingga dapat melakukan kebaikan.” Bagi Sachedina, menjadi pluralis tidak sama dengan toleran. Pluralisme agama menuntut “keterlibatan aktif” (active engagement) dengan agama lain bukan semata untuk menoleransi, melainkan untuk memahaminya. Dia yakin, pluralisme agama bisa menjadi “working paradigm” bagi tumbuh-suburnya pluralisme demokratik dan sosial di mana setiap orang dari latar belakang agama apapun dapat terlibat aktif dalam apa yang dia sebut “community of global citizens.”
Sachedina membuat distingsi tegas antara ajaran inti al-Qur’an dan perkembangan historis tafsir. Dalam bacaannya, al-Qur’an sangat mendukung gagasan pluralisme agama, namun para mufasir dan fuqaha telah mencoba “menciptakan jebakan terminologis dan metodologis demi mengenyampingkan ayat-ayat ekumenikal al-Qur’an yang memperluas jalan keselamatan termasuk kepada agama-agama monoteistik lain.” Kesiapan Islam untuk mengakui legitimasi jalan keselamatan bagi agama-agama lain, kata Sachedina, telah dikaburkan oleh kontroversi teologis abrogasi. Ia secara khusus mengkritik aturan-aturan diskrimatif yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip moral al-Qur’an. “Banyak ketentuan tafsir dan fikih dalam memperlakukan kaum minoritas non-Muslim sudah tidak relevan dalam konteks pluralisme agama kontemporer,” katanya. Secara khusus, Sachedina mengkritik Tabari dan Ibn Katsir karena menganggap ayat-ayat “pluralis” yang menjamin jalan keselamatan bagi komunitas agama lain (2:62; 5: 48 dan 69) telah dihapus dan diganti dengan Q. 3:85 “Barangsiapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya.” Pandangan ini, kata Sachedina, setidaknya masih bisa diperdebatkan.
Sampai pada poin ini kiranya bisa dilihat dua pendekatan kontras antara Cak Nur di satu sisi, dan Sachedina di sini lain, dalam menyikapi tradisi masa lalu. Cak Nur, dalam batas tertentu juga Engineer, tampak apresiatif terhadap warisan tradisi dan tafsir klasik. Banyak contoh kasus penghargaan atas keragaman dan toleransi yang ditelisik dari lembaran sejarah Islam masa lalu diangkat ke permukaan untuk memperkuat posisi bahwa gagasan pluralisme agama yang diusungnya bukanlah “bid’ah.” Dari model “Piagam Madinah” hingga praktik Pakta penjanjian yang dikeluarkan pemimpin-pemimpin Muslim pasca-Muhammad diketengahkan untuk memperjelas potret Islam sebagai agama toleran. Di sini kita bisa memahami kritik sejumlah “aktivis” gerakan civil society di Indonesia yang menuduh Cak Nur hendak mengislamkan konsep civil society. Walaupun, pembacaan lebih dekat akan membuktikan, visi civil society mereka tidak lebih “sekuler” dibanding gagasan “masyarakat madani” Cak Nur. Dalam banyak kesempatan Cak Nur mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya saya diutus dengan kehanifan yang toleran.” Sikap toleransi Islam yang hanif itu, baginya, bukan hanya ada dalam teori, tapi sudah dipraktikkan dalam masyarakat-masyakat Muslim awal. Sachedina, di sisi lain, memperlihatkan sikap kritis terhadap potret Islam masa lalu.
Menyikapi Konservatisme Masa Lalu
Bagi Sachedina, persoalan utamanya adalah bagaimana kita menghadapi warisan konservatisme generasi terdahulu. Maksudnya, kita memang bisa menggali sumber-sumber otentik pluralisme agama dari al-Qur’an, namun tumpukan literatur tafsir telah berupaya-keras membuktikan sebaliknya. Seperti telah didiskusikan di atas, Q. 5:48 begitu lugas dan terang seolah tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi kontroversi, namun kenyataannya para mufasir menemukan cara untuk membelokkannya dengan mengatakan bahwa kedatangan umat Muslim telah membatalkan semua agama yang sebelumnya dianggap valid. Kritik Sachedina terhadap tafsir klasik bermuara pada teori abrogasi itu. Menurutnya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung soal supersisi (penggantian) risalah-risalah agama terdahulu dengan kedatangan Muhammad. Sebaliknya, kendatipun mempersoalkan terjadinya distorsi yang dilakukan pengikut Musa dan Isa ke dalam kitab suci mereka, al-Qur’an tetap mengakui validitasnya. Karenanya, ia berpendapat, ide abrogasi dan supersisi itu “bisa jadi masuk ke dalam diskursus kaum Muslim melalui perdebatan dalam tradisi Kristen yang menganggap agama mereka sebagai pengganti agama Yahudi.”
Sebaliknya, bagi Cak Nur, warisan generasi masa lalu bukan hanya “resourceful” tapi juga inspirasional dalam upaya menggagas pluralisme Islam yang genuine. Islam periode awal, bagi Cak Nur, tampak lebih toleran dibandingkan pada periode belakangan. Ia setuju dengan pendapat Bernard Lewis yang mengatakan, “pada masa-masa awal kemudahan dalam hubungan sosial di kalangan umat Islam, Kristen dan Yahudi, kendati mereka memiliki profesi berbeda-beda, menjadi faktor penting keberhasilan mereka membentuk satu komunitas.” Hal ini dimungkinkan karena kaum Muslim terdahulu berhasil menginternalisasi konsepsi kemanusiaan al-Qur’an yang positif dan optimistik sehingga mereka mampu tampil sebagai “masyarakat kosmopolitan dan universal dan bersedia belajar dan mengadopsi hal-hal berharga dari pengalaman komunitas agama-agama lain.” Perdekatan berbeda dalam menyikapi warisan masa lalu itu menggiring Cak Nur dan Sachedina menjadi selektif dalam mengangkat kasus-kasus dan fakta-fakta historis yang hendak diapreasi atau dikritisi. Selain Piagam Madinah, Cak Nur seringkali berbicara tentang Pakta perjanjian yang dibuat Khalifah kedua Umar bin Khattab yang memberikan jaminan kebebasan beragama. Disebutkan, ketika kaum Muslim berhasil menguasai Jerusalem pada 638, Umar mengirim pesan tertulis kepada penduduk kota itu:
Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ini adalah dokumen tertulis dari Umar bin Khattab kepada penduduk Bayt al-Maqdis. Kalian dijamin keamanan hidup kalian, harta kalian, dan gereja-gereja kalian; tidak akan diambil-alih ataupun dirusak, selama kalian tidak mengganggu keamanan publik.
Juga, Cak Nur secara terbuka mengakui gagasan-gagasannya banyak didasarkan pada khazanah intelektual guru Ibn Katsir, ulama Hanbali terkemuka Ibn Taymiyya (w. 728/1328). Adalah Ibn Taymiyya, katanya, yang mengatakan bahwa kitab-kitab suci terdahulu masih mengandung kebenaran Ilahiyyah. Ibn Taymiyya juga berpendapat, mayoritas kaum Muslim awal, para salaf dan imam, menganggap syara’ umat-umat sebelum Muhammad menjadi syari’at kaum Muslim juga, kecuali manakala syari’at Islam menghadirkan ajaran baru yang menghapuskan syari’at terdahulu.
Menarik dicatat, Sachedina juga mendiskusikan Pakta perjanjian yang dibuat oleh Khalifah kedua Umar bin Khattab, tapi bukan untuk diapresiasi, melainkan untuk dikritisi sebagai bukti intoleransi masa lalu. Perlu segera ditambahkan, Pakta yang dikritik Sachedina bukan pula Pakta Umar yang sering dikutip Cak Nur. Pakta dimaksud lebih dikenal dengan sebutan “Syurūt ‘Umar” (ordinan Umar) ditujukan kepada penduduk Suriah, dan terdokumentasi cukup baik, walaupun terdapat beberapa versi. Dalam Tārīkh Madīnah Dimasq, Ibn Asakir (w. 571/1176) mencatat lima versi ordinan Umar dengan sedikit variasi. Dokumen Umar ini juga dimuat dalam Ahkām ahl al-Dzimmah karangan Ibn Qayyim al-Jawziyya (w. 751/1350). Juga, bisa dilacak dalam kitab-kitab hadis, seperti Sunan Kubrā karya al-Bayhaqi. Dengan melihat begitu well-documented- nya ordinan Umar ini, kita bisa bertanya: Kenapa Cak Nur tidak pernah mendiskusikannya? Sebagaimana kita laik bertanya: Kenapa Sachedina juga tidak mendiskusikan Pakta Umar yang sering didiskusikan Cak Nur? Sulit dipercaya, bahwa mereka saling tidak mengetahui dua ordinan bertentangan yang dibuat oleh Umar yang sama. Penjelasan paling masuk akal, saya kira, adalah bahwa sikap selektif mereka diarahkan (driven) oleh preconcieved dan prejudice teoritis (dalam pengertian positif seperti digunakan Gadamer!) sehingga mereka menjadi selektif dalam mengungkap kasus-kasus historis untuk mendukung gagasan utama mereka. Tentu saja, Pakta Umar yang dikirim kepada penduduk Jerusalem tidak mendukung pendekatan kritis Sachedina, karena Pakta itu jelas-jelas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi non-Muslim.
Dengan metode evaluasi yang sama, kita bisa katakan, ordinan Umar tidak mendukung pendekatan apresiatif Cak Nur terhadap warisan generasi masa lalu. Karena, ordinan Umar ini menjadi simbol diskriminasi dalam perjalanan sejarah Islam. Albrecht Noth menyebut 26 butir dalam ordinan Umar tersebut, di antaranya, umat Kristen tidak boleh membangun gereja baru di dalam kota, tidak boleh memperbaiki gereja yang sudah rusak, tidak boleh meletakkan salib di luar gereja, tidak boleh membawa salib atau kitab suci di pasar, tidak melakukan selebrasi keagamaan di depan publik, tidak boleh memiliki budak bersama dengan orang Islam, tidak boleh membangun rumah lebih tinggi daripada rumah kaum Muslim, harus memakai pakaian dan asesoris tertentu yang membedakan mereka dari kaum Muslim, dan lain-lain. Ordinan Umar inilah yang dijadikan senjata ampuh oleh Khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (w. 247/861) ketika hendak menghentikan praktik dialog dan debat lintas-agama yang sangat dinamis yang dirintis oleh khalifah-khalifah sebelumnya, terutama al-Makmun (w. 218/833). Dengan alasan mengimplementasikan ordinan Umar, al-Mutawakkil memerintahkan umat Kristen dan kaum dzimmi lain untuk mengenakan tutup kepala berwana kuning (taylasan) dan korset (zunnar) yang membedakan mereka dari kaum Muslim. Ia juga memerintahkan penghancuran gereja-gereja yang baru dibangun. Inilah titik-awal sejarah gelap perlakuan diskriminatif dan kasar terhadap kaum minoritas dalam sejarah kekhilafahan Islam.
Sachedina juga mengkritik sistem millet pada masa khilafah Usmaniyah, karena hanya memberikan kebebasan sangat terbatas bagi non-Muslim. Kebijakan-kebijakan diskriminatif itu, kata Sachedina, muncul “karena syari’at memang tidak bisa menerima persamaan antara kaum Muslim dan non-Muslim.” Berbeda dengan semangat pluralistik al-Qur’an, lanjut Sachedina, para mufasir dan fuqaha justru mendorong terciptanya institusionalisasi inferioritas non-Muslim oleh negara sebagai prasyarat bagi ketentraman kehidupan publik masyarakat Muslim, yang pada akhirnya mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas non-Muslim. Dalam perkembangan lebih lanjut, perlakukan tidak adil itu bukan saja ditujukan kepada non-Muslim, tapi juga kepada elemen masyarakat Muslim yang tidak searah dengan pemikiran dan sikap keagamaan dan politik mereka.
Konteks sebagai Penjelasan
Pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana menjelaskan perbedaan pendekatan Cak Nur dan Sachedina terhadap warisan generasi terdahulu? Tentu banyak penjelasan bisa ditawarkan dari yang bersifat teoritis, metodologis, hingga sosiologis. Muara dari penjelasan itu, bahwa konteks memiliki pengaruh historis lebih krusial dalam mengarahkan pemahaman dan interpretasi seseorang daripada umum dipersepsikan. Dalam konteks ini, tafsir bukan semata perbuatan penafsir melainkan hasil dari proses dialogis antara penafsir dan obyek (teks). Inilah yang disebut Hans-Georg Gadamer “effective-history,” yang mengedepankan efikasi historisitas dan situasi kekinian dalam mempersepsikan masa lalu. Dengan kata lain, sebelum kita memberikan makna terhadap teks, sebenarnya kita telah memiliki preconceived knowledge, yang disebut Gadamer sebagai “prejudice,” yang dibentuk oleh fusi horizon masa kini dan horizon masa lalu. Ketika proses fusi itu terjadi, penafsir (horizon masa kini) dan teks (horizon masa kini) memasuki apa yang disebut “lingkaran hermeneutik” (hermeneutic circle). Karenanya, tradisi masa lalu bukan sesuatu yang statis. Masih menurut Gadamer, “tradisi bukanlah sesuatu yang permanen, melainkan kita yang menciptakannya lantaran kita memahmi dan berpartisipasi dalam perkembangan tradisi, dan karenanya kitalah yang menentukannya.” Situasi hermeneutik ini bisa menjelaskan kenapa Cak Nur dan Sachedina menyeleksi contoh-contoh tertentu untuk mendukung posisinya, dan tampak mengabaikan yang lain. Jadi, sikap semacam itu tidak ada hubungannya dengan soal kejujuran intelektual dan seterusnya, melainkan karena adanya pemahaman yang sudah terbentuk sebelumnya bagaimana seharusnya menyikapi warisan tradisi masa lalu. Tradisi masa lalu hanya memiliki makna manakala kita di masa kini memberinya makna. Dengan kata lain, kitalah yang membuat tradisi klasik “berbicara” kepada kita di masa kini melalui pertautan dinamis antara horizon masa kini dan masa lalu itu.
Aspek teoritis ini akan lebih jelas bila kita melihat bagaimana perbedaan metodologi mengarahkan pendekatan mereka terhadap tradisi masa lalu. Seperti disinggung di awal, ketiga sarjana Muslim yang kita diskusikan di sini bukanlah ahli tafsir, tetapi mereka mengombinasikan pemahaman terhadap al-Qur’an dengan analisis politik praktis dan teori sosial. Cak Nur, misalnya, sangat apresiatif terhadap khazanah dan sumber-sumber klasik karena ia mensintesiskan antara tradisionalisme dan modernisme dalam upaya membentuk apa yang disebut “neo-modernisme,” sebuah istilah diciptakan mentor intelektualnya di University of Chicago, Dr. Fazlur Rahman. Bagi Cak Nur, neo-modernisme adalah modernisme yang berakar kuat dalam tradisi dan dimaksudkan untuk mengoreksi modernisme yang tak terkendali yang telah muncul sebelumnya. Sementara itu, Sachedina sangat engaged dengan teori-teori sosial di Barat yang menyadarkan akan sulitnya membangun pluralisme demokratik di atas warisan konservatisme masa lalu. Barangkali inilah concern utama Sachedina. Dia menyerukan agar hambatan-hambatan historis masa lalu tidak memenjarakan kita untuk membangun visi baru pluralisme agama dan kultural sebagai prasyarat tegaknya demokrasi.
Perbedaan pendekatan itu juga bisa dilihat sebagai akibat perbedaan audience dari karya-karya mereka. Hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim, Cak Nur berhadapan dengan situasi berbeda dari Sachedina. Pertama, Cak Nur adalah figur paling kontroversial dalam sejarah intelektual Indonesia sejak akhir 1960-an ketika ia memperkenalkan gagasan sekularisasi Islam. Kedua, ia mulai mempromosikan ide pluralisme agama sekembali dari studinya di Barat, yang memudahkan para pengkritik menuduhnya westernized. Karena itu, mudah dimengerti kenapa Cak Nur merasa perlu melegitimasi pemikirannya dengan melandaskan pada otoritas klasik yang sangat diakui dalam Islam. Rujukannya pada Piagam Madinah, Pakta Umar, dan bahkan pemikiran-pemikiran Ibn Taymiyyah bisa kita baca dari sudut pandang ini. Dengan pijakan Piagam Madinah ia berharap agenda intelektualnya bisa dipandang sebagai upaya merestorasi komunitas Islam model Madinah yang ia yakini toleran, demokratik dan pluralistik. Ibn Taymiyah juga sangat populer di kalangan Islamis. Cak Nur bermaksud memperlihatkan bahwa sumber nilai-nilai pluralisme itu bahkan dapat digali dari karya-karya Ibn Taymiyyah. Dengan kata lain, Cak Nur merasa perlu mengotentifikasi pemikiran-pemikiran progresifnya dengan merujukkannya pada generasi Muslim awal.
Posisi Engineer sebenarnya tidak berbeda jauh dari Cak Nur. Karena latar belakangan pendidikannya, bisa jadi ia tidak cukup memiliki akses ke khazanah klasik, namun ia mendapatkan sumber-sumber otoritatif dalam warisannya sendiri di India. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti mengapa Engineer acapkali merujuk pada Shah Waliyullah dan Abul Kalam Azad. Saya yakin, konteks sosio-politik memberikan signifikansi tersendiri dalam merujuk kepada figur-figur yang sangat dihormati di lingkungan kulturalnya. Di sisi lain, Sachedina hidup dalam alam dan lingkungan akademis yang sama sekali berbeda. Concern utama Sachedina adalah absennya pluralisme demokratik di dunia Muslim, yang akar-akar pemikirannya bisa dilacak dalam literatur-literatur tafsir, fikih, dan bahkan politik. Para pemikir Muslim awal, di mata Sachedina, cenderung melegitimasi rezim politik apapun asalkan ada jaminan proteksi bagi institusi Islam dengan mendiskriminasikan komunitas agama lain. Apa kemungkinan ongkos yang harus dibayar dengan melancarkan kritik pada mereka yang dianggap memiliki otoritas tinggi? Barangkali ia harus berhadapan dengan para klerik yang jauh dari lingkungannya. Pada 1998, Ayatullah Ali Sistani di Najaf, Irak, mengeluarkan fatwa melarang Sachedina mengajar atau mengisi kuliah tentang Islam. Tentu fatwa itu tidak berarti apa-apa, karena Sachedina hidup jauh di Virginia, AS, dan menikmati kebebasan intelektual yang tidak didapat, termasuk, di Indonesia dan India.
Catatan Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita juga mencoba mengkontekstualisas ikan apa yang terjadi pada tafsir-tafsir klasik seperti didiskusikan di awal tulisan ini. Kenapa tafsir awal cenderung lebih terbuka bagi keragaman agama dibanding yang muncul belakangan? Salah satu penjelasan teoritisnya, saya kira, terkait pembentukan identitas keagamaan Muslim awal. Sebagai agama baru, pada masa-masa awal kelahirannya, tentu saja identitas Islam masih cukup mencair. Apa yang membuat seseorang disebut “muslim” tentu tidak sekaku dan serigit sekarang. Secara alamiah identitas itu terbentuk secara perlahan. Apakah kata “muslim” dan berbagai derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebagai identias konfesional eksklusif? Pertanyaan ini mengundang debat hangat di kalangan sarjana Barat. Sebuah studi bagus ditulis oleh Fred Donner, Profesor sejarah Islam awal di University of Chicago. Donner berkesimpulan, kata “Muslim” dalam pengertian teknis merupakan produk perkembangan sejarah panjang. Kata “musliman” dalam Q. 3:63 sebagai modifier “hanif” mengindikasikan, bahwa “muslim” setidaknya dalam ayat itu tidak mungkin merujuk pada konfesi keagamaan yang spesifik.
Sejalan dengan itu, tafsir-tafsir yang lahir pada dua abad pertama Islam merefleksikan identitas keagamaan Muslim yang masih cair. Karakteristik itu dapat kita lihat dalam tafsir Muqatil bin Sulayman. Cairnya identitas keagamaan juga terekam dalam praktik ibadah di mana kaum Muslim bisa “shared” tempat ibadah dengan komunitas agama lain. Menggunakan sumber-sumber agama lain untuk memahami teks al-Qur’an menjadi hal biasa. Muqatil banyak menggunakan sumber-sumber biblikal untuk menjelaskan arti atau konteks ayat-ayat tertentu. Ia juga secara terbuka mengakui banyak istilah dalam al-Qur’an diadopsi dari bahasa non-Arab. Kedua hal itu (sumber-sumber biblikal dan kata asing dalam al-Qur’an) belakangan menjadi isu kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena identitas keagamaan mulai fixed dan eksklusif, diawali dengan gerakan Arabisasi yang diprakarsai oleh khalifah Umayyah Abd al-Malik bin Marwan (w. 86/705). Keengganan untuk menerima “unsur-unsur asing” dalam al-Qur’an juga terkait doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an yang sebenarnya mengkristal secara gradual. Jika penisbatan kitab Mu’ārada al-Qur’ān kepada Ibn Muqaffa’ (d. 139/756) diterima, kita bisa tegaskan bahwa doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an belum stabil hingga pertengahan abad kedua Hijrah. Dalam beberapa fragmen kitab Mu’ārada al-Qur’ān, Ibn Muqaffa’ menawarkan sejumlah ide yang sekarang pasti dianggap blasphemy. Misalnya, penyusunan kembali al-Qur’an menurut struktur puitis yang lebih baik dan secara tegas ia menantang pendapat yang mengatakan al-Qur’an tidak bisa ditiru. Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut, doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an menutup kemungkinan al-Qur’an ditafsirkan menggunakan sumber-sumber biblikal, dan pengakuan akan adanya bahasa non-Arab dalam al-Qur’an juga dipersoalkan. Pemaknaan al-Qur’an pun mengalami fiksasi, terutama pasca-Tabari, dan mencapai klimaks pada masa Ibn Katsir di mana model penafsiran mulai dibatasi. Seperti telah disinggung di atas, Ibn Katsir mengancam mereka yang menafsirkan al-Quran dengan ra’y (perdapat personal) dengan api neraka.
Di sinilah kesimpulan Cak Nur benar adanya, walaupun dia tidak melakukan studi mendalam tentang tafsir: semakin dekat dengan periode Nabi, Islam semakin toleran. Tulisan ini telah membuktikan, sikap tafsir awal terhadap komunitas agama lain tidak sedemikian hostile sebagaimana umum dipersepsikan. Pendekatan saya terhadap Q. 5:48 adalah untuk menakar ayat itu dengan teori-teori mutakhir mengenai hubungan teks dengan pembacanya. Tafsir merupakan produk ruang dan waktu. Gadamer merumuskannya demikian: “understanding is, essentially, a historically effected event.” Selain setuju dengan Abou el Fadl bahwa hubungan teks dengan pembaca memainkan peran penting dalam menentukan suatu makna, saya juga setuju dengan Wilfred C. Smith bahwa tidak ada makna fixed dalam al-Qur’an. Kata Smith, “Makna yang sebenarnya dari al-Qur’an bukanlah satu makna tunggal, melainkan proses pemaknaan yang dinamis, yang mengalir tanpa henti.” Karenanya, al-Qur’an senantiasa menuntut pemaknaan baru dengan menyerap semangat zaman. Jika kaum Muslim hendak membangun masyarakat pluralistik dan toleran yang dilandaskan atas ajaran-ajaran al-Qur’an, maka (1) mereka perlu mengakui warisan konservatisme masa lalu itu, dan (2) memulai merintas arah baru penafsiran. Tulisan ini diawali dengan kutipan pernyataan Ali bin Abi Talib yang sudah menjadi klasik tentang perlunya tafsir, dan akan diakhiri dengan menyebut konteksnya. Pernyataan itu terkait sikap kaum Khawarij pasca arbitrase perang Shiffin. Mereka menyalahkan Ali karena tidak menggunakan al-Qur’an, tapi malah mengutus orang untuk menyelesaikan sengketa dengan gubernur Suriah Mu’awiyyah (w. 60/680). Kata Ali, “innā lasnā hakkamnā al-rijāl innamā hakkamnā al-qur’ān. Wa hādza al-qur’ān innamā huwa khatt mastūr bayn daffatayn lā yantiq innamā yatakallam bihī al-rijāl” (kami tidak mengangkat orang untuk menghakimi, tapi kami mengangkat al-Qur’an sebagai hakim. Namun demikian, al-Qur’an ini hanyalah sebuah teks tertulis di antara dua sampul, ia tidak berbicara melainkan manusia berbicara melaluinya). Frase terakhir ini sudah menjelma menjadi pernyataan klasik bahwa kitab suci senantiasa menuntut paradigma dan etika baru.***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment