Bagi sebagian murid sekolah, matematika dianggap pelajaran sulit,
meskipun tidak sedikit yang menyenangi pelajaran ini. Kalau kebetulan
anak kita termasuk murid yang kesulitan dalam matematika, maka kita
lah yang harus belajar. Sebab, les atau kursus belum tentu tepat
untuk membantunya.
Meski tidak semua, banyak di antara murid sekolah, terutama SD yang
merupakan tingkat dasar dari seluruh pendidikan yang akan dijalani
anak, mengeluhkan soal pelajaran matematika. Mereka menganggap
matematika sebagai pelajaran sulit. Terlebih lagi bila mereka
mendapat nilai di bawah rata-rata. Yang punya niat akan lebih tekun
mempelajari, kembali hilang semangat.
Celakanya, kalau keadaan ini terus berlanjut hingga ke jenjang
pendidikan berikutnya. Maka, sepanjang masa pendidikan mereka
menganggap matematika menjadi pelajaran paling menyeramkan.
Padahal, matematika sebenarnya pelajaran mengasyikkan. Apalagi, untuk
murid SD. Pada tingkat pendidikan dasar ini pelajaran matematika
masih berkenaan dengan berhitung, yang merupakan bagian dari
matematika, yakni operasi tambah, kurang, kali, dan bagi. Mula-mula
menggunakan bilangan bulat. Kemudian meningkat ke bilangan pecahan.
Operasi hitung itu bisa dipelajarai sambil bermain yang memang
merupakan kegiatan utama anak-anak.
Pada tingkatan lebih tinggi pun matematika tak perlu jadi momok.
Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, pakar matematika dari Institut
Pertanian Bogor (IPB), memberikan bukti. Setiap tahun ada tiga puluh
murid terbaik dari setiap propinsi ikut seleksi olimpiade
matematika. "Ini bukti mereka tidak takut matematika. Mereka malah
senang matematika, meskipun ketika latihan di BP3G IPA di Bandung
mereka diberi soal-soal sulit," tuturnya.
Kalau pun anak gagal mendapatkan nilai baik ketika pada awal-awal
sekolah SD, orang tua tak perlu gusar. Kesempatan untuk meraih sukses
masih ada. Bahkan, tak tertutup kemungkinan menjadi pakar matematika
seperti yang dialami Andi Hakim. "Saya dulu belajar berhitung dari
buku Bouwman en van Zelm di kelas satu HIS Ardjoena, yaitu pada
triwulan pertama tahun ajaran 1937/1938. Nilai berhitung saya di
rapor waktu itu empat. Sangking marahnya ayah saya hendak menukar
otak saya dengan otak ayam percobaannya di kandang. Katanya, ayam
betina lebih pintar berhitung dari pada saya. Ketika itu saya benci
sekali terhadap pelajaran berhitung," cerita mantan rektor Institut
Pertanian Bogor ini. Namun, yang terjadi kemudian, Andi Hakim menjadi
pakar matematika.
Prakondisi kurang tepat
Matematika memang bukan berhitung, tetapi berhitung pasti matematika.
Pasalnya, berhitung merupakan bagian dari matematika. Matematika
sendiri merupakan ilmu struktur, urutan (order), dan hubungan yang
meliputi dasar-dasar penghitungan, pengukuran, dan penggambaran
bentuk objek. Ilmu ini melibatkan logika dan kalkulasi kuantitatif,
dan pengembangannya telah meningkatkan derajad idealisasi dan
abstraksi subjeknya.
Menurut Andi Hakim, matematika memang harus diajarkan sejak SD kelas
satu. "Namun, bahan yang perlu diajarkan disesuaikan dengan daya
cerna murid. Masalahnya, banyak sekali guru SD yang tidak memahami
berhitung sekali pun, karena dia tidak menguasai teorinya, yakni
matematika," jelasnya. Akibatnya, ada di antara muridnya tidak
bersemangat, bahkan takut, pada pelajaran matematika.
Andi Hakim dan Henny Supolo Sitepu, seorang pendidik dari sekolah Al-
Idhzar, menduga ketakutan anak itu besar sekali kemungkinannya karena
si anak sudah diprakondisikan oleh orang tuanya yang menakut-
nakutinya. "Kalau orang tua menganggap matematika sebagai momok, anak
juga mempunyai anggapan yang sama," ujar Henny. Andi Hakim bahkan
menyatakan ada guru yang menggunakan soal matematika untuk menghukum
muridnya yang nakal. Lebih celaka lagi, sebagian masyarakat pun tidak
memberikan apresiasi yang positif terhadap pelajaran
matematika. "Saya pernah mengirimkan press release tentang prestasi
pemuda Indonesia dalam Asia Pasific Mathematics Olympiad tahun 2000.
Mereka memperoleh satu medali perak, lima medali perunggu, dan empat
honorable mention. Tidak ada koran atau majalah yang mau memuatnya!,"
tutur Andi hakim memberi contoh. "Media lebih baik memuat pertanyaan
mengapa perempuan, yang sedang dipenjara, bisa hamil dan siapa
agaknya yang menghamilinya. Kita ini bangsa yang lebih suka mendengar
sensasi daripada menyerap pengetahuan bermanfaat," tambahnya sedikit
geram.
Belum lagi para pejabat yang berkompeten ternyata juga bukan orang
tepat. Andi Hakim menceritakan, "Pada suatu ketika, sebelum berangkat
ke olimpiade matematika internasional, seluruh regu peserta
berniat `matur' kepada menteri. Tetapi menterinya terlalu sibuk untuk
masalah matematika. Akhirnya kami dipersilakan bertemu bawahannya,
yang cukup tinggi kedudukannya, untuk mendapatkan `sangu' sebelum
berlaga di gelanggang internasional. Apa `sangu'nya? Dia bilang, dia
paling bodoh mengenai matematika. Untung ada SMA bagian A, sehingga
dia bisa lulus SMA. Kalau tidak begitu mana mungkin dia menjadi
mahasiswa di universitas, menjadi sarjana, doktor, profesor, dan
kemudian menjadi rektor. Kalau tidak pernah menjadi rektor, mana
mungkin dia mendapat kedudukan bawahan menteri. Semua siswa yang akan
berangkat tertawa. Tetapi saya merasa kena sindir, karena setelah
saya berhenti jadi rektor, tidak mampu masuk eselon satu, cuma bisa
mengantar siswa yang senang matematika ke olimpiade matematika."
Peran orang tua sangat penting
Lalu, bagaimana menyelamatkan anak dari atmosfer matematika yang
sedikit "mendung"? Di sini peran orang tua menjadi sangat
penting. "Orang yang lebih diharapkan untuk bisa diandalkan mengerti
kebutuhan anak adalah orang tua, bukan guru. Orang yang diharapkan
bisa diandalkan untuk tahu pintu masuk paling efektif dalam
memberikan pemahaman apa pun, adalah orang tua. Orang yang harusnya
mengerti gaya belajar anak adalah orang tua," tegas Henny.
Yang pertama dilakukan tentu mengubah persepsi matematika yang
menakutkan itu menjadi menyenangkan. "Kalau matematika dipandang
sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka pelajaran itu menjadi bagian
kehidupan yang menyenangkan, " tegas Henny. Orang tua juga mesti
segera mengambil tindakan untuk membantu anak belajar matematika
dengan cara menyenangkan. Caranya, dengan memberi contoh kongkrit,
bukan yang abstrak. "Kongkritkan dulu dalam suatu benda yang mereka
lihat. Berapa kali berapa menjadi berapa. Lalu latihlah dalam
kehidupan sehari-hari, " tambahnya. Memang, idealnya sekolah juga
melakukan pendekatan sama yakni mencoba memberikan konsep-konsep itu
secara kongkrit dan mencoba untuk memberikan latihan-latihan sesuai
dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak. "Yang jadi
masalah, di sekolah 'kan tidak seperti itu. Karena itu, kita
sebaiknya melakukan segala sesuatu dari hal yang bisa kita lakukan.
Jangan melihat sesuatu dari yang tidak bisa kita lakukan," tutur
Henny lagi.
Umpamanya, dengan mengamati lukisan karapan sapi. Dalam karapan itu
anak bisa menghitung berapa pesertanya, kalau setiap peserta ditarik
dua ekor sapi, berapa jumlah seluruh sapinya. Contoh lainnya, kalau
ada delapan orang hendak bepergian, kira-kira perlu berapa mobil
sedan. Jawaban memang bisa macam-macam. Itu merupakan gagasan.
Misalnya jawabannya satu mobil. Alasannya, ada yang dipangku. Lewat
cara ini anak juga diajak berimajinasi dan bisa mempunyai berbagai
pilihan.
Sementara, untuk anak yang kurang paham soal uang, anak diajari
belanja sendiri ke warung. Ia membawa uang berapa, memperkirakan
kembaliannya, menghitung di situ kembaliannya. Dengan cara macam itu
kita membuat anak merasakan bahwa itu merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari. Atau, dengan membuatkannya uang-uangan dari potongan
kertas dan diberi nilai 25, 50, 100, 500. dsb., sesuai dengan pecahan
uang yang beredar. Sambil belajar anak sekaligus diajak bermain.
Dengan cara seperti itu anak jadi lebih tertarik dan lebih paham
masalah nilai uang, meskipun perlu waktu dan kesabaran.
Hal sama sebenarnya bisa pula dilakukan sekolah. Misalnya seperti
yang di lakukan sekolah Al-Idhzar. Setiap akhir tahun diadakan acara
bazar. Anak-anak diminta berjualan. Misalnya ada yang berjualan
sirup. Contoh lainnya, suatu hari murid ditugasi menghitung temannya
yang memakai kerudung. Berapa yang memakai kerudung putih, kerudung
merah, dan kerudung hitam. Selanjutnya menjumlahkan semua murid yang
memakai kerudung. Kalau, jumlah siswanya sekian, yang tidak pakai
kerudung berapa?
Dalam membantu anak belajar matematika dengan cara tadi, maka peran
alat peraga menjadi sangat besar, terutama untuk anak SD. Tidak perlu
yang mahal. Henny mencontohkan penggunaan daun kering untuk
menghitung luas suatu bidang tertentu. Dengan daun sebesar ini,
berapa daun dibutuhkan untuk menutupi bidang tertentu. Atau dengan
menggunakan kendaraan yang lewat di depan rumah. Dalam jangka waktu
tertentu ada berapa kendaraan lewat? Berapa kendaraan roda tiganya,
dan berapa roda empatnya? Jam berikutnya, dihitung lagi. Kemudian
dalam seminggu bisa dilihat perbedaannya. Lalu dianalisis, kenapa
pada hari Senin dan Jumat sangat ramai dan hari lain tidak
terlalu. "Itu semua latihan logika dan matematika," jelasnya.
Jadi tidak perlu alat peraga istimewa dan mahal. Yang dibutuhkan
kreativitas kita. Mula-mula dilakukan pendataan, apa saja yang bisa
dipakai. Lalu kita mencoba memikirkan bagaimana mempergunakan potensi
yang dimilikinya untuk memudahkan anak-anak belajar.
Dalam praktik, kalau kita mengikuti pelajaran matematika anak sejak
awal, kita bisa mencari jalan apa yang harus kita lakukan di rumah
untuk menerangkan suatu hal. Masalah akan menjadi rumit kalau kita
tidak mengikutinya sejak awal. Memang pada saat yang diajarkan
istilah-istilah, anak menjadi bingung. Namun bingung dalam istilah
tidak berarti bingung dalam pemahamannya. Itulah yang tetap kita
jembatani dengan mencarinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
mencari pemahaman dasar dalam kehidupan sehari-hari, maka matematika
tidak akan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Les atau kursus belum tentu berguna
Sudah tentu orang tua zaman sekarang tidak boleh judeg atau putus
asa. "Itulah risikonya menjadi orang tua. Jadi, mereka harus tetap
berupaya. Konsep belajar seharusnya adalah konsep yang terus kita
lakukan sampai kita mati. Sebaiknya, konsep itu dipahami dan
dilakukan, bukan hanya diucapkan," tutur Henny mengingatkan.
Bisa saja orang tua mencoba membantu anak dengan cara meleskan atau
mengkursuskan. Namun, menurut Henny, kita mesti tahu terlebih dahulu
masalah yang dihadapi si anak. Jangan-jangan dia anak yang punya
masalah diskalkuli; ada sesuatu yang membuat anak ini berpikir lain
dalam soal penomoran. Atau mungkin anak ini tidak suka pada gurunya?
Sehingga masalahnya lebih berhubungan ke emosi daripada yang lain.
Mungkin juga anak ini sedang protes kepada orang tua. "Les atau
kursus kita berikan kalau kita sudah tahu betul apa masalahnya,"
jelas ibu dua orang remaja ini.
Anak perlu dileskan kalau ia membutuhkan kontak satu-satu untuk tiba
pada tingkat pemahaman. Kadang-kadang itu pun hanya pada topik-topik
tertentu. Kalau demikian halnya, mungkin bisa dimintakan remedial.
Guru atau orang tua menjelaskan topik-topik tertentu. "Jadi tidak
perlu setiap saat dileskan. Karena dileskan itu, apalagi kalau terus
tanpa kita tahu penyebabnya, bisa menyebabkan ketergantungan. Juga
kita jadi tidak tahu seberapa jauh anak tertantang untuk
mengembangkan dirinya," tambahnya.
Kursus pun belum tentu bisa membantu anak mencapai sasaran. "Saya
pernah melihat stand salah satu metode pengajaran matematika di
International Conference on Matematics Education tahun 1996 di
Totonto. Isinya tidak lain adalah landasan teori matematika untuk
mengajarkan berhitung. Jadi sebenarnya pesertanya cuma belajar
landasan teorinya," jelas Andi Hakim.
Melihat plus-minus kursus yang berkaitan dengan matematika, Henny
menyarankan orang tua untuk mempertimbangkan betul kegunaan kursus-
kursus itu bagi anaknya dan bagaimana perkembangan anaknya secara
menyeluruh. Anak itu membutuhkan banyak perkembangan.
Sementara untuk orang tuanya, dalam pandangan Henny, forum untuk
sharing, adalah tempat yang tepat. Tidak perlu formal, yang penting
bisa menjadi kumpulan orang tua dengan minat sama, kebutuhan sama,
dan bisa berbagi. Mungkin pada saat berbagi itu ditemukan lebih
banyak gagasan. Tidak hanya dalam hal matematika, tetapi berbagai
hal, termasuk bagaimana mengatasi kesulitan belajar.
Memang, forum semacam ini belum terdengar ada. Namun, di Singapura
sudah ada lembaga formal yang secara berkala menggelar lokakarya
untuk membantu orang tua yang memiliki anak bermasalah dalam hal
matematika. Ini menggambarkan, bila anak mengalami kesulitan belajar
matematika, orang tua lah yang mesti belajar. (I Gede Agung
Y./Anglingsari Saptono
Wednesday, January 28, 2009
Peer Coaching: Changing Classroom Practice and Enhancing Student Achievement
Les Foltos, Puget Sound Center for Teaching, Learning, and Technology
Why Peer Coaching?
Over the last fifteen years, a growing number of educators have come to the
conclusion that the workshop and conference format that make up most staff
development is ineffective. Teachers say that traditional professional development
doesn’t offer the sustained opportunities for collaboration, feedback, and reflection they
need to change their classroom practice. At the same time, a different methodology for
professional learning has emerged. Richard (2003) notes that more and more schools
across the country are replacing traditional staff development with school-based staff
developers. Boston and San Diego School Districts are pioneers of this method of
preparing teachers, but they are just two examples of the dozens of school districts that
have adopted peer coaching as a model for school-based staff development. The reasons
for this shift are clear; research on effective staff development shows that a peer coaching
methodology meets teachers’ needs and is effective at shaping classroom practice.
Researchers have noted that workshops that comprise most traditional staff
development methodologies don’t provide sufficient time, activities, or content necessary
to promote meaningful change (Garet, Porter, Desimone, Birman, & Yoon, 2001). Study
results by Joyce and Showers (1996, 2002) show that fewer than 15% of teachers
implement new ideas learned in traditional staff development settings such as workshops.
The problem with these traditional approaches is that teachers often don’t have the skills
or knowledge needed to apply what they learn in these workshops and have no way to
receive support or feedback when they do attempt to apply what they have learned.
Teachers need time to see new strategies modeled during the school day and
opportunities to use new skills in developing and implementing learning activities (Garet,
et al., 2001; Joyce and Showers 1996, 2002; Rodriguez and Knuth, 2000).
As they have studied the impact of traditional professional development, many
researchers have identified the characteristics of effective staff development, and their
findings are remarkably consistent. Alexander Russo (2004) summarized these research
findings in a recent article. Effective staff development must be “ongoing, deeply
embedded in teachers’ classroom work with children, specific to grade levels or academic
content, and focused on research-based approaches. It also must help to open classroom
doors and create more collaboration and sense of community among teachers in a school”
(para. 8).
Russo noted that school-based coaching not only met these criteria “remarkably
well,” it is consistent with the standards for effective staff development outlined by the
National Staff Development Council (NSDC). For more than a decade the National Staff
Development Council has studied the research on professional development with the goal
2
of improving the quality of teachers’ professional development. The NSDC has outlined
standards for effective professional development based on its analysis of the research. In
reviewing the NSDC’s standards, Russo noted coaching aligned with many of them. In
particular, he noted coaching “…is focused on authentic student work, is closely tied to
specific school or district's curriculum and to teachers' practice, takes place on a
continuous basis, and relies heavily on research” (para. 9).
Does peer coaching affect academic achievement?
While peer coaching may be an effective model of staff development, many
educators are asking hard questions about peer coaching and academic achievement.
Does peer coaching actually affect student learning? Does it produce increases in
academic achievement? There are increasing indications that coaching can affect
academic achievement.
• Richard (2003) notes that coaching, which was part of a broader package of
reforms, was producing test score improvements in the San Diego School District.
• Guiney (2001) looked at the impact of literacy coaching in Boston Public Schools
and concluded that, “Several schools have had dramatic increases on parts of the
state’s difficult test, the MCAS [Massachusetts Comprehensive Assessment
System]—increases that can be directly connected to teachers’ work that was
undertaken with their coaches” (para. 12).
• Branigan (2002) concluded that Missouri’s eMINTS program, which combines
computer technology, an inquiry-based approach to teaching, and extensive
professional development, including coaching, produced impressive results in
students who took the Missouri Assessment Program (MAP) test. “Results show
that a higher percentage of students in eMINTS classrooms scored in the
‘Proficient’ or ‘Advanced’ categories…when compared with other students who
took the MAP tests…” (para. 18).
Despite these promising findings, a recent study of peer coaching by Neufeld and
Roper (2003) found that there is no conclusive evidence that coaching alone produces
increases in academic achievement. Despite the lack of clear proof that coaching leads to
increased academic achievement, Neufeld and Roper were quick to point out that
“…coaching does increase the instructional capacity of school and teachers, a known
prerequisite for increasing learning” (p. v). Their conclusion is shared by many leading
researchers in the field.
Does peer coaching affect teacher practice?
Research findings indicate that school-based peer coaching plays an important
role in improving teachers’ abilities to adopt and implement new teaching and learning
practices. When comparing teachers who had worked with coaches with those who had
not, Showers and Joyce (2002) found that teachers who worked with coaches:
3
• Practiced new strategies more often and with greater skill than teachers who were
not coached.
• Retained and increased their new skills over time; teachers who were not coached
did not.
• Demonstrated a clearer understanding of the purposes and uses of the new
strategies than teachers who were not coached.
These same researchers also found that when teachers combined participation in
traditional workshops with peer coaching or methodologies that promoted collaboration
and reflection, more than 80% of teachers were using newly learned strategies in their
classrooms (Joyce and Showers, 1996; Joyce, Murphy, & Showers, 1996; Richardson,
1999).
Over time, research had made it increasingly clear that one key to changing
classroom practices is to provide teachers with opportunities for ongoing discussion and
reflection. Methodologies that provide teachers with these chances for collaboration
change teaching practice (Darling-Hammond, 1995, 1996; Garet et al., 2001; Hargreaves
and Fullan, 1992; Little, 1993; Loucks-Horsley, Stiles, & Hewson, 1996; Richardson,
1994; Sparks and Loucks-Horsley, 1989; Richard, 2003; Showers and Joyce, 2002;
Veenman and Denessen, 2001). Coaching is one methodology that encourages this type
of professional collaboration. Teachers value coaching because it promotes their learning
by offering them opportunities to become involved in meaningful discussions and
planning, observing others, being observed, and receiving feedback (Carey and
Frechtling, 1997; Darling-Hammond, 1997; Loucks-Horsley et al., 1998). Garet and
several co-authors (2001) found that teachers from the same school who work together
with coaches have more opportunities to “discuss concepts, skills, and problems that arise
during their professional development experiences” and are “likely to share common
curricular materials, course offerings, and assessment requirements” (p. 922).
Does peer coaching help teachers effectively integrate technology into classroom
practice?
The peer coaching methodology has an impact on teaching practices in a variety
of content areas, and also plays a powerful role in helping teachers integrate technology
into their classroom learning activities. Teachers needed ongoing support as their
proficiency in integrating technology into instruction grew. While teachers initially rely
heavily on technical support, they need instructional support as they begin to use
technology to support project based learning or interdisciplinary learning (White,
Ringstaff, & Kelley, 2002). Peer coaching can provide the type of support teachers need
as they begin to integrate technology with classroom activities that actively engage
students in learning (Ike, 1997; Miller, 1998; Norton and Gonzales, 1998; Saye, 1998;
Tenbusch, 1998; Yocam, 1996). One reason peer coaching is so useful for technology
integration is that it provides both ongoing support and just-in-time support that teachers
value (Brush et al., 2003).
4
Conclusion
While peer coaching is slowly finding its way into American schools, we have enough
experience with this methodology to know that it is a proven technique which can change
teacher practice. Experience with this form of professional development shows us the
building blocks that need to be in place to make it successful. Like any other professional
development methodology, coaching won’t be successful unless it is closely aligned with
the school’s educational goals, budget, and other resources. If it is “integral to a larger
instructional improvement plan that targets and aligns professional development
resources toward the district’s goals,” Neufeld and Roper (2003) concluded that,
“coaching can become a powerful vehicle for improving instruction, and, thereby, student
achievement” (p. 26). Peer coaching is a cost-effective way for schools and school
districts to meet their needs.
References
Branigan, C. (2002). Study: Missouri’s ed-tech program is raising student achievement.
eSchool News Online. Retrieved April 25, 2006, from
http://www.eschoolnews.com/news/showStory.cfm?ArticleID=3673
Brush, T., Glazewski, K., Rutowski, K., Berg, K., Stromfors, C. Van-Nest, M.H., Stock,
L., & Sutton, J. (2003). Integrating technology in a field-based teacher training program.
Retrieved December 20, 2005, from http://pt3.ed.asu.edu/docs/5101-05.pdf
Carey, N., & Frechtling, J. (1997). Best practices in action: Follow-up survey on teacher
enhancement programs. Arlington, VA: National Science Foundation.
Darling-Hammond, L. (1995). Changing conceptions of teaching and teacher
development. Teacher Education Quarterly, 22(4), 9–26.
Darling-Hammond, L. (1996). What matters most: A competent teacher for every child.
Phi Delta Kappan, 78(3). Retrieved January 5, 2004, from
http://www.pdkintl.org/kappan/darling.htm
Darling-Hammond, L. (1997). The right to learn: A blueprint for creating schools that
work. San Francisco: Jossey-Bass.
Garet, M., Porter, A., Desimone, L., Birman, B., & Yoon, S. (2001). What makes
professional development effective? Results from a national sample of teachers.
American Educational Research Journal, 38(4), 915–945. Retrieved January 6,
2004, from http://aztla.asu.edu/ProfDev1.pdf
Guiney, E. (2001). Coaching isn’t just for athletes: The role of teacher leaders. Phi Delta
Kappan, 82(10). Retrieved May, 10, 2002, from
5
http://www.pdkintl.org/kappan/k0106gui.htm
Hargreaves, A., & Fullan, M. (1992). Understanding teacher development. New York:
Teachers College Press.
Ike, C.A. (1997). Development through educational technology: Implications for teacher
personality and peer coaching. Journal of Instructional Psychology, 24, 42–49.
Joyce, B., & Showers, B. (1994). Student achievement through staff development. New
York: Longman, Inc.
Joyce, B., & Showers, B. (2002). Student achievement through professional
development. In B. Joyce & B. Showers (Eds.), Designing training and peer coaching:
Our need for learning. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Joyce, B., Murphy, C., & Showers, B. (1996). The River City Program: Staff
development becomes school improvement. In B. Joyce & E. Calhoun (Eds.),
Learning experiences in school renewal: An exploration of five successful
programs. College Park, MD: ERIC Clearinghouse.
Joyce, B., & Showers, B. (1996). The evolution of peer coaching. Educational
Leadership, 53(6), 12–16.
Little, J.W. (1993). Teachers’ professional development in a climate of educational
reform. Educational Evaluation and Policy Analysis, 15(2), 129–151.
Loucks-Horsley, S., Stiles, K., & Hewson, P. (1996). Principles of effective professional
development for mathematics and science education: A synthesis of standards.
NISE Brief, 1(1). Madison, WI: University of Wisconsin at Madison, National
Institute for Science Education.
Loucks-Horsley, S., Hewson, P.W., Love, N., & Stiles, K.E. (1998). Designing
professional development for teachers of science and mathematics. Thousand
Oaks, CA: Corwin Press.
Miller, N.N. (1998). The technology float in education today. Science Activities, 35(2),
3–4.
National Center for Research on Teacher Learning (1995). Learning to walk the reform
talk: A framework for professional development for teachers. Retrieved January 6, 2004,
from http://ncrtl.msu.edu/http/walk.pdf
Neufeld, B., & Roper, D. (2003) Coaching: A strategy for developing instructional
Capacity. Providence, RI: The Annenberg Institute for School Reform. Retrieved July 9,
2003, from http://www.annenberginstitute.org/images/Coaching.pdf
6
Norton, P., & Gonzales, C. (1998). Regional Educational Technology Assistance
Initiative. Phase II: Evaluating a model for statewide professional development.
Journal of Research on Computing in Education, 31(1), 25–48.
Richard, Alan. (2003). Making our own way: The emergence of school-based staff
developers in America’s public schools. Retrieved December 16, 2005, from
http://www.emcf.org/pdf/student_ourownroadbw.pdf
Richardson, J. (1999). Making workshops work for you: Here’s how to ensure those new
ideas get put into practice. Tools for Schools, April/May. Retrieved May 10, 2002,
from http://www.nsdc.org/library/tools/tools4-99rich.html
Richardson, V. (Ed.).(1994). Teacher change and the staff development process: A case
in reading instruction. New York: Teachers College Press.
Rodriquez, G., & Knuth, R. (2000). Critical issue: Providing professional development
for effective technology use. Pathways to School Improvement. Retrieved January
6, 2004, from http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/methods/technlgy/te1000.htm
Russo, A. (2004). School-based coaching. Harvard Education Letter Research Online.
Retrieved December 16, 2005, from http://www.edletter.org/past/issues/2004-
ja/coaching.shtml
Saye, J.W. (1998). Technology in the classroom: The role of dispositions in teacher
gatekeeping. Journal of Curriculum and Supervision, 13(3), 210–234.
Sparks, D., & Loucks-Horsley, S. (1989). Five models of staff development for all
teachers. Journal of Staff Development, 10(4), 40–57.
Tenbusch, J.P. (1998). Teaching the teachers: Technology staff development that works.
Electronic School [Electronic version]. Retrieved January 6, 2004, from
http://www.electronic-school.com/0398fl.html
Veenman, S. & Denessen, E. (2001). The coaching of teachers: Results of five training
studies. Educational Research and Evaluation, 7(4) 385–417.
Web-based Education Commission. (2000). The power of the Internet for learning:
Moving from promise to practice. Retrieved January 6, 2004, from
http://interact.hpcnet.org/webcommission/index.htm
White, N. Ringstaff, C., & Kelley, L. (2002). Getting the most from technology in
schools. Retrieved December 20, 2005, from http://www.wested.org/online_pubs/kn-02-
01.pdf
7
Wong, K., & Nicotera, A. (2003). Enhancing teacher quality: Peer coaching as a
professional development strategy. A preliminary synthesis of the literature. Retrieved
October 25, 2005, from http://www.temple.edu/LSS/pdf/publications/pubs2003-5.pdf
Wood, F.H., & Killian, J. E. (1998). Job-embedded learning makes the difference in
school improvement. Journal of Staff Development, 19. Retrieved May 12, 2002,
from http://www.nsdc.org/library/jsd/wood191.html
Yocam, K. (1996). Conversation: An essential element of teacher development. In C.
Fisher, D.C. Dwyer, & K. Yocam (Eds.), Education and technology. San
Francisco: Jossey-Bass.
Why Peer Coaching?
Over the last fifteen years, a growing number of educators have come to the
conclusion that the workshop and conference format that make up most staff
development is ineffective. Teachers say that traditional professional development
doesn’t offer the sustained opportunities for collaboration, feedback, and reflection they
need to change their classroom practice. At the same time, a different methodology for
professional learning has emerged. Richard (2003) notes that more and more schools
across the country are replacing traditional staff development with school-based staff
developers. Boston and San Diego School Districts are pioneers of this method of
preparing teachers, but they are just two examples of the dozens of school districts that
have adopted peer coaching as a model for school-based staff development. The reasons
for this shift are clear; research on effective staff development shows that a peer coaching
methodology meets teachers’ needs and is effective at shaping classroom practice.
Researchers have noted that workshops that comprise most traditional staff
development methodologies don’t provide sufficient time, activities, or content necessary
to promote meaningful change (Garet, Porter, Desimone, Birman, & Yoon, 2001). Study
results by Joyce and Showers (1996, 2002) show that fewer than 15% of teachers
implement new ideas learned in traditional staff development settings such as workshops.
The problem with these traditional approaches is that teachers often don’t have the skills
or knowledge needed to apply what they learn in these workshops and have no way to
receive support or feedback when they do attempt to apply what they have learned.
Teachers need time to see new strategies modeled during the school day and
opportunities to use new skills in developing and implementing learning activities (Garet,
et al., 2001; Joyce and Showers 1996, 2002; Rodriguez and Knuth, 2000).
As they have studied the impact of traditional professional development, many
researchers have identified the characteristics of effective staff development, and their
findings are remarkably consistent. Alexander Russo (2004) summarized these research
findings in a recent article. Effective staff development must be “ongoing, deeply
embedded in teachers’ classroom work with children, specific to grade levels or academic
content, and focused on research-based approaches. It also must help to open classroom
doors and create more collaboration and sense of community among teachers in a school”
(para. 8).
Russo noted that school-based coaching not only met these criteria “remarkably
well,” it is consistent with the standards for effective staff development outlined by the
National Staff Development Council (NSDC). For more than a decade the National Staff
Development Council has studied the research on professional development with the goal
2
of improving the quality of teachers’ professional development. The NSDC has outlined
standards for effective professional development based on its analysis of the research. In
reviewing the NSDC’s standards, Russo noted coaching aligned with many of them. In
particular, he noted coaching “…is focused on authentic student work, is closely tied to
specific school or district's curriculum and to teachers' practice, takes place on a
continuous basis, and relies heavily on research” (para. 9).
Does peer coaching affect academic achievement?
While peer coaching may be an effective model of staff development, many
educators are asking hard questions about peer coaching and academic achievement.
Does peer coaching actually affect student learning? Does it produce increases in
academic achievement? There are increasing indications that coaching can affect
academic achievement.
• Richard (2003) notes that coaching, which was part of a broader package of
reforms, was producing test score improvements in the San Diego School District.
• Guiney (2001) looked at the impact of literacy coaching in Boston Public Schools
and concluded that, “Several schools have had dramatic increases on parts of the
state’s difficult test, the MCAS [Massachusetts Comprehensive Assessment
System]—increases that can be directly connected to teachers’ work that was
undertaken with their coaches” (para. 12).
• Branigan (2002) concluded that Missouri’s eMINTS program, which combines
computer technology, an inquiry-based approach to teaching, and extensive
professional development, including coaching, produced impressive results in
students who took the Missouri Assessment Program (MAP) test. “Results show
that a higher percentage of students in eMINTS classrooms scored in the
‘Proficient’ or ‘Advanced’ categories…when compared with other students who
took the MAP tests…” (para. 18).
Despite these promising findings, a recent study of peer coaching by Neufeld and
Roper (2003) found that there is no conclusive evidence that coaching alone produces
increases in academic achievement. Despite the lack of clear proof that coaching leads to
increased academic achievement, Neufeld and Roper were quick to point out that
“…coaching does increase the instructional capacity of school and teachers, a known
prerequisite for increasing learning” (p. v). Their conclusion is shared by many leading
researchers in the field.
Does peer coaching affect teacher practice?
Research findings indicate that school-based peer coaching plays an important
role in improving teachers’ abilities to adopt and implement new teaching and learning
practices. When comparing teachers who had worked with coaches with those who had
not, Showers and Joyce (2002) found that teachers who worked with coaches:
3
• Practiced new strategies more often and with greater skill than teachers who were
not coached.
• Retained and increased their new skills over time; teachers who were not coached
did not.
• Demonstrated a clearer understanding of the purposes and uses of the new
strategies than teachers who were not coached.
These same researchers also found that when teachers combined participation in
traditional workshops with peer coaching or methodologies that promoted collaboration
and reflection, more than 80% of teachers were using newly learned strategies in their
classrooms (Joyce and Showers, 1996; Joyce, Murphy, & Showers, 1996; Richardson,
1999).
Over time, research had made it increasingly clear that one key to changing
classroom practices is to provide teachers with opportunities for ongoing discussion and
reflection. Methodologies that provide teachers with these chances for collaboration
change teaching practice (Darling-Hammond, 1995, 1996; Garet et al., 2001; Hargreaves
and Fullan, 1992; Little, 1993; Loucks-Horsley, Stiles, & Hewson, 1996; Richardson,
1994; Sparks and Loucks-Horsley, 1989; Richard, 2003; Showers and Joyce, 2002;
Veenman and Denessen, 2001). Coaching is one methodology that encourages this type
of professional collaboration. Teachers value coaching because it promotes their learning
by offering them opportunities to become involved in meaningful discussions and
planning, observing others, being observed, and receiving feedback (Carey and
Frechtling, 1997; Darling-Hammond, 1997; Loucks-Horsley et al., 1998). Garet and
several co-authors (2001) found that teachers from the same school who work together
with coaches have more opportunities to “discuss concepts, skills, and problems that arise
during their professional development experiences” and are “likely to share common
curricular materials, course offerings, and assessment requirements” (p. 922).
Does peer coaching help teachers effectively integrate technology into classroom
practice?
The peer coaching methodology has an impact on teaching practices in a variety
of content areas, and also plays a powerful role in helping teachers integrate technology
into their classroom learning activities. Teachers needed ongoing support as their
proficiency in integrating technology into instruction grew. While teachers initially rely
heavily on technical support, they need instructional support as they begin to use
technology to support project based learning or interdisciplinary learning (White,
Ringstaff, & Kelley, 2002). Peer coaching can provide the type of support teachers need
as they begin to integrate technology with classroom activities that actively engage
students in learning (Ike, 1997; Miller, 1998; Norton and Gonzales, 1998; Saye, 1998;
Tenbusch, 1998; Yocam, 1996). One reason peer coaching is so useful for technology
integration is that it provides both ongoing support and just-in-time support that teachers
value (Brush et al., 2003).
4
Conclusion
While peer coaching is slowly finding its way into American schools, we have enough
experience with this methodology to know that it is a proven technique which can change
teacher practice. Experience with this form of professional development shows us the
building blocks that need to be in place to make it successful. Like any other professional
development methodology, coaching won’t be successful unless it is closely aligned with
the school’s educational goals, budget, and other resources. If it is “integral to a larger
instructional improvement plan that targets and aligns professional development
resources toward the district’s goals,” Neufeld and Roper (2003) concluded that,
“coaching can become a powerful vehicle for improving instruction, and, thereby, student
achievement” (p. 26). Peer coaching is a cost-effective way for schools and school
districts to meet their needs.
References
Branigan, C. (2002). Study: Missouri’s ed-tech program is raising student achievement.
eSchool News Online. Retrieved April 25, 2006, from
http://www.eschoolnews.com/news/showStory.cfm?ArticleID=3673
Brush, T., Glazewski, K., Rutowski, K., Berg, K., Stromfors, C. Van-Nest, M.H., Stock,
L., & Sutton, J. (2003). Integrating technology in a field-based teacher training program.
Retrieved December 20, 2005, from http://pt3.ed.asu.edu/docs/5101-05.pdf
Carey, N., & Frechtling, J. (1997). Best practices in action: Follow-up survey on teacher
enhancement programs. Arlington, VA: National Science Foundation.
Darling-Hammond, L. (1995). Changing conceptions of teaching and teacher
development. Teacher Education Quarterly, 22(4), 9–26.
Darling-Hammond, L. (1996). What matters most: A competent teacher for every child.
Phi Delta Kappan, 78(3). Retrieved January 5, 2004, from
http://www.pdkintl.org/kappan/darling.htm
Darling-Hammond, L. (1997). The right to learn: A blueprint for creating schools that
work. San Francisco: Jossey-Bass.
Garet, M., Porter, A., Desimone, L., Birman, B., & Yoon, S. (2001). What makes
professional development effective? Results from a national sample of teachers.
American Educational Research Journal, 38(4), 915–945. Retrieved January 6,
2004, from http://aztla.asu.edu/ProfDev1.pdf
Guiney, E. (2001). Coaching isn’t just for athletes: The role of teacher leaders. Phi Delta
Kappan, 82(10). Retrieved May, 10, 2002, from
5
http://www.pdkintl.org/kappan/k0106gui.htm
Hargreaves, A., & Fullan, M. (1992). Understanding teacher development. New York:
Teachers College Press.
Ike, C.A. (1997). Development through educational technology: Implications for teacher
personality and peer coaching. Journal of Instructional Psychology, 24, 42–49.
Joyce, B., & Showers, B. (1994). Student achievement through staff development. New
York: Longman, Inc.
Joyce, B., & Showers, B. (2002). Student achievement through professional
development. In B. Joyce & B. Showers (Eds.), Designing training and peer coaching:
Our need for learning. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Joyce, B., Murphy, C., & Showers, B. (1996). The River City Program: Staff
development becomes school improvement. In B. Joyce & E. Calhoun (Eds.),
Learning experiences in school renewal: An exploration of five successful
programs. College Park, MD: ERIC Clearinghouse.
Joyce, B., & Showers, B. (1996). The evolution of peer coaching. Educational
Leadership, 53(6), 12–16.
Little, J.W. (1993). Teachers’ professional development in a climate of educational
reform. Educational Evaluation and Policy Analysis, 15(2), 129–151.
Loucks-Horsley, S., Stiles, K., & Hewson, P. (1996). Principles of effective professional
development for mathematics and science education: A synthesis of standards.
NISE Brief, 1(1). Madison, WI: University of Wisconsin at Madison, National
Institute for Science Education.
Loucks-Horsley, S., Hewson, P.W., Love, N., & Stiles, K.E. (1998). Designing
professional development for teachers of science and mathematics. Thousand
Oaks, CA: Corwin Press.
Miller, N.N. (1998). The technology float in education today. Science Activities, 35(2),
3–4.
National Center for Research on Teacher Learning (1995). Learning to walk the reform
talk: A framework for professional development for teachers. Retrieved January 6, 2004,
from http://ncrtl.msu.edu/http/walk.pdf
Neufeld, B., & Roper, D. (2003) Coaching: A strategy for developing instructional
Capacity. Providence, RI: The Annenberg Institute for School Reform. Retrieved July 9,
2003, from http://www.annenberginstitute.org/images/Coaching.pdf
6
Norton, P., & Gonzales, C. (1998). Regional Educational Technology Assistance
Initiative. Phase II: Evaluating a model for statewide professional development.
Journal of Research on Computing in Education, 31(1), 25–48.
Richard, Alan. (2003). Making our own way: The emergence of school-based staff
developers in America’s public schools. Retrieved December 16, 2005, from
http://www.emcf.org/pdf/student_ourownroadbw.pdf
Richardson, J. (1999). Making workshops work for you: Here’s how to ensure those new
ideas get put into practice. Tools for Schools, April/May. Retrieved May 10, 2002,
from http://www.nsdc.org/library/tools/tools4-99rich.html
Richardson, V. (Ed.).(1994). Teacher change and the staff development process: A case
in reading instruction. New York: Teachers College Press.
Rodriquez, G., & Knuth, R. (2000). Critical issue: Providing professional development
for effective technology use. Pathways to School Improvement. Retrieved January
6, 2004, from http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/methods/technlgy/te1000.htm
Russo, A. (2004). School-based coaching. Harvard Education Letter Research Online.
Retrieved December 16, 2005, from http://www.edletter.org/past/issues/2004-
ja/coaching.shtml
Saye, J.W. (1998). Technology in the classroom: The role of dispositions in teacher
gatekeeping. Journal of Curriculum and Supervision, 13(3), 210–234.
Sparks, D., & Loucks-Horsley, S. (1989). Five models of staff development for all
teachers. Journal of Staff Development, 10(4), 40–57.
Tenbusch, J.P. (1998). Teaching the teachers: Technology staff development that works.
Electronic School [Electronic version]. Retrieved January 6, 2004, from
http://www.electronic-school.com/0398fl.html
Veenman, S. & Denessen, E. (2001). The coaching of teachers: Results of five training
studies. Educational Research and Evaluation, 7(4) 385–417.
Web-based Education Commission. (2000). The power of the Internet for learning:
Moving from promise to practice. Retrieved January 6, 2004, from
http://interact.hpcnet.org/webcommission/index.htm
White, N. Ringstaff, C., & Kelley, L. (2002). Getting the most from technology in
schools. Retrieved December 20, 2005, from http://www.wested.org/online_pubs/kn-02-
01.pdf
7
Wong, K., & Nicotera, A. (2003). Enhancing teacher quality: Peer coaching as a
professional development strategy. A preliminary synthesis of the literature. Retrieved
October 25, 2005, from http://www.temple.edu/LSS/pdf/publications/pubs2003-5.pdf
Wood, F.H., & Killian, J. E. (1998). Job-embedded learning makes the difference in
school improvement. Journal of Staff Development, 19. Retrieved May 12, 2002,
from http://www.nsdc.org/library/jsd/wood191.html
Yocam, K. (1996). Conversation: An essential element of teacher development. In C.
Fisher, D.C. Dwyer, & K. Yocam (Eds.), Education and technology. San
Francisco: Jossey-Bass.
The Changing Classroom: Challenges for Teachers By Douglas Kellner, Ph.D.
T.H.E. Journal
2003 - 04 Fellow,
The Sudikoff Family Institute for Education & New Media
UCLA Graduate School of Education & Information Studies
Since the emergence of the Internet and dramatic expansion of personal
computers in education, business and everyday life, there have been fierce debates over
whether and how to employ computers in K-12 education. At first, there was a
generational divide with younger teachers and some students putting computers to use in
the classroom and discovering along the way how information technology could
contribute to learning. For many educators comfortably conditioned by traditional
teaching methods, however, the advent of technology was not a welcomed change. Yet
with the enthusiastic embrace of the “information superhighway” by the Clinton
administration and explosive development of the Internet in the 1990s, many educators
eventually came to see that computers could play a critically important role in teaching.
As the classroom itself began to change with the integration of technology, the role of the
teacher has inevitably changed, as well. With technology delivering an ever-accelerating
learning curve that everyone must keep up with, teachers have begun to see that they
must learn to work differently with their students in order for education to remain
relevant and effective.
In the late 1990s, many in education, government, and among the media and
public recognized a “digital divide” in which some school districts and classrooms were
“wired” and had up-to-date computer technology, while others did not. Accordingly,
there were efforts undertaken by government, business, and educators to wire classrooms
and make computer technology available to ever-greater numbers.
Yet while many teachers and students are engaging in innovative forms of research
and novel projects, there are still many traditional teachers who resist learning new
computer skills and do not want to bring computer-based technologies into their classrooms.
Yet these technologies carry a transformative power, and many schools, recognizing this,
are now requiring that teachers make use of computer-mediated instruction. Students today
are exposed to a barrage of new technologies outside of the classroom, including home
computers, email, and text messaging, and many possess greater technological skill than
their teachers. This has shifted a dynamic between teachers and their students, forcing
teachers to engage in a learning process themselves.
Teachers have to develop the ability to demonstrate to their students how these
technologies can be used for academic purposes, and convey to their students the
educational advantages of computers and the Internet. This means acquiring and teaching
new literacies, involving teachers and students in innovative types of research projects, and
interacting in novel ways as everyone learns to use new technology and media.
Indeed, to meet the challenges of an always-evolving high-tech society, teachers
today need to develop multiple forms of computer and information literacy in order to
help improve education. This means using technology in the classroom to illustrate lesson
topics; teaching students how to use the Internet and information technology to research
topics; and using technology to enhance education outside the classroom, ideally in ways
that involve students in the learning process.
While computer literacy is usually interpreted in narrow, technical terms,
concerning how to use different computer programs, a broader conception would involve
learning how to access and evaluate information, using the technology for research and
discussion of issues, and even producing Web Sites, blogs, or other forms of Internet
culture. To achieve these goals, teachers need to involve students in hands-on projects
that make them active participants in the learning process, rather than passive receptacles
of information. Group projects can also spark curiosity, and make the learning experience
fun.
Merely putting computers in a lab or classroom will not necessarily have
beneficial effects; there are important preconditions that must be met before technology
can enhance learning. At the most basic, many schools lack adequate technical support
and the expertise that will enable teachers to make effective use of information
technology. Some teachers simply do not have a clear idea of how they can actually use
information technology to better teach their subject matter, and their students.
Yet many teachers are developing highly promising projects that make productive
use of information technology, and in some cases students themselves are taking the lead
and helping produce instructive educational material. Indeed, some students may be more
advanced in their use of computers than their teachers and are often willing and able to
share their skills with their teachers and classmates. The result is a changing classroom
and learning environment that promises to re-involve students in the learning process
while cultivating multiple literacies that will be of use in further education, future job
endeavors and everyday life.
To begin, it is useful for teachers to start with assignments that do not require
specialized computer knowledge and skills. Teachers can take a topic from current events
or an issue from an existing course, and assign students to use a search engine such as
www.google.com to search for three or four items on a specific topic. They can then ask
their students, how useful was the material for clarifying the topic or issue at hand? A
further exercise might explore what limitations students encountered while using Internet
materials, as opposed to books from the library or textbook materials.
Through this process, teachers must advance their own "information literacy" skills
and learn to discern the quality of material their students are accessing. Teachers, along with
students, will quickly learn that some Internet sites may contain misinformation and be
highly biased, while others will be educational and instructive. Just as students need to learn
how to use the library to access the most relevant and sound print material, both teachers
and students must also become Internet-literate and learn to critically evaluate the online
information they access.
With technology in the classroom, teachers must become open-minded themselves,
and recognize that learning new processes and skills is an ongoing necessity. Although this
involves added work, there are many imaginative ways of using technology to engage
students in the learning process.
High school students, for example, can learn a more advanced use of information
technology that would include developing a course Web Site. Here students could put in
hyperlinks to relevant course material from reputable Internet sources on the topic one is
teaching. Obviously, developing a Web Site involves some technical skill, although there is
often someone in the school computer lab who is able to undertake the project and in some
cases students themselves might be able to develop the Web Site. The teacher can then have
students do research to add to the site, which is an ideal way for everyone, teachers included,
to develop website construction skills, and learn to publish online. An additional plus this
exercise provides is that classes can expand upon the site from year to year, to provide
important teaching resources that can make material available to an Internet-wide audience
around the globe.
Another shift for teachers comes with adopting a more flexible mindset about how
the lesson plan should flow; teachers need to get comfortable with the idea of not teaching
all their students the same information at the same time. Since most classrooms do not have
enough computers to enable all students to use them simultaneously, teachers can rotate
students to different projects, so that while some work on computers, others will utilize
textbooks or other materials.
Next, if there is access to computer labs and technical support, teachers can also set
up a class bulletin board or discussion forum on a Web Site and have students log-in to
discuss a certain topic. Students can be assigned to make comments on topics studied in the
classroom, share information or ideas, and comment on other students’ postings. Students
could also be assigned to search for and post Internet addresses (i.e. urls) of interesting sites
on the topic discussed and to comment on what they learned from the site and why they
think it is reliable and educationally useful.
A more advanced use of the Internet for high school students, discussed in a recent
issue T.H.E. Journal (Ferdig and Trammell 2004), would be to have students develop
Weblogs, or blogs, that consist of student postings on specific topics. Blogs can range from
personal diaries discussing what students are reading, learning, and doing in relation to the
course to posting hyperlinks to useful Internet sites to debate over issues being discussed in
class or of current topical interests. There are several Weblog sites, like
www.schoolblogs.com or www.blogger.com) that provide free Weblog technology and
there have been recent articles on how students are taking to blogging and making it a highly
involving and interesting cultural forum (Nussbaum 2004).
Such participatory learning projects thus not only provide real life experience of
Internet research, production, or discussion, but help prepare students for later life
activities, ranging from preparation for jobs of various kinds to giving them the social
and communicative skills necessary to be a good citizen and active in politics and social
life. As we evolve into the future, Internet and other multimedia technologies will even
be more pervasive, thus preparing students to become active subjects and participants in
computer culture. Teachers face the challenge of transforming their classroom to make
learning more relevant for the contemporary era and preparing students to actively
engage and participate in the learning process and the society of tomorrow.
References
Ferdig, R. and Trammell, K. 2004. “Content Delivery in the ‘Blogsphere.’” T.H.E. Journal,
February: 12-20.
Nussbaum, E. “My So-Called Blog.” New York Times, January 11, 2004: D1.
Author’s note: illustrative material could include pictures of Web sites, bulletin boards, and
Weblogs.
2003 - 04 Fellow,
The Sudikoff Family Institute for Education & New Media
UCLA Graduate School of Education & Information Studies
Since the emergence of the Internet and dramatic expansion of personal
computers in education, business and everyday life, there have been fierce debates over
whether and how to employ computers in K-12 education. At first, there was a
generational divide with younger teachers and some students putting computers to use in
the classroom and discovering along the way how information technology could
contribute to learning. For many educators comfortably conditioned by traditional
teaching methods, however, the advent of technology was not a welcomed change. Yet
with the enthusiastic embrace of the “information superhighway” by the Clinton
administration and explosive development of the Internet in the 1990s, many educators
eventually came to see that computers could play a critically important role in teaching.
As the classroom itself began to change with the integration of technology, the role of the
teacher has inevitably changed, as well. With technology delivering an ever-accelerating
learning curve that everyone must keep up with, teachers have begun to see that they
must learn to work differently with their students in order for education to remain
relevant and effective.
In the late 1990s, many in education, government, and among the media and
public recognized a “digital divide” in which some school districts and classrooms were
“wired” and had up-to-date computer technology, while others did not. Accordingly,
there were efforts undertaken by government, business, and educators to wire classrooms
and make computer technology available to ever-greater numbers.
Yet while many teachers and students are engaging in innovative forms of research
and novel projects, there are still many traditional teachers who resist learning new
computer skills and do not want to bring computer-based technologies into their classrooms.
Yet these technologies carry a transformative power, and many schools, recognizing this,
are now requiring that teachers make use of computer-mediated instruction. Students today
are exposed to a barrage of new technologies outside of the classroom, including home
computers, email, and text messaging, and many possess greater technological skill than
their teachers. This has shifted a dynamic between teachers and their students, forcing
teachers to engage in a learning process themselves.
Teachers have to develop the ability to demonstrate to their students how these
technologies can be used for academic purposes, and convey to their students the
educational advantages of computers and the Internet. This means acquiring and teaching
new literacies, involving teachers and students in innovative types of research projects, and
interacting in novel ways as everyone learns to use new technology and media.
Indeed, to meet the challenges of an always-evolving high-tech society, teachers
today need to develop multiple forms of computer and information literacy in order to
help improve education. This means using technology in the classroom to illustrate lesson
topics; teaching students how to use the Internet and information technology to research
topics; and using technology to enhance education outside the classroom, ideally in ways
that involve students in the learning process.
While computer literacy is usually interpreted in narrow, technical terms,
concerning how to use different computer programs, a broader conception would involve
learning how to access and evaluate information, using the technology for research and
discussion of issues, and even producing Web Sites, blogs, or other forms of Internet
culture. To achieve these goals, teachers need to involve students in hands-on projects
that make them active participants in the learning process, rather than passive receptacles
of information. Group projects can also spark curiosity, and make the learning experience
fun.
Merely putting computers in a lab or classroom will not necessarily have
beneficial effects; there are important preconditions that must be met before technology
can enhance learning. At the most basic, many schools lack adequate technical support
and the expertise that will enable teachers to make effective use of information
technology. Some teachers simply do not have a clear idea of how they can actually use
information technology to better teach their subject matter, and their students.
Yet many teachers are developing highly promising projects that make productive
use of information technology, and in some cases students themselves are taking the lead
and helping produce instructive educational material. Indeed, some students may be more
advanced in their use of computers than their teachers and are often willing and able to
share their skills with their teachers and classmates. The result is a changing classroom
and learning environment that promises to re-involve students in the learning process
while cultivating multiple literacies that will be of use in further education, future job
endeavors and everyday life.
To begin, it is useful for teachers to start with assignments that do not require
specialized computer knowledge and skills. Teachers can take a topic from current events
or an issue from an existing course, and assign students to use a search engine such as
www.google.com to search for three or four items on a specific topic. They can then ask
their students, how useful was the material for clarifying the topic or issue at hand? A
further exercise might explore what limitations students encountered while using Internet
materials, as opposed to books from the library or textbook materials.
Through this process, teachers must advance their own "information literacy" skills
and learn to discern the quality of material their students are accessing. Teachers, along with
students, will quickly learn that some Internet sites may contain misinformation and be
highly biased, while others will be educational and instructive. Just as students need to learn
how to use the library to access the most relevant and sound print material, both teachers
and students must also become Internet-literate and learn to critically evaluate the online
information they access.
With technology in the classroom, teachers must become open-minded themselves,
and recognize that learning new processes and skills is an ongoing necessity. Although this
involves added work, there are many imaginative ways of using technology to engage
students in the learning process.
High school students, for example, can learn a more advanced use of information
technology that would include developing a course Web Site. Here students could put in
hyperlinks to relevant course material from reputable Internet sources on the topic one is
teaching. Obviously, developing a Web Site involves some technical skill, although there is
often someone in the school computer lab who is able to undertake the project and in some
cases students themselves might be able to develop the Web Site. The teacher can then have
students do research to add to the site, which is an ideal way for everyone, teachers included,
to develop website construction skills, and learn to publish online. An additional plus this
exercise provides is that classes can expand upon the site from year to year, to provide
important teaching resources that can make material available to an Internet-wide audience
around the globe.
Another shift for teachers comes with adopting a more flexible mindset about how
the lesson plan should flow; teachers need to get comfortable with the idea of not teaching
all their students the same information at the same time. Since most classrooms do not have
enough computers to enable all students to use them simultaneously, teachers can rotate
students to different projects, so that while some work on computers, others will utilize
textbooks or other materials.
Next, if there is access to computer labs and technical support, teachers can also set
up a class bulletin board or discussion forum on a Web Site and have students log-in to
discuss a certain topic. Students can be assigned to make comments on topics studied in the
classroom, share information or ideas, and comment on other students’ postings. Students
could also be assigned to search for and post Internet addresses (i.e. urls) of interesting sites
on the topic discussed and to comment on what they learned from the site and why they
think it is reliable and educationally useful.
A more advanced use of the Internet for high school students, discussed in a recent
issue T.H.E. Journal (Ferdig and Trammell 2004), would be to have students develop
Weblogs, or blogs, that consist of student postings on specific topics. Blogs can range from
personal diaries discussing what students are reading, learning, and doing in relation to the
course to posting hyperlinks to useful Internet sites to debate over issues being discussed in
class or of current topical interests. There are several Weblog sites, like
www.schoolblogs.com or www.blogger.com) that provide free Weblog technology and
there have been recent articles on how students are taking to blogging and making it a highly
involving and interesting cultural forum (Nussbaum 2004).
Such participatory learning projects thus not only provide real life experience of
Internet research, production, or discussion, but help prepare students for later life
activities, ranging from preparation for jobs of various kinds to giving them the social
and communicative skills necessary to be a good citizen and active in politics and social
life. As we evolve into the future, Internet and other multimedia technologies will even
be more pervasive, thus preparing students to become active subjects and participants in
computer culture. Teachers face the challenge of transforming their classroom to make
learning more relevant for the contemporary era and preparing students to actively
engage and participate in the learning process and the society of tomorrow.
References
Ferdig, R. and Trammell, K. 2004. “Content Delivery in the ‘Blogsphere.’” T.H.E. Journal,
February: 12-20.
Nussbaum, E. “My So-Called Blog.” New York Times, January 11, 2004: D1.
Author’s note: illustrative material could include pictures of Web sites, bulletin boards, and
Weblogs.
Friday, January 23, 2009
“Berlomba-lombalah dalam Kebaikan”: Tafsir 5:48 dan Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama* Oleh Mun’im Sirry
Al-Qur’an hanyalah sebuah teks tertulis di antara dua sampul (mushaf).
Ia tidak berbicara, namun melaluinya manusia berwacana.
Ali bin Abi Talib (w. 40/661)
Sikap al-Qur’an terhadap komunitas agama lain telah menarik perhatian banyak sarjana Barat. Dalam kesarjanaan Muslim sendiri tidak ada penjelasan tunggal dan final tentang posisi etis al-Qur’an bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan “agama lain.” Silang pendapat dan kontroversi seputar isu ini bisa menggiring orang dalam kebingungan, dan berkesimpulan bahwa al-Qur’an memang tidak memiliki pandangan koheren dan – seperti halnya kitab-kitab suci agama lain – ia dapat digunakan untuk menjustifikasi pandangan apapun yang dianut pembacanya. Mungkin saja ini benar. Namun, gagasan keragaman agama dipertunjukkan dalam Q. 5:48 sangat terang benderang sehingga menuntut elaborasi dan kontekstualisasi. Tulisan ini hendak mendiskusikan tafsir Q. 5:48 sebagai pijakan awal diskursus kesarjanaan Muslim kontemporer dalam mengadvokasi gagasan pluralisme agama. Dua pertanyaan sentralnya adalah: Sejauhmana gagasan pluralisme agama dapat dilacak dalam tradisi tafsir klasik? Apakah para pemikir Muslim kontemporer terlalu membebankan sudut pandang modern terhadap pandangan-dunia al-Qur’an yang diformulasikan pada masa pra-modern? Dua arus pemikiran akan dieksplorasi. Pertama, kita akan mengeksplorasi tafsir klasik atas Q. 5:48 untuk menelisik pandangan ulama-ulama terdahulu menyangkut isu yang menjadi concern kita di masa kini. Kedua, kita akan menganalisis pendekatan sarjana-sarjana Muslim terhadap apa yang disebut “konservatisme” tafsir klasik.
Untuk tujuan kedua ini, kita “terpaksa” harus membatasi pada tiga sarjana Muslim yang mewakili tradisi berbeda, namun semuanya merujuk pada Q. 5:48 sebagai pijakan sentral dalam argumentasinya. Mereka adalah: Nurcholish Madjid (Indonesia), Asghar Ali Engineer (India), dan Abdulaziz Sachedina (Amerika Serikat). Secara metodologis, pembatasan pada tiga sarjana itu dan pemilihan satu ayat dan mengabaikan ayat-ayat lain bisa dipertanyakan. Berikut penjelasan singkat sebagai pembelaan metodologis. Pembatasan pada ketiga sarjana di atas semata karena keterbatasan ruang (alasan yang mudah ditebak!). Namun, alasan lebih subtilnya, ketiga sarjana itu sudah cukup representatif untuk melihat sisi kontras dalam pendekatan mereka terhadap warisan masa lalu. Demikian juga pemilihan satu ayat diharapkan akan lebih fokus karena kita hendak melakukan kajian komparatif. Orang bisa mempersoalkan kenapa memilih ayat yang memang tidak problematik dalam perbincangan pluralisme agama: kenapa tidak mendiskusikan ayat-ayat polemik terhadap agama lain? Pertanyaan semacam ini, tentu saja, absah. Namun, pertanyaan itu tidak relevan bagi argumen utama tulisan ini. Yakni, visi keragaman agama yang begitu gamblang dalam Q. 5:48 itupun bisa ditafsirkan sebaliknya untuk mengokohkan sikap supremasi Islam atas agama-agama lain, seperti dapat kita semak dalam sejumlah tafsir klasik.
Tafsir Klasik atas Q. 5: 48
Pertanyaan pertama yang menarik perhatian para mufasir klasik adalah: kepada siapa ayat ini ditujukan? Untuk keperluan analisis, ayat ini bisa kita pecah menjadi dua bagian: Pertama, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran, membenarkan (mushaddiqan) kitab yang diturunkan sebelumnya, dan memverifikasinya (muhaiminan) ; maka putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka berpaling dari kebenaran yang telah datang kepadamu,” dan kedua: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan (minhāj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan kepada kalian; maka berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt). Hanya kepada Allah-lah kalian semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” Para mufasir klasik sepakat, bagian pertama ditujukan pada Nabi Muhammad. Mereka berbeda pendapat tentang audience bagian kedua. Apakah ditujukan kepada Nabi dan para pengikutnya atau juga kepada komunitas agama lain?
Bagi Muqatil bin Sulayman (w. 150/767), “wa likullin ja’alnā minkum” berarti “kaum Muslim dan ahl al-kitāb,” tanpa menjelaskan siapa yang termasuk ahl al-kitāb. Zamakhsyari (w. 538/1144) juga tidak mengidentisifikasi audience bagian kedua ini, kecuali ia menegaskan bahwa ayat itu ditujukan kepada manusia secara umum (al-nās). Tabarsi (w. 548/1153) dan Fakh al-Din al-Razi (w. 707/1209) menspesifikasi bahwa bagian kedua ayat itu ditujukan kepada tiga umat (khitāb li al-umam al-tsalāts), yaitu umat Musa, umat Isa, dan umat Muhammad, dengan alasan sederhana bahwa ketiga umat itu sudah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Tabari (w. 310/923) meriwayatkan satu pendapat dari Mujahid bahwa ayat itu ditujukan kepada umat Muhammad semata. Ayat itu, kata Mujahid, harus dipahami begini: Allah telah menjadikan al-Qur’an sebagai hukum dan jalan bagi mereka yang menganut agama Islam. Namun demikian, pendapat ini ditolak sendiri oleh Tabari dengan argumen bahwa jika umat Muhammad memang sudah satu, bagaimana mungkin al-Qur’an kemudian menegaskan: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat.” Argumen serupa diajukan Ibn Katsir (w. 774/1373), kendatipun ia memiliki agenda lain untuk diadvokasi, yakni bahwa validitas risalah keagamaan setiap umat telah dihapus (nusikha) oleh umat yang datang berikutnya, hingga akhirnya Muhammad diutus untuk menghapus seluruh agama. Sebagaimana akan didiskusikan lebih detail nanti, tampaknya Ibn Katsir sangat terobsesi dengan gagasan abrogasi (naskh).
Kecenderungan seperti ini dapat kita temukan dalam isu-isu lain yang diperbincangkan para mufasir klasik, seperti makna “muhaimin”, “syir’ah,” atau bahkan kata “khayrāt.” Namun, sebelum kita diskusikan lebih lanjut, kita lihat sejenak ciri-ciri tipikal dalam kesarjanaan tafsir klasik. Bila tafsir-tafsir di atas dilihat secara kronologis, dari yang paling awal (Muqatil) hingga paling akhir (Ibn Katsir), kita dapat mengajukan kesimpulan sementara, setidaknya terkait ayat di atas, bahwa tafsir yang awal tampak lebih toleran dan terbuka bagi keragamaan agama dibanding tafsir yang muncul belakangan. Muqatil adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam yang menulis tafsir al-Qur’an secara utuh dan karyanya sampai kepada kita sekarang. Baginya, audience ayat itu terbuka bagi komunitas agama lain. Dia bahkan tidak merasa perlu membatasi siapa saja yang bisa dikategorikan ahl al-kitāb. Bandingkan, misalnya, dengan pandangan Ibn Katsir yang begitu antusias mengkampanyekan penghapusan ayat-ayat “pluralis” dengan ayat-ayat polemis. Sungguhpun argumen abrogasi Ibn Katsir ini sangat problematik, tafsirnya begitu diminati dan populer bukan hanya di kalangan peminat studi tafsir, tapi juga di kalangan masyarakat Muslim secara umum. Mengikuti jejak gurunya, Ibn Taymiyyah, Ibn Katsir gigih memperkenalkan apa yang disebutnya “tafsir salaf,” dan membatasi ruang gerak tafsir. Tesis utama Ibn Katsir, seperti diuraikan dalam pendahuluan tafsirnya, bahwa hanya ulama yang memiliki kapasitas untuk menafsirkan al-Qur’an dan tafsir harus didasarkan pada sumber-sumber dari mereka yang disebut salaf sālih. Ia mengutip hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri (ra’y) maka tempatnya kelak di neraka,” dan hadis lain yang lebih “dramatis”: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendapatnya sendiri dan ia benar, maka ia masih dianggap salah.”
Nasib sebaliknya dialami tafsir Muqatil. Ada baiknya kita perkenalkan sedikit kontroversi tafsir Muqatil, figur yang begitu dibenci kaum tradisionalis dan konservatif ini. Seorang penulis Arab Saudi, Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrawi, menulis sub-judul bukunya “bida’ Muqātil” (beberapa bid’ah Muqatil). Ahli tafsir ternama Muhammad Husein al-Dzahabi, yang karyanya berjudul al-Tafsīr wa al-Mufassirūn menjadi textbook di berbagai universitas Islam, mengecam keras Muqatil dengan kata-kata sulit dipercaya datang dari seorang sarjana tafsir terhormat. Katanya, “karya Muqatil mengandung lebih banyak buruk daripada baiknya, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.” Di mata mereka, Muqatil adalah penganut ajaran dan doktrin sesat semacam antropomorfisme. Tuduhan seperti ini sebenarnya dapat dilacak jauh ke Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324/935), pendiri mazhab teologi Asy’ariyyah. Dalam Maqālāt al-Islāmiyyīn, al-Asy’ari mengaitkan Muqatil dengan pendapat bahwa “Tuhan memiliki badan, daging dan darah.” Tuduhan antropomorfisme ekstrem ini sebenarnya tidak terbukti dalam karya-karya tafsirnya yang sampai kepada kita sekarang. Seperti akan didiskusikan lebih lanjut nanti, barangkali faktor politik dan teologis lebih banyak mewarnai kecaman-kecaman terhadap Muqatil. Ia juga dituduh menggunakan sumber-sumber biblikal dalam menafsirkan al-Qur’an. Yang mengagetkan kita, Muqatil ini sangat dikagumi oleh ulama besar sekaliber imam Syafi’i (w. 204/820). Kata Syafi’i, “Barangsiapa hendak belajar tafsir, dia harus menyandarkan diri ke Muqatil bin Sulayman.” Sulit dibayangkan, imam Syafi’i tidak menelaah sendiri tafsir-tafsirnya sebelum ia menyarankan kita berguru ke Muqatil. Suatu saat Ubbad bin Katsir diberitahu bahwa banyak orang membenci Muqatil, ia merespons: “Jangan. Jangan benci dia. Saat ini tidak ada orang yang lebih ‘alim tentang al-Qur’an daripada Muqatil.” Yang lebih mengherankan lagi, hampir tidak ada sarjana Muslim melakukan studi serius terhadap karya-karyanya. Padahal, dilihat dari fakta bahwa dia adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam seharusnya sudah cukup untuk menyentak curiosity kita, termasuk dan terutama, untuk melihat bagaimana hubungan lintas konfesional terekam dalam tafsir-tafsirnya. Di Barat, sebaliknya, kesarjanaan bidang tafsir yang menelaah Muqatil semakin tumbuh berkembang.
Kembali ke “istilah-istilah kunci” dalam Q. 5:48. Tentang makna “muhaimin” dalam ayat itu, tafsir klasik dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Partama, diwakili Muqatil, Tabari, dan Tabarsi, adalah mereka yang menekankan bahwa al-Qur’an membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya berasal dari Tuhan. Muqatil menggunakan frase “syāhid ‘alayhi” yang berarti bahwa al-Qur’an bersaksi dan mengafirmasi kitab-kitab suci terdahulu dari Allah. Kedua, diwakili Zamakhsyari dan Razi, bahwa al-Qur’an bukan hanya mengakui kitab-kitab suci terdahulu berasal dari Allah, tapi juga membuktikan kebenaran dan validitasnya. Ketiga, diwakili Qurtubi (w. 671/1272) dan Ibn Katsir, adalah mereka yang mengaksentuasi aspek superioritas al-Qur’an atas kitab-kitab suci sebelumnya. “Muhaimin ‘alayhi” diartikan “āliyan ‘alayhi wa murtafi’an” (lebih agung dan tinggi). Ibn Katsir mengutip pendapat Ibn Abbas: “muhaimin berarti al-Qur’an menghakimi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya,” dan menambahkan bahwa al-Qur’an mengandung aspek kesempurnaan yang tidak dimiliki kitab-kitab suci terdahulu.
Kata “syir’ah” yang acapkali diterjemahkan “hukum” juga menarik perhatian para mufasir. Apa arti “bagi setiap kalian Kami berikan hukum”? Tafsir-tafsir awal lebih mengesankan sikap “pluralis” dalam menjelaskan kata syir’ah. Menarik dicatat, Muqatil menyuguhkan penjelasan paling rinci tentang perbedaan syir’ah tiga agama yang kerap disebut “agama-agama Ibrahim” itu. Poinnya adalah, perbedaan syir’ah dalam agama-agama bukanlah soal kekhususan ruang dan waktu, melainkan lebih pada aspek independensi setiap umat. Artinya, sebagaimana halnya umat Muhammad tidak diperintahkan mengikuti hukum agama lain, mereka juga tidak diperintahkan mengikuti syari’at Muhammad. Aspek independensi dan otonomi ini dielaborasi lebih jauh oleh Razi dan Zamakhsyari. Frase al-Qur’an “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan”, bagi Razi, merupakan suatu indikasi “setiap Nabi adalah otonum dengan syari’atnya sendiri.” Zamakhsyari menawarkan visi lebih pluralistik, bahwa perbedaan itu memang didesain untuk menguji apakah orang-orang yang mengamalkannya meyakini keragaman syari’at itu demi kemaslahatan umat manusia sendiri.
Beberapa tafsir yang muncul belakangan mencoba merevisi pandangan yang tampak pluralistik ini. Qurtubi, misalnya, berargumen keragaman syari’at tidak menjamin kebenaran setiap syari’at. Ide abrogasi syari’at terdahulu kelihatannya sudah mengkristal pada masa Qurtubi. Sebelum Qurtubi, Tabarsi memang sudah menyinggung soal abrogasi tetapi masih ambigu. Banyak alasan untuk mengatakan, teori abrogasi diciptakan belakangan untuk mendukung pandangan supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan Qurtubi meriwayatkan pendapat Mujahid, “syir’ah dan minhāj yang dimaksud dalam ayat itu adalah agama Muhammad, dan seluruh agama lain telah diabrogasi oleh Islam.” Menggunakan argumentum e silentio, orang bisa mempertanyakan kebenaran riwayat ini. Kenapa gagasan abrogasi yang dinisbatkan kepada Mujahid tidak kita temukan dalam karya ensiklopedik Tabari, padahal Tabari meriwayatkan banyak pernyataan Mujahid dalam tafsirnya? Saya sendiri memang curiga penisbatan ini dimunculkan belakangan untuk mendukung suatu pendapat tertentu, terutama karena banyak kontradiksi dalam periwayatan itu. Ide abrogasi lebih lantang disuarakan Ibn Katsir yang memang tampak terobsesi dengan gagasan itu. Ia menginterpretasi ayat itu begini: Tuhan bisa saja menjadikan seluruh umat sebagai tunggal, tidak diabrograsi, namun Dia telah menurunkan syari’at bagi setiap Nabi dan menghapusnya dengan syari’at Nabi berikutnya, hingga Ia menghapus seluruh syari’at dengan diutusnya Nabi Muhammad. Tafsir Ibn Katsir tentang frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt)” juga berbeda dengan mufasir terdahulu. Sementara sebagian besar mufasir menafsirkan “khayrāt” sebagai “amal baik,” bagi Ibn Katsir “khayrāt” adalah “taat kepada Allah dan mengikuti syari’at-Nya yang Ia jadikan sebagai penghapus (nāsikh) atas apa yang telah diturunkan sebelumnya.”
Dari eksplorasi singkat ini tentu tidak jujur kalau kita menolak bahwa al-Qur’an dan sumber-sumber Islam lainnya terbuka untuk ditafsirkan secara intoleran. Dalam tradisi tafsir, bahkan teks yang jelas-jelas mendukung keragaman agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan sebaliknya. Saya setuju dengan Dr. Khaled Abou el Fadl bahwa “makna teks acapkali tergantung moral pembacanya. Kalau pembacanya intoleran, penuh kebencian, dan opresif, maka demikian pula tafsirnya terhadap teks.” Saya tidak bermaksud menyangkal sebagian ayat al-Qur’an memang bersifat polemik, tetapi problemnya menjadi lebih “akut” karena al-Qur’an itu kemudian ditafsirkan oleh para mufasir klasik yang hidup dalam apa yang disebut John Wansbrough sebagai “sectarian milieu.” Kita boleh tidak setuju dengan argumen “radikal” Wansbrough bahwa al-Qur’an lahir dalam “sectarian milieu” di luar Jazirah Arab dan bahwa teks-teks al-Qur’an sendiri belum stabil hingga awal abad ke-3. Namun, kita sulit membantah bahwa tafsir terhadap al-Qur’an memang berkembang dalam lingkungan polemikal dan apologetik antar-agama. Akibatnya, kita memiliki tumpukan literatur tafsir yang mengadvokasi sikap supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan, ayat yang jelas-jelas mendukung toleransi agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan untuk memusuhi agama-agama.
Sudah barang tentu ada banyak alasan politik dan sosiologis kenapa tradisi tafsir cenderung mengarah pada konservatisme dan eksklusivisme ketika terkait soal agama lain. Faktor-faktor historis itu tidak seharusnya memenjarakan kita. Pertanyaannya sekarang: Bagaimana seharusnya kita memperlakukan warisan tafsir klasik? Dalam tradisi kesarjanaan yang serius, menampik begitu saja warisan tradisi klasik sudah tidak fashionable, karena al-Qur’an masih “berbicara” kepada jutaan umat melalui suara tafsir klasik. Sebelum mendiskusikan bagaimana sarjana-sarjana Muslim menyikapi tradisi dan tafsir klasik, kita lihat terlebih dahulu sentralitas Q. 5:48 dalam argumen mereka.
Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama
Tujuan utama bagian ini adalah membingkai diskursus pluralisme agama di kalangan pemikir Muslim kontemporer yang secara kebetulan merujuk Q. 5:48 sebagai manifesto sikap al-Qur’an terhadap pluralisme. Ketiga sarjana Muslim yang menjadi fokus studi bagian ini tidak menulis karya khusus tentang tafsir, tetapi mereka menggunakan al-Qur’an untuk merespons tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Muslim. Bagi Nurcholish Madjid (berikutnya disebut: Cak Nur), misalnya, pluralisme agama berakar kuat dalam penerimaan al-Qur’an atas keragaman agama: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Karena itu, Q. 5:48 sangat sentral dalam argumen Cak Nur bahwa pluralisme agama merupakan desain Ilahi bagi kemanusiaan. Katanya, “al-Qur’an mengakui bahwa pluralitas merupakan suatu fakta kehidupan dan bagian dari tata dunia. Pluralitas semacam ini terlihat jelas, di antaranya, dalam keragaman agama.” Selain mengakui pluralisme agama sebagai realitas sosial, Cak Nur juga menegaskan bahwa seluruh agama yang dibawa oleh semua Nabi sama-sama mengemban apa yang disebutnya “universal way,” yaitu jalan menuju Tuhan. Bahkan, “agama itu sendiri adalah “jalan”, seperti diekspresikan dalam Islam sebagai “syarī’ah, sīrah, sabīl, tarīqa, minhāj, mansak, atau tao dalam agama China, dan dharma dalam agama Hindu dan Budha. Ini juga prinsip di balik pernyataan dalam Bibel bahwa Jesus adalah jalan.”
Sampai batas tertentu, memahami agama sebagai “universal way” merupakan pergeseran signifikan dari tafsir-tafsir klasik yang biasanya menekankan aspek tawhid sebagai elemen utama dalam agama-agama yang dibawa para Nabi. Banyak orang salah-paham dengan gagasan Cak Nur ini seolah dia menyamakan semua agama, tanpa memahami konteksnya. Cak Nur tentu saja tidak menafikan kenyataan sejarah tentang keragaman agama, karena itu ia juga mendiskusikan elemen partikular agama-agama. Namun, aspek partikular dalam tradisi setiap agama seharusnya mendorong sikap saling menghargai dan terbuka untuk belajar satu sama lain. Jika kita harus meringkas gagasan Cak Nur, walaupun tentu saja kita berlaku tidak adil karena kompleksitas gagasannya tidak mungkin dirangkum dalam satu kalimat, kita bisa membingkai argumennya sebagai berikut: al-Qur’an menyuguhkan tesis kesatuan dalam framework pluralisme agama dan kultural. Yang relevan dengan diskusi kita di sini, dan akan didiskusikan lebih lanjut, adalah pandangan Cak Nur bahwa model pluralisme agama yang ditawarkan al-Qur’an telah terimplementasi dalam masyarakat-masyarak at Muslim awal. Piagam Madinah seringkali dijadikan contoh bentuk pluralisme keagamaan dalam masyarakat Muslim awal, dan diakui bahkan oleh sarjana-sarjana Barat. Di antara sarjana Barat yang sering dikutipnya adalah Robert Bellah dan Max Dimont: Bellah karena pernyataannya bahwa masyarakat Arab pada masa Nabi terlalu modern untuk berhasil di zamannya, sementara Dimont karena pengukuannya bahwa khilafah Islam awal merupakan surga toleran bagi kalangan pedagang, intelektual, dan seniman dari berbagai agama. Bagi Cak Nur, scholarly acknowledgment semacam ini seharusnya mendorong kaum Muslim menghadapi isu pluralisme agama dengan lebih percaya-diri.
Sebagaimana Cak Nur, Asghar Ali Engineer meyakini hermeneutika kontekstual terhadap al-Qur’an dapat membantu kaum Muslim menghadapi tantangan kehidupan kontemporer. Ia memang tidak memiliki latar pendidikan akademik dan tradisional yang kuat, namun di antara tiga sarjana Muslim yang kita kaji dialah satu-satunya yang mendiskusikan Q. 5:48 secara khusus dalam bukunya, Rational Approach to Islam (2001). Bagian paling signifikan dalam ayat itu, menurut Engineer, adalah “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Tentu bukan hal sulit bagi Tuhan untuk menjadikan seluruh manusia satu umat, tapi Dia menganugerahkan kita dengan pluralisme yang dapat menambah kekayaan dan keragamaan dalam hidup ini. Engineer merefleksikan frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan” sebagai berikut: “al-Qur’an tidak menawarkan pandangan sektarian sempit seperti dianut para teolog. Ia memiliki pandangan kemanusiaan yang luas dan tidak dogmatis. Al-Qur’an sangat menekankan perbuatan baik dan mengutuk keras kejahatan yang merugikan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam hal ini al-Qur’an tidak membedakan antara Muslim atau non-Muslim.”
Dalam merumuskan teori pluralisme agama, Engineer menyentuh pertanyaan-pertanya an krusial. Misalnya, apakah kebenaran itu tunggal atau tidak? Apakah kebenaran itu absolut atau relatif? Bolehkah satu agama mengklaim memiliki seluruh kebenaran? Menjawab pertanyaan-pertanya an semacam ini, ia tidak sungkan membuat statement lebih eksplisit dibanding Cak Nur tentang kesatuan agama. Bagi Engineer, Q. 5:48 telah menginspirasikan sejumlah ulama seperti Shah Waliyullah (w. 1762) dan Abul Kalam Azad (w. 1958) dari India untuk sampai pada konsep “wahdat-e-din” (yakni, kesatuan agama). Engineer tidak masuk ke dalam perbincangan yang rumit bagaimana dan kenapa secara historis agama-agama berbeda satu sama lain kendati bersumber dari din yang sama. Tampaknya belum banyak sarjana (jikapun ada) yang memberikan penjelasan teoritis cukup sophisticated sebagaimana ditawarkan Frithjof Schoun dengan teori “the transcendent unity of religion”-nya. Titik-tekan Engineer lebih pada argumen praktis untuk menghindarkan masyarakat dari klaim-klaim absolut yang bisa mengganggu ketentraman dan kedamaian. Katanya, “bukan tugas manusia untuk memperebutkan siapa yang benar atau salah, karena hal itu akan menyebabkan gangguan dan rusaknya kedamaian.” Semuanya ada di tangan Tuhan, karena Dialah yang menciptakan agama-agama ini berbeda, dan Dia pula yang kelak akan membeberkan rahasia keragaman itu.
Jika Cak Nur dan Engineer mengedepankan argumen-argumen teologis-normatif, Abdulaziz Sachedina menyuguhkan argumen filosofis-etis. Q. 5: 48 juga sentral dalam argumen Sachedina. Bab ketiga bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001) dimulai dengan kutipan ayat itu. Ia menyebut “fa istabiqū al-khayrāt” (berlomba-lombalah dalam kebaikan) sebagai “paradigma Islam tentang moralitas.” Tentang visi pluralisme yang ditawarkan Q. 5:48, ia berkata: “Pluralisme al-Qur’an dibangun di atas prinsip etika “berbuat kebaikan.” Konsep tata-moral semacam ini didasarkan pada pengakuan akan suatu tabiat yang ada pada manusia secara umum. Konsep pluralisme al-Qur’an memandang tabiat universal ini disokong dengan kesadaran moral dan kapasitas untuk bernalar secara moral sehingga dapat melakukan kebaikan.” Bagi Sachedina, menjadi pluralis tidak sama dengan toleran. Pluralisme agama menuntut “keterlibatan aktif” (active engagement) dengan agama lain bukan semata untuk menoleransi, melainkan untuk memahaminya. Dia yakin, pluralisme agama bisa menjadi “working paradigm” bagi tumbuh-suburnya pluralisme demokratik dan sosial di mana setiap orang dari latar belakang agama apapun dapat terlibat aktif dalam apa yang dia sebut “community of global citizens.”
Sachedina membuat distingsi tegas antara ajaran inti al-Qur’an dan perkembangan historis tafsir. Dalam bacaannya, al-Qur’an sangat mendukung gagasan pluralisme agama, namun para mufasir dan fuqaha telah mencoba “menciptakan jebakan terminologis dan metodologis demi mengenyampingkan ayat-ayat ekumenikal al-Qur’an yang memperluas jalan keselamatan termasuk kepada agama-agama monoteistik lain.” Kesiapan Islam untuk mengakui legitimasi jalan keselamatan bagi agama-agama lain, kata Sachedina, telah dikaburkan oleh kontroversi teologis abrogasi. Ia secara khusus mengkritik aturan-aturan diskrimatif yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip moral al-Qur’an. “Banyak ketentuan tafsir dan fikih dalam memperlakukan kaum minoritas non-Muslim sudah tidak relevan dalam konteks pluralisme agama kontemporer,” katanya. Secara khusus, Sachedina mengkritik Tabari dan Ibn Katsir karena menganggap ayat-ayat “pluralis” yang menjamin jalan keselamatan bagi komunitas agama lain (2:62; 5: 48 dan 69) telah dihapus dan diganti dengan Q. 3:85 “Barangsiapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya.” Pandangan ini, kata Sachedina, setidaknya masih bisa diperdebatkan.
Sampai pada poin ini kiranya bisa dilihat dua pendekatan kontras antara Cak Nur di satu sisi, dan Sachedina di sini lain, dalam menyikapi tradisi masa lalu. Cak Nur, dalam batas tertentu juga Engineer, tampak apresiatif terhadap warisan tradisi dan tafsir klasik. Banyak contoh kasus penghargaan atas keragaman dan toleransi yang ditelisik dari lembaran sejarah Islam masa lalu diangkat ke permukaan untuk memperkuat posisi bahwa gagasan pluralisme agama yang diusungnya bukanlah “bid’ah.” Dari model “Piagam Madinah” hingga praktik Pakta penjanjian yang dikeluarkan pemimpin-pemimpin Muslim pasca-Muhammad diketengahkan untuk memperjelas potret Islam sebagai agama toleran. Di sini kita bisa memahami kritik sejumlah “aktivis” gerakan civil society di Indonesia yang menuduh Cak Nur hendak mengislamkan konsep civil society. Walaupun, pembacaan lebih dekat akan membuktikan, visi civil society mereka tidak lebih “sekuler” dibanding gagasan “masyarakat madani” Cak Nur. Dalam banyak kesempatan Cak Nur mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya saya diutus dengan kehanifan yang toleran.” Sikap toleransi Islam yang hanif itu, baginya, bukan hanya ada dalam teori, tapi sudah dipraktikkan dalam masyarakat-masyakat Muslim awal. Sachedina, di sisi lain, memperlihatkan sikap kritis terhadap potret Islam masa lalu.
Menyikapi Konservatisme Masa Lalu
Bagi Sachedina, persoalan utamanya adalah bagaimana kita menghadapi warisan konservatisme generasi terdahulu. Maksudnya, kita memang bisa menggali sumber-sumber otentik pluralisme agama dari al-Qur’an, namun tumpukan literatur tafsir telah berupaya-keras membuktikan sebaliknya. Seperti telah didiskusikan di atas, Q. 5:48 begitu lugas dan terang seolah tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi kontroversi, namun kenyataannya para mufasir menemukan cara untuk membelokkannya dengan mengatakan bahwa kedatangan umat Muslim telah membatalkan semua agama yang sebelumnya dianggap valid. Kritik Sachedina terhadap tafsir klasik bermuara pada teori abrogasi itu. Menurutnya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung soal supersisi (penggantian) risalah-risalah agama terdahulu dengan kedatangan Muhammad. Sebaliknya, kendatipun mempersoalkan terjadinya distorsi yang dilakukan pengikut Musa dan Isa ke dalam kitab suci mereka, al-Qur’an tetap mengakui validitasnya. Karenanya, ia berpendapat, ide abrogasi dan supersisi itu “bisa jadi masuk ke dalam diskursus kaum Muslim melalui perdebatan dalam tradisi Kristen yang menganggap agama mereka sebagai pengganti agama Yahudi.”
Sebaliknya, bagi Cak Nur, warisan generasi masa lalu bukan hanya “resourceful” tapi juga inspirasional dalam upaya menggagas pluralisme Islam yang genuine. Islam periode awal, bagi Cak Nur, tampak lebih toleran dibandingkan pada periode belakangan. Ia setuju dengan pendapat Bernard Lewis yang mengatakan, “pada masa-masa awal kemudahan dalam hubungan sosial di kalangan umat Islam, Kristen dan Yahudi, kendati mereka memiliki profesi berbeda-beda, menjadi faktor penting keberhasilan mereka membentuk satu komunitas.” Hal ini dimungkinkan karena kaum Muslim terdahulu berhasil menginternalisasi konsepsi kemanusiaan al-Qur’an yang positif dan optimistik sehingga mereka mampu tampil sebagai “masyarakat kosmopolitan dan universal dan bersedia belajar dan mengadopsi hal-hal berharga dari pengalaman komunitas agama-agama lain.” Perdekatan berbeda dalam menyikapi warisan masa lalu itu menggiring Cak Nur dan Sachedina menjadi selektif dalam mengangkat kasus-kasus dan fakta-fakta historis yang hendak diapreasi atau dikritisi. Selain Piagam Madinah, Cak Nur seringkali berbicara tentang Pakta perjanjian yang dibuat Khalifah kedua Umar bin Khattab yang memberikan jaminan kebebasan beragama. Disebutkan, ketika kaum Muslim berhasil menguasai Jerusalem pada 638, Umar mengirim pesan tertulis kepada penduduk kota itu:
Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ini adalah dokumen tertulis dari Umar bin Khattab kepada penduduk Bayt al-Maqdis. Kalian dijamin keamanan hidup kalian, harta kalian, dan gereja-gereja kalian; tidak akan diambil-alih ataupun dirusak, selama kalian tidak mengganggu keamanan publik.
Juga, Cak Nur secara terbuka mengakui gagasan-gagasannya banyak didasarkan pada khazanah intelektual guru Ibn Katsir, ulama Hanbali terkemuka Ibn Taymiyya (w. 728/1328). Adalah Ibn Taymiyya, katanya, yang mengatakan bahwa kitab-kitab suci terdahulu masih mengandung kebenaran Ilahiyyah. Ibn Taymiyya juga berpendapat, mayoritas kaum Muslim awal, para salaf dan imam, menganggap syara’ umat-umat sebelum Muhammad menjadi syari’at kaum Muslim juga, kecuali manakala syari’at Islam menghadirkan ajaran baru yang menghapuskan syari’at terdahulu.
Menarik dicatat, Sachedina juga mendiskusikan Pakta perjanjian yang dibuat oleh Khalifah kedua Umar bin Khattab, tapi bukan untuk diapresiasi, melainkan untuk dikritisi sebagai bukti intoleransi masa lalu. Perlu segera ditambahkan, Pakta yang dikritik Sachedina bukan pula Pakta Umar yang sering dikutip Cak Nur. Pakta dimaksud lebih dikenal dengan sebutan “Syurūt ‘Umar” (ordinan Umar) ditujukan kepada penduduk Suriah, dan terdokumentasi cukup baik, walaupun terdapat beberapa versi. Dalam Tārīkh Madīnah Dimasq, Ibn Asakir (w. 571/1176) mencatat lima versi ordinan Umar dengan sedikit variasi. Dokumen Umar ini juga dimuat dalam Ahkām ahl al-Dzimmah karangan Ibn Qayyim al-Jawziyya (w. 751/1350). Juga, bisa dilacak dalam kitab-kitab hadis, seperti Sunan Kubrā karya al-Bayhaqi. Dengan melihat begitu well-documented- nya ordinan Umar ini, kita bisa bertanya: Kenapa Cak Nur tidak pernah mendiskusikannya? Sebagaimana kita laik bertanya: Kenapa Sachedina juga tidak mendiskusikan Pakta Umar yang sering didiskusikan Cak Nur? Sulit dipercaya, bahwa mereka saling tidak mengetahui dua ordinan bertentangan yang dibuat oleh Umar yang sama. Penjelasan paling masuk akal, saya kira, adalah bahwa sikap selektif mereka diarahkan (driven) oleh preconcieved dan prejudice teoritis (dalam pengertian positif seperti digunakan Gadamer!) sehingga mereka menjadi selektif dalam mengungkap kasus-kasus historis untuk mendukung gagasan utama mereka. Tentu saja, Pakta Umar yang dikirim kepada penduduk Jerusalem tidak mendukung pendekatan kritis Sachedina, karena Pakta itu jelas-jelas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi non-Muslim.
Dengan metode evaluasi yang sama, kita bisa katakan, ordinan Umar tidak mendukung pendekatan apresiatif Cak Nur terhadap warisan generasi masa lalu. Karena, ordinan Umar ini menjadi simbol diskriminasi dalam perjalanan sejarah Islam. Albrecht Noth menyebut 26 butir dalam ordinan Umar tersebut, di antaranya, umat Kristen tidak boleh membangun gereja baru di dalam kota, tidak boleh memperbaiki gereja yang sudah rusak, tidak boleh meletakkan salib di luar gereja, tidak boleh membawa salib atau kitab suci di pasar, tidak melakukan selebrasi keagamaan di depan publik, tidak boleh memiliki budak bersama dengan orang Islam, tidak boleh membangun rumah lebih tinggi daripada rumah kaum Muslim, harus memakai pakaian dan asesoris tertentu yang membedakan mereka dari kaum Muslim, dan lain-lain. Ordinan Umar inilah yang dijadikan senjata ampuh oleh Khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (w. 247/861) ketika hendak menghentikan praktik dialog dan debat lintas-agama yang sangat dinamis yang dirintis oleh khalifah-khalifah sebelumnya, terutama al-Makmun (w. 218/833). Dengan alasan mengimplementasikan ordinan Umar, al-Mutawakkil memerintahkan umat Kristen dan kaum dzimmi lain untuk mengenakan tutup kepala berwana kuning (taylasan) dan korset (zunnar) yang membedakan mereka dari kaum Muslim. Ia juga memerintahkan penghancuran gereja-gereja yang baru dibangun. Inilah titik-awal sejarah gelap perlakuan diskriminatif dan kasar terhadap kaum minoritas dalam sejarah kekhilafahan Islam.
Sachedina juga mengkritik sistem millet pada masa khilafah Usmaniyah, karena hanya memberikan kebebasan sangat terbatas bagi non-Muslim. Kebijakan-kebijakan diskriminatif itu, kata Sachedina, muncul “karena syari’at memang tidak bisa menerima persamaan antara kaum Muslim dan non-Muslim.” Berbeda dengan semangat pluralistik al-Qur’an, lanjut Sachedina, para mufasir dan fuqaha justru mendorong terciptanya institusionalisasi inferioritas non-Muslim oleh negara sebagai prasyarat bagi ketentraman kehidupan publik masyarakat Muslim, yang pada akhirnya mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas non-Muslim. Dalam perkembangan lebih lanjut, perlakukan tidak adil itu bukan saja ditujukan kepada non-Muslim, tapi juga kepada elemen masyarakat Muslim yang tidak searah dengan pemikiran dan sikap keagamaan dan politik mereka.
Konteks sebagai Penjelasan
Pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana menjelaskan perbedaan pendekatan Cak Nur dan Sachedina terhadap warisan generasi terdahulu? Tentu banyak penjelasan bisa ditawarkan dari yang bersifat teoritis, metodologis, hingga sosiologis. Muara dari penjelasan itu, bahwa konteks memiliki pengaruh historis lebih krusial dalam mengarahkan pemahaman dan interpretasi seseorang daripada umum dipersepsikan. Dalam konteks ini, tafsir bukan semata perbuatan penafsir melainkan hasil dari proses dialogis antara penafsir dan obyek (teks). Inilah yang disebut Hans-Georg Gadamer “effective-history,” yang mengedepankan efikasi historisitas dan situasi kekinian dalam mempersepsikan masa lalu. Dengan kata lain, sebelum kita memberikan makna terhadap teks, sebenarnya kita telah memiliki preconceived knowledge, yang disebut Gadamer sebagai “prejudice,” yang dibentuk oleh fusi horizon masa kini dan horizon masa lalu. Ketika proses fusi itu terjadi, penafsir (horizon masa kini) dan teks (horizon masa kini) memasuki apa yang disebut “lingkaran hermeneutik” (hermeneutic circle). Karenanya, tradisi masa lalu bukan sesuatu yang statis. Masih menurut Gadamer, “tradisi bukanlah sesuatu yang permanen, melainkan kita yang menciptakannya lantaran kita memahmi dan berpartisipasi dalam perkembangan tradisi, dan karenanya kitalah yang menentukannya.” Situasi hermeneutik ini bisa menjelaskan kenapa Cak Nur dan Sachedina menyeleksi contoh-contoh tertentu untuk mendukung posisinya, dan tampak mengabaikan yang lain. Jadi, sikap semacam itu tidak ada hubungannya dengan soal kejujuran intelektual dan seterusnya, melainkan karena adanya pemahaman yang sudah terbentuk sebelumnya bagaimana seharusnya menyikapi warisan tradisi masa lalu. Tradisi masa lalu hanya memiliki makna manakala kita di masa kini memberinya makna. Dengan kata lain, kitalah yang membuat tradisi klasik “berbicara” kepada kita di masa kini melalui pertautan dinamis antara horizon masa kini dan masa lalu itu.
Aspek teoritis ini akan lebih jelas bila kita melihat bagaimana perbedaan metodologi mengarahkan pendekatan mereka terhadap tradisi masa lalu. Seperti disinggung di awal, ketiga sarjana Muslim yang kita diskusikan di sini bukanlah ahli tafsir, tetapi mereka mengombinasikan pemahaman terhadap al-Qur’an dengan analisis politik praktis dan teori sosial. Cak Nur, misalnya, sangat apresiatif terhadap khazanah dan sumber-sumber klasik karena ia mensintesiskan antara tradisionalisme dan modernisme dalam upaya membentuk apa yang disebut “neo-modernisme,” sebuah istilah diciptakan mentor intelektualnya di University of Chicago, Dr. Fazlur Rahman. Bagi Cak Nur, neo-modernisme adalah modernisme yang berakar kuat dalam tradisi dan dimaksudkan untuk mengoreksi modernisme yang tak terkendali yang telah muncul sebelumnya. Sementara itu, Sachedina sangat engaged dengan teori-teori sosial di Barat yang menyadarkan akan sulitnya membangun pluralisme demokratik di atas warisan konservatisme masa lalu. Barangkali inilah concern utama Sachedina. Dia menyerukan agar hambatan-hambatan historis masa lalu tidak memenjarakan kita untuk membangun visi baru pluralisme agama dan kultural sebagai prasyarat tegaknya demokrasi.
Perbedaan pendekatan itu juga bisa dilihat sebagai akibat perbedaan audience dari karya-karya mereka. Hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim, Cak Nur berhadapan dengan situasi berbeda dari Sachedina. Pertama, Cak Nur adalah figur paling kontroversial dalam sejarah intelektual Indonesia sejak akhir 1960-an ketika ia memperkenalkan gagasan sekularisasi Islam. Kedua, ia mulai mempromosikan ide pluralisme agama sekembali dari studinya di Barat, yang memudahkan para pengkritik menuduhnya westernized. Karena itu, mudah dimengerti kenapa Cak Nur merasa perlu melegitimasi pemikirannya dengan melandaskan pada otoritas klasik yang sangat diakui dalam Islam. Rujukannya pada Piagam Madinah, Pakta Umar, dan bahkan pemikiran-pemikiran Ibn Taymiyyah bisa kita baca dari sudut pandang ini. Dengan pijakan Piagam Madinah ia berharap agenda intelektualnya bisa dipandang sebagai upaya merestorasi komunitas Islam model Madinah yang ia yakini toleran, demokratik dan pluralistik. Ibn Taymiyah juga sangat populer di kalangan Islamis. Cak Nur bermaksud memperlihatkan bahwa sumber nilai-nilai pluralisme itu bahkan dapat digali dari karya-karya Ibn Taymiyyah. Dengan kata lain, Cak Nur merasa perlu mengotentifikasi pemikiran-pemikiran progresifnya dengan merujukkannya pada generasi Muslim awal.
Posisi Engineer sebenarnya tidak berbeda jauh dari Cak Nur. Karena latar belakangan pendidikannya, bisa jadi ia tidak cukup memiliki akses ke khazanah klasik, namun ia mendapatkan sumber-sumber otoritatif dalam warisannya sendiri di India. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti mengapa Engineer acapkali merujuk pada Shah Waliyullah dan Abul Kalam Azad. Saya yakin, konteks sosio-politik memberikan signifikansi tersendiri dalam merujuk kepada figur-figur yang sangat dihormati di lingkungan kulturalnya. Di sisi lain, Sachedina hidup dalam alam dan lingkungan akademis yang sama sekali berbeda. Concern utama Sachedina adalah absennya pluralisme demokratik di dunia Muslim, yang akar-akar pemikirannya bisa dilacak dalam literatur-literatur tafsir, fikih, dan bahkan politik. Para pemikir Muslim awal, di mata Sachedina, cenderung melegitimasi rezim politik apapun asalkan ada jaminan proteksi bagi institusi Islam dengan mendiskriminasikan komunitas agama lain. Apa kemungkinan ongkos yang harus dibayar dengan melancarkan kritik pada mereka yang dianggap memiliki otoritas tinggi? Barangkali ia harus berhadapan dengan para klerik yang jauh dari lingkungannya. Pada 1998, Ayatullah Ali Sistani di Najaf, Irak, mengeluarkan fatwa melarang Sachedina mengajar atau mengisi kuliah tentang Islam. Tentu fatwa itu tidak berarti apa-apa, karena Sachedina hidup jauh di Virginia, AS, dan menikmati kebebasan intelektual yang tidak didapat, termasuk, di Indonesia dan India.
Catatan Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita juga mencoba mengkontekstualisas ikan apa yang terjadi pada tafsir-tafsir klasik seperti didiskusikan di awal tulisan ini. Kenapa tafsir awal cenderung lebih terbuka bagi keragaman agama dibanding yang muncul belakangan? Salah satu penjelasan teoritisnya, saya kira, terkait pembentukan identitas keagamaan Muslim awal. Sebagai agama baru, pada masa-masa awal kelahirannya, tentu saja identitas Islam masih cukup mencair. Apa yang membuat seseorang disebut “muslim” tentu tidak sekaku dan serigit sekarang. Secara alamiah identitas itu terbentuk secara perlahan. Apakah kata “muslim” dan berbagai derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebagai identias konfesional eksklusif? Pertanyaan ini mengundang debat hangat di kalangan sarjana Barat. Sebuah studi bagus ditulis oleh Fred Donner, Profesor sejarah Islam awal di University of Chicago. Donner berkesimpulan, kata “Muslim” dalam pengertian teknis merupakan produk perkembangan sejarah panjang. Kata “musliman” dalam Q. 3:63 sebagai modifier “hanif” mengindikasikan, bahwa “muslim” setidaknya dalam ayat itu tidak mungkin merujuk pada konfesi keagamaan yang spesifik.
Sejalan dengan itu, tafsir-tafsir yang lahir pada dua abad pertama Islam merefleksikan identitas keagamaan Muslim yang masih cair. Karakteristik itu dapat kita lihat dalam tafsir Muqatil bin Sulayman. Cairnya identitas keagamaan juga terekam dalam praktik ibadah di mana kaum Muslim bisa “shared” tempat ibadah dengan komunitas agama lain. Menggunakan sumber-sumber agama lain untuk memahami teks al-Qur’an menjadi hal biasa. Muqatil banyak menggunakan sumber-sumber biblikal untuk menjelaskan arti atau konteks ayat-ayat tertentu. Ia juga secara terbuka mengakui banyak istilah dalam al-Qur’an diadopsi dari bahasa non-Arab. Kedua hal itu (sumber-sumber biblikal dan kata asing dalam al-Qur’an) belakangan menjadi isu kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena identitas keagamaan mulai fixed dan eksklusif, diawali dengan gerakan Arabisasi yang diprakarsai oleh khalifah Umayyah Abd al-Malik bin Marwan (w. 86/705). Keengganan untuk menerima “unsur-unsur asing” dalam al-Qur’an juga terkait doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an yang sebenarnya mengkristal secara gradual. Jika penisbatan kitab Mu’ārada al-Qur’ān kepada Ibn Muqaffa’ (d. 139/756) diterima, kita bisa tegaskan bahwa doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an belum stabil hingga pertengahan abad kedua Hijrah. Dalam beberapa fragmen kitab Mu’ārada al-Qur’ān, Ibn Muqaffa’ menawarkan sejumlah ide yang sekarang pasti dianggap blasphemy. Misalnya, penyusunan kembali al-Qur’an menurut struktur puitis yang lebih baik dan secara tegas ia menantang pendapat yang mengatakan al-Qur’an tidak bisa ditiru. Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut, doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an menutup kemungkinan al-Qur’an ditafsirkan menggunakan sumber-sumber biblikal, dan pengakuan akan adanya bahasa non-Arab dalam al-Qur’an juga dipersoalkan. Pemaknaan al-Qur’an pun mengalami fiksasi, terutama pasca-Tabari, dan mencapai klimaks pada masa Ibn Katsir di mana model penafsiran mulai dibatasi. Seperti telah disinggung di atas, Ibn Katsir mengancam mereka yang menafsirkan al-Quran dengan ra’y (perdapat personal) dengan api neraka.
Di sinilah kesimpulan Cak Nur benar adanya, walaupun dia tidak melakukan studi mendalam tentang tafsir: semakin dekat dengan periode Nabi, Islam semakin toleran. Tulisan ini telah membuktikan, sikap tafsir awal terhadap komunitas agama lain tidak sedemikian hostile sebagaimana umum dipersepsikan. Pendekatan saya terhadap Q. 5:48 adalah untuk menakar ayat itu dengan teori-teori mutakhir mengenai hubungan teks dengan pembacanya. Tafsir merupakan produk ruang dan waktu. Gadamer merumuskannya demikian: “understanding is, essentially, a historically effected event.” Selain setuju dengan Abou el Fadl bahwa hubungan teks dengan pembaca memainkan peran penting dalam menentukan suatu makna, saya juga setuju dengan Wilfred C. Smith bahwa tidak ada makna fixed dalam al-Qur’an. Kata Smith, “Makna yang sebenarnya dari al-Qur’an bukanlah satu makna tunggal, melainkan proses pemaknaan yang dinamis, yang mengalir tanpa henti.” Karenanya, al-Qur’an senantiasa menuntut pemaknaan baru dengan menyerap semangat zaman. Jika kaum Muslim hendak membangun masyarakat pluralistik dan toleran yang dilandaskan atas ajaran-ajaran al-Qur’an, maka (1) mereka perlu mengakui warisan konservatisme masa lalu itu, dan (2) memulai merintas arah baru penafsiran. Tulisan ini diawali dengan kutipan pernyataan Ali bin Abi Talib yang sudah menjadi klasik tentang perlunya tafsir, dan akan diakhiri dengan menyebut konteksnya. Pernyataan itu terkait sikap kaum Khawarij pasca arbitrase perang Shiffin. Mereka menyalahkan Ali karena tidak menggunakan al-Qur’an, tapi malah mengutus orang untuk menyelesaikan sengketa dengan gubernur Suriah Mu’awiyyah (w. 60/680). Kata Ali, “innā lasnā hakkamnā al-rijāl innamā hakkamnā al-qur’ān. Wa hādza al-qur’ān innamā huwa khatt mastūr bayn daffatayn lā yantiq innamā yatakallam bihī al-rijāl” (kami tidak mengangkat orang untuk menghakimi, tapi kami mengangkat al-Qur’an sebagai hakim. Namun demikian, al-Qur’an ini hanyalah sebuah teks tertulis di antara dua sampul, ia tidak berbicara melainkan manusia berbicara melaluinya). Frase terakhir ini sudah menjelma menjadi pernyataan klasik bahwa kitab suci senantiasa menuntut paradigma dan etika baru.***
Ia tidak berbicara, namun melaluinya manusia berwacana.
Ali bin Abi Talib (w. 40/661)
Sikap al-Qur’an terhadap komunitas agama lain telah menarik perhatian banyak sarjana Barat. Dalam kesarjanaan Muslim sendiri tidak ada penjelasan tunggal dan final tentang posisi etis al-Qur’an bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan “agama lain.” Silang pendapat dan kontroversi seputar isu ini bisa menggiring orang dalam kebingungan, dan berkesimpulan bahwa al-Qur’an memang tidak memiliki pandangan koheren dan – seperti halnya kitab-kitab suci agama lain – ia dapat digunakan untuk menjustifikasi pandangan apapun yang dianut pembacanya. Mungkin saja ini benar. Namun, gagasan keragaman agama dipertunjukkan dalam Q. 5:48 sangat terang benderang sehingga menuntut elaborasi dan kontekstualisasi. Tulisan ini hendak mendiskusikan tafsir Q. 5:48 sebagai pijakan awal diskursus kesarjanaan Muslim kontemporer dalam mengadvokasi gagasan pluralisme agama. Dua pertanyaan sentralnya adalah: Sejauhmana gagasan pluralisme agama dapat dilacak dalam tradisi tafsir klasik? Apakah para pemikir Muslim kontemporer terlalu membebankan sudut pandang modern terhadap pandangan-dunia al-Qur’an yang diformulasikan pada masa pra-modern? Dua arus pemikiran akan dieksplorasi. Pertama, kita akan mengeksplorasi tafsir klasik atas Q. 5:48 untuk menelisik pandangan ulama-ulama terdahulu menyangkut isu yang menjadi concern kita di masa kini. Kedua, kita akan menganalisis pendekatan sarjana-sarjana Muslim terhadap apa yang disebut “konservatisme” tafsir klasik.
Untuk tujuan kedua ini, kita “terpaksa” harus membatasi pada tiga sarjana Muslim yang mewakili tradisi berbeda, namun semuanya merujuk pada Q. 5:48 sebagai pijakan sentral dalam argumentasinya. Mereka adalah: Nurcholish Madjid (Indonesia), Asghar Ali Engineer (India), dan Abdulaziz Sachedina (Amerika Serikat). Secara metodologis, pembatasan pada tiga sarjana itu dan pemilihan satu ayat dan mengabaikan ayat-ayat lain bisa dipertanyakan. Berikut penjelasan singkat sebagai pembelaan metodologis. Pembatasan pada ketiga sarjana di atas semata karena keterbatasan ruang (alasan yang mudah ditebak!). Namun, alasan lebih subtilnya, ketiga sarjana itu sudah cukup representatif untuk melihat sisi kontras dalam pendekatan mereka terhadap warisan masa lalu. Demikian juga pemilihan satu ayat diharapkan akan lebih fokus karena kita hendak melakukan kajian komparatif. Orang bisa mempersoalkan kenapa memilih ayat yang memang tidak problematik dalam perbincangan pluralisme agama: kenapa tidak mendiskusikan ayat-ayat polemik terhadap agama lain? Pertanyaan semacam ini, tentu saja, absah. Namun, pertanyaan itu tidak relevan bagi argumen utama tulisan ini. Yakni, visi keragaman agama yang begitu gamblang dalam Q. 5:48 itupun bisa ditafsirkan sebaliknya untuk mengokohkan sikap supremasi Islam atas agama-agama lain, seperti dapat kita semak dalam sejumlah tafsir klasik.
Tafsir Klasik atas Q. 5: 48
Pertanyaan pertama yang menarik perhatian para mufasir klasik adalah: kepada siapa ayat ini ditujukan? Untuk keperluan analisis, ayat ini bisa kita pecah menjadi dua bagian: Pertama, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran, membenarkan (mushaddiqan) kitab yang diturunkan sebelumnya, dan memverifikasinya (muhaiminan) ; maka putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka berpaling dari kebenaran yang telah datang kepadamu,” dan kedua: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan (minhāj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan kepada kalian; maka berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt). Hanya kepada Allah-lah kalian semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” Para mufasir klasik sepakat, bagian pertama ditujukan pada Nabi Muhammad. Mereka berbeda pendapat tentang audience bagian kedua. Apakah ditujukan kepada Nabi dan para pengikutnya atau juga kepada komunitas agama lain?
Bagi Muqatil bin Sulayman (w. 150/767), “wa likullin ja’alnā minkum” berarti “kaum Muslim dan ahl al-kitāb,” tanpa menjelaskan siapa yang termasuk ahl al-kitāb. Zamakhsyari (w. 538/1144) juga tidak mengidentisifikasi audience bagian kedua ini, kecuali ia menegaskan bahwa ayat itu ditujukan kepada manusia secara umum (al-nās). Tabarsi (w. 548/1153) dan Fakh al-Din al-Razi (w. 707/1209) menspesifikasi bahwa bagian kedua ayat itu ditujukan kepada tiga umat (khitāb li al-umam al-tsalāts), yaitu umat Musa, umat Isa, dan umat Muhammad, dengan alasan sederhana bahwa ketiga umat itu sudah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Tabari (w. 310/923) meriwayatkan satu pendapat dari Mujahid bahwa ayat itu ditujukan kepada umat Muhammad semata. Ayat itu, kata Mujahid, harus dipahami begini: Allah telah menjadikan al-Qur’an sebagai hukum dan jalan bagi mereka yang menganut agama Islam. Namun demikian, pendapat ini ditolak sendiri oleh Tabari dengan argumen bahwa jika umat Muhammad memang sudah satu, bagaimana mungkin al-Qur’an kemudian menegaskan: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu umat.” Argumen serupa diajukan Ibn Katsir (w. 774/1373), kendatipun ia memiliki agenda lain untuk diadvokasi, yakni bahwa validitas risalah keagamaan setiap umat telah dihapus (nusikha) oleh umat yang datang berikutnya, hingga akhirnya Muhammad diutus untuk menghapus seluruh agama. Sebagaimana akan didiskusikan lebih detail nanti, tampaknya Ibn Katsir sangat terobsesi dengan gagasan abrogasi (naskh).
Kecenderungan seperti ini dapat kita temukan dalam isu-isu lain yang diperbincangkan para mufasir klasik, seperti makna “muhaimin”, “syir’ah,” atau bahkan kata “khayrāt.” Namun, sebelum kita diskusikan lebih lanjut, kita lihat sejenak ciri-ciri tipikal dalam kesarjanaan tafsir klasik. Bila tafsir-tafsir di atas dilihat secara kronologis, dari yang paling awal (Muqatil) hingga paling akhir (Ibn Katsir), kita dapat mengajukan kesimpulan sementara, setidaknya terkait ayat di atas, bahwa tafsir yang awal tampak lebih toleran dan terbuka bagi keragamaan agama dibanding tafsir yang muncul belakangan. Muqatil adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam yang menulis tafsir al-Qur’an secara utuh dan karyanya sampai kepada kita sekarang. Baginya, audience ayat itu terbuka bagi komunitas agama lain. Dia bahkan tidak merasa perlu membatasi siapa saja yang bisa dikategorikan ahl al-kitāb. Bandingkan, misalnya, dengan pandangan Ibn Katsir yang begitu antusias mengkampanyekan penghapusan ayat-ayat “pluralis” dengan ayat-ayat polemis. Sungguhpun argumen abrogasi Ibn Katsir ini sangat problematik, tafsirnya begitu diminati dan populer bukan hanya di kalangan peminat studi tafsir, tapi juga di kalangan masyarakat Muslim secara umum. Mengikuti jejak gurunya, Ibn Taymiyyah, Ibn Katsir gigih memperkenalkan apa yang disebutnya “tafsir salaf,” dan membatasi ruang gerak tafsir. Tesis utama Ibn Katsir, seperti diuraikan dalam pendahuluan tafsirnya, bahwa hanya ulama yang memiliki kapasitas untuk menafsirkan al-Qur’an dan tafsir harus didasarkan pada sumber-sumber dari mereka yang disebut salaf sālih. Ia mengutip hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri (ra’y) maka tempatnya kelak di neraka,” dan hadis lain yang lebih “dramatis”: “Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendapatnya sendiri dan ia benar, maka ia masih dianggap salah.”
Nasib sebaliknya dialami tafsir Muqatil. Ada baiknya kita perkenalkan sedikit kontroversi tafsir Muqatil, figur yang begitu dibenci kaum tradisionalis dan konservatif ini. Seorang penulis Arab Saudi, Muhammad bin Abdurrahman al-Maghrawi, menulis sub-judul bukunya “bida’ Muqātil” (beberapa bid’ah Muqatil). Ahli tafsir ternama Muhammad Husein al-Dzahabi, yang karyanya berjudul al-Tafsīr wa al-Mufassirūn menjadi textbook di berbagai universitas Islam, mengecam keras Muqatil dengan kata-kata sulit dipercaya datang dari seorang sarjana tafsir terhormat. Katanya, “karya Muqatil mengandung lebih banyak buruk daripada baiknya, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.” Di mata mereka, Muqatil adalah penganut ajaran dan doktrin sesat semacam antropomorfisme. Tuduhan seperti ini sebenarnya dapat dilacak jauh ke Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324/935), pendiri mazhab teologi Asy’ariyyah. Dalam Maqālāt al-Islāmiyyīn, al-Asy’ari mengaitkan Muqatil dengan pendapat bahwa “Tuhan memiliki badan, daging dan darah.” Tuduhan antropomorfisme ekstrem ini sebenarnya tidak terbukti dalam karya-karya tafsirnya yang sampai kepada kita sekarang. Seperti akan didiskusikan lebih lanjut nanti, barangkali faktor politik dan teologis lebih banyak mewarnai kecaman-kecaman terhadap Muqatil. Ia juga dituduh menggunakan sumber-sumber biblikal dalam menafsirkan al-Qur’an. Yang mengagetkan kita, Muqatil ini sangat dikagumi oleh ulama besar sekaliber imam Syafi’i (w. 204/820). Kata Syafi’i, “Barangsiapa hendak belajar tafsir, dia harus menyandarkan diri ke Muqatil bin Sulayman.” Sulit dibayangkan, imam Syafi’i tidak menelaah sendiri tafsir-tafsirnya sebelum ia menyarankan kita berguru ke Muqatil. Suatu saat Ubbad bin Katsir diberitahu bahwa banyak orang membenci Muqatil, ia merespons: “Jangan. Jangan benci dia. Saat ini tidak ada orang yang lebih ‘alim tentang al-Qur’an daripada Muqatil.” Yang lebih mengherankan lagi, hampir tidak ada sarjana Muslim melakukan studi serius terhadap karya-karyanya. Padahal, dilihat dari fakta bahwa dia adalah mufasir paling awal yang dihasilkan Islam seharusnya sudah cukup untuk menyentak curiosity kita, termasuk dan terutama, untuk melihat bagaimana hubungan lintas konfesional terekam dalam tafsir-tafsirnya. Di Barat, sebaliknya, kesarjanaan bidang tafsir yang menelaah Muqatil semakin tumbuh berkembang.
Kembali ke “istilah-istilah kunci” dalam Q. 5:48. Tentang makna “muhaimin” dalam ayat itu, tafsir klasik dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Partama, diwakili Muqatil, Tabari, dan Tabarsi, adalah mereka yang menekankan bahwa al-Qur’an membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya berasal dari Tuhan. Muqatil menggunakan frase “syāhid ‘alayhi” yang berarti bahwa al-Qur’an bersaksi dan mengafirmasi kitab-kitab suci terdahulu dari Allah. Kedua, diwakili Zamakhsyari dan Razi, bahwa al-Qur’an bukan hanya mengakui kitab-kitab suci terdahulu berasal dari Allah, tapi juga membuktikan kebenaran dan validitasnya. Ketiga, diwakili Qurtubi (w. 671/1272) dan Ibn Katsir, adalah mereka yang mengaksentuasi aspek superioritas al-Qur’an atas kitab-kitab suci sebelumnya. “Muhaimin ‘alayhi” diartikan “āliyan ‘alayhi wa murtafi’an” (lebih agung dan tinggi). Ibn Katsir mengutip pendapat Ibn Abbas: “muhaimin berarti al-Qur’an menghakimi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya,” dan menambahkan bahwa al-Qur’an mengandung aspek kesempurnaan yang tidak dimiliki kitab-kitab suci terdahulu.
Kata “syir’ah” yang acapkali diterjemahkan “hukum” juga menarik perhatian para mufasir. Apa arti “bagi setiap kalian Kami berikan hukum”? Tafsir-tafsir awal lebih mengesankan sikap “pluralis” dalam menjelaskan kata syir’ah. Menarik dicatat, Muqatil menyuguhkan penjelasan paling rinci tentang perbedaan syir’ah tiga agama yang kerap disebut “agama-agama Ibrahim” itu. Poinnya adalah, perbedaan syir’ah dalam agama-agama bukanlah soal kekhususan ruang dan waktu, melainkan lebih pada aspek independensi setiap umat. Artinya, sebagaimana halnya umat Muhammad tidak diperintahkan mengikuti hukum agama lain, mereka juga tidak diperintahkan mengikuti syari’at Muhammad. Aspek independensi dan otonomi ini dielaborasi lebih jauh oleh Razi dan Zamakhsyari. Frase al-Qur’an “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan”, bagi Razi, merupakan suatu indikasi “setiap Nabi adalah otonum dengan syari’atnya sendiri.” Zamakhsyari menawarkan visi lebih pluralistik, bahwa perbedaan itu memang didesain untuk menguji apakah orang-orang yang mengamalkannya meyakini keragaman syari’at itu demi kemaslahatan umat manusia sendiri.
Beberapa tafsir yang muncul belakangan mencoba merevisi pandangan yang tampak pluralistik ini. Qurtubi, misalnya, berargumen keragaman syari’at tidak menjamin kebenaran setiap syari’at. Ide abrogasi syari’at terdahulu kelihatannya sudah mengkristal pada masa Qurtubi. Sebelum Qurtubi, Tabarsi memang sudah menyinggung soal abrogasi tetapi masih ambigu. Banyak alasan untuk mengatakan, teori abrogasi diciptakan belakangan untuk mendukung pandangan supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan Qurtubi meriwayatkan pendapat Mujahid, “syir’ah dan minhāj yang dimaksud dalam ayat itu adalah agama Muhammad, dan seluruh agama lain telah diabrogasi oleh Islam.” Menggunakan argumentum e silentio, orang bisa mempertanyakan kebenaran riwayat ini. Kenapa gagasan abrogasi yang dinisbatkan kepada Mujahid tidak kita temukan dalam karya ensiklopedik Tabari, padahal Tabari meriwayatkan banyak pernyataan Mujahid dalam tafsirnya? Saya sendiri memang curiga penisbatan ini dimunculkan belakangan untuk mendukung suatu pendapat tertentu, terutama karena banyak kontradiksi dalam periwayatan itu. Ide abrogasi lebih lantang disuarakan Ibn Katsir yang memang tampak terobsesi dengan gagasan itu. Ia menginterpretasi ayat itu begini: Tuhan bisa saja menjadikan seluruh umat sebagai tunggal, tidak diabrograsi, namun Dia telah menurunkan syari’at bagi setiap Nabi dan menghapusnya dengan syari’at Nabi berikutnya, hingga Ia menghapus seluruh syari’at dengan diutusnya Nabi Muhammad. Tafsir Ibn Katsir tentang frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan (khayrāt)” juga berbeda dengan mufasir terdahulu. Sementara sebagian besar mufasir menafsirkan “khayrāt” sebagai “amal baik,” bagi Ibn Katsir “khayrāt” adalah “taat kepada Allah dan mengikuti syari’at-Nya yang Ia jadikan sebagai penghapus (nāsikh) atas apa yang telah diturunkan sebelumnya.”
Dari eksplorasi singkat ini tentu tidak jujur kalau kita menolak bahwa al-Qur’an dan sumber-sumber Islam lainnya terbuka untuk ditafsirkan secara intoleran. Dalam tradisi tafsir, bahkan teks yang jelas-jelas mendukung keragaman agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan sebaliknya. Saya setuju dengan Dr. Khaled Abou el Fadl bahwa “makna teks acapkali tergantung moral pembacanya. Kalau pembacanya intoleran, penuh kebencian, dan opresif, maka demikian pula tafsirnya terhadap teks.” Saya tidak bermaksud menyangkal sebagian ayat al-Qur’an memang bersifat polemik, tetapi problemnya menjadi lebih “akut” karena al-Qur’an itu kemudian ditafsirkan oleh para mufasir klasik yang hidup dalam apa yang disebut John Wansbrough sebagai “sectarian milieu.” Kita boleh tidak setuju dengan argumen “radikal” Wansbrough bahwa al-Qur’an lahir dalam “sectarian milieu” di luar Jazirah Arab dan bahwa teks-teks al-Qur’an sendiri belum stabil hingga awal abad ke-3. Namun, kita sulit membantah bahwa tafsir terhadap al-Qur’an memang berkembang dalam lingkungan polemikal dan apologetik antar-agama. Akibatnya, kita memiliki tumpukan literatur tafsir yang mengadvokasi sikap supremasi Islam atas agama-agama lain. Bahkan, ayat yang jelas-jelas mendukung toleransi agama seperti Q. 5:48 telah ditafsirkan untuk memusuhi agama-agama.
Sudah barang tentu ada banyak alasan politik dan sosiologis kenapa tradisi tafsir cenderung mengarah pada konservatisme dan eksklusivisme ketika terkait soal agama lain. Faktor-faktor historis itu tidak seharusnya memenjarakan kita. Pertanyaannya sekarang: Bagaimana seharusnya kita memperlakukan warisan tafsir klasik? Dalam tradisi kesarjanaan yang serius, menampik begitu saja warisan tradisi klasik sudah tidak fashionable, karena al-Qur’an masih “berbicara” kepada jutaan umat melalui suara tafsir klasik. Sebelum mendiskusikan bagaimana sarjana-sarjana Muslim menyikapi tradisi dan tafsir klasik, kita lihat terlebih dahulu sentralitas Q. 5:48 dalam argumen mereka.
Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama
Tujuan utama bagian ini adalah membingkai diskursus pluralisme agama di kalangan pemikir Muslim kontemporer yang secara kebetulan merujuk Q. 5:48 sebagai manifesto sikap al-Qur’an terhadap pluralisme. Ketiga sarjana Muslim yang menjadi fokus studi bagian ini tidak menulis karya khusus tentang tafsir, tetapi mereka menggunakan al-Qur’an untuk merespons tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Muslim. Bagi Nurcholish Madjid (berikutnya disebut: Cak Nur), misalnya, pluralisme agama berakar kuat dalam penerimaan al-Qur’an atas keragaman agama: “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Karena itu, Q. 5:48 sangat sentral dalam argumen Cak Nur bahwa pluralisme agama merupakan desain Ilahi bagi kemanusiaan. Katanya, “al-Qur’an mengakui bahwa pluralitas merupakan suatu fakta kehidupan dan bagian dari tata dunia. Pluralitas semacam ini terlihat jelas, di antaranya, dalam keragaman agama.” Selain mengakui pluralisme agama sebagai realitas sosial, Cak Nur juga menegaskan bahwa seluruh agama yang dibawa oleh semua Nabi sama-sama mengemban apa yang disebutnya “universal way,” yaitu jalan menuju Tuhan. Bahkan, “agama itu sendiri adalah “jalan”, seperti diekspresikan dalam Islam sebagai “syarī’ah, sīrah, sabīl, tarīqa, minhāj, mansak, atau tao dalam agama China, dan dharma dalam agama Hindu dan Budha. Ini juga prinsip di balik pernyataan dalam Bibel bahwa Jesus adalah jalan.”
Sampai batas tertentu, memahami agama sebagai “universal way” merupakan pergeseran signifikan dari tafsir-tafsir klasik yang biasanya menekankan aspek tawhid sebagai elemen utama dalam agama-agama yang dibawa para Nabi. Banyak orang salah-paham dengan gagasan Cak Nur ini seolah dia menyamakan semua agama, tanpa memahami konteksnya. Cak Nur tentu saja tidak menafikan kenyataan sejarah tentang keragaman agama, karena itu ia juga mendiskusikan elemen partikular agama-agama. Namun, aspek partikular dalam tradisi setiap agama seharusnya mendorong sikap saling menghargai dan terbuka untuk belajar satu sama lain. Jika kita harus meringkas gagasan Cak Nur, walaupun tentu saja kita berlaku tidak adil karena kompleksitas gagasannya tidak mungkin dirangkum dalam satu kalimat, kita bisa membingkai argumennya sebagai berikut: al-Qur’an menyuguhkan tesis kesatuan dalam framework pluralisme agama dan kultural. Yang relevan dengan diskusi kita di sini, dan akan didiskusikan lebih lanjut, adalah pandangan Cak Nur bahwa model pluralisme agama yang ditawarkan al-Qur’an telah terimplementasi dalam masyarakat-masyarak at Muslim awal. Piagam Madinah seringkali dijadikan contoh bentuk pluralisme keagamaan dalam masyarakat Muslim awal, dan diakui bahkan oleh sarjana-sarjana Barat. Di antara sarjana Barat yang sering dikutipnya adalah Robert Bellah dan Max Dimont: Bellah karena pernyataannya bahwa masyarakat Arab pada masa Nabi terlalu modern untuk berhasil di zamannya, sementara Dimont karena pengukuannya bahwa khilafah Islam awal merupakan surga toleran bagi kalangan pedagang, intelektual, dan seniman dari berbagai agama. Bagi Cak Nur, scholarly acknowledgment semacam ini seharusnya mendorong kaum Muslim menghadapi isu pluralisme agama dengan lebih percaya-diri.
Sebagaimana Cak Nur, Asghar Ali Engineer meyakini hermeneutika kontekstual terhadap al-Qur’an dapat membantu kaum Muslim menghadapi tantangan kehidupan kontemporer. Ia memang tidak memiliki latar pendidikan akademik dan tradisional yang kuat, namun di antara tiga sarjana Muslim yang kita kaji dialah satu-satunya yang mendiskusikan Q. 5:48 secara khusus dalam bukunya, Rational Approach to Islam (2001). Bagian paling signifikan dalam ayat itu, menurut Engineer, adalah “Bagi setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Tentu bukan hal sulit bagi Tuhan untuk menjadikan seluruh manusia satu umat, tapi Dia menganugerahkan kita dengan pluralisme yang dapat menambah kekayaan dan keragamaan dalam hidup ini. Engineer merefleksikan frase al-Qur’an “Berlomba-lombalah dalam kebaikan” sebagai berikut: “al-Qur’an tidak menawarkan pandangan sektarian sempit seperti dianut para teolog. Ia memiliki pandangan kemanusiaan yang luas dan tidak dogmatis. Al-Qur’an sangat menekankan perbuatan baik dan mengutuk keras kejahatan yang merugikan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam hal ini al-Qur’an tidak membedakan antara Muslim atau non-Muslim.”
Dalam merumuskan teori pluralisme agama, Engineer menyentuh pertanyaan-pertanya an krusial. Misalnya, apakah kebenaran itu tunggal atau tidak? Apakah kebenaran itu absolut atau relatif? Bolehkah satu agama mengklaim memiliki seluruh kebenaran? Menjawab pertanyaan-pertanya an semacam ini, ia tidak sungkan membuat statement lebih eksplisit dibanding Cak Nur tentang kesatuan agama. Bagi Engineer, Q. 5:48 telah menginspirasikan sejumlah ulama seperti Shah Waliyullah (w. 1762) dan Abul Kalam Azad (w. 1958) dari India untuk sampai pada konsep “wahdat-e-din” (yakni, kesatuan agama). Engineer tidak masuk ke dalam perbincangan yang rumit bagaimana dan kenapa secara historis agama-agama berbeda satu sama lain kendati bersumber dari din yang sama. Tampaknya belum banyak sarjana (jikapun ada) yang memberikan penjelasan teoritis cukup sophisticated sebagaimana ditawarkan Frithjof Schoun dengan teori “the transcendent unity of religion”-nya. Titik-tekan Engineer lebih pada argumen praktis untuk menghindarkan masyarakat dari klaim-klaim absolut yang bisa mengganggu ketentraman dan kedamaian. Katanya, “bukan tugas manusia untuk memperebutkan siapa yang benar atau salah, karena hal itu akan menyebabkan gangguan dan rusaknya kedamaian.” Semuanya ada di tangan Tuhan, karena Dialah yang menciptakan agama-agama ini berbeda, dan Dia pula yang kelak akan membeberkan rahasia keragaman itu.
Jika Cak Nur dan Engineer mengedepankan argumen-argumen teologis-normatif, Abdulaziz Sachedina menyuguhkan argumen filosofis-etis. Q. 5: 48 juga sentral dalam argumen Sachedina. Bab ketiga bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001) dimulai dengan kutipan ayat itu. Ia menyebut “fa istabiqū al-khayrāt” (berlomba-lombalah dalam kebaikan) sebagai “paradigma Islam tentang moralitas.” Tentang visi pluralisme yang ditawarkan Q. 5:48, ia berkata: “Pluralisme al-Qur’an dibangun di atas prinsip etika “berbuat kebaikan.” Konsep tata-moral semacam ini didasarkan pada pengakuan akan suatu tabiat yang ada pada manusia secara umum. Konsep pluralisme al-Qur’an memandang tabiat universal ini disokong dengan kesadaran moral dan kapasitas untuk bernalar secara moral sehingga dapat melakukan kebaikan.” Bagi Sachedina, menjadi pluralis tidak sama dengan toleran. Pluralisme agama menuntut “keterlibatan aktif” (active engagement) dengan agama lain bukan semata untuk menoleransi, melainkan untuk memahaminya. Dia yakin, pluralisme agama bisa menjadi “working paradigm” bagi tumbuh-suburnya pluralisme demokratik dan sosial di mana setiap orang dari latar belakang agama apapun dapat terlibat aktif dalam apa yang dia sebut “community of global citizens.”
Sachedina membuat distingsi tegas antara ajaran inti al-Qur’an dan perkembangan historis tafsir. Dalam bacaannya, al-Qur’an sangat mendukung gagasan pluralisme agama, namun para mufasir dan fuqaha telah mencoba “menciptakan jebakan terminologis dan metodologis demi mengenyampingkan ayat-ayat ekumenikal al-Qur’an yang memperluas jalan keselamatan termasuk kepada agama-agama monoteistik lain.” Kesiapan Islam untuk mengakui legitimasi jalan keselamatan bagi agama-agama lain, kata Sachedina, telah dikaburkan oleh kontroversi teologis abrogasi. Ia secara khusus mengkritik aturan-aturan diskrimatif yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip moral al-Qur’an. “Banyak ketentuan tafsir dan fikih dalam memperlakukan kaum minoritas non-Muslim sudah tidak relevan dalam konteks pluralisme agama kontemporer,” katanya. Secara khusus, Sachedina mengkritik Tabari dan Ibn Katsir karena menganggap ayat-ayat “pluralis” yang menjamin jalan keselamatan bagi komunitas agama lain (2:62; 5: 48 dan 69) telah dihapus dan diganti dengan Q. 3:85 “Barangsiapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya.” Pandangan ini, kata Sachedina, setidaknya masih bisa diperdebatkan.
Sampai pada poin ini kiranya bisa dilihat dua pendekatan kontras antara Cak Nur di satu sisi, dan Sachedina di sini lain, dalam menyikapi tradisi masa lalu. Cak Nur, dalam batas tertentu juga Engineer, tampak apresiatif terhadap warisan tradisi dan tafsir klasik. Banyak contoh kasus penghargaan atas keragaman dan toleransi yang ditelisik dari lembaran sejarah Islam masa lalu diangkat ke permukaan untuk memperkuat posisi bahwa gagasan pluralisme agama yang diusungnya bukanlah “bid’ah.” Dari model “Piagam Madinah” hingga praktik Pakta penjanjian yang dikeluarkan pemimpin-pemimpin Muslim pasca-Muhammad diketengahkan untuk memperjelas potret Islam sebagai agama toleran. Di sini kita bisa memahami kritik sejumlah “aktivis” gerakan civil society di Indonesia yang menuduh Cak Nur hendak mengislamkan konsep civil society. Walaupun, pembacaan lebih dekat akan membuktikan, visi civil society mereka tidak lebih “sekuler” dibanding gagasan “masyarakat madani” Cak Nur. Dalam banyak kesempatan Cak Nur mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya saya diutus dengan kehanifan yang toleran.” Sikap toleransi Islam yang hanif itu, baginya, bukan hanya ada dalam teori, tapi sudah dipraktikkan dalam masyarakat-masyakat Muslim awal. Sachedina, di sisi lain, memperlihatkan sikap kritis terhadap potret Islam masa lalu.
Menyikapi Konservatisme Masa Lalu
Bagi Sachedina, persoalan utamanya adalah bagaimana kita menghadapi warisan konservatisme generasi terdahulu. Maksudnya, kita memang bisa menggali sumber-sumber otentik pluralisme agama dari al-Qur’an, namun tumpukan literatur tafsir telah berupaya-keras membuktikan sebaliknya. Seperti telah didiskusikan di atas, Q. 5:48 begitu lugas dan terang seolah tidak menyisakan ruang sedikitpun bagi kontroversi, namun kenyataannya para mufasir menemukan cara untuk membelokkannya dengan mengatakan bahwa kedatangan umat Muslim telah membatalkan semua agama yang sebelumnya dianggap valid. Kritik Sachedina terhadap tafsir klasik bermuara pada teori abrogasi itu. Menurutnya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung soal supersisi (penggantian) risalah-risalah agama terdahulu dengan kedatangan Muhammad. Sebaliknya, kendatipun mempersoalkan terjadinya distorsi yang dilakukan pengikut Musa dan Isa ke dalam kitab suci mereka, al-Qur’an tetap mengakui validitasnya. Karenanya, ia berpendapat, ide abrogasi dan supersisi itu “bisa jadi masuk ke dalam diskursus kaum Muslim melalui perdebatan dalam tradisi Kristen yang menganggap agama mereka sebagai pengganti agama Yahudi.”
Sebaliknya, bagi Cak Nur, warisan generasi masa lalu bukan hanya “resourceful” tapi juga inspirasional dalam upaya menggagas pluralisme Islam yang genuine. Islam periode awal, bagi Cak Nur, tampak lebih toleran dibandingkan pada periode belakangan. Ia setuju dengan pendapat Bernard Lewis yang mengatakan, “pada masa-masa awal kemudahan dalam hubungan sosial di kalangan umat Islam, Kristen dan Yahudi, kendati mereka memiliki profesi berbeda-beda, menjadi faktor penting keberhasilan mereka membentuk satu komunitas.” Hal ini dimungkinkan karena kaum Muslim terdahulu berhasil menginternalisasi konsepsi kemanusiaan al-Qur’an yang positif dan optimistik sehingga mereka mampu tampil sebagai “masyarakat kosmopolitan dan universal dan bersedia belajar dan mengadopsi hal-hal berharga dari pengalaman komunitas agama-agama lain.” Perdekatan berbeda dalam menyikapi warisan masa lalu itu menggiring Cak Nur dan Sachedina menjadi selektif dalam mengangkat kasus-kasus dan fakta-fakta historis yang hendak diapreasi atau dikritisi. Selain Piagam Madinah, Cak Nur seringkali berbicara tentang Pakta perjanjian yang dibuat Khalifah kedua Umar bin Khattab yang memberikan jaminan kebebasan beragama. Disebutkan, ketika kaum Muslim berhasil menguasai Jerusalem pada 638, Umar mengirim pesan tertulis kepada penduduk kota itu:
Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ini adalah dokumen tertulis dari Umar bin Khattab kepada penduduk Bayt al-Maqdis. Kalian dijamin keamanan hidup kalian, harta kalian, dan gereja-gereja kalian; tidak akan diambil-alih ataupun dirusak, selama kalian tidak mengganggu keamanan publik.
Juga, Cak Nur secara terbuka mengakui gagasan-gagasannya banyak didasarkan pada khazanah intelektual guru Ibn Katsir, ulama Hanbali terkemuka Ibn Taymiyya (w. 728/1328). Adalah Ibn Taymiyya, katanya, yang mengatakan bahwa kitab-kitab suci terdahulu masih mengandung kebenaran Ilahiyyah. Ibn Taymiyya juga berpendapat, mayoritas kaum Muslim awal, para salaf dan imam, menganggap syara’ umat-umat sebelum Muhammad menjadi syari’at kaum Muslim juga, kecuali manakala syari’at Islam menghadirkan ajaran baru yang menghapuskan syari’at terdahulu.
Menarik dicatat, Sachedina juga mendiskusikan Pakta perjanjian yang dibuat oleh Khalifah kedua Umar bin Khattab, tapi bukan untuk diapresiasi, melainkan untuk dikritisi sebagai bukti intoleransi masa lalu. Perlu segera ditambahkan, Pakta yang dikritik Sachedina bukan pula Pakta Umar yang sering dikutip Cak Nur. Pakta dimaksud lebih dikenal dengan sebutan “Syurūt ‘Umar” (ordinan Umar) ditujukan kepada penduduk Suriah, dan terdokumentasi cukup baik, walaupun terdapat beberapa versi. Dalam Tārīkh Madīnah Dimasq, Ibn Asakir (w. 571/1176) mencatat lima versi ordinan Umar dengan sedikit variasi. Dokumen Umar ini juga dimuat dalam Ahkām ahl al-Dzimmah karangan Ibn Qayyim al-Jawziyya (w. 751/1350). Juga, bisa dilacak dalam kitab-kitab hadis, seperti Sunan Kubrā karya al-Bayhaqi. Dengan melihat begitu well-documented- nya ordinan Umar ini, kita bisa bertanya: Kenapa Cak Nur tidak pernah mendiskusikannya? Sebagaimana kita laik bertanya: Kenapa Sachedina juga tidak mendiskusikan Pakta Umar yang sering didiskusikan Cak Nur? Sulit dipercaya, bahwa mereka saling tidak mengetahui dua ordinan bertentangan yang dibuat oleh Umar yang sama. Penjelasan paling masuk akal, saya kira, adalah bahwa sikap selektif mereka diarahkan (driven) oleh preconcieved dan prejudice teoritis (dalam pengertian positif seperti digunakan Gadamer!) sehingga mereka menjadi selektif dalam mengungkap kasus-kasus historis untuk mendukung gagasan utama mereka. Tentu saja, Pakta Umar yang dikirim kepada penduduk Jerusalem tidak mendukung pendekatan kritis Sachedina, karena Pakta itu jelas-jelas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi non-Muslim.
Dengan metode evaluasi yang sama, kita bisa katakan, ordinan Umar tidak mendukung pendekatan apresiatif Cak Nur terhadap warisan generasi masa lalu. Karena, ordinan Umar ini menjadi simbol diskriminasi dalam perjalanan sejarah Islam. Albrecht Noth menyebut 26 butir dalam ordinan Umar tersebut, di antaranya, umat Kristen tidak boleh membangun gereja baru di dalam kota, tidak boleh memperbaiki gereja yang sudah rusak, tidak boleh meletakkan salib di luar gereja, tidak boleh membawa salib atau kitab suci di pasar, tidak melakukan selebrasi keagamaan di depan publik, tidak boleh memiliki budak bersama dengan orang Islam, tidak boleh membangun rumah lebih tinggi daripada rumah kaum Muslim, harus memakai pakaian dan asesoris tertentu yang membedakan mereka dari kaum Muslim, dan lain-lain. Ordinan Umar inilah yang dijadikan senjata ampuh oleh Khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (w. 247/861) ketika hendak menghentikan praktik dialog dan debat lintas-agama yang sangat dinamis yang dirintis oleh khalifah-khalifah sebelumnya, terutama al-Makmun (w. 218/833). Dengan alasan mengimplementasikan ordinan Umar, al-Mutawakkil memerintahkan umat Kristen dan kaum dzimmi lain untuk mengenakan tutup kepala berwana kuning (taylasan) dan korset (zunnar) yang membedakan mereka dari kaum Muslim. Ia juga memerintahkan penghancuran gereja-gereja yang baru dibangun. Inilah titik-awal sejarah gelap perlakuan diskriminatif dan kasar terhadap kaum minoritas dalam sejarah kekhilafahan Islam.
Sachedina juga mengkritik sistem millet pada masa khilafah Usmaniyah, karena hanya memberikan kebebasan sangat terbatas bagi non-Muslim. Kebijakan-kebijakan diskriminatif itu, kata Sachedina, muncul “karena syari’at memang tidak bisa menerima persamaan antara kaum Muslim dan non-Muslim.” Berbeda dengan semangat pluralistik al-Qur’an, lanjut Sachedina, para mufasir dan fuqaha justru mendorong terciptanya institusionalisasi inferioritas non-Muslim oleh negara sebagai prasyarat bagi ketentraman kehidupan publik masyarakat Muslim, yang pada akhirnya mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap kaum minoritas non-Muslim. Dalam perkembangan lebih lanjut, perlakukan tidak adil itu bukan saja ditujukan kepada non-Muslim, tapi juga kepada elemen masyarakat Muslim yang tidak searah dengan pemikiran dan sikap keagamaan dan politik mereka.
Konteks sebagai Penjelasan
Pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana menjelaskan perbedaan pendekatan Cak Nur dan Sachedina terhadap warisan generasi terdahulu? Tentu banyak penjelasan bisa ditawarkan dari yang bersifat teoritis, metodologis, hingga sosiologis. Muara dari penjelasan itu, bahwa konteks memiliki pengaruh historis lebih krusial dalam mengarahkan pemahaman dan interpretasi seseorang daripada umum dipersepsikan. Dalam konteks ini, tafsir bukan semata perbuatan penafsir melainkan hasil dari proses dialogis antara penafsir dan obyek (teks). Inilah yang disebut Hans-Georg Gadamer “effective-history,” yang mengedepankan efikasi historisitas dan situasi kekinian dalam mempersepsikan masa lalu. Dengan kata lain, sebelum kita memberikan makna terhadap teks, sebenarnya kita telah memiliki preconceived knowledge, yang disebut Gadamer sebagai “prejudice,” yang dibentuk oleh fusi horizon masa kini dan horizon masa lalu. Ketika proses fusi itu terjadi, penafsir (horizon masa kini) dan teks (horizon masa kini) memasuki apa yang disebut “lingkaran hermeneutik” (hermeneutic circle). Karenanya, tradisi masa lalu bukan sesuatu yang statis. Masih menurut Gadamer, “tradisi bukanlah sesuatu yang permanen, melainkan kita yang menciptakannya lantaran kita memahmi dan berpartisipasi dalam perkembangan tradisi, dan karenanya kitalah yang menentukannya.” Situasi hermeneutik ini bisa menjelaskan kenapa Cak Nur dan Sachedina menyeleksi contoh-contoh tertentu untuk mendukung posisinya, dan tampak mengabaikan yang lain. Jadi, sikap semacam itu tidak ada hubungannya dengan soal kejujuran intelektual dan seterusnya, melainkan karena adanya pemahaman yang sudah terbentuk sebelumnya bagaimana seharusnya menyikapi warisan tradisi masa lalu. Tradisi masa lalu hanya memiliki makna manakala kita di masa kini memberinya makna. Dengan kata lain, kitalah yang membuat tradisi klasik “berbicara” kepada kita di masa kini melalui pertautan dinamis antara horizon masa kini dan masa lalu itu.
Aspek teoritis ini akan lebih jelas bila kita melihat bagaimana perbedaan metodologi mengarahkan pendekatan mereka terhadap tradisi masa lalu. Seperti disinggung di awal, ketiga sarjana Muslim yang kita diskusikan di sini bukanlah ahli tafsir, tetapi mereka mengombinasikan pemahaman terhadap al-Qur’an dengan analisis politik praktis dan teori sosial. Cak Nur, misalnya, sangat apresiatif terhadap khazanah dan sumber-sumber klasik karena ia mensintesiskan antara tradisionalisme dan modernisme dalam upaya membentuk apa yang disebut “neo-modernisme,” sebuah istilah diciptakan mentor intelektualnya di University of Chicago, Dr. Fazlur Rahman. Bagi Cak Nur, neo-modernisme adalah modernisme yang berakar kuat dalam tradisi dan dimaksudkan untuk mengoreksi modernisme yang tak terkendali yang telah muncul sebelumnya. Sementara itu, Sachedina sangat engaged dengan teori-teori sosial di Barat yang menyadarkan akan sulitnya membangun pluralisme demokratik di atas warisan konservatisme masa lalu. Barangkali inilah concern utama Sachedina. Dia menyerukan agar hambatan-hambatan historis masa lalu tidak memenjarakan kita untuk membangun visi baru pluralisme agama dan kultural sebagai prasyarat tegaknya demokrasi.
Perbedaan pendekatan itu juga bisa dilihat sebagai akibat perbedaan audience dari karya-karya mereka. Hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim, Cak Nur berhadapan dengan situasi berbeda dari Sachedina. Pertama, Cak Nur adalah figur paling kontroversial dalam sejarah intelektual Indonesia sejak akhir 1960-an ketika ia memperkenalkan gagasan sekularisasi Islam. Kedua, ia mulai mempromosikan ide pluralisme agama sekembali dari studinya di Barat, yang memudahkan para pengkritik menuduhnya westernized. Karena itu, mudah dimengerti kenapa Cak Nur merasa perlu melegitimasi pemikirannya dengan melandaskan pada otoritas klasik yang sangat diakui dalam Islam. Rujukannya pada Piagam Madinah, Pakta Umar, dan bahkan pemikiran-pemikiran Ibn Taymiyyah bisa kita baca dari sudut pandang ini. Dengan pijakan Piagam Madinah ia berharap agenda intelektualnya bisa dipandang sebagai upaya merestorasi komunitas Islam model Madinah yang ia yakini toleran, demokratik dan pluralistik. Ibn Taymiyah juga sangat populer di kalangan Islamis. Cak Nur bermaksud memperlihatkan bahwa sumber nilai-nilai pluralisme itu bahkan dapat digali dari karya-karya Ibn Taymiyyah. Dengan kata lain, Cak Nur merasa perlu mengotentifikasi pemikiran-pemikiran progresifnya dengan merujukkannya pada generasi Muslim awal.
Posisi Engineer sebenarnya tidak berbeda jauh dari Cak Nur. Karena latar belakangan pendidikannya, bisa jadi ia tidak cukup memiliki akses ke khazanah klasik, namun ia mendapatkan sumber-sumber otoritatif dalam warisannya sendiri di India. Dalam konteks ini, kita bisa mengerti mengapa Engineer acapkali merujuk pada Shah Waliyullah dan Abul Kalam Azad. Saya yakin, konteks sosio-politik memberikan signifikansi tersendiri dalam merujuk kepada figur-figur yang sangat dihormati di lingkungan kulturalnya. Di sisi lain, Sachedina hidup dalam alam dan lingkungan akademis yang sama sekali berbeda. Concern utama Sachedina adalah absennya pluralisme demokratik di dunia Muslim, yang akar-akar pemikirannya bisa dilacak dalam literatur-literatur tafsir, fikih, dan bahkan politik. Para pemikir Muslim awal, di mata Sachedina, cenderung melegitimasi rezim politik apapun asalkan ada jaminan proteksi bagi institusi Islam dengan mendiskriminasikan komunitas agama lain. Apa kemungkinan ongkos yang harus dibayar dengan melancarkan kritik pada mereka yang dianggap memiliki otoritas tinggi? Barangkali ia harus berhadapan dengan para klerik yang jauh dari lingkungannya. Pada 1998, Ayatullah Ali Sistani di Najaf, Irak, mengeluarkan fatwa melarang Sachedina mengajar atau mengisi kuliah tentang Islam. Tentu fatwa itu tidak berarti apa-apa, karena Sachedina hidup jauh di Virginia, AS, dan menikmati kebebasan intelektual yang tidak didapat, termasuk, di Indonesia dan India.
Catatan Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita juga mencoba mengkontekstualisas ikan apa yang terjadi pada tafsir-tafsir klasik seperti didiskusikan di awal tulisan ini. Kenapa tafsir awal cenderung lebih terbuka bagi keragaman agama dibanding yang muncul belakangan? Salah satu penjelasan teoritisnya, saya kira, terkait pembentukan identitas keagamaan Muslim awal. Sebagai agama baru, pada masa-masa awal kelahirannya, tentu saja identitas Islam masih cukup mencair. Apa yang membuat seseorang disebut “muslim” tentu tidak sekaku dan serigit sekarang. Secara alamiah identitas itu terbentuk secara perlahan. Apakah kata “muslim” dan berbagai derivasinya dipakai dalam al-Qur’an sebagai identias konfesional eksklusif? Pertanyaan ini mengundang debat hangat di kalangan sarjana Barat. Sebuah studi bagus ditulis oleh Fred Donner, Profesor sejarah Islam awal di University of Chicago. Donner berkesimpulan, kata “Muslim” dalam pengertian teknis merupakan produk perkembangan sejarah panjang. Kata “musliman” dalam Q. 3:63 sebagai modifier “hanif” mengindikasikan, bahwa “muslim” setidaknya dalam ayat itu tidak mungkin merujuk pada konfesi keagamaan yang spesifik.
Sejalan dengan itu, tafsir-tafsir yang lahir pada dua abad pertama Islam merefleksikan identitas keagamaan Muslim yang masih cair. Karakteristik itu dapat kita lihat dalam tafsir Muqatil bin Sulayman. Cairnya identitas keagamaan juga terekam dalam praktik ibadah di mana kaum Muslim bisa “shared” tempat ibadah dengan komunitas agama lain. Menggunakan sumber-sumber agama lain untuk memahami teks al-Qur’an menjadi hal biasa. Muqatil banyak menggunakan sumber-sumber biblikal untuk menjelaskan arti atau konteks ayat-ayat tertentu. Ia juga secara terbuka mengakui banyak istilah dalam al-Qur’an diadopsi dari bahasa non-Arab. Kedua hal itu (sumber-sumber biblikal dan kata asing dalam al-Qur’an) belakangan menjadi isu kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena identitas keagamaan mulai fixed dan eksklusif, diawali dengan gerakan Arabisasi yang diprakarsai oleh khalifah Umayyah Abd al-Malik bin Marwan (w. 86/705). Keengganan untuk menerima “unsur-unsur asing” dalam al-Qur’an juga terkait doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an yang sebenarnya mengkristal secara gradual. Jika penisbatan kitab Mu’ārada al-Qur’ān kepada Ibn Muqaffa’ (d. 139/756) diterima, kita bisa tegaskan bahwa doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an belum stabil hingga pertengahan abad kedua Hijrah. Dalam beberapa fragmen kitab Mu’ārada al-Qur’ān, Ibn Muqaffa’ menawarkan sejumlah ide yang sekarang pasti dianggap blasphemy. Misalnya, penyusunan kembali al-Qur’an menurut struktur puitis yang lebih baik dan secara tegas ia menantang pendapat yang mengatakan al-Qur’an tidak bisa ditiru. Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut, doktrin keserba-sempurnaan al-Qur’an menutup kemungkinan al-Qur’an ditafsirkan menggunakan sumber-sumber biblikal, dan pengakuan akan adanya bahasa non-Arab dalam al-Qur’an juga dipersoalkan. Pemaknaan al-Qur’an pun mengalami fiksasi, terutama pasca-Tabari, dan mencapai klimaks pada masa Ibn Katsir di mana model penafsiran mulai dibatasi. Seperti telah disinggung di atas, Ibn Katsir mengancam mereka yang menafsirkan al-Quran dengan ra’y (perdapat personal) dengan api neraka.
Di sinilah kesimpulan Cak Nur benar adanya, walaupun dia tidak melakukan studi mendalam tentang tafsir: semakin dekat dengan periode Nabi, Islam semakin toleran. Tulisan ini telah membuktikan, sikap tafsir awal terhadap komunitas agama lain tidak sedemikian hostile sebagaimana umum dipersepsikan. Pendekatan saya terhadap Q. 5:48 adalah untuk menakar ayat itu dengan teori-teori mutakhir mengenai hubungan teks dengan pembacanya. Tafsir merupakan produk ruang dan waktu. Gadamer merumuskannya demikian: “understanding is, essentially, a historically effected event.” Selain setuju dengan Abou el Fadl bahwa hubungan teks dengan pembaca memainkan peran penting dalam menentukan suatu makna, saya juga setuju dengan Wilfred C. Smith bahwa tidak ada makna fixed dalam al-Qur’an. Kata Smith, “Makna yang sebenarnya dari al-Qur’an bukanlah satu makna tunggal, melainkan proses pemaknaan yang dinamis, yang mengalir tanpa henti.” Karenanya, al-Qur’an senantiasa menuntut pemaknaan baru dengan menyerap semangat zaman. Jika kaum Muslim hendak membangun masyarakat pluralistik dan toleran yang dilandaskan atas ajaran-ajaran al-Qur’an, maka (1) mereka perlu mengakui warisan konservatisme masa lalu itu, dan (2) memulai merintas arah baru penafsiran. Tulisan ini diawali dengan kutipan pernyataan Ali bin Abi Talib yang sudah menjadi klasik tentang perlunya tafsir, dan akan diakhiri dengan menyebut konteksnya. Pernyataan itu terkait sikap kaum Khawarij pasca arbitrase perang Shiffin. Mereka menyalahkan Ali karena tidak menggunakan al-Qur’an, tapi malah mengutus orang untuk menyelesaikan sengketa dengan gubernur Suriah Mu’awiyyah (w. 60/680). Kata Ali, “innā lasnā hakkamnā al-rijāl innamā hakkamnā al-qur’ān. Wa hādza al-qur’ān innamā huwa khatt mastūr bayn daffatayn lā yantiq innamā yatakallam bihī al-rijāl” (kami tidak mengangkat orang untuk menghakimi, tapi kami mengangkat al-Qur’an sebagai hakim. Namun demikian, al-Qur’an ini hanyalah sebuah teks tertulis di antara dua sampul, ia tidak berbicara melainkan manusia berbicara melaluinya). Frase terakhir ini sudah menjelma menjadi pernyataan klasik bahwa kitab suci senantiasa menuntut paradigma dan etika baru.***
Tuesday, January 20, 2009
ETIKA BERGAUL AGAR DICINTAI ALLOH KEMUDIAN MANUSIA
Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas:
Allah berfirman.
“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]
“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR. Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]
URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia.
Allah berfirman:
“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup.
Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :
“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]
Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah.
Allah telah berfirman:
“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.
Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.
MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.
Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbub, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya” . hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.
Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.
Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.
Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.
Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.
SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA :
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.
[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.
Allah berfirman. “Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah”. Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.
[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin- orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan- kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman.
“Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]
[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.
[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.
[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA :
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut :
Pertama.
Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain.
Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi:
Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirian...
Jauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyak...
Karena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusia
Adalah salah satu bentuk menjelek – jelekkan...
Aku tidak ridho mendengarnya. .
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku...
Maka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati.
Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah. Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.
Kedua.
Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung.
Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung.
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ ahan yang dilakukannya.
Ketiga.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya.
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurang an pada dirinya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik.
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.
Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik.
Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitabMukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.
[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.
Keempat.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.
Kelima.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, --- walau sedikit saja -- ” sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain."
ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.
[1]. Harta atau uang .
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.
Keenam
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.
Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.
Ketujuh.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.
Kedelapan.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.
Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatu thalibil ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.
Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.
Oleh karena itu, kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar.
Wallahu a’lam.
[ Ditulis oleh : Al-Ustadz Fariq Ibnu Qosim An-Nuz (Cirebon), Da'i Jeddah dakwah center di HAIL, KSA., Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M. Diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
semoga dapat diserap manfaatnya.. .
Wallohul musta'aan.
_
“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas:
Allah berfirman.
“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]
“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR. Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]
URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia.
Allah berfirman:
“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup.
Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :
“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]
Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah.
Allah telah berfirman:
“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.
Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.
MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.
Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbub, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya” . hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.
Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya. namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.
Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.
Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.
Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.
SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA :
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.
[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.
Allah berfirman. “Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah”. Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.
[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin- orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan- kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman.
“Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]
[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.
Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.
[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.
[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA :
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut :
Pertama.
Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain.
Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi:
Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirian...
Jauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyak...
Karena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusia
Adalah salah satu bentuk menjelek – jelekkan...
Aku tidak ridho mendengarnya. .
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku...
Maka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati.
Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah. Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.
Kedua.
Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung.
Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung.
Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).
Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ ahan yang dilakukannya.
Ketiga.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya.
Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurang an pada dirinya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik.
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.
Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik.
Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitabMukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.
[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.
Keempat.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.
Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.
Kelima.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, --- walau sedikit saja -- ” sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain."
ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.
[1]. Harta atau uang .
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.
Keenam
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.
Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.
Ketujuh.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.
Kedelapan.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.
Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatu thalibil ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.
Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.
Oleh karena itu, kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar.
Wallahu a’lam.
[ Ditulis oleh : Al-Ustadz Fariq Ibnu Qosim An-Nuz (Cirebon), Da'i Jeddah dakwah center di HAIL, KSA., Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M. Diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
semoga dapat diserap manfaatnya.. .
Wallohul musta'aan.
_
Subscribe to:
Posts (Atom)