Posted on November 1st, 2008 in 17 Hadlarah by redaksi
Ustadzi Hamzah
Sepintas, tidak ada yang istimewa dari pusat pendidikan Islam di dunia yang terletak di kota Cairo (Mesir) ini. Al-Azhar, sebuah perguruan tinggi Islam yang paling menonjol di dunia, merupakan satu fenomena yang unik bagi dunia pendidikan Islam itu sendiri. Jika kita melihat secara teliti akan ditemukan hal-hal yang “luar biasa” dari universitas ini.
Dari sisi bangunan dan arsitekturnya, Universitas Al-Azhar sudah menampakkan sebuah institusi pendidikan yang prestisius di dunia Islam, khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya. Arsitektur yang merupakan paduan seni bangunan Islam dan sentuhan lokal Arab, serta beberapa sisi yang bernuansa Iran, merupakan manifestasi dari sebuah perjalanan panjangnya. Unsur-unsur yang tampak merupakan cerminan peradaban masa lalu yang gemilang. Tak dapat disangkal lagi bahwa Universitas Al-Azhar, di samping universitas Nizamiyah di Iraq, merupakan universitas tertua yang masih eksis di dunia Islam, bahkan di dunia pendidikan secara umum, sementara universitas Nizamiyah telah punah seiring lunturnya kekuasaan Islam di Iraq.
Dari aspek lain, kalau kita cermati, Universitas Al-Azhar merupakan pelopor bagi “proyek-proyek” pembaruan di lingkungan dunia Islam. Banyak tokoh kelas dunia yang lahir dari “asuhan” model pendidikan Al-Azhar. Ini menunjukkan bahwa kekuatan model pembelajaran merupakan kunci utama bagi terciptanya iklim pendidikan yang berorientasi pada penguasaan materi, sehingga menjadi semaian bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran modern dan progresif.
Pemikiran-pemikiran yang muncul dari sarjana-sarjana lulusan Al-Azhar, meskipun tidak langsung berakar pada keilmuan Al-Azhar secara keseluruhan, melainkan perpaduan sinergis dengan tradisi pendidikan Eropa, telah menginspirasi pembaharuan pemikiran di dunia Islam. Sebut saja misalnya Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Najib Mahfuz, dan lain-lain. Ini, sekali lagi, tidak terlepas dari pamor istimewa dari universitas ini. Selanjutnya, untuk melihat bagaimana universitas ini berkembang menjadi sebuah pusat pengkajian Islam di dunia, maka di bawah ini akan disajikan profil dan sejarah Universitas Al-Azhar.
Era Kelahiran dan Pertumbuhan
Al-Azhar didirikan pada tahun 970 M oleh dinasti Fatimiyah di Mesir setelah membangun kota Cairo tahun 969 M. Pada awal berdirinya, universitas ini merupakan pengembangan bagi komunitas intelektual yang berbasis masjid sebagai pusat intelektualnya. Al-Azhar merupakan nama masjid yang didirikan oleh Jauhar Al-Katib As-Siqilli tahun 970 M. Nama Al-Azhar diambil dari nama puteri Rasulullah, Fatimah Az-Zahrah, bermakna “yang cermerlang”.
Sebagai pusat pengkajian dan penyebaran paham Syi’ah Ismailiyah, masjid Al-Azhar merupakan tempat yang strategis bagi Dinasti Fatimiyah dengan khalifah Abu Tamam Ma’ad Al-Mu’izz li-Dinillah. Pada tahun 988 M, atas pengaruh dari konsep-konsep pendidikan Yaqub ibn Al-Qillis, seorang Yahudi yang telah memeluk Islam, Al-Azhar berubah menjadi sebuah model “perguruan tinggi”, yakni pengembangan materi yang diajarkan tidak hanya Al-Qur’an dan kitab-kitab Syi’ah, saja tetapi juga sastra, hukum, dan kalam.
Sekalipun demikian, setelah peralihan kekuasaan dari dinasti Fatimiyah ke dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12 M (tahun 1172 M), maka Al-Azhar oleh Salahuddin Al-Ayyubi diubah menjadi pusat kajian Islam yang berbasis pada ajaran Suni, dan juga digunakan sebagai pusat penggemblengan kader “tentara” Islam dalam menghadapi Perang Salib. Dinasti Mamluk (1250-1517) yang menggantikan dinasti Ayyubiyah semakin menonjolkan warna Sunni di Al-Azhar.
Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol dan serangan Mongol ke Baghdad tahun 1258 M, maka Al-Azhar secara praktis menjadi pusat peradaban Islam yang masih tersisa, terutama dalam pendidikan. Hal ini berlanjut sampai sekarang. Sebagai pemegang kendali koordinasi “administratif” dan keilmuan, Al-Azhar dipimpin oleh para syaikh. Posisi syaikh di sini sangat menentukan arah dari keilmuan. Sejak peralihan dari Syi’i ke Sunni, secara hukum yang diajarkan lebih bercorak Syafi’i, karena di antara syaikhnya bermadzhab Syafi’i.
Metode pengajaran yang dijalankan pada era ini mengacu pada tradisi halaqah sufi (sorogan), di mana para murid berkumpul di sekeliling syaikh yang tengah mengajarkan ilmu-ilmu. Dengan demikian, model serapan ilmu ditempuh dengan menghapal apa yang disampaikan oleh para syaikh, dan ini berkembang sampai ada reformasi tahun 1936 oleh Mustafa Al-Maraghi. Waktu pembelajaran juga disesuaikan dengan aktivitas masjid dan mengikuti waktu shalat; yakni pagi setelah subuh, siang setelah dhuhur, dan sore sampai malam. Di waktu pagi mata kuliah yang diberikan adalah Tafsir Qur’an, Hadits, dan Fikih, sedangkan di waktu siang hari diajarkan Nahwu dan Sharaf (grammar), Sastra, Balaghah, Logika, Usul Fikih, dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Setelah malam mata kuliah yang diberikan adalah materi-materi tambahan yang terkait dengan kitab-kitab Tasawuf, Akhlak, Kalam, dan lain-lain.
Secara umum, pada masa ini murid-murid Al-Azhar berasal dari wilayah Cairo saja, namun pada perkembangannya banyak pula para murid yang berasal dari luar Cairo. Mereka yang berasal dari luar Cairo dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan riwaqs. Masing-masing riwaqs menerima beasiswa untuk studi dan hidup di Cairo. Selain itu, setiap riwaqs juga dipimpin oleh syaikh. Sampai sekitar tahun 1900 terdapat tiga riwaq besar, yakni Lower Egypt (Mesir wilayah Utara), Central Egypt (wilayah Tengah), dan Upper Egypt (wilayah Selatan). Selain itu, ada juga riwaq yang menampung para mahasiswa dari negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Indonesia (saat itu dikenal dengan Jawa). Sebagai basis pengajaran Islam Sunni, Al-Azhar mengajarkan empat madzhab dalam tradisi Sunni, yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Madzhab Syafi’i merupakan madzhab terbesar di sini karena banyak mahasiswa yang berasal dari negara-negara bermadzhab Syafi’i, maka para syaikh madzhab Syafi’i yang tersedia pun lebih banyak dari yang lainnya.
Era Pembaruan dan Perkembangan
Seiring dengan perubahan sistem kekuasaan di Mesir secara umum, Al-Azhar juga terkena dampaknya. Fase yang paling monumental adalah ketika Khedive Ismail Pasha (1830-1895 M) menggelontorkan pemikiran pembaruan di pemerintahan. Sikap terbuka terhadap pembaharuan mengantarkan Mesir pada pertumbuhan yang progresif. Al-Azhar di sisi lain banyak terpengaruh dengan keterbukaan yang dibangun. Masuknya kaum Azhari (sebutan untuk para syeikh Al-Azhar sebagai tokoh elit Al-Azhar) yang progresif, seperti Rifa’ah Rafi’ At-Tantawi, Muhammad Abduh, dan Sa’ad Zaghlul, menandai perubahan besar tersebut. Dalam kurikulum dan materi pembelajaran, di samping program-program kajian Tafsir Qur’an, Hadits, Fikih, Kalam, dan disiplin keilmuan lain, Al-Azhar mulai membuka sistem “jurusan”, penerbitan, dan jurnal akademik. Terlebih ketika syaikh Al-Azhar dipegang oleh Muhammad Abduh, dan seiring dengan peralihan kekuasaan semasa revolusi Urabi Pasha tahun 1881-1882, pembaruan dalam sistem pendidikan berubah secara progresif, seperti manajemen perpustakaan, manajemen gaji bagi para pegawai dan pengajar, perluasan jaringan institusional di bawah manajemen Al-Azhar.
Ketika Muhammad Mustafa Al-Maraghi naik sebagai Syaikh Al-Azhar telah terjadi perubahan pada sistem pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan dekrit Al-Azhar tahun 1930, yang ditindaklanjuti dengan dekrit tahun 1933 dan 1936, Al-Azhar benar-benar berubah menjadi lembaga pendidikan yang terispirasi oleh lembaga pendidikan Barat, sebagaimana universitas milik pemerintah lain di Mesir, seperti Al-Jami’ah Al-Qahira (Universitas Cairo). Al-Azhar yang berbasis intelektual pada masjid, menjadi Al-Jami’ah Al-Azhar (Universitas Al-Azhar), yang memadukan antara pengajaran berbasis masjid dan model pendidikan Barat. Untuk kuliah Ushuluddin, Syariah, dan bahasa Arab dipisahkan dari masjid dan berada di samping masjid dengan bangunan baru yang dipimpin masing-masing dekan, sedangkan kuliah yang diselenggarakan di masjid hanya kuliah-kuliah umum yang menyangkut materi yang umum pula. Raja Fuad juga mengirim para syaikh Al-Azhar untuk “dialog” dengan Syi’ah dan Barat dengan kuliah di negara-negara Eropa, di antaranya Mustafa Abd. Ar-Raziq yang menjadi syaikh Al-Azhar tahun 1945-1947.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan perjalanan waktu, Universitas Al-Azhar, yang lebih dikenal dengan Al-Azhar Asy-Syarif, semakin menampakkan sosoknya sebagai lembaga pendidikan tua yang modern dengan tradisi keilmuan yang maju.
Meskipun jika dibandingkan dengan Universitas Cairo, Al-Azhar lebih rendah secara mutu untuk ilmu-ilmu umum, namun terobosan untuk “memadukan” antara disiplin agama dengan kajian ilmu umum merupakan kemajuan luar biasa yang tidak pernah terbayangkan oleh para pendirinya dahulu. Sekalipun demikian, untuk content kajian keislaman dan bahasa Arab Universitas Al-Azhar tetap menjadi referensi bagi tradisi keilmuan di negara-negara Muslim. Untuk era sekarang ini, Universitas Al-Azhar telah mengantarkan dunia pendidikan Islam pada posisi strategis sebagai agen bagi perubahan masyarakat. Penilaian konservatif bagi Al-Azhar tidak selamanya sejalan dengan realitas jika kita melihat Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Qasim Amin, Naguib Mahfouz, Thaha Husain, dan nama-nama progresif lainnya. Inilah bukti bahwa Universitas Al-Azhar merupakan inspirasi bagi lembaga pendidikan Islam di dunia muslim, bak oase di gurun pasir. Wallahu a’lam.l
Penulis Staf pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, saat ini sedang menyelesaikan disertasinya tentang “Studi Agama-agama” di Mesir.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
massssss.,,,!!!!
gmn cranya dptin beasswa k kairo???
Post a Comment