Sunday, November 23, 2008

ISLAM DI PERSIMPANGAN JALAN?

Saturday, 16 November 2002

BEBERAPA tahun menjelang Perang Dunia II, Muhammad Asad menulis sebuah buku, Islam di Persimpangan Jalan. Kini, kita sudah memasuki abad ke-21, sementara dunia Islam belum banyak beranjak dari posisinya di persimpangan jalan. Sukar sekali bagi umat yang mengaku percaya pada Al-Quran ini untuk meninggalkan persimpangan itu.

Selama abad ke-20/21, beberapa pemikir muslim muncul: Muhammad Iqbal, Muhammad Asad, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Hossein Nasr, Naquib al-Attas, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan masih dapat disebut nama-nama lainnya. Para pemikir ini telah menafsirkan dan membela Islam menurut perspektif masing-masing melalui karya-karya yang cukup beragam, kalau bukan mengandung perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang sangat jauh, khususnya antara Rahman dan Nasr. Rahman dengan metode Al-Qurannya, Nasr dengan pendekatan neotradisionalisnya.

Pada dataran akar rumput, jangkauan ide para pemikir di atas nyaris tidak dirasakan. Mereka tetap saja terkungkung dalam dunia fikih atau tasawuf yang dirumuskan puluhan abad lalu. Apalagi filsafat dan 'Ilm 'l-kalam merupakan barang asing bagi mereka. Disiplin ini hanyalah bergema di kalangan intelektual muslim tertentu, dan juga belum banyak terobosan pemikiran baru yang diintegrasikan ke dalamnya. Yang baru terjadi adalah mengulang-ulang pemikiran yang sudah ada dan di sana-sini diberi tafsiran sekadarnya, sementara substansinya tetap tidak disentuh. Barangkali inilah di antara pertanda betapa dunia Islam masih saja termenung di persimpangan jalan.

Bila dihadapkan pada perkembangan peradaban sekuler Barat yang ditopang ilmu dan teknologi, dunia Islam seperti terbelah, tidak mampu menentukan pilihan antara menerima modernitas atau menolaknya sambil menawarkan sebuah peradaban alternatif dengan meramu unsur-unsur kearifan dari Barat dan Timur dengan Al-Quran sebagai parameter utamanya. Barangkali dengan parameter ini, umat Islam akan dapat beranjak dari posisi persimpangan jalan, dan kemudian dengan kepala tegak memasukkan diri secara kreatif ke dalam kekuatan-kekuatan perubahan sosial sambil menggiringnya ke arah proses transendensi historis.

Adapun prasyarat untuk mencapai tujuan ini diperlukan ilmu, klasik dan modern, secara mendalam, dengan Al-Quran sebagai rujukan tertinggi. Tanpa ilmu yang mendalam itu, umat Islam akan tetap saja berada dalam polarisasi tajam, neomodern, fundamentalis, dan neofundamentalis, atau gabungan yang tak keru-keruan dari berbagai aliran itu. Kondisi kotak-kotak ini akan membentuk pandangan dunia mereka yang tidak jarang berbenturan satu sama lain, sementara semua pihak mengaku berpedoman pada Al-Quran. Dan mereka yang nekat dan putus asa tidak mustahil membinasakan diri dalam kegiatan-kegiatan terorisme untuk melawan terorisme negara yang dilakukan negara Barat tertentu dan Israel.

Karena Al-Quran masih setia bersama kita, seharusnya kita pun menunjukkan kesetiaan yang dalam dan sungguh-sungguh kepada Kitab Suci ini dengan memahaminya secara cerdas, jujur, tulus, dan bertanggung jawab, sehingga fungsinya sebagai hudan li 'innas (petunjuk bagi manusia), syifa' (obat penawar), nur (cahaya), rahmah (rahmat), dan furqan (kriterium pembeda) akan dapat dibawa turun ke bumi. Tujuan jangka panjangnya adalah terciptanya sebuah bangunan peradaban yang asri, toleran, kreatif, dan damai untuk kebahagiaan seluruh umat manusia, tanpa kecuali.

Semua cita-cita mulia itu hanyalah mungkin terwujud bila umat Islam bersedia melepaskan diri dari penjara egoisme dan subjektivisme sejarah dan lingkungannya masing-masing, sebuah penjara dan lingkungan yang pengap tanpa udara segar, yang memasung kita untuk dapat beranjak dari posisi persimpangan jalan, tanpa peta masa depan yang jelas.

*Guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Ketua PP Muhammadiyah

No comments: