15 February 2005 at 12:00 am · under General ·
Malam ini keisengan saya muncul saat sedang lewat ruang tamu alias warnet dan melihat user dari Somalia, pelanggan tetap kami, sedang asik duduk di komputer sembilan yang berdekatan dengan pintu masuk kamar depan. Saya menghampirinya sebentar lalu bertanya, “apakah ada kamus bahasa Somalia?” Dia menjawab, “iya ada.” “Maksudku dijual di pasaran?” Dia kembali menegaskan jawabannya. Sepanjang informasi yang saya miliki, Somalia termasuk dalam komunitas Arab sehingga bisa ditebak bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Arab. Namun dalam percakapan mereka yang sering saya dengar, sepertinya mereka tidak berbicara dalam bahasa Arab. Hal inilah yang memunculkan keisengan saya untuk bertanya.[@more@]
Saya lebih mendekat dan dia dengan semangat memperlihatkan teks-teks yang ada di layar monitor lalu menjelaskan sedikit-sedikit beberapa hurup dan bacaan dari kalimat yang tertera. Saya agak sedikit terkejut, karena rupanya hurup-hurup latin itu tidak lain adalah Bahasa Arab dalam tulisan yang berbeda. Segera terlintas di benak saya obrolan dengan seorang staff Athan KBRI di Cairo ketika kami menyimak peristiwa-peristiwa dan kerusuhan yang melanda Somalia waktu itu. Dia pernah menyatakan bahwa Somalia sekarang memang dibiarkan berantakan “secara politik” tetapi secara budaya ada kekuatan yang ingin dibangun oleh Amerika. Menurutnya, orang-orang Somalia diberikan kemudahan secara khusus untuk pergi ke Amerika dan tinggal di sana.
Mungkin ini juga sebagai penjelasan lebih lanjut kenapa semenjak warnet ini berdiri, pelanggan-pelanggannya rata-rata adalah orang Somalia dan mereka membutuhkan internet untuk berkomunikasi dengan saudara-saudara dan keluarga mereka di sana. Sedangkan bagaimana situasi dan kondisi negara mereka sekarang? hampir tidak pernah lagi diangkat ke permukaan sehingga saya sendiri tidak tahu banyak lagi.
Namun bahasa Arab dalam tulisan latin sebagaimana yang disampaikan oleh teman Somalia tadi mengalihkan perhatian saya dari maksud pertanyaan iseng saya. Tidak lagi terlintas di benak saya untuk bertanya bahasa apa yang biasa mereka gunakan dalam percakapan yang sering saya dengar. Toh Kalau dikatakan bahasa Arab juga, sangat tidak mungkin kalau saya sendiri tidak bisa memahami walau satu kata yang sempat tertangkap telinga.
Bahasa Arab dalam tulisan latin sebagai penulisan resmi mengingatkan saya terhadap perdebatan bahasa di Mesir pada era 1900-an dan sesudahnya. Berawal dari perdebatan antara penggunaan bahasa Arab Fusha dan bahasa Arab pasaran (’Amiyah). Perdebatan ini cukup sengit dan memunculkan kubu-kubu yang kemudian berimbas pada politik dan agama. Kemudian meruncing dan melebar ke masalah-masalah lain yang terkait dengan perdebatan itu. Apalagi bahasa ‘Amiyah dari segi praktis pernah ditetapkan dalam sebuah keputusan yang tidak populer. Sebagaimana diungkapkan oleh Dosen saya al-Marhum Sa’ad Zhallam dalam suatu kuliah, bahwa otoritas di Turki pernah membuat keputusan yang melarang penggunaan bahasa Arab Fusha di seluruh negri Arab. Dalam penerapannya, dua tempat yang tidak bisa disentuh keputusan itu adalah Al-Azhar dan Tanah Haram. Dari cerita al-Marhum, tersirat bahwa keputusan itu mungkin tidak tertuang dalam kertas undang-undang resmi pemerintahan tetapi ada secara praktis, sehingga apabila seseorang sudah keluar dari komplek Al-Azhar, dengan sangat terpaksa menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam kehidupan sehari-hari kalau tidak ingin bernasib sial dengan otoritas kekuasaan.
Pelarangan ini juga termasuk salah satu masalah yang mempengaruhi perdebatan tersebut dan pada gilirannya juga mempengaruhi ide-ide dan pendapat-pendapat yang mengalir waktu itu tentang perlunya mempertahankan Khilafah yang berada di tangan Dinasti Ottoman atau memilih bebas sebagai wilayah yang berdiri sendiri. Perjuangan terhadap penjajahan Inggris dan Perancis pun terbelah menjadi membebaskan wilayah untuk mengembalikannya dalam Khilafah atau untuk membebaskannya dan kemudian berdiri sendiri secara independen. Tetapi apapun hasilnya, semua orang waktu itu sepakat bahwa kekuasaan asing (Inggris dan Perancis) harus dilawan dengan perjuangan dan menempuh segala cara.
Selain itu, bahasa ‘Amiyah juga didukung oleh kekuasaan kolonial tetapi dalam penerapannya mereka tidak menggunakan pendekatan kekuasaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh otoritas Turki. Mereka lebih menekankan pendekatan budaya dan pendidikan seperti dalam pidato-pidato dan mengadakan kursus-kursus, penelitian-penelitian. Semua kegiatan yang terkait dengan kebahasaan lebih didorong untuk mengembangkan bahasa ‘Amiyah. Pada sisi ini juga yang sangat berpengaruh menarik perdebatan ini ke dalam konteks agama. Alasan penolakan utama kaum agamawan, sebagian cendikiawan dan pendukung mereka terhadap politik kebahasaan oleh kolonial ini adalah menjauhkan masyarakat Arab dari al-Qur’an dan khazanah keilmuan mereka yang sudah mapan secara bahasa sehingga tidak lagi setiap orang Arab dipastikan bisa memahami al-Qur’an, hadits, dan literature keilmuan lainnya karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Fusha.
Di kalangan budayawan, pakar agama, dan ahli bahasa, perdebatan antara dua bahasa (Fusha dan ‘Amiyah) tersebut terus berlanjut. Masing-masing mengemukakan pendapat dan argumennya. Namun menurut saya, masing-masing menang dan masing-masing kalah. Apabila Bahasa ‘Amiyah pernah mendapat dukungan secara praktis dari suatu otoritas, begitu juga bahasa Fusha pernah mendapatkan dukungan praktis otoritas tertentu dalam bentuk yang lain. Dari sisi agama, teks-teks keagamaan mulai dari bahasa al-Qur’an, Hadits, dan literature-literatur yang sangat banyak itu cukup membantu pertahanan bahasa Fusha.
Pada sisi kekinian dalam bentuk yang mengalir bersama perdebatan itu, bahasa Fusha juga pernah dibantu oleh otoritas kebahasaan seperti kasus novel Zainab yang dikarang oleh Husain Haikal. Keputusan otoritas sastra menetapkan bahwa novel ini merupakan novel dalam bahasa Arab pertama dalam makna novel menurut pengertian modern. Padahal lima tahun sebelum itu sudah terbit satu novel dengan judul ‘Azra Dansyuai (Perawan Dansyuai). Novel ini mengangkat tema perjuangan para petani Dansyuai diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan kolonial Inggris dan antek-antek pejabat lokal yang loyal terhadap kolonial. Keputusan Lord Kromer untuk melaksanakan hukuman gantung massal terhadap para petani dan kemudian pemberontakan para petani menjadi titik klimaks novel ini. Dalam diktat kuliah yang mengetengahkan perbandingan antara novel Zainab dan ‘Azra Dansyuai dikemukakan pandangan-pandangan penduduk desa dan penduduk kota, begitu juga bagaimana novel itu melukiskan tentang wanita secara khusus Zainab dan Perawan Dansyuai. Hanya saja novel ‘Azra Dansyuai ini tidak diakui oleh otoritas sastra karena menggunakan Bahasa ‘Amiyah.
Sekali lagi, kedua jenis bahasa itu sama-sama menang dan sama-sama kalah karena secara praktek semua orang Arab menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam percakapan sehari-hari dan pada saat yang sama Bahasa Fusha menjadi bahasa resmi Negara sehingga bahasa jenis ini yang digunakan dalam kontek-kontek resmi seperti pidato-pidato kenegaraan, pers, buku-buku, televisi (seperti berita-berita dan yang sifatnya resmi). Dalam pengantar kuliah, kedua-duanya mendapatkan tempat sesuai dengan dosennya sehingga kawan-kawan baru hanya bisa melongo pada saat-saat pertama masuk kuliah apabila kebetulan dosennya menggunakan bahasa ‘Amiyah.
Bahkan karena bahasa Fusha ini lebih ditekankan pada penggunaan resmi, beberapa orang-orang Mesir seringkali melongo saja kebingungan ketika mendengar saya, Husain (dari Nigeria), Husain (orang Mesir), Hasan (orang Mesir) yang lebih membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Fusha dalam percakapan kami di manapun. Memang tragis dan saya hanya bisa menggelengkan kepala ketika ada orang Mesir di sekitar kami yang bertanya-tanya bahasa apa yang kami pergunakan. Bahasa dia sendiri, Bahasa Imrul Qais, Nabigah Zubyani, ‘Antarah, Tharfah, Abu Jahal, Abu Lahab, Bahasa Muhammad, para Sahabat dan bahasa nenek moyangnya sendiri.
Keuntungan bahasa Fusha adalah bisa digunakan di semua Negara Arab dan orang-orang Arab yang berpendidikan lebih maju bisa mengerti, sedangkan bahasa ‘Amiyah belum tentu bisa dipahami di setiap Negara karena sifatnya lokal walau sebenarnya huruf-huruf dan beberapa katanya sama.
Satu hal lagi yang terkait dalam perdebatan dua jenis bahasa tersebut, Abdul Aziz Fahmi, salah seorang cendikiawan Mesir ketika perdebatan ini sedang hangat-hangatnya pernah melontarkan gagasan agar bahasa Arab diganti tulisannya ke dalam bahasa Latin dan tidak lagi menggunakan huruf-huruf Arab sebagaimana yang telah ada. Kontan saja gagasan ini seperti mengobarkan api yang sudah besar. Bahkan tidak hanya bantahan-bantahan penolakan yang muncul ke permukaan tetapi juga tuduhan-tuduhan sesat, kafir, antek penjajah, dan sebagainya. Dan memang pada kenyataannya, gagasan ini tidak mendapatkan tempat hingga sekarang dan menghilang begitu saja.
Tetapi akhir-akhir ini saya melihat gagasan itu sudah mendapatkan jatah dalam komunitas kecil, khususnya dalam arena chatting irc, sebagian forum-forum komunitas internet, dan sebagian sms. Mungkin bisa jadi gagasan itu telah mendapatkan tempat yang layak di Somalia.
Catatan Tambahan:
1. Bahasa Arab ‘Amiyah dalam kontek sejarah perkembangan sebenarnya sudah muncul sejak abad ke 4 H. Faktor perbedaan dialek (lahajat) baik pengucapan, arti suatu kata maupun penggunaan sangat berperan besar dalam mempengaruhi pertumbuhan Bahasa ‘Amiyah. Bahkan semenjak masa Jahiliah (Pra-Islam), perbedaan itu sudah ada, baik antara wilayah maupun antar suku-suku seperti perbedaan Bahasa Arab Utara dan Arab Selatan (Yaman dan sekitarnya sekarang). Penelitian tentang sejarah perkembangan dan tarik-ulur antara Bahasa Arab ‘Amiyah dan Bahasa Arab Fusha pernah dijadikan materi dalam mata kuliah Ilmu bahasa (Linguistik) di Univ. al-Azhar, Fakultas Studi-Studi Islam jurusan Bahasa Arab putri (sekitar tahun ajaran 96-97 atau 97-98).
2. Beberapa sumber tulisan ini tidak disebutkan baik buku atau majalah karena berdasarkan ingatan dan buku-bukunya sudah dikirim ke Indonesia. Pada sisi lain, sebagian sumbernya juga berdasarkan penyampaian saksi hidup ketika itu seperti al-Marhum Sa’ad Zhallam. Beliau adalah dekan Fakultas Bahasa Arab, univ. al-Azhar putra dan meninggal pada tahun 1999 dan belum sempat menanda-tangani ijazah Lc saya sehingga ditanda-tangani oleh Dekan yang baru ditunjuk beberapa hari.
3. Untuk membaca lebih lanjut tentang perdebatan masalah ini bisa merujuk kembali buku-buku yang ada seperti Abathil wa Asmar karya Mahmud Syakir, karya-karya Ahmad Taimur dan Muhammad Taimur, Taufiq Hakim, Luis ‘Iwadh, Muhammad Mandur, Muhammad Ghunami Hilal, Thaha Abdul Bar, dan lain-lain. Bahkan Mahmud Syakir sebagai salah seorang pelaku yang ikut serta dalam perdebatan (khususnya perdebatan dia sendiri dengan gurunya Thaha Husain) selalu memuat kesaksian-kesaksian dalam setiap Pendahuluan yang dia tulis dalam buku-buku yang ia tahqiq (teliti).
4. Arti Penting Bahasa, anda bisa nyambung ngga tulisan saya dengan judul? Bicaralah kemudian renungi bahasa apa yang anda gunakan dalam bicara tentu anda akan menemukan jawabannya. Saya memang lagi iseng.
Saturday, April 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment