Nilai Ujian Akhir Nasional, hingga saat ini masih menjadi tolok ukur paling ampuh melihat tingkat keberhasilan belajar siswa, juga menjadi tolok ukur tingkat kesuksesan guru mengajar. Kelulusan pun bertumpu pada nilai ini, meskipun belakangan banyak guru yang protes agar kelulusan siswa tidak ditentukan dari nilai Ujian Akhir Nasional.
Sebagai ekspresi melihat nilai yang didapat siswa pada Ujian Nasional maupun nilai Ujian Akhir Sekolah, yang seringkali muncul adalah ketidakpuasan. Baik dirasakan oleh siswa itu sendiri, orang tua siswa, guru bahkan segenap keluarga besar sekolah. Lebih-lebih jika banyak siswa yang mendapat nilai rendah dan berujung pada ketidaklulusan.
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang mampu memicu tidak suksesnya kegiatan belajar mengajar yang berujung pada hasil nilai yang rendah. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran.
Model pembelajaran, dipandang paling punya peran strategis dalam upaya mendongkrak keberhasilan proses belajar mengajar. Karena ia bergerak dengan melihat kondisi kebutuhan siswa, sehingga guru diharapkan mampu menyampaikan materi dengan tepat tanpa mengakibatkan siswa mengalami kebosanan. Namun sebaliknya, siswa diharapkan dapat tertarik dan terus tertarik mengikuti pelajaran, dengan keingintahuan yang berkelanjutan.
Berbagai model pembelajaran yang telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas individu maupuh kelompok.
Terdapat model pembelajaran paling konvensional, yaitu tatap muka dan berpusat pada guru (teacher center) sampai dengan pembelajaran berpusat pada siswa (student center), pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang diterapkan pada universitas terbuka dan berbagai program sertifikasi online juga terus menerus dikembangkan. Journal Teknodik.22,2007
Terdapat pula pembelajaran kooperatif yang didalamnya mengandung saling ketergantungan positif di antara siswa/ mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa punyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar.
Ada 4 macam model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Arends (2001), yaitu; (1) Student Teams Achievement Division (STAD), (2) Group Investigation, (3) Jigsaw, dan (4) Structural Approach. Sedangkan dua pendekatan lain yang dirancang untuk kelas-kelas rendah adalah; (1) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) digunakan pada pembelajaran membaca dan menulis pada tingkatan 2-8 (setingkat TK sampai SD), dan Team Accelerated Instruction (TAI) digunakan pada pembelajaran matematika untuk tingkat 3-6 (setingkat TK).
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC.
Adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif.
LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005).
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Pada tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.
Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.
Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
Contecstual Teaching and Learning (CTL).
CTL merupakan suatu proses pendidikan holistik bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4. Ciptakan masyarakat belajar
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya, falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum yang disebut terakhir tampak relatif lebih populer dan lebih banyak disambut gembira oleh pelbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan beberapa buku mengenai hal tersebut oleh Penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning, Quantum Business, dan Quantum Teaching] – di samping berkat upaya popularisasi yang dilakukan oleh perbagai pihak melalui seminar, pelatihan, dan penerapan tentangnya.
Quantum Learning (QL)
Pembelajaran kuantum sesungguhnya merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Di samping itu, ditambah dengan pandangan-pandangan pribadi dan temuan-temuan empiris yang diperoleh DePorter ketika mengembangkan konstruk awal pembelajaran kuantum. Hal ini diakui sendiri oleh DePorter. Dalam Quantum Learning (1999:16) dia mengatakan sebagai berikut. Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
• Teori otak kanan/kiri
• Teori otak triune (3 in 1)
• Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
• Teori kecerdasan ganda
• Pendidikan holistik (menyeluruh)
• Belajar berdasarkan pengalaman
• Belajar dengan simbol
• Simulasi/permainan
Quantum Teaching (QT)
Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut. Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner), Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).
Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya – pada gilirannya model teoretis tersebut diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.
Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn serta temuan-temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.
Terus dikembangkannya model-model pembelajaran diharapkan akan memberikan kesempatan bagi guru dan siswa untuk menemukan model terbaik sesuai dengan kondisi sekolah dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. [EDU KIRMAN/MA. Diambil dari berbagai sumber.]
itional
Sunday, June 14, 2009
Ragam Pendekatan Pembelajaran
By admin ⋅ May 7, 2009 ⋅ Post a comment
Belakangan mutu guru benar-benar dipersoalkan, ini terkai dengan prestasi akademik siswa yang tak jua mentereng bagusnya. Menghitung dan menimbang-nimbang mutu guru, yang terkuak adalah bagaimana guru dalam mentransformasikan ilmu kepada siswa atau peserta didik, dan itu adalah persoalan metode.
Kenyataan di lapangan memang masih banyak terlihat guru mengajar dengan cara semaunya, tanpa melihat pokok bahasan. Asal materi tersampaikan, sepertinya urusan transformasi ilmu sudah beres. Perkara siswa ada yang belum bisa, biasanya dianggap persoalan biasa, dan penjelasan berulang pun tak jarang dilakukan meski dengan cara yang serupa.
Bila fenomena ini masih bertaburan di banyak guru, dapatlah kiranya dikatakan kalau guru-guru Indonesia masih terlalu ciut wawasan dan enggan berinovasi. Atau mereka cenderung menyeragamkan cara mengajar pada semua materi dan pokok bahasan. Padahal tak jarang ada pokok-pokok bahasan yang sangat memungkinkan cara mengajar guru dengan cara yang beda dan lebih inovatif.
Kecenderungan pula guru main sikat untuk semua siswa, tanpa melihat minat dan tingkat kecerdasan atau intelegensi tiap-tiap individu siswa itu. Padahal untuk siswa yang kecerdasannya minim, sangat mungkin lambat dalam memahami penjelasan guru. Baru bisa paham biasanya selain butuh waktu lama, butuh pula penjelasan berulang-ulang, atau butuh cara penjelasan yang beda.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak, jika guru ingin mengantongi guru profesional dan bermutu maka ia harus pandai-pandai berinovasi dalam menggunakan metode mengajarnya. Tidak hanya mengandalkan satu jenis metode mengajar saja atau paling banter dua metode lantas bangga dan kemudian marah-marah ketika melihat siswanya lambat menyerap ilmu dari si guru tersebut.
Ada tujuh macam metode mengajar yang bisa membantu guru mengajar dengan suasana yang lebih menyegarkan dan efektif.
1. Metode Tanya Jawab (Question & Answer)
Adapun bentuk tanya jawab dapat dibagi ke dalam empat jenis:
1. Pertanyaan yang bersifat mencari informasi (Informational questions).
2. Pertanyaan tertutup (Close-ended questions), yaitu pertanyaan yang tidak perlu dipertimbangkan apakah harus dijawab dengan jawaban yang penjang lebar atau yang singkat. Hanya perlu dijawab dengan betul atau salah.
3. Pertanyaan yang menuntut pemikiran (Three dimensional questions), yaitu pertanyaan yang bukan hanya menuntut fakta, melainkan selangkah lebih maju untuk menunjuk sebab, arti, dan perasaan.
4. Pertanyaan terbuka (Open-ended questions), dimana murid sendiri mengalami hal tersebut, dan menjawab pertanyaan sesuai dengan kebenaran yang diterima mereka secara pribadi.
Adapun prinsip-prinsip dalam mengajukan pertanyaan adalah sebagai berikut:
• Pertanyaan harus jelas, singkat, dan sesuai dengan tingkat penerimaan murid.
• Jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan betul salah.
• Terlebih dahulu ajukan pertanyaan kepada semua murid. Baru kemudian sebutkan nama salah seorang murid untuk menjawab, tetapi jangan memanggil secara berurutan.
• Tentu saja boleh memberi kebebasan kepada murid untuk menjawab pertanyaan, tetapi perhatikanlah jangan sampai sebagian orang terus-menerus menjawab pertanyaan. Sebaiknya berikan kesempatan pada setiap murid untuk berpartisipasi.
• Setelah bertanya, berikan waktu yang cukup untuk berpikir. Guru jangan terburu-buru memberikan jawaban.
• Jikalau jawaban murid salah, jangan ditegur atau ditertawakan. Sedapat mungkin pujilah kelebihannya dan perbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.
• Jikalau murid tidak dapat menjawab pertanyaan yang telah diajukan, jangan menunggu terlalu lama. Undang murid lain untuk menjawab.
• Jangan menambahkan pertanyaan lain dalam pertanyaan yang kita ajukan.
• Dapat menjelaskan pertanyaan dengan mengajukan pertanyaan lain.
• Pertanyaan harus dipersiapkan terlebih dahulu. Untuk memberikan pertanyaan yang baik, perlu menyediakan waktu untuk mempersiapkannya.
2. Metode Diskusi (Discussion)
Guru mengajukan pertanyaan yang bersifat merangsang, yang dapat membangkitkan minat murid untuk berpartisipasi dalam diskusi yang positif. Bentukya antara lain:
1. Studi Kasus (Case Study)
Studi kasus dapat diutarakan dengan bentuk yang berbeda-beda. Uraikan secara terinci keadaan yang terdapat dalam sebuah kasus, agar murid dapat mencari cara penyelesaian yang mungkin dapat dipakai. Contoh-contoh bentuk studi kasus yang berbeda seperti berikut: utarakan sebuah cerita yang belum selesai; mengutip laporan surat kabar, mengajukan suatu masalah kejiwaan; utarakan dengan gambar untuk merangsang murid berdiskusi; atau memakai riwayat hidup para tokoh, laporan sejarah, catatan statistik, dan sebagainya.
2. Debat (Debate)
Dua orang atau dua kelompok murid memperdebatkan satu masalah dari segi pro dan kontranya. Dari proses perdebatan itu, murid dapat memahami pandangan-pandangan yang timbul dari konsep- konsep yang berbeda. Mereka yang ikut serta dalam perdebatan haruslah mempunyai pengenalan yang cukup dan persiapan yang mantap tentang soal yang didiskusikan.
3. Metode-metode diskusi lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah:
- Penyelesaian/pemecahan masalah (Problem Solving)
- Pengumpulan gagasan secara mendadak (Brainstorming)
- Kelompok berbincang-bincang (Buzz Group/Two by Two)
3. Metode Drama
Bentuknya antara lain:
1. Peragaan Gambar (Picture Posing)
Metode ini cocok untuk anak-anak yang usianya agak kecil. Urutannya adalah sebagai berikut:
- Pilihlah sebuah gambar yang berkaitan dengan isi pelajaran.
- Mendiskusikan inti pelajaran tersebut.
- Menirukan sikap dari tokoh yang terdapat dalam gambar.
- Menghafal ayat Alkitab atau mengajukan pertanyaan.
2. Monolog
Mintalah seorang murid untuk mempersiapkan dengan baik dan memerankan diri sebagai salah seorang tokoh Alkitab/tokoh cerita. Lalu dengan memakai kata ganti orang pertama mengisahkan riwayat hidup, perasaan atau pun konsep terhadap pengalaman tertentu dan lain-lain.
3. Metode-metode drama lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah:
- Pantomim (Pantomime)
- Drama (Formal Dramatization)
- Peragaan peran (Role Playing)
4. Metode Ceramah (Lecture)
Melalui ceramah GSM menyampaikan satu pokok pelajaran kepada murid secara teratur dan sistematis dalam bentuk pidato. Hal-hal penting yang harus diperhatikan antara lain ialah:
1. Sasaran dari pokok pelajaran harus jelas.
2. Kumpulkan bahan-bahan yang cukup.
3. Berusahalah untuk menggunakan istilah-istilah yang sederhana.
4. Jangan memakai suara yang datar (monoton), perhatikan kecepatan tinggi dan rendahnya nada suara kita.
5. Ingatlah bahwa isi ceramah harus teratur dan sistematis supaya pendengarnya mudah mengerti dan mengingatnya.
6. Jangan menggunakan pembagian yang terlalu banyak.
7. Ulangilah bagian depan untuk membawa mereka masuk ke bagian berikutnya. Jangan sampai masing-masing bagian terlepas dari konteksnya.
5. Metode Kelompok Pendengar (Listening Teams)
Guru membacakan sebuah laporan atau naskah dengan membagi murid menjadi dua atau beberapa kelompok. Mintalah setiap kelompok menyimak butir-butir penting yang telah ditentukan (misalnya kelompok pertama memperhatikan hal yang positif, sedangkan kelompok dua memperhatikan hal yang negatif). Kemudian setiap kelompok harus kembali memberikan laporan kepada guru dan teman- teman sekelasnya. Setelah itu baru mengadakan diskusi
6. Metode Simposium (Symposium)
Simposium adalah serangkaian ceramah pendek yang disampaikan oleh sekelompok kecil orang kepada seluruh murid. Boleh mengundang para ahli sebagai pembicara, atau meminta murid untuk mempersiapkan terlebih dahulu bagan-bagan yang berbeda. Kemudian mereka masing-masing menyampaikan segi-segi dan konsep-konsep di bawah pimpinan seorang pemimpin.
7. Metode Peninjauan ke Lapangan (Field Survey)
Maksudnya adalah mengadakan survey, mencari informasi bersama- sama dengan teman-teman sekelas secara terpimpin dan terarah, untuk memperoleh bahan dan pengalaman yang orisinal. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Mengatur dan menghubungi terlebih dahulu, mempersiapkan transportasi dan penanggung jawabnya.
2. Berilah petunjuk kepada murid mengenai hal-hal dan bagian- bagian penting yang perlu diteliti.
3. Membuat laporan tentang hal-hal yang telah didengar, dilihat dan dipelajari mereka, sewaktu mengadakan penelitian di lapangan.
Print This Post
Belakangan mutu guru benar-benar dipersoalkan, ini terkai dengan prestasi akademik siswa yang tak jua mentereng bagusnya. Menghitung dan menimbang-nimbang mutu guru, yang terkuak adalah bagaimana guru dalam mentransformasikan ilmu kepada siswa atau peserta didik, dan itu adalah persoalan metode.
Kenyataan di lapangan memang masih banyak terlihat guru mengajar dengan cara semaunya, tanpa melihat pokok bahasan. Asal materi tersampaikan, sepertinya urusan transformasi ilmu sudah beres. Perkara siswa ada yang belum bisa, biasanya dianggap persoalan biasa, dan penjelasan berulang pun tak jarang dilakukan meski dengan cara yang serupa.
Bila fenomena ini masih bertaburan di banyak guru, dapatlah kiranya dikatakan kalau guru-guru Indonesia masih terlalu ciut wawasan dan enggan berinovasi. Atau mereka cenderung menyeragamkan cara mengajar pada semua materi dan pokok bahasan. Padahal tak jarang ada pokok-pokok bahasan yang sangat memungkinkan cara mengajar guru dengan cara yang beda dan lebih inovatif.
Kecenderungan pula guru main sikat untuk semua siswa, tanpa melihat minat dan tingkat kecerdasan atau intelegensi tiap-tiap individu siswa itu. Padahal untuk siswa yang kecerdasannya minim, sangat mungkin lambat dalam memahami penjelasan guru. Baru bisa paham biasanya selain butuh waktu lama, butuh pula penjelasan berulang-ulang, atau butuh cara penjelasan yang beda.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak, jika guru ingin mengantongi guru profesional dan bermutu maka ia harus pandai-pandai berinovasi dalam menggunakan metode mengajarnya. Tidak hanya mengandalkan satu jenis metode mengajar saja atau paling banter dua metode lantas bangga dan kemudian marah-marah ketika melihat siswanya lambat menyerap ilmu dari si guru tersebut.
Ada tujuh macam metode mengajar yang bisa membantu guru mengajar dengan suasana yang lebih menyegarkan dan efektif.
1. Metode Tanya Jawab (Question & Answer)
Adapun bentuk tanya jawab dapat dibagi ke dalam empat jenis:
1. Pertanyaan yang bersifat mencari informasi (Informational questions).
2. Pertanyaan tertutup (Close-ended questions), yaitu pertanyaan yang tidak perlu dipertimbangkan apakah harus dijawab dengan jawaban yang penjang lebar atau yang singkat. Hanya perlu dijawab dengan betul atau salah.
3. Pertanyaan yang menuntut pemikiran (Three dimensional questions), yaitu pertanyaan yang bukan hanya menuntut fakta, melainkan selangkah lebih maju untuk menunjuk sebab, arti, dan perasaan.
4. Pertanyaan terbuka (Open-ended questions), dimana murid sendiri mengalami hal tersebut, dan menjawab pertanyaan sesuai dengan kebenaran yang diterima mereka secara pribadi.
Adapun prinsip-prinsip dalam mengajukan pertanyaan adalah sebagai berikut:
• Pertanyaan harus jelas, singkat, dan sesuai dengan tingkat penerimaan murid.
• Jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan betul salah.
• Terlebih dahulu ajukan pertanyaan kepada semua murid. Baru kemudian sebutkan nama salah seorang murid untuk menjawab, tetapi jangan memanggil secara berurutan.
• Tentu saja boleh memberi kebebasan kepada murid untuk menjawab pertanyaan, tetapi perhatikanlah jangan sampai sebagian orang terus-menerus menjawab pertanyaan. Sebaiknya berikan kesempatan pada setiap murid untuk berpartisipasi.
• Setelah bertanya, berikan waktu yang cukup untuk berpikir. Guru jangan terburu-buru memberikan jawaban.
• Jikalau jawaban murid salah, jangan ditegur atau ditertawakan. Sedapat mungkin pujilah kelebihannya dan perbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.
• Jikalau murid tidak dapat menjawab pertanyaan yang telah diajukan, jangan menunggu terlalu lama. Undang murid lain untuk menjawab.
• Jangan menambahkan pertanyaan lain dalam pertanyaan yang kita ajukan.
• Dapat menjelaskan pertanyaan dengan mengajukan pertanyaan lain.
• Pertanyaan harus dipersiapkan terlebih dahulu. Untuk memberikan pertanyaan yang baik, perlu menyediakan waktu untuk mempersiapkannya.
2. Metode Diskusi (Discussion)
Guru mengajukan pertanyaan yang bersifat merangsang, yang dapat membangkitkan minat murid untuk berpartisipasi dalam diskusi yang positif. Bentukya antara lain:
1. Studi Kasus (Case Study)
Studi kasus dapat diutarakan dengan bentuk yang berbeda-beda. Uraikan secara terinci keadaan yang terdapat dalam sebuah kasus, agar murid dapat mencari cara penyelesaian yang mungkin dapat dipakai. Contoh-contoh bentuk studi kasus yang berbeda seperti berikut: utarakan sebuah cerita yang belum selesai; mengutip laporan surat kabar, mengajukan suatu masalah kejiwaan; utarakan dengan gambar untuk merangsang murid berdiskusi; atau memakai riwayat hidup para tokoh, laporan sejarah, catatan statistik, dan sebagainya.
2. Debat (Debate)
Dua orang atau dua kelompok murid memperdebatkan satu masalah dari segi pro dan kontranya. Dari proses perdebatan itu, murid dapat memahami pandangan-pandangan yang timbul dari konsep- konsep yang berbeda. Mereka yang ikut serta dalam perdebatan haruslah mempunyai pengenalan yang cukup dan persiapan yang mantap tentang soal yang didiskusikan.
3. Metode-metode diskusi lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah:
- Penyelesaian/pemecahan masalah (Problem Solving)
- Pengumpulan gagasan secara mendadak (Brainstorming)
- Kelompok berbincang-bincang (Buzz Group/Two by Two)
3. Metode Drama
Bentuknya antara lain:
1. Peragaan Gambar (Picture Posing)
Metode ini cocok untuk anak-anak yang usianya agak kecil. Urutannya adalah sebagai berikut:
- Pilihlah sebuah gambar yang berkaitan dengan isi pelajaran.
- Mendiskusikan inti pelajaran tersebut.
- Menirukan sikap dari tokoh yang terdapat dalam gambar.
- Menghafal ayat Alkitab atau mengajukan pertanyaan.
2. Monolog
Mintalah seorang murid untuk mempersiapkan dengan baik dan memerankan diri sebagai salah seorang tokoh Alkitab/tokoh cerita. Lalu dengan memakai kata ganti orang pertama mengisahkan riwayat hidup, perasaan atau pun konsep terhadap pengalaman tertentu dan lain-lain.
3. Metode-metode drama lainnya yang terdapat dalam buku ini adalah:
- Pantomim (Pantomime)
- Drama (Formal Dramatization)
- Peragaan peran (Role Playing)
4. Metode Ceramah (Lecture)
Melalui ceramah GSM menyampaikan satu pokok pelajaran kepada murid secara teratur dan sistematis dalam bentuk pidato. Hal-hal penting yang harus diperhatikan antara lain ialah:
1. Sasaran dari pokok pelajaran harus jelas.
2. Kumpulkan bahan-bahan yang cukup.
3. Berusahalah untuk menggunakan istilah-istilah yang sederhana.
4. Jangan memakai suara yang datar (monoton), perhatikan kecepatan tinggi dan rendahnya nada suara kita.
5. Ingatlah bahwa isi ceramah harus teratur dan sistematis supaya pendengarnya mudah mengerti dan mengingatnya.
6. Jangan menggunakan pembagian yang terlalu banyak.
7. Ulangilah bagian depan untuk membawa mereka masuk ke bagian berikutnya. Jangan sampai masing-masing bagian terlepas dari konteksnya.
5. Metode Kelompok Pendengar (Listening Teams)
Guru membacakan sebuah laporan atau naskah dengan membagi murid menjadi dua atau beberapa kelompok. Mintalah setiap kelompok menyimak butir-butir penting yang telah ditentukan (misalnya kelompok pertama memperhatikan hal yang positif, sedangkan kelompok dua memperhatikan hal yang negatif). Kemudian setiap kelompok harus kembali memberikan laporan kepada guru dan teman- teman sekelasnya. Setelah itu baru mengadakan diskusi
6. Metode Simposium (Symposium)
Simposium adalah serangkaian ceramah pendek yang disampaikan oleh sekelompok kecil orang kepada seluruh murid. Boleh mengundang para ahli sebagai pembicara, atau meminta murid untuk mempersiapkan terlebih dahulu bagan-bagan yang berbeda. Kemudian mereka masing-masing menyampaikan segi-segi dan konsep-konsep di bawah pimpinan seorang pemimpin.
7. Metode Peninjauan ke Lapangan (Field Survey)
Maksudnya adalah mengadakan survey, mencari informasi bersama- sama dengan teman-teman sekelas secara terpimpin dan terarah, untuk memperoleh bahan dan pengalaman yang orisinal. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Mengatur dan menghubungi terlebih dahulu, mempersiapkan transportasi dan penanggung jawabnya.
2. Berilah petunjuk kepada murid mengenai hal-hal dan bagian- bagian penting yang perlu diteliti.
3. Membuat laporan tentang hal-hal yang telah didengar, dilihat dan dipelajari mereka, sewaktu mengadakan penelitian di lapangan.
Print This Post
Friday, June 12, 2009
Manajemen Konflik Dalam Organisasi
[ Once the realization is accepted that even between the closest human beings infinite distances continue, a wonderful living side by side can grow, if they succeed in loving the distance between them which makes it possible for each to see the other whole against the sky. ~Rainer Maria Rilke ~ ]
Manajemen Konflik dalam Organisasi
(Studi Kasus Proses Komunikasi dalam Organisasi UKM Pramuka UGM)
Organisasi merupakan wadah di mana banyak orang berkumpul dan saling berinteraksi. Organisasi juga terbentuk karena adanya kesamaan misi dan visi yang ingin dicapai. Dari sini setiap individu atau unsur yang terdapat di dalam organisasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung harus memegang teguh apa yang menjadi pedoman dan prinsip di dalam organisasi tersebut. Sehingga untuk mencapai visi dan menjalankan misi yang digariskan dapat berjalan dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, di dalam organisasi kerap terjadi konflik. Baik konflik internal maupun konflik eksternal antar organisasi. Konflik yang terjadi kadang kala terjadi karena permasalahan yang sangat remeh temeh. Namun justru dengan hal yang remeh temeh itulah sebuah organisasi dapat bertahan lama atau tidak. Mekanisme ataupun manajemen konflik yang diambil pun sangat menentukan posisi organisasi sebagai lembaga yang menjadi payungnya. Kebijakan-kebijakan dan metode komunikasi yang diambil sangat memengaruhi keberlangsungan sebuah organisasi dalam memertahankan anggoa dan segenap komponen di dalamnya.
Salah satu organisasi tersebut adalah UKM Pramuka UGM. Unit kegiatan Mahasiswa yang hampir mencapai usia ke-26 tahun ini ternyata memiliki mekanisme unik dalam merespon konflik yang ada di tubuhnya. Baik konflik internal anggota, anggota-pimpinan, maupun antar pimpinan itu sendiri. Sebagai salah satu organisasi kepemudaan, Pramuka UGM cukup menjadi contoh sederhana bagaimana sebuah organisasi mampu memanaj sebuah persoalan dengan baik. Dengan seperangkat norma yang ia miliki UKM Pramuka UGM mampu mengelola sumber daya yang selama ini menjadi potensi bagi sebuah organisasi.
Barangkat dari sinilah tulisan ini berawal. Melihat organisasi mahasiswa rentan akan konflik, dengan pertimbangan factor emosi dan stabilitas diri, maka penulis mencoba mengangkat tema bagaimana mahasiswa-dalam hal ini pengurus organisasi-memanaj konflik yang kerap mewarnai perjalanan organisasi mereka. Apakah proses komunikasi yang dijalin telah berjalan dengan baik laiknya sebuah organisasi ekonomi ataupun organisasi keluarga? Bagaimana proses komunikasi itu berjalan? Bagaimana kebijakan dan respon yang diambil tatkala konflik terjadi di sana? Tulisan ini berusaha memaparkannya.
II. Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses komunikasi yang terjadai dalam organisasi Pramuka?
b. Bagaimana manajemen konflik dalam organisasi UKM Pramuka UGM?
III. Kerangka Teori
Organisasi
a. Organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi lewat hirarki otoritas dan tanggungjawab (Schein). Karakterisitik organisasi menurut Schein meliputi : memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian yang lain untuk mengkoordinasikan aktivitas didalamnya.
b. Organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Kochler).
c. Organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi rumusan, tentang organisasi ini menyangkut 3 aspek penting :
i. organisasi sebagai suatu sistem
ii. terdapat koordinasi aktivitas
iii. mencapai tujuan bersama
Komponen organisasi
a. Struktur sosial : struktur normatif + struktur tingkah laku
b. partisipan : kontribusi individu pada organisasi
c. Tujuan
d. Teknologi : mesin, ketrampilan, teknik dari partisipan
Sifat organisasi
a. Dinamis, penyebabnya :
§ perubahan ekonomi
§ perubahan pasaran
§ perubahan kondisi sosial
§ perubahan teknologi
b. Memerlukan informasi proses komunikasi
c. Mempunyai tujuan
d. Terstruktur
Ada yang menambahkan faktor yang sangat berpengaruh bagi berlangsungnya suatu organisasi yakni : a. SDM, b. Ketrampilan, c. Energi, d. Lingkungan.
Fungsi Organisasi
a. Memenuhi kebutuhan pokok organisasi
gedung, modal, bahan mentah, fasilitas
b. Mengembangkan tugas dan tanggungjawab
ke dalam organisasi dan lingkungan
c. Memproduksi barang/jasa/gagasan
d. Mempengaruhi orang banyak
Komunikasi dalam organisasi
Fungsi komunikasi dalam organisasi adalah :
1. Sebagai pembentuk iklim organisasi yakni yang menggambarkan suasana kerja organisasi atau sejumlah keseluruhan perasaan dan sikap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi.
2. Membangun budaya organisasi yakni nilai dan kepercayaan yang menjadi titik sentral organisasi,
Tujuan komunikasi dalam organisasi adalah mutual understanding, dalam arti mencoba mencari saling sepemahaman antara anggota-anggota dalam organisasi tersebut.
Lingkup kajian komunikasi organisasi adalah komunikasi organisasi yang terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan informal dan berlangsung dalam suatu jaringan [Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Termasuk dalam bidang ini adalah : komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi dari atasan ke bawahan atau sebaliknya dari bawahan kepada atasan, komunikasi horisontal, ketrampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan komunikasi evaluasi program (Redding & Sanborn). ]
yang lebih besar dari komunikasi kelompok.
Pengertian Komunikasi Organisasi
1. Komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi.(Katz & Kahn)
2. Komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan eksternal (Zelko & Dance)
3. Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. (Goldhaber)
4. Komunikasi organisasi sebagai arus data yang melayani komunikasi organisasi dan interkomunikasi dalam beberapa cara. (Thayer). Ada tiga sistem dalam komunikasi organisasi :
a) berkenaan dengan kerja organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau beroperasinya organisasi.
b) berkenaan dengan pengaturan organisasi seperti perintah-perintah, aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk
c) berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan organisasi.
6. Bidang komunikasi organisasi termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi (Greenbaunm).
Konflik
Konflik (pertentangan atau perselisihan) adalah sesuatu yang tidak pernah dapat dihindari, yang terjadi kapan saja sepanjang hidup dan juga di dalam leadership. Penyelesaian konflik yang baik sangat penting dalam meningkatkan ketrampilan sebagai leadership dan memindahkan praktek manajemen dari paham otoritarian (kepatuhan pada seseorang) ke arah pendekatan kooperatif yang menekankan pada persuasi rasional, kolaborasi, kompromi dan penyelesaian yang saling menguntungkan.
Kemungkinan efek dari konflik
Kemungkinan efek positif
Kemungkinan efek negatif
Meningkatkan usaha
Merasa mendapat angin
Saling pengertian lebih baik satu dengan yang lain
Mendorong terjadinya perubahan
Pengambilan keputusan yang lebih baik
Isu-isu kunci muncul ke permukaan
Pemikiran kritis muncul
Mengurangi produktivitas
Penurunan komunikasi
Perasaan negatif
Stres
Pengambilan keputusan yang tidak baik
Penurunan bentuk kerjasama
Muncul kegiatan fitnah
Konflik organisasi disebabkan langkanya sumberdaya.
Anne Hubel & Caryn Medved:
Penyebab konflik: distorsi informasi akibat modifikasi pesan, ambiguitas akibat penggunaan bahasa yang tidak jelas dan kebohongan.
Manajemen Konflik dalam Komunikasi
Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik.
Terdapat 5 kecenderungan:
• Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
• Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
• Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian
• Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan
• Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-sama.
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :
Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
INTERAKSI WIN –WIN
Berpikir Menang-Menang merupakan sikap hidup, suatu kerangka berpikir yang menyatakan : “Saya dapat menang, dan demikian juga Anda, kita bisa menang”. Berpikir Menang-Menang merupakan dasar untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang dimulai dengan kepercayaan bahwa kita adalah setara, tidak ada yang di bawah ataupun di atas orang lain. Hidup bukanlah kompetisi. Mungkin kita memang menjumpai bahwa dunia bisnis, sekolah, keluarga, olah raga adalah dunia yang penuh kompetisi, tetapi sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan dunia kompetisi. Hidup sebenarnya adalah relasi dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang bukanlah berpikir tentang Menang-Kalah, Kalah-Menang, atau pun Kalah –Kalah.
1. Win-Lose (Menang – Kalah).
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk :
Menggunakan orang lain , baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
Mencoba untuk berada di atas orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
2. Lose-Win (Kalah – Menang).
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3. lose-Lose (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4. Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
5. Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.
BAGAIMANA BERSIKAP MENANG-MENANG ?
Bagaimana cara berpikir dan bersikap Menang-Menang ? Bagaimana Anda dapat tetap merasa bahagia ketika teman Anda diterima UMPTN sementara Anda tidak ? Bagaimana Anda tidak merasa rendah diri ketika melihat teman Anda mempunyai prestasi gemilang ? Bagaimana Anda dapat menemukan solusi permasalahan yang membuat Anda dan orang lain merasa Menang ?
Ada dua cara yang dapat dilakukan :
Capailah Kemenangan Pribadi
Berpikir Menang-Menang dimulai dari diri Anda sendiri. Jika Anda merasa sangat tidak aman dan tidak berusaha untuk mencapai kemenangan pribadi, maka sangatlah sulit untuk beerpikir Menang-Menang. Anda akan merasa terancam oleh orang lain, Anda akan sulit menghargai dan mengakui keberhasilan orang lain. Anda akan merasa kesulitan untuk tetap berbahagia atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak aman mudah iri pada orang lain.
Hindari Kompetisi dan Perbandingan Tidak Sehat
Ada dua kebiasaan dalam hidup kita yang mirip dengan tumor yaitu yang dapat menggerogoti tubuh kita perlahan-lahan dari dalam. Kebiasaan itu adalah berkompetisi dan membandingkan.
Berkompetisi
Kompetisi dapat menyehatkan. Kompetisi mendorong kita untuk menjadi lebih baik dan berprestasi. Tanpa kompetisi mungkin kita tidak mempunyai kemampuan mendorong diri kita untuk lebih maju. Kompetisi dapat menyehatkan jika Anda berkompetisi dengan diri Anda sendiri atau ketika hal itu membuat Anda merasa tertantang untuk berprestasi atau menjadi yang terbaik. Kompetisi sangatlah tidak menyehatkan jika Anda hanya berpikir tentang diri kemenangan untuk diri sendiri atau ketika Anda merasa harus mengalahkan orang lain untuk mencapai kemenangan. Marilah kita berkompetisi dengan diri sendiri sehingga kita selalu berkembang dan berhentilah berkompetisi demi memperoleh status, popularitas, pacar, posisi, perhatian, dan sebagainya dan mulailah menikmati hidup.
Membandingkan
Membandingkan diri dengan orang lain adalah sesuatu yang buruk. Mengapa ? Sebab masing-masing dari kita mempunyai potensi yang berbeda, baik secara sosial, mental, maupun fisik. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan yang berbeda. Kita dapat saling mengembangkan diri dan melengkapi bersama-sama dengan orang lain . Jadi apa gunanya melihat-lihat orang lain untuk mecari-cari kelemahan atau kelebihan mereka dan membandingkan dengan diri Anda? Berhentilah berbuat demikian dan hilangkan kebiasaan ini. Anda tidak perlu tampil secantik peragawati, Anda tidak perlu sepopuler teman Anda, tampilah sesuai dengan diri Anda yang sebenarnya karena Anda memang berbeda dengan orang lain, Anda adalah unik dan berbahagialan dengan keunikan Anda.
PEMBAHASAN
Pramuka Sebagai Sebuah UKM: Sebuah Organisasi
Pramuka adalah satu-satunya organisasi kepanduan yang ada di Indonesia (AD ART Gerakan Pramuka berdasar Keputusan Presiden No. 238 Tahun 1961). Gerakan Pramuka dimaksudkan untuk menjadi ajang pendidikan non formal di luar lingkungan pendidikan formal. Dengan prinsip dasar metode keramukaan yang dimiliki, Pramuka menjadi sebuah organisasi kepemudaan yang cukup kompleks dan tua di Indonesia.
Di UGM, Pramuka hampir berusia ke-26 tahun (tepatnya pada 15 Juni 2007 nanti). Gugusdepan 1505 putra dan 1506 putri. Di dalamnya terdapat tiga satuan: Pandega, Penggalang, dan siaga. Satuan Pandega berada pada Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi. Sedangkan satuan Penggalang dan Siaga berada pada ambalan dan barung Gadjah Mada dan ribhuwanatunggadewi dan keduanya berpangkalan di SD dan SLTP Budi Mulia Dua Yogyakarta. Dalam hal ini, bahasan yang dikaji oenulis adalah sebatas Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwaatunggadewi (Satuan Pandega).
Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi memiliki struktur laiknya organisasi kepemudaan lainnya. Masing-masing racana memiliki ketua (01), sekretaris (02), Bendahara (03), dan Pemangku Adat (04). Secara fungsional, sekretaris dan bendahara bersama-sama ketua bertanggungjawab atas urusan kelembagaan dan organisasional. Sedangkan pemangku adat bertanggungjawab atas keanggotaan (GBHKR Jangka Pendek RGM dan RTBTD 2006-2007). Tiap-tiap pimpinan dibantu oleh coordinator bidang. Untuk masa bakti Pimpinan Dewan Racana 2006-2007, bidang yang dibentuk adalah Bidang Humas, Bidang Bina Satuan, dan Bidang Kerumahtanggaan.
Konflik dalam Organisasi
Dalam mengambil beberapa kputusan, acapkali sebuah organisasi kesulitan dalam mengakomodir segenap kepentingan anggota di dalamnya. Tidak terkecuali di tubuh UKM Pramuka UGM sendiri. Ketika pimpinan dipegang oleh sebuah kepengurusan baru, maka ada beberapa prosedur dan mekanisme waji yang harus dijalankan. Sesuai dengan prinsip dasar dan metode kepramukaan, maka setiap keputusan yang diambil harus melalui jalan musyawarah untuk mufakat.
Di UKM Pramuka UGM dikenal istilah musyawarah kerja yang merupakan forum tertinggi untuk menentukan program kerja apa saja yang akan dijalankan oleh mereka. Namun sebelum masuk forum tersebut, rancangan program kerja harus dibahas pada forum yang lebh kecil di Pimpinan Dewan Racana (Pengurus Operasional) dan di Dewan Racana (Pengelola secara umum yang telah Pandega). Konflik yang kerap muncul adalah knflik interpersonal dankepentingan golongan. Hal ini sangat wajar mengingat Pramuka merupakan organisasi yang berlandaskan prinsip kekeluargaan.
Selain pada rapat-rapat formal, konflik juga sering muncul pada kehidupan sehari-hari di Sanggar Bakti (semacam secretariat di Gelanggang Mahasiswa UGM). Interaksi yang terjadi setiap Oh, the comfort – the inexpressible comfort of feeling safe with a person – having neither to weigh thoughts nor measure words, but pouring them all right out, just as they are, chaff and grain together; certain that a faithful hand will take and sift them, keep what is worth keeping, and then with the breath of kindness blow the rest away. ~Dinah Craik, A Life for a Life, 1859
hari sangat memungkinkan terjadinya konflik antar anggota. Baik yang sifatnya laten maupun terbuka. Konflik-konflik tersebut kerap mewarnai perjalanan dan kehidupan di Sanggar. Sehingga dinamika yang timbul karenanya seringkali menyulitkan sekaligus menjadi sebuah tantangan bagi pimpinan dalam mengntisipasinya.
Proses dan Jalur Komunikasi
Salah satu proses komunikasi yang dibangun adalah dengan mengadakan pertemuan-pertemuan. Bebeapa pertemuan yang dijalankan sebagai mekanisme komunikasi antara anggotanya antara lain:
a. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Pimpinan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi.
Pertemuan PDR Racana Gadjah Mada dan PDR Racana Tribhuwanatunggadewi dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang dianggap perlu untuk menentukan kebijakan Dewan Racana.
b. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Pimpinan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Bidang Dewan Racana.
c. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Pembina.
d. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Majelis Pembimbing Gugusdepan.
e. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Taribhuwanatunggadewi dengan Sangga Kerja.
f. Pertemuan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi.
g. Pertemuan Dewan Racana.
Dilaksanakan oleh anggota Dewan Racana masing-masing racana, berisi pembahasan pembinaan keanggotaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan masing-masing racana. Untuk pertemuan DR masing-masing racana dapat dilihat pada Laporan Peradatan.
h. Musyawarah Kerja.
Berisi penawaran Program Kerja Racana kepada Warga Racana berdasarkan hasil-hasil Muspan XXV Tahun 2006, serta penetapan hasil dan kebijaksanaan Musyawarah Kerja.
i. Pleno Anggota.
Diselenggarakan dua kali dalam periode kepengurusan sebagai agenda evaluasi ena bulanan.
j. Pertemuan Khusus
Pertemuan khusus adalah pertemuan yang bersifat khusus, yang tidak termasuk dalam pertemuan-pertemuan di atas seperti pertemuan dengan rektorat, pertemuan dengan Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, pertemuan Badan Pengurus Harian Racana se-Kwartir Cabang 1205 Kota Yogyakarta, dan lain-lain.
Manajemen Konflik dan Mekanisme yang Ditawarkan
Dalam menyikapi konflik yang terjadi di internal anggota, personil yang secara fungsional bertanggungjawab adalah pemangku adat. Peran yang biasanya dipegang oleh anggota yang paling tua di antara pimpinan lainnya ini adalah sebagai seseorang yang memediasi konflik yang terjadi. Namun, selain secara personal, terdapat beberapa badan yang dijadikan alat untuk meneyelesaikan konflik jika konflik yang dirasa tidak dapat dilaksanakan oleh pemangku adat secara personal. Badan tersebut adalah pendamping dan Dewan Kehormatan.
Pendamping merupakan seorang kakak (sudah pandega) yang bertugas mendampingi adiknya (calon pandega) untuk menempuh SKU Pand Pendamping, Pemangku Adat, dan Dewan Kehormatan adalah beberapa alat yang digunakan untk melakukan proses komunikasi antaranggota di UKM Pramuka UGM. (GBHKR Jangka Pendek 2006-2007 Gerakan Pramuka Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi).
ega. Sebagai seorang pendamping, ia bertanggungjawab atas perilaku dan watak adik dampingannya itu. Begitu pula dengan konflik yang mungkin muncul dari hubungan tesebut. Dalam hal ini pendamping berfungsi laiknya orangtua yang mengawasi dan memantau perkembangan kepribadian dan segala macam kegiatan adik dampingannya itu. Maka tak jarang seorang dampingan seringkali memiliki karakter yang sama dengan pendampingnya. Dengan pendampingnya inilah seorang anggota bercerita dan berkomunikasi lebih intens dibandingkan anggota atau kakak lainnya. Seorang dampingan dan pendamping memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi bila dibandingkan anggota lainnya.
Selain itu juga terdapat Badan Kehormatan. Badan Dewan Kehormatan sedikitnya dihadiri oleh Ketua Racana, Pemangku Adat, dan Pembina selaku penasihat. Bahkan jika dipandang perlu, dapat pula dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Racana (yang telah Pandega).
Konflik atau permasalahan yang dibwah ke badan ini adalah yang menyangkut persoalan serius terkait pelanggaran Dasa Dharma dan Tri Satya Gerakan Pramuka, Adat Racana, GBHKR, AD/ ART Gerakan Pramuka, maupun konflik laten antarpersonal yang sulit dipecahkan. Sementara posisi Pembina dalam badan ini adalah sebagai penasihat yang hanya dimintai bantuan ketika persoalan dipandang sulit diselesaikan.
PENUTUP
IV. Kesimpulan
Beberapa persoalan dan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
a. UKM Pramuka UGM merupakan salah satu organisasi yang memiliki struktur yang cukip kompleks dengan kelengkapan unsure pimpinan dan koordinatir bidang.
b. UKM Pramuka UGM memiliki separngkat aturan yang mengikat yang menjadi pedoma operasional pelaksanaan organisasinya seperti AD/ART, SK tentang Pola dan Mekanisme Pembinaan Pramuka Penegak, dan GBHKR Jangka Panjang maupun Jangka Pendek.
c. Disebut sebagai organisasi karena memiliki misi dan visi yang jelas yang tertuang di GBHKR dan Program Kerja.
d. Dari struktur yang terbangun jelas bahwa mekanisme komunikasi dijalankan dengan sangat dengan menggunkan forum-forum yang sudah ada di berbagai pertemuan dan rapat.
e. Manajemen konflik yang dilakukan melalui proses yang cukup panjang di mana segenap unsure dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik tersebut.
Daftar Pustaka
Fiske, John. (1999). Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London: Guernsey Press Co Ltd
Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group
Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill
Rajiyem. (2004). Rencana Program Kegiatan dan Pembelajaran Semester Mata Kuliah Komunikasi Organisasi. Yogykarta: Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
[ Once the realization is accepted that even between the closest human beings infinite distances continue, a wonderful living side by side can grow, if they succeed in loving the distance between them which makes it possible for each to see the other whole against the sky. ~Rainer Maria Rilke ~ ]
Manajemen Konflik dalam Organisasi
(Studi Kasus Proses Komunikasi dalam Organisasi UKM Pramuka UGM)
Organisasi merupakan wadah di mana banyak orang berkumpul dan saling berinteraksi. Organisasi juga terbentuk karena adanya kesamaan misi dan visi yang ingin dicapai. Dari sini setiap individu atau unsur yang terdapat di dalam organisasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung harus memegang teguh apa yang menjadi pedoman dan prinsip di dalam organisasi tersebut. Sehingga untuk mencapai visi dan menjalankan misi yang digariskan dapat berjalan dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, di dalam organisasi kerap terjadi konflik. Baik konflik internal maupun konflik eksternal antar organisasi. Konflik yang terjadi kadang kala terjadi karena permasalahan yang sangat remeh temeh. Namun justru dengan hal yang remeh temeh itulah sebuah organisasi dapat bertahan lama atau tidak. Mekanisme ataupun manajemen konflik yang diambil pun sangat menentukan posisi organisasi sebagai lembaga yang menjadi payungnya. Kebijakan-kebijakan dan metode komunikasi yang diambil sangat memengaruhi keberlangsungan sebuah organisasi dalam memertahankan anggoa dan segenap komponen di dalamnya.
Salah satu organisasi tersebut adalah UKM Pramuka UGM. Unit kegiatan Mahasiswa yang hampir mencapai usia ke-26 tahun ini ternyata memiliki mekanisme unik dalam merespon konflik yang ada di tubuhnya. Baik konflik internal anggota, anggota-pimpinan, maupun antar pimpinan itu sendiri. Sebagai salah satu organisasi kepemudaan, Pramuka UGM cukup menjadi contoh sederhana bagaimana sebuah organisasi mampu memanaj sebuah persoalan dengan baik. Dengan seperangkat norma yang ia miliki UKM Pramuka UGM mampu mengelola sumber daya yang selama ini menjadi potensi bagi sebuah organisasi.
Barangkat dari sinilah tulisan ini berawal. Melihat organisasi mahasiswa rentan akan konflik, dengan pertimbangan factor emosi dan stabilitas diri, maka penulis mencoba mengangkat tema bagaimana mahasiswa-dalam hal ini pengurus organisasi-memanaj konflik yang kerap mewarnai perjalanan organisasi mereka. Apakah proses komunikasi yang dijalin telah berjalan dengan baik laiknya sebuah organisasi ekonomi ataupun organisasi keluarga? Bagaimana proses komunikasi itu berjalan? Bagaimana kebijakan dan respon yang diambil tatkala konflik terjadi di sana? Tulisan ini berusaha memaparkannya.
II. Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses komunikasi yang terjadai dalam organisasi Pramuka?
b. Bagaimana manajemen konflik dalam organisasi UKM Pramuka UGM?
III. Kerangka Teori
Organisasi
a. Organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi lewat hirarki otoritas dan tanggungjawab (Schein). Karakterisitik organisasi menurut Schein meliputi : memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian yang lain untuk mengkoordinasikan aktivitas didalamnya.
b. Organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Kochler).
c. Organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi rumusan, tentang organisasi ini menyangkut 3 aspek penting :
i. organisasi sebagai suatu sistem
ii. terdapat koordinasi aktivitas
iii. mencapai tujuan bersama
Komponen organisasi
a. Struktur sosial : struktur normatif + struktur tingkah laku
b. partisipan : kontribusi individu pada organisasi
c. Tujuan
d. Teknologi : mesin, ketrampilan, teknik dari partisipan
Sifat organisasi
a. Dinamis, penyebabnya :
§ perubahan ekonomi
§ perubahan pasaran
§ perubahan kondisi sosial
§ perubahan teknologi
b. Memerlukan informasi proses komunikasi
c. Mempunyai tujuan
d. Terstruktur
Ada yang menambahkan faktor yang sangat berpengaruh bagi berlangsungnya suatu organisasi yakni : a. SDM, b. Ketrampilan, c. Energi, d. Lingkungan.
Fungsi Organisasi
a. Memenuhi kebutuhan pokok organisasi
gedung, modal, bahan mentah, fasilitas
b. Mengembangkan tugas dan tanggungjawab
ke dalam organisasi dan lingkungan
c. Memproduksi barang/jasa/gagasan
d. Mempengaruhi orang banyak
Komunikasi dalam organisasi
Fungsi komunikasi dalam organisasi adalah :
1. Sebagai pembentuk iklim organisasi yakni yang menggambarkan suasana kerja organisasi atau sejumlah keseluruhan perasaan dan sikap orang-orang yang bekerja di dalam organisasi.
2. Membangun budaya organisasi yakni nilai dan kepercayaan yang menjadi titik sentral organisasi,
Tujuan komunikasi dalam organisasi adalah mutual understanding, dalam arti mencoba mencari saling sepemahaman antara anggota-anggota dalam organisasi tersebut.
Lingkup kajian komunikasi organisasi adalah komunikasi organisasi yang terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan informal dan berlangsung dalam suatu jaringan [Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Termasuk dalam bidang ini adalah : komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi dari atasan ke bawahan atau sebaliknya dari bawahan kepada atasan, komunikasi horisontal, ketrampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan komunikasi evaluasi program (Redding & Sanborn). ]
yang lebih besar dari komunikasi kelompok.
Pengertian Komunikasi Organisasi
1. Komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi.(Katz & Kahn)
2. Komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan eksternal (Zelko & Dance)
3. Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. (Goldhaber)
4. Komunikasi organisasi sebagai arus data yang melayani komunikasi organisasi dan interkomunikasi dalam beberapa cara. (Thayer). Ada tiga sistem dalam komunikasi organisasi :
a) berkenaan dengan kerja organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau beroperasinya organisasi.
b) berkenaan dengan pengaturan organisasi seperti perintah-perintah, aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk
c) berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan organisasi.
6. Bidang komunikasi organisasi termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi (Greenbaunm).
Konflik
Konflik (pertentangan atau perselisihan) adalah sesuatu yang tidak pernah dapat dihindari, yang terjadi kapan saja sepanjang hidup dan juga di dalam leadership. Penyelesaian konflik yang baik sangat penting dalam meningkatkan ketrampilan sebagai leadership dan memindahkan praktek manajemen dari paham otoritarian (kepatuhan pada seseorang) ke arah pendekatan kooperatif yang menekankan pada persuasi rasional, kolaborasi, kompromi dan penyelesaian yang saling menguntungkan.
Kemungkinan efek dari konflik
Kemungkinan efek positif
Kemungkinan efek negatif
Meningkatkan usaha
Merasa mendapat angin
Saling pengertian lebih baik satu dengan yang lain
Mendorong terjadinya perubahan
Pengambilan keputusan yang lebih baik
Isu-isu kunci muncul ke permukaan
Pemikiran kritis muncul
Mengurangi produktivitas
Penurunan komunikasi
Perasaan negatif
Stres
Pengambilan keputusan yang tidak baik
Penurunan bentuk kerjasama
Muncul kegiatan fitnah
Konflik organisasi disebabkan langkanya sumberdaya.
Anne Hubel & Caryn Medved:
Penyebab konflik: distorsi informasi akibat modifikasi pesan, ambiguitas akibat penggunaan bahasa yang tidak jelas dan kebohongan.
Manajemen Konflik dalam Komunikasi
Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik.
Terdapat 5 kecenderungan:
• Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
• Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
• Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian
• Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan
• Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-sama.
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :
Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
INTERAKSI WIN –WIN
Berpikir Menang-Menang merupakan sikap hidup, suatu kerangka berpikir yang menyatakan : “Saya dapat menang, dan demikian juga Anda, kita bisa menang”. Berpikir Menang-Menang merupakan dasar untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang dimulai dengan kepercayaan bahwa kita adalah setara, tidak ada yang di bawah ataupun di atas orang lain. Hidup bukanlah kompetisi. Mungkin kita memang menjumpai bahwa dunia bisnis, sekolah, keluarga, olah raga adalah dunia yang penuh kompetisi, tetapi sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan dunia kompetisi. Hidup sebenarnya adalah relasi dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang bukanlah berpikir tentang Menang-Kalah, Kalah-Menang, atau pun Kalah –Kalah.
1. Win-Lose (Menang – Kalah).
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk :
Menggunakan orang lain , baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
Mencoba untuk berada di atas orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
2. Lose-Win (Kalah – Menang).
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3. lose-Lose (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4. Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
5. Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.
BAGAIMANA BERSIKAP MENANG-MENANG ?
Bagaimana cara berpikir dan bersikap Menang-Menang ? Bagaimana Anda dapat tetap merasa bahagia ketika teman Anda diterima UMPTN sementara Anda tidak ? Bagaimana Anda tidak merasa rendah diri ketika melihat teman Anda mempunyai prestasi gemilang ? Bagaimana Anda dapat menemukan solusi permasalahan yang membuat Anda dan orang lain merasa Menang ?
Ada dua cara yang dapat dilakukan :
Capailah Kemenangan Pribadi
Berpikir Menang-Menang dimulai dari diri Anda sendiri. Jika Anda merasa sangat tidak aman dan tidak berusaha untuk mencapai kemenangan pribadi, maka sangatlah sulit untuk beerpikir Menang-Menang. Anda akan merasa terancam oleh orang lain, Anda akan sulit menghargai dan mengakui keberhasilan orang lain. Anda akan merasa kesulitan untuk tetap berbahagia atas keberhasilan orang lain. Orang yang tidak aman mudah iri pada orang lain.
Hindari Kompetisi dan Perbandingan Tidak Sehat
Ada dua kebiasaan dalam hidup kita yang mirip dengan tumor yaitu yang dapat menggerogoti tubuh kita perlahan-lahan dari dalam. Kebiasaan itu adalah berkompetisi dan membandingkan.
Berkompetisi
Kompetisi dapat menyehatkan. Kompetisi mendorong kita untuk menjadi lebih baik dan berprestasi. Tanpa kompetisi mungkin kita tidak mempunyai kemampuan mendorong diri kita untuk lebih maju. Kompetisi dapat menyehatkan jika Anda berkompetisi dengan diri Anda sendiri atau ketika hal itu membuat Anda merasa tertantang untuk berprestasi atau menjadi yang terbaik. Kompetisi sangatlah tidak menyehatkan jika Anda hanya berpikir tentang diri kemenangan untuk diri sendiri atau ketika Anda merasa harus mengalahkan orang lain untuk mencapai kemenangan. Marilah kita berkompetisi dengan diri sendiri sehingga kita selalu berkembang dan berhentilah berkompetisi demi memperoleh status, popularitas, pacar, posisi, perhatian, dan sebagainya dan mulailah menikmati hidup.
Membandingkan
Membandingkan diri dengan orang lain adalah sesuatu yang buruk. Mengapa ? Sebab masing-masing dari kita mempunyai potensi yang berbeda, baik secara sosial, mental, maupun fisik. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan yang berbeda. Kita dapat saling mengembangkan diri dan melengkapi bersama-sama dengan orang lain . Jadi apa gunanya melihat-lihat orang lain untuk mecari-cari kelemahan atau kelebihan mereka dan membandingkan dengan diri Anda? Berhentilah berbuat demikian dan hilangkan kebiasaan ini. Anda tidak perlu tampil secantik peragawati, Anda tidak perlu sepopuler teman Anda, tampilah sesuai dengan diri Anda yang sebenarnya karena Anda memang berbeda dengan orang lain, Anda adalah unik dan berbahagialan dengan keunikan Anda.
PEMBAHASAN
Pramuka Sebagai Sebuah UKM: Sebuah Organisasi
Pramuka adalah satu-satunya organisasi kepanduan yang ada di Indonesia (AD ART Gerakan Pramuka berdasar Keputusan Presiden No. 238 Tahun 1961). Gerakan Pramuka dimaksudkan untuk menjadi ajang pendidikan non formal di luar lingkungan pendidikan formal. Dengan prinsip dasar metode keramukaan yang dimiliki, Pramuka menjadi sebuah organisasi kepemudaan yang cukup kompleks dan tua di Indonesia.
Di UGM, Pramuka hampir berusia ke-26 tahun (tepatnya pada 15 Juni 2007 nanti). Gugusdepan 1505 putra dan 1506 putri. Di dalamnya terdapat tiga satuan: Pandega, Penggalang, dan siaga. Satuan Pandega berada pada Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi. Sedangkan satuan Penggalang dan Siaga berada pada ambalan dan barung Gadjah Mada dan ribhuwanatunggadewi dan keduanya berpangkalan di SD dan SLTP Budi Mulia Dua Yogyakarta. Dalam hal ini, bahasan yang dikaji oenulis adalah sebatas Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwaatunggadewi (Satuan Pandega).
Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi memiliki struktur laiknya organisasi kepemudaan lainnya. Masing-masing racana memiliki ketua (01), sekretaris (02), Bendahara (03), dan Pemangku Adat (04). Secara fungsional, sekretaris dan bendahara bersama-sama ketua bertanggungjawab atas urusan kelembagaan dan organisasional. Sedangkan pemangku adat bertanggungjawab atas keanggotaan (GBHKR Jangka Pendek RGM dan RTBTD 2006-2007). Tiap-tiap pimpinan dibantu oleh coordinator bidang. Untuk masa bakti Pimpinan Dewan Racana 2006-2007, bidang yang dibentuk adalah Bidang Humas, Bidang Bina Satuan, dan Bidang Kerumahtanggaan.
Konflik dalam Organisasi
Dalam mengambil beberapa kputusan, acapkali sebuah organisasi kesulitan dalam mengakomodir segenap kepentingan anggota di dalamnya. Tidak terkecuali di tubuh UKM Pramuka UGM sendiri. Ketika pimpinan dipegang oleh sebuah kepengurusan baru, maka ada beberapa prosedur dan mekanisme waji yang harus dijalankan. Sesuai dengan prinsip dasar dan metode kepramukaan, maka setiap keputusan yang diambil harus melalui jalan musyawarah untuk mufakat.
Di UKM Pramuka UGM dikenal istilah musyawarah kerja yang merupakan forum tertinggi untuk menentukan program kerja apa saja yang akan dijalankan oleh mereka. Namun sebelum masuk forum tersebut, rancangan program kerja harus dibahas pada forum yang lebh kecil di Pimpinan Dewan Racana (Pengurus Operasional) dan di Dewan Racana (Pengelola secara umum yang telah Pandega). Konflik yang kerap muncul adalah knflik interpersonal dankepentingan golongan. Hal ini sangat wajar mengingat Pramuka merupakan organisasi yang berlandaskan prinsip kekeluargaan.
Selain pada rapat-rapat formal, konflik juga sering muncul pada kehidupan sehari-hari di Sanggar Bakti (semacam secretariat di Gelanggang Mahasiswa UGM). Interaksi yang terjadi setiap Oh, the comfort – the inexpressible comfort of feeling safe with a person – having neither to weigh thoughts nor measure words, but pouring them all right out, just as they are, chaff and grain together; certain that a faithful hand will take and sift them, keep what is worth keeping, and then with the breath of kindness blow the rest away. ~Dinah Craik, A Life for a Life, 1859
hari sangat memungkinkan terjadinya konflik antar anggota. Baik yang sifatnya laten maupun terbuka. Konflik-konflik tersebut kerap mewarnai perjalanan dan kehidupan di Sanggar. Sehingga dinamika yang timbul karenanya seringkali menyulitkan sekaligus menjadi sebuah tantangan bagi pimpinan dalam mengntisipasinya.
Proses dan Jalur Komunikasi
Salah satu proses komunikasi yang dibangun adalah dengan mengadakan pertemuan-pertemuan. Bebeapa pertemuan yang dijalankan sebagai mekanisme komunikasi antara anggotanya antara lain:
a. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Pimpinan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi.
Pertemuan PDR Racana Gadjah Mada dan PDR Racana Tribhuwanatunggadewi dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang dianggap perlu untuk menentukan kebijakan Dewan Racana.
b. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Pimpinan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Bidang Dewan Racana.
c. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Pembina.
d. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi dengan Majelis Pembimbing Gugusdepan.
e. Pertemuan Pimpinan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Racana Taribhuwanatunggadewi dengan Sangga Kerja.
f. Pertemuan Dewan Racana Racana Gadjah Mada dan Dewan Racana Racana Tribhuwanatunggadewi.
g. Pertemuan Dewan Racana.
Dilaksanakan oleh anggota Dewan Racana masing-masing racana, berisi pembahasan pembinaan keanggotaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan masing-masing racana. Untuk pertemuan DR masing-masing racana dapat dilihat pada Laporan Peradatan.
h. Musyawarah Kerja.
Berisi penawaran Program Kerja Racana kepada Warga Racana berdasarkan hasil-hasil Muspan XXV Tahun 2006, serta penetapan hasil dan kebijaksanaan Musyawarah Kerja.
i. Pleno Anggota.
Diselenggarakan dua kali dalam periode kepengurusan sebagai agenda evaluasi ena bulanan.
j. Pertemuan Khusus
Pertemuan khusus adalah pertemuan yang bersifat khusus, yang tidak termasuk dalam pertemuan-pertemuan di atas seperti pertemuan dengan rektorat, pertemuan dengan Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, pertemuan Badan Pengurus Harian Racana se-Kwartir Cabang 1205 Kota Yogyakarta, dan lain-lain.
Manajemen Konflik dan Mekanisme yang Ditawarkan
Dalam menyikapi konflik yang terjadi di internal anggota, personil yang secara fungsional bertanggungjawab adalah pemangku adat. Peran yang biasanya dipegang oleh anggota yang paling tua di antara pimpinan lainnya ini adalah sebagai seseorang yang memediasi konflik yang terjadi. Namun, selain secara personal, terdapat beberapa badan yang dijadikan alat untuk meneyelesaikan konflik jika konflik yang dirasa tidak dapat dilaksanakan oleh pemangku adat secara personal. Badan tersebut adalah pendamping dan Dewan Kehormatan.
Pendamping merupakan seorang kakak (sudah pandega) yang bertugas mendampingi adiknya (calon pandega) untuk menempuh SKU Pand Pendamping, Pemangku Adat, dan Dewan Kehormatan adalah beberapa alat yang digunakan untk melakukan proses komunikasi antaranggota di UKM Pramuka UGM. (GBHKR Jangka Pendek 2006-2007 Gerakan Pramuka Racana Gadjah Mada dan Racana Tribhuwanatunggadewi).
ega. Sebagai seorang pendamping, ia bertanggungjawab atas perilaku dan watak adik dampingannya itu. Begitu pula dengan konflik yang mungkin muncul dari hubungan tesebut. Dalam hal ini pendamping berfungsi laiknya orangtua yang mengawasi dan memantau perkembangan kepribadian dan segala macam kegiatan adik dampingannya itu. Maka tak jarang seorang dampingan seringkali memiliki karakter yang sama dengan pendampingnya. Dengan pendampingnya inilah seorang anggota bercerita dan berkomunikasi lebih intens dibandingkan anggota atau kakak lainnya. Seorang dampingan dan pendamping memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi bila dibandingkan anggota lainnya.
Selain itu juga terdapat Badan Kehormatan. Badan Dewan Kehormatan sedikitnya dihadiri oleh Ketua Racana, Pemangku Adat, dan Pembina selaku penasihat. Bahkan jika dipandang perlu, dapat pula dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Racana (yang telah Pandega).
Konflik atau permasalahan yang dibwah ke badan ini adalah yang menyangkut persoalan serius terkait pelanggaran Dasa Dharma dan Tri Satya Gerakan Pramuka, Adat Racana, GBHKR, AD/ ART Gerakan Pramuka, maupun konflik laten antarpersonal yang sulit dipecahkan. Sementara posisi Pembina dalam badan ini adalah sebagai penasihat yang hanya dimintai bantuan ketika persoalan dipandang sulit diselesaikan.
PENUTUP
IV. Kesimpulan
Beberapa persoalan dan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
a. UKM Pramuka UGM merupakan salah satu organisasi yang memiliki struktur yang cukip kompleks dengan kelengkapan unsure pimpinan dan koordinatir bidang.
b. UKM Pramuka UGM memiliki separngkat aturan yang mengikat yang menjadi pedoma operasional pelaksanaan organisasinya seperti AD/ART, SK tentang Pola dan Mekanisme Pembinaan Pramuka Penegak, dan GBHKR Jangka Panjang maupun Jangka Pendek.
c. Disebut sebagai organisasi karena memiliki misi dan visi yang jelas yang tertuang di GBHKR dan Program Kerja.
d. Dari struktur yang terbangun jelas bahwa mekanisme komunikasi dijalankan dengan sangat dengan menggunkan forum-forum yang sudah ada di berbagai pertemuan dan rapat.
e. Manajemen konflik yang dilakukan melalui proses yang cukup panjang di mana segenap unsure dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik tersebut.
Daftar Pustaka
Fiske, John. (1999). Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London: Guernsey Press Co Ltd
Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group
Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill
Rajiyem. (2004). Rencana Program Kegiatan dan Pembelajaran Semester Mata Kuliah Komunikasi Organisasi. Yogykarta: Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
Sunday, June 7, 2009
Gaya Bahasa
“Cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkanjiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa”. (Tarigan)
Aliterasi
Gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan pada suatu atau beberapa kata.
Contoh: Kau keraskan kalbunya
Asonansi
Gaya bahasa repetisi yaitu pengulangan vokal pada suatu atau beberapa kata.
Contoh: mati api di dalam hati
Perumpamaan atau Simile
Perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan tetapi dianggap sama. Gaya bahasa ini ditandai dengan pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
Contoh: Cantik laksana bidadari
Metafora
Gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hala secara implisit
Contoh: Aku adalah burung yang terbang bebas
Personifikasi
Gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa atau pad aide yang abstrak.
Contoh: Tugas menantikan kita
Depersonifikasi
Gaya bahasa yang melekatkan sifat benda tak bernyawa pada manusia atau insane. Gaya bahasa ini ditandai dengan pemakaian kata: jikalau, seumpama, bila, dll.
Contoh: Kalau engkau jadi bunga, aku jadi tangkainya
Antitesis
Gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan yang dinyatakan dengan kata-kata yang berlawanan.
Contoh: Dia tertawa di atas penderitaanku
Hiperbola
Gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhebat, meningkatakan kesan dan pengaruhnya.
Contoh: Angkatlah pandang matamu
ke swarga loka
ke sejuta lilin alit
yang gemetar
(Rendra)
Litotes
Majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh: Apa yang kami berikan memang tidak berarti bagimu
Ironi
Sejenis majas yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarya.
Contoh: Bagus benar rapormu, banyak merahnya
Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh: Aku kesepian di tengah keramaian ini.
Klimaks
Sejenis majas yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau ungkapan sebelumnya.
Contoh: Hidup kita diharapkan berguna bagi saudara, orang tua, nusa bangsa, dan Negara.
Antiklimaks
Pernyataan yang berisi gagasan-gagasan yang disusun dengan urutan dari yang penting ke yang tidak penting.
Contoh: Kampanye dicanangkan mulai dari pusat ke daerah, sampai ke pelosok desa.
Eufimisme
Ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang lebih kasar.
Contoh: kamar kecil = WC
“Cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkanjiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa”. (Tarigan)
Aliterasi
Gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan pada suatu atau beberapa kata.
Contoh: Kau keraskan kalbunya
Asonansi
Gaya bahasa repetisi yaitu pengulangan vokal pada suatu atau beberapa kata.
Contoh: mati api di dalam hati
Perumpamaan atau Simile
Perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan tetapi dianggap sama. Gaya bahasa ini ditandai dengan pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
Contoh: Cantik laksana bidadari
Metafora
Gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hala secara implisit
Contoh: Aku adalah burung yang terbang bebas
Personifikasi
Gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa atau pad aide yang abstrak.
Contoh: Tugas menantikan kita
Depersonifikasi
Gaya bahasa yang melekatkan sifat benda tak bernyawa pada manusia atau insane. Gaya bahasa ini ditandai dengan pemakaian kata: jikalau, seumpama, bila, dll.
Contoh: Kalau engkau jadi bunga, aku jadi tangkainya
Antitesis
Gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan yang dinyatakan dengan kata-kata yang berlawanan.
Contoh: Dia tertawa di atas penderitaanku
Hiperbola
Gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekankan, memperhebat, meningkatakan kesan dan pengaruhnya.
Contoh: Angkatlah pandang matamu
ke swarga loka
ke sejuta lilin alit
yang gemetar
(Rendra)
Litotes
Majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh: Apa yang kami berikan memang tidak berarti bagimu
Ironi
Sejenis majas yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarya.
Contoh: Bagus benar rapormu, banyak merahnya
Paradoks
Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh: Aku kesepian di tengah keramaian ini.
Klimaks
Sejenis majas yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau ungkapan sebelumnya.
Contoh: Hidup kita diharapkan berguna bagi saudara, orang tua, nusa bangsa, dan Negara.
Antiklimaks
Pernyataan yang berisi gagasan-gagasan yang disusun dengan urutan dari yang penting ke yang tidak penting.
Contoh: Kampanye dicanangkan mulai dari pusat ke daerah, sampai ke pelosok desa.
Eufimisme
Ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang lebih kasar.
Contoh: kamar kecil = WC
Saturday, June 6, 2009
Perundang-undangan:
* Kepmendiknas no 056/P/2007 tentang Pembentukan Konsorsium Sertifikasi Guru
* Permendiknas no 36 th 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Guru
* Permendiknas no 40 th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan
* Permendiknas no 47 th 2007 tentang Penetapan Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya
* Permendiknas no 72 th 2008 tentang Tunjangan Profesi Bagi Guru Tetap Bukan Pegawai Negeri Sipil yang Belum Memiliki Jabatan Fungsional Guru
* Permendiknas no 8 th 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan
* Permendiknas no 10 th 2009Permendiknas no 10 th 2009 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
* Kepmendiknas no 018/P/2009 tentang Penetapan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan Bagi Guru SD Lulusan S-1 PGSD Berasrama
* PP no 74 th 2008 tentang Guru
Keterangan: Permendiknas no 18 th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Penilaian Portofolio dinyatakan tidak berlaku lagi.
Panduan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2009
* Buku 1: Pedoman penetapan peserta
* Buku 2: Petunjuk teknis pelaksanaan sertifikasi
* Buku 3: Pedoman penyusunan portofolio
* Suplemen buku 3: Pedoman penyusunan portofolio (Khusus guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan)
* Buku 4: Petunjuk teknis sertifikasi guru untuk guru
* Buku 5: Rambu-rambu pelaksanaan PLPG
* Format A1 (dalam bentuk: PDF dan DOC)
* Leaflet Sertifikasi Guru dalam Jabatan tahun 2009
* Permendiknas no 36 th 2007 tentang Penyaluran Tunjangan Profesi Guru
* Permendiknas no 40 th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan
* Permendiknas no 47 th 2007 tentang Penetapan Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya
* Permendiknas no 72 th 2008 tentang Tunjangan Profesi Bagi Guru Tetap Bukan Pegawai Negeri Sipil yang Belum Memiliki Jabatan Fungsional Guru
* Permendiknas no 8 th 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan
* Permendiknas no 10 th 2009Permendiknas no 10 th 2009 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
* Kepmendiknas no 018/P/2009 tentang Penetapan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Penyelenggara Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan Bagi Guru SD Lulusan S-1 PGSD Berasrama
* PP no 74 th 2008 tentang Guru
Keterangan: Permendiknas no 18 th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Penilaian Portofolio dinyatakan tidak berlaku lagi.
Panduan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2009
* Buku 1: Pedoman penetapan peserta
* Buku 2: Petunjuk teknis pelaksanaan sertifikasi
* Buku 3: Pedoman penyusunan portofolio
* Suplemen buku 3: Pedoman penyusunan portofolio (Khusus guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan)
* Buku 4: Petunjuk teknis sertifikasi guru untuk guru
* Buku 5: Rambu-rambu pelaksanaan PLPG
* Format A1 (dalam bentuk: PDF dan DOC)
* Leaflet Sertifikasi Guru dalam Jabatan tahun 2009
Majas / Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia
Majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni majas perulangan, pertentangan, perbandingan dan pertautan. Dalam artikel ini hanya dijelaskan perbandingan dan pertentangan.
1. Gaya bahasa perbandingan
A. Majas Metafora
Majas metafora adalah gabungan dua hal yang berbeda membentuk suatu pengertian yang baru. Contoh : raja siang, kambing hitam, dll.
B. Majas Alegori
Majas alegori adalah cerita yang digunakan sebagai lambang yang digunakan untuk pendidikan. Contoh : anjing dan kucing, kelinci dan kura-kura, dsb
C. Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang membuat banda mati seolah-olah hidup memiliki sifat-sifat manusia. Contoh :
- Kereta api tua itu meraung-raung di tengah kesunyian malam jumat pahing.
- awan menari-nari di angkasa
D. Majas Perumpamaan
Majas perumpamaan adalah suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Contoh :
- Bagaikan harimau pulang kelaparan
- Seperti manyulam di kain lapuk
E. Majas Antilesis
Majas antilesis adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Contoh :
- Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan yang menyakitkan.
2. Gaya Bahasa Pertentangan
A. Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah suatu gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan. Contoh :
- Ibu itu terkejut setengah mati ketika mendengar anaknya tidak lulus ujian nasional.
B. Majas Ironi
Majas ironi adalah gaa bahasa yang bersifat menindir dengan halus. Contoh :
- Pandai sekali kau baru datang ketika rapat mau selesai
C. Majas Litotes
Majas litotes adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu yang baik menjadi bersifat negatif. Contoh :
- Mampirlah ke gubuk saya! (padahal rumahnya besar dan mewah)
* bahasa indonesia
1. Gaya bahasa perbandingan
A. Majas Metafora
Majas metafora adalah gabungan dua hal yang berbeda membentuk suatu pengertian yang baru. Contoh : raja siang, kambing hitam, dll.
B. Majas Alegori
Majas alegori adalah cerita yang digunakan sebagai lambang yang digunakan untuk pendidikan. Contoh : anjing dan kucing, kelinci dan kura-kura, dsb
C. Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang membuat banda mati seolah-olah hidup memiliki sifat-sifat manusia. Contoh :
- Kereta api tua itu meraung-raung di tengah kesunyian malam jumat pahing.
- awan menari-nari di angkasa
D. Majas Perumpamaan
Majas perumpamaan adalah suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Contoh :
- Bagaikan harimau pulang kelaparan
- Seperti manyulam di kain lapuk
E. Majas Antilesis
Majas antilesis adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Contoh :
- Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan yang menyakitkan.
2. Gaya Bahasa Pertentangan
A. Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah suatu gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan. Contoh :
- Ibu itu terkejut setengah mati ketika mendengar anaknya tidak lulus ujian nasional.
B. Majas Ironi
Majas ironi adalah gaa bahasa yang bersifat menindir dengan halus. Contoh :
- Pandai sekali kau baru datang ketika rapat mau selesai
C. Majas Litotes
Majas litotes adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu yang baik menjadi bersifat negatif. Contoh :
- Mampirlah ke gubuk saya! (padahal rumahnya besar dan mewah)
* bahasa indonesia
UNGKAPAN
Ungkapan adalah kata atau kelompok kaya yang memiliki makna kiasan, konotatif, simbolis.Contoh : 1. Perusahaan itu gulung tikar karena krisis ekonomi yang berkepanjangan.2. Paijo selalu menjadi kambing hitam di kelasnya.3. Lelaki setengah baya itu ternyata mata keranjang.
PERIBAHASA
Peribahasa adalah satuan gramatikal (bisa frase, klausa, atau kalimat) yang memiliki bentuk dan makna tetap.Contoh :1. Bagai air di daun talas.2. Seperti anak ayam kehilangan induknya.3. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
MAJAS
Majas atau gaya bahasa adalah bahasa kias yang digunakan untuk mempertajam kamsud.
A. Majas perbandingan
1. Personifikasi, yaitu majas yang membandingkan benda yang tidak bernyawa seolah-olah dapat bertindak seperti manusia.
Contoh :a. Bulan menangis menyaksikan manusia saling bunuh.b. Daun-daun memuji angin yang telah menyapanya.
1. Metafora, yaitu membandingkan dua hal/benda tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh :a. Bumi itu perempuan jalang.b. Tuhan adal;ah warga negara yang paling modern.
1. Simile/Perumpamaan, yaitu membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung.
Contoh :a. Wajahnya bagai bola api.b. Tatapannya laksana matahari.c. Seperti angin aku melayang kian kemari.
1. Alegori, membandingkan hal/benda secara berkelanjutan membentuk sebuah cerita.
Contoh :Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
B. Majas pertentangan
1. Hiperbola, mempertentangkan secara berlebih-lebihan.
Contoh :a. Saya telah berusaha setengah mati menyelesaikan soal itu.b. Kekayaannya selangit.
1. Litotes, mempertentangkaan dengan merendahkan diri.
Contoh :a. Kalau sempat mampirlah ke gubukku.b. Ah, saya ini khan cuma kacung.
1. Ironi, mempertentangkan yang bertujuan menyindir dengan menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan fakta yang sebenarnya.
Contoh :a. Hebat betul, pertanyaan semudah itu tidak bisa kaujawab.b. Rajin betul, jam sepuluh baru datang!
1. Oksimoron, mempertentangkan secara berlawanan bagian demi bagian.
Contoh :a. Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.b. Kesedihan adalah awal kebahagiaan.
C. Majas pertautan
1. Metonimia, menghubungkan ciri benda satu dengan benda lain yang disebutkan.
Contoh :a. Kakakku sedang membaca Pramudya Ananta Toer.b. Belikan aku gudang garam filter.
1. Sinekdoke, mernyebut sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk sebagian (totum pro part).
Contoh :a. SMA Stella Duce 2 Yogyakarta berhasil masuk final pertandingan basket.b. Roda duanya mogok.
1. Alusio, mempertautkan hal dengan peribahasa.
Contoh :a. Kalau kita menggunakan sebaiknya hemat jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.b. Sebaiknya kita menggunakan ilmu padi dalam kehidupan kita, semakin berisi semakin tunduk.
1. Inversi, mengubah susunan kalimat.
Contoh :a. Hancurlah hatinya menyaksikan kekasihnya berpaling ke lelaki lain.b. Merahlah mukanya mendengar caci maki sahabat karibnya.
D. Majas perulangan
1. Aliterasi, mengulang bunyi konsonan yang sama.
Contoh :a. Malam kelam suram hatiku semakin muram.b. Gadis manis menangis hatinya teriris iris.
1. Antanaklaris, memgulang kata yang sama dengan arti yang berbeda.
Contoh :a. Buah hatinya menjadi buah bibir tetangganya.b. Hatinya memintanya berhati-hati.
1. Repetisi, mengulang-ulang kata, frase, atau klausa yang dipentingkan.
Contoh :a. Di Stella Duce 2 Yogyakarta ia mulai meraih prestasi, di Stella Duce 2 Yogyakarta ia menemukan tambatan hati, di Stella Duce 2 Yogyakarta pula ia menunggu hari tuanya.b. Tidak ada kata lain selain berjuang, berjuang, dan terus berjuang.
1. Paralelisme, mengulang ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna.
Contoh :a. Sunyi itu duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu mati.b. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup adalah kesia-siaan.
PERIBAHASA
Peribahasa adalah satuan gramatikal (bisa frase, klausa, atau kalimat) yang memiliki bentuk dan makna tetap.Contoh :1. Bagai air di daun talas.2. Seperti anak ayam kehilangan induknya.3. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
MAJAS
Majas atau gaya bahasa adalah bahasa kias yang digunakan untuk mempertajam kamsud.
A. Majas perbandingan
1. Personifikasi, yaitu majas yang membandingkan benda yang tidak bernyawa seolah-olah dapat bertindak seperti manusia.
Contoh :a. Bulan menangis menyaksikan manusia saling bunuh.b. Daun-daun memuji angin yang telah menyapanya.
1. Metafora, yaitu membandingkan dua hal/benda tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh :a. Bumi itu perempuan jalang.b. Tuhan adal;ah warga negara yang paling modern.
1. Simile/Perumpamaan, yaitu membandingkan dua hal/benda dengan menggunakan kata penghubung.
Contoh :a. Wajahnya bagai bola api.b. Tatapannya laksana matahari.c. Seperti angin aku melayang kian kemari.
1. Alegori, membandingkan hal/benda secara berkelanjutan membentuk sebuah cerita.
Contoh :Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
B. Majas pertentangan
1. Hiperbola, mempertentangkan secara berlebih-lebihan.
Contoh :a. Saya telah berusaha setengah mati menyelesaikan soal itu.b. Kekayaannya selangit.
1. Litotes, mempertentangkaan dengan merendahkan diri.
Contoh :a. Kalau sempat mampirlah ke gubukku.b. Ah, saya ini khan cuma kacung.
1. Ironi, mempertentangkan yang bertujuan menyindir dengan menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan fakta yang sebenarnya.
Contoh :a. Hebat betul, pertanyaan semudah itu tidak bisa kaujawab.b. Rajin betul, jam sepuluh baru datang!
1. Oksimoron, mempertentangkan secara berlawanan bagian demi bagian.
Contoh :a. Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.b. Kesedihan adalah awal kebahagiaan.
C. Majas pertautan
1. Metonimia, menghubungkan ciri benda satu dengan benda lain yang disebutkan.
Contoh :a. Kakakku sedang membaca Pramudya Ananta Toer.b. Belikan aku gudang garam filter.
1. Sinekdoke, mernyebut sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk sebagian (totum pro part).
Contoh :a. SMA Stella Duce 2 Yogyakarta berhasil masuk final pertandingan basket.b. Roda duanya mogok.
1. Alusio, mempertautkan hal dengan peribahasa.
Contoh :a. Kalau kita menggunakan sebaiknya hemat jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.b. Sebaiknya kita menggunakan ilmu padi dalam kehidupan kita, semakin berisi semakin tunduk.
1. Inversi, mengubah susunan kalimat.
Contoh :a. Hancurlah hatinya menyaksikan kekasihnya berpaling ke lelaki lain.b. Merahlah mukanya mendengar caci maki sahabat karibnya.
D. Majas perulangan
1. Aliterasi, mengulang bunyi konsonan yang sama.
Contoh :a. Malam kelam suram hatiku semakin muram.b. Gadis manis menangis hatinya teriris iris.
1. Antanaklaris, memgulang kata yang sama dengan arti yang berbeda.
Contoh :a. Buah hatinya menjadi buah bibir tetangganya.b. Hatinya memintanya berhati-hati.
1. Repetisi, mengulang-ulang kata, frase, atau klausa yang dipentingkan.
Contoh :a. Di Stella Duce 2 Yogyakarta ia mulai meraih prestasi, di Stella Duce 2 Yogyakarta ia menemukan tambatan hati, di Stella Duce 2 Yogyakarta pula ia menunggu hari tuanya.b. Tidak ada kata lain selain berjuang, berjuang, dan terus berjuang.
1. Paralelisme, mengulang ungkapan yang sama dengan tujuan memperkuat nuansa makna.
Contoh :a. Sunyi itu duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu mati.b. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup adalah kesia-siaan.
Friday, June 5, 2009
Obama’s Speech in Cairo (Full Text)
I am honored to be in the timeless city of Cairo, and to be hosted by two remarkable institutions. For over a thousand years, Al-Azhar has stood as a beacon of Islamic learning, and for over a century, Cairo University has been a source of Egypt's advancement. Together, you represent the harmony between tradition and progress. I am grateful for your hospitality, and the hospitality of the people of Egypt. I am also proud to carry with me the goodwill of the American people, and a greeting of peace from Muslim communities in my country: “Assalaamu alaykum!”.
We meet at a time of tension between the United States and Muslims around the world - tension rooted in historical forces that go beyond any current policy debate. The relationship between Islam and the West includes centuries of co-existence and cooperation, but also conflict and religious wars. More recently, tension has been fed by colonialism that denied rights and opportunities to many Muslims, and a Cold War in which Muslim-majority countries were too often treated as proxies without regard to their own aspirations. Moreover, the sweeping change brought by modernity and globalization led many Muslims to view the West as hostile to the traditions of Islam.
Story continues below
Violent extremists have exploited these tensions in a small but potent minority of Muslims. The attacks of September 11th, 2001 and the continued efforts of these extremists to engage in violence against civilians has led some in my country to view Islam as inevitably hostile not only to America and Western countries, but also to human rights. This has bred more fear and mistrust.
So long as our relationship is defined by our differences, we will empower those who sow hatred rather than peace, and who promote conflict rather than the cooperation that can help all of our people achieve justice and prosperity. This cycle of suspicion and discord must end.
I have come here to seek a new beginning between the United States and Muslims around the world; one based upon mutual interest and mutual respect; and one based upon the truth that America and Islam are not exclusive, and need not be in competition. Instead, they overlap, and share common principles - principles of justice and progress; tolerance and the dignity of all human beings.
I do so recognizing that change cannot happen overnight. No single speech can eradicate years of mistrust, nor can I answer in the time that I have all the complex questions that brought us to this point. But I am convinced that in order to move forward, we must say openly the things we hold in our hearts, and that too often are said only behind closed doors. There must be a sustained effort to listen to each other; to learn from each other; to respect one another; and to seek common ground. As the Holy Koran tells us, "Be conscious of God and speak always the truth." That is what I will try to do - to speak the truth as best I can, humbled by the task before us, and firm in my belief that the interests we share as human beings are far more powerful than the forces that drive us apart.
Part of this conviction is rooted in my own experience. I am a Christian, but my father came from a Kenyan family that includes generations of Muslims. As a boy, I spent several years in Indonesia and heard the call of the azaan at the break of dawn and the fall of dusk. As a young man, I worked in Chicago communities where many found dignity and peace in their Muslim faith.
As a student of history, I also know civilization' s debt to Islam. It was Islam - at places like Al-Azhar University - that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe's Renaissance and Enlightenment. It was innovation in Muslim communities that developed the order of algebra; our magnetic compass and tools of navigation; our mastery of pens and printing; our understanding of how disease spreads and how it can be healed. Islamic culture has given us majestic arches and soaring spires; timeless poetry and cherished music; elegant calligraphy and places of peaceful contemplation. And throughout history, Islam has demonstrated through words and deeds the possibilities of religious tolerance and racial equality.
I know, too, that Islam has always been a part of America's story. The first nation to recognize my country was Morocco. In signing the Treaty of Tripoli in 1796, our second President John Adams wrote, "The United States has in itself no character of enmity against the laws, religion or tranquility of Muslims". And since our founding, American Muslims have enriched the United States. They have fought in our wars, served in government, stood for civil rights, started businesses, taught at our Universities, excelled in our sports arenas, won Nobel Prizes, built our tallest building, and lit the Olympic Torch. And when the first Muslim-American was recently elected to Congress, he took the oath to defend our Constitution using the same Holy Koran that one of our Founding Fathers - Thomas Jefferson - kept in his personal library.
So I have known Islam on three continents before coming to the region where it was first revealed. That experience guides my conviction that partnership between America and Islam must be based on what Islam is, not what it isn't. And I consider it part of my responsibility as President of the United States to fight against negative stereotypes of Islam wherever they appear.
But that same principle must apply to Muslim perceptions of America. Just as Muslims do not fit a crude stereotype, America is not the crude stereotype of a self-interested empire. The United States has been one of the greatest sources of progress that the world has ever known. We were born out of revolution against an empire. We were founded upon the ideal that all are created equal, and we have shed blood and struggled for centuries to give meaning to those words - within our borders, and around the world. We are shaped by every culture, drawn from every end of the Earth, and dedicated to a simple concept: E pluribus unum: "Out of many, one."
Much has been made of the fact that an African-American with the name Barack Hussein Obama could be elected President. But my personal story is not so unique. The dream of opportunity for all people has not come true for everyone in America, but its promise exists for all who come to our shores - that includes nearly seven million American Muslims in our country today who enjoy incomes and education that are higher than average.
Moreover, freedom in America is indivisible from the freedom to practice one's religion. That is why there is a mosque in every state of our union, and over 1,200 mosques within our borders. That is why the U.S. government has gone to court to protect the right of women and girls to wear the hijab, and to punish those who would deny it.
So let there be no doubt: Islam is a part of America. And I believe that America holds within her the truth that regardless of race, religion, or station in life, all of us share common aspirations - to live in peace and security; to get an education and to work with dignity; to love our families, our communities, and our God. These things we share. This is the hope of all humanity.
Of course, recognizing our common humanity is only the beginning of our task. Words alone cannot meet the needs of our people. These needs will be met only if we act boldly in the years ahead; and if we understand that the challenges we face are shared, and our failure to meet them will hurt us all.
For we have learned from recent experience that when a financial system weakens in one country, prosperity is hurt everywhere. When a new flu infects one human being, all are at risk. When one nation pursues a nuclear weapon, the risk of nuclear attack rises for all nations. When violent extremists operate in one stretch of mountains, people are endangered across an ocean. And when innocents in Bosnia and Darfur are slaughtered, that is a stain on our collective conscience. That is what it means to share this world in the 21st century. That is the responsibility we have to one another as human beings.
This is a difficult responsibility to embrace. For human history has often been a record of nations and tribes subjugating one another to serve their own interests. Yet in this new age, such attitudes are self-defeating. Given our interdependence, any world order that elevates one nation or group of people over another will inevitably fail. So whatever we think of the past, we must not be prisoners of it. Our problems must be dealt with through partnership; progress must be shared.
That does not mean we should ignore sources of tension. Indeed, it suggests the opposite: we must face these tensions squarely. And so in that spirit, let me speak as clearly and plainly as I can about some specific issues that I believe we must finally confront together.
The first issue that we have to confront is violent extremism in all of its forms.
In Ankara, I made clear that America is not - and never will be - at war with Islam. We will, however, relentlessly confront violent extremists who pose a grave threat to our security. Because we reject the same thing that people of all faiths reject: the killing of innocent men, women, and children. And it is my first duty as President to protect the American people.
The situation in Afghanistan demonstrates America's goals, and our need to work together. Over seven years ago, the United States pursued al Qaeda and the Taliban with broad international support. We did not go by choice, we went because of necessity. I am aware that some question or justify the events of 9/11. But let us be clear: al Qaeda killed nearly 3,000 people on that day. The victims were innocent men, women and children from America and many other nations who had done nothing to harm anybody. And yet Al Qaeda chose to ruthlessly murder these people, claimed credit for the attack, and even now states their determination to kill on a massive scale. They have affiliates in many countries and are trying to expand their reach. These are not opinions to be debated; these are facts to be dealt with.
Make no mistake: we do not want to keep our troops in Afghanistan. We seek no military bases there. It is agonizing for America to lose our young men and women. It is costly and politically difficult to continue this conflict. We would gladly bring every single one of our troops home if we could be confident that there were not violent extremists in Afghanistan and Pakistan determined to kill as many Americans as they possibly can. But that is not yet the case.
That's why we're partnering with a coalition of forty-six countries. And despite the costs involved, America's commitment will not weaken. Indeed, none of us should tolerate these extremists. They have killed in many countries. They have killed people of different faiths - more than any other, they have killed Muslims. Their actions are irreconcilable with the rights of human beings, the progress of nations, and with Islam. The Holy Koran teaches that whoever kills an innocent, it is as if he has killed all mankind; and whoever saves a person, it is as if he has saved all mankind. The enduring faith of over a billion people is so much bigger than the narrow hatred of a few. Islam is not part of the problem in combating violent extremism - it is an important part of promoting peace.
We also know that military power alone is not going to solve the problems in Afghanistan and Pakistan. That is why we plan to invest $1.5 billion each year over the next five years to partner with Pakistanis to build schools and hospitals, roads and businesses, and hundreds of millions to help those who have been displaced. And that is why we are providing more than $2.8 billion to help Afghans develop their economy and deliver services that people depend upon.
Let me also address the issue of Iraq. Unlike Afghanistan, Iraq was a war of choice that provoked strong differences in my country and around the world. Although I believe that the Iraqi people are ultimately better off without the tyranny of Saddam Hussein, I also believe that events in Iraq have reminded America of the need to use diplomacy and build international consensus to resolve our problems whenever possible. Indeed, we can recall the words of Thomas Jefferson, who said: "I hope that our wisdom will grow with our power, and teach us that the less we use our power the greater it will be."
Today, America has a dual responsibility: to help Iraq forge a better future - and to leave Iraq to Iraqis. I have made it clear to the Iraqi people that we pursue no bases, and no claim on their territory or resources. Iraq's sovereignty is its own. That is why I ordered the removal of our combat brigades by next August. That is why we will honor our agreement with Iraq's democratically- elected government to remove combat troops from Iraqi cities by July, and to remove all our troops from Iraq by 2012. We will help Iraq train its Security Forces and develop its economy. But we will support a secure and united Iraq as a partner, and never as a patron.
And finally, just as America can never tolerate violence by extremists, we must never alter our principles. 9/11 was an enormous trauma to our country. The fear and anger that it provoked was understandable, but in some cases, it led us to act contrary to our ideals. We are taking concrete actions to change course. I have unequivocally prohibited the use of torture by the United States, and I have ordered the prison at Guantanamo Bay closed by early next year.
So America will defend itself respectful of the sovereignty of nations and the rule of law. And we will do so in partnership with Muslim communities which are also threatened. The sooner the extremists are isolated and unwelcome in Muslim communities, the sooner we will all be safer.
The second major source of tension that we need to discuss is the situation between Israelis, Palestinians and the Arab world.
America's strong bonds with Israel are well known. This bond is unbreakable. It is based upon cultural and historical ties, and the recognition that the aspiration for a Jewish homeland is rooted in a tragic history that cannot be denied.
Around the world, the Jewish people were persecuted for centuries, and anti-Semitism in Europe culminated in an unprecedented Holocaust. Tomorrow, I will visit Buchenwald, which was part of a network of camps where Jews were enslaved, tortured, shot and gassed to death by the Third Reich. Six million Jews were killed - more than the entire Jewish population of Israel today. Denying that fact is baseless, ignorant, and hateful. Threatening Israel with destruction - or repeating vile stereotypes about Jews - is deeply wrong, and only serves to evoke in the minds of Israelis this most painful of memories while preventing the peace that the people of this region deserve.
On the other hand, it is also undeniable that the Palestinian people - Muslims and Christians - have suffered in pursuit of a homeland. For more than sixty years they have endured the pain of dislocation. Many wait in refugee camps in the West Bank, Gaza, and neighboring lands for a life of peace and security that they have never been able to lead. They endure the daily humiliations - large and small - that come with occupation. So let there be no doubt: the situation for the Palestinian people is intolerable. America will not turn our backs on the legitimate Palestinian aspiration for dignity, opportunity, and a state of their own.
For decades, there has been a stalemate: two peoples with legitimate aspirations, each with a painful history that makes compromise elusive. It is easy to point fingers - for Palestinians to point to the displacement brought by Israel's founding, and for Israelis to point to the constant hostility and attacks throughout its history from within its borders as well as beyond. But if we see this conflict only from one side or the other, then we will be blind to the truth: the only resolution is for the aspirations of both sides to be met through two states, where Israelis and Palestinians each live in peace and security.
That is in Israel's interest, Palestine's interest, America's interest, and the world's interest. That is why I intend to personally pursue this outcome with all the patience that the task requires. The obligations that the parties have agreed to under the Road Map are clear. For peace to come, it is time for them - and all of us - to live up to our responsibilities.
Palestinians must abandon violence. Resistance through violence and killing is wrong and does not succeed. For centuries, black people in America suffered the lash of the whip as slaves and the humiliation of segregation. But it was not violence that won full and equal rights. It was a peaceful and determined insistence upon the ideals at the center of America's founding. This same story can be told by people from South Africa to South Asia; from Eastern Europe to Indonesia. It's a story with a simple truth: that violence is a dead end. It is a sign of neither courage nor power to shoot rockets at sleeping children, or to blow up old women on a bus. That is not how moral authority is claimed; that is how it is surrendered.
Now is the time for Palestinians to focus on what they can build. The Palestinian Authority must develop its capacity to govern, with institutions that serve the needs of its people. Hamas does have support among some Palestinians, but they also have responsibilities. To play a role in fulfilling Palestinian aspirations, and to unify the Palestinian people, Hamas must put an end to violence, recognize past agreements, and recognize Israel's right to exist.
At the same time, Israelis must acknowledge that just as Israel's right to exist cannot be denied, neither can Palestine's. The United States does not accept the legitimacy of continued Israeli settlements. This construction violates previous agreements and undermines efforts to achieve peace. It is time for these settlements to stop.
Israel must also live up to its obligations to ensure that Palestinians can live, and work, and develop their society. And just as it devastates Palestinian families, the continuing humanitarian crisis in Gaza does not serve Israel's security; neither does the continuing lack of opportunity in the West Bank. Progress in the daily lives of the Palestinian people must be part of a road to peace, and Israel must take concrete steps to enable such progress.
Finally, the Arab States must recognize that the Arab Peace Initiative was an important beginning, but not the end of their responsibilities. The Arab-Israeli conflict should no longer be used to distract the people of Arab nations from other problems. Instead, it must be a cause for action to help the Palestinian people develop the institutions that will sustain their state; to recognize Israel's legitimacy; and to choose progress over a self-defeating focus on the past.
America will align our policies with those who pursue peace, and say in public what we say in private to Israelis and Palestinians and Arabs. We cannot impose peace. But privately, many Muslims recognize that Israel will not go away. Likewise, many Israelis recognize the need for a Palestinian state. It is time for us to act on what everyone knows to be true.
Too many tears have flowed. Too much blood has been shed. All of us have a responsibility to work for the day when the mothers of Israelis and Palestinians can see their children grow up without fear; when the Holy Land of three great faiths is the place of peace that God intended it to be; when Jerusalem is a secure and lasting home for Jews and Christians and Muslims, and a place for all of the children of Abraham to mingle peacefully together as in the story of Isra, when Moses, Jesus, and Mohammed (peace be upon them) joined in prayer.
The third source of tension is our shared interest in the rights and responsibilities of nations on nuclear weapons.
This issue has been a source of tension between the United States and the Islamic Republic of Iran. For many years, Iran has defined itself in part by its opposition to my country, and there is indeed a tumultuous history between us. In the middle of the Cold War, the United States played a role in the overthrow of a democratically- elected Iranian government. Since the Islamic Revolution, Iran has played a role in acts of hostage-taking and violence against U.S. troops and civilians. This history is well known. Rather than remain trapped in the past, I have made it clear to Iran's leaders and people that my country is prepared to move forward. The question, now, is not what Iran is against, but rather what future it wants to build.
It will be hard to overcome decades of mistrust, but we will proceed with courage, rectitude and resolve. There will be many issues to discuss between our two countries, and we are willing to move forward without preconditions on the basis of mutual respect. But it is clear to all concerned that when it comes to nuclear weapons, we have reached a decisive point. This is not simply about America's interests. It is about preventing a nuclear arms race in the Middle East that could lead this region and the world down a hugely dangerous path.
I understand those who protest that some countries have weapons that others do not. No single nation should pick and choose which nations hold nuclear weapons. That is why I strongly reaffirmed America's commitment to seek a world in which no nations hold nuclear weapons. And any nation - including Iran - should have the right to access peaceful nuclear power if it complies with its responsibilities under the nuclear Non-Proliferation Treaty. That commitment is at the core of the Treaty, and it must be kept for all who fully abide by it. And I am hopeful that all countries in the region can share in this goal.
The fourth issue that I will address is democracy.
I know there has been controversy about the promotion of democracy in recent years, and much of this controversy is connected to the war in Iraq. So let me be clear: no system of government can or should be imposed upon one nation by any other.
That does not lessen my commitment, however, to governments that reflect the will of the people. Each nation gives life to this principle in its own way, grounded in the traditions of its own people. America does not presume to know what is best for everyone, just as we would not presume to pick the outcome of a peaceful election. But I do have an unyielding belief that all people yearn for certain things: the ability to speak your mind and have a say in how you are governed; confidence in the rule of law and the equal administration of justice; government that is transparent and doesn't steal from the people; the freedom to live as you choose. Those are not just American ideas, they are human rights, and that is why we will support them everywhere.
There is no straight line to realize this promise. But this much is clear: governments that protect these rights are ultimately more stable, successful and secure. Suppressing ideas never succeeds in making them go away. America respects the right of all peaceful and law-abiding voices to be heard around the world, even if we disagree with them. And we will welcome all elected, peaceful governments - provided they govern with respect for all their people.
This last point is important because there are some who advocate for democracy only when they are out of power; once in power, they are ruthless in suppressing the rights of others. No matter where it takes hold, government of the people and by the people sets a single standard for all who hold power: you must maintain your power through consent, not coercion; you must respect the rights of minorities, and participate with a spirit of tolerance and compromise; you must place the interests of your people and the legitimate workings of the political process above your party. Without these ingredients, elections alone do not make true democracy.
The fifth issue that we must address together is religious freedom.
Islam has a proud tradition of tolerance. We see it in the history of Andalusia and Cordoba during the Inquisition. I saw it firsthand as a child in Indonesia, where devout Christians worshiped freely in an overwhelmingly Muslim country. That is the spirit we need today. People in every country should be free to choose and live their faith based upon the persuasion of the mind, heart, and soul. This tolerance is essential for religion to thrive, but it is being challenged in many different ways.
Among some Muslims, there is a disturbing tendency to measure one's own faith by the rejection of another's. The richness of religious diversity must be upheld - whether it is for Maronites in Lebanon or the Copts in Egypt. And fault lines must be closed among Muslims as well, as the divisions between Sunni and Shia have led to tragic violence, particularly in Iraq.
Freedom of religion is central to the ability of peoples to live together. We must always examine the ways in which we protect it. For instance, in the United States, rules on charitable giving have made it harder for Muslims to fulfill their religious obligation. That is why I am committed to working with American Muslims to ensure that they can fulfill zakat.
Likewise, it is important for Western countries to avoid impeding Muslim citizens from practicing religion as they see fit - for instance, by dictating what clothes a Muslim woman should wear. We cannot disguise hostility towards any religion behind the pretence of liberalism.
Indeed, faith should bring us together. That is why we are forging service projects in America that bring together Christians, Muslims, and Jews. That is why we welcome efforts like Saudi Arabian King Abdullah's Interfaith dialogue and Turkey's leadership in the Alliance of Civilizations. Around the world, we can turn dialogue into Interfaith service, so bridges between peoples lead to action - whether it is combating malaria in Africa, or providing relief after a natural disaster.
The sixth issue that I want to address is women's rights.
I know there is debate about this issue. I reject the view of some in the West that a woman who chooses to cover her hair is somehow less equal, but I do believe that a woman who is denied an education is denied equality. And it is no coincidence that countries where women are well-educated are far more likely to be prosperous.
Now let me be clear: issues of women's equality are by no means simply an issue for Islam. In Turkey, Pakistan, Bangladesh and Indonesia, we have seen Muslim-majority countries elect a woman to lead. Meanwhile, the struggle for women's equality continues in many aspects of American life, and in countries around the world.
Our daughters can contribute just as much to society as our sons, and our common prosperity will be advanced by allowing all humanity - men and women - to reach their full potential. I do not believe that women must make the same choices as men in order to be equal, and I respect those women who choose to live their lives in traditional roles. But it should be their choice. That is why the United States will partner with any Muslim- majority country to support expanded literacy for girls, and to help young women pursue employment through micro -financing that helps people live their dreams.
Finally, I want to discuss economic development and opportunity.
I know that for many, the face of globalization is contradictory. The Internet and television can bring knowledge and information, but also offensive sexuality and mindless violence. Trade can bring new wealth and opportunities, but also huge disruptions and changing communities. In all nations - including my own - this change can bring fear. Fear that because of modernity we will lose of control over our economic choices, our politics, and most importantly our identities - those things we most cherish about our communities, our families, our traditions, and our faith.
But I also know that human progress cannot be denied. There need not be contradiction between development and tradition. Countries like Japan and South Korea grew their economies while maintaining distinct cultures. The same is true for the astonishing progress within Muslim-majority countries from Kuala Lumpur to Dubai. In ancient times and in our times, Muslim communities have been at the forefront of innovation and education.
This is important because no development strategy can be based only upon what comes out of the ground, nor can it be sustained while young people are out of work. Many Gulf States have enjoyed great wealth as a consequence of oil, and some are beginning to focus it on broader development. But all of us must recognize that education and innovation will be the currency of the 21st century, and in too many Muslim communities there remains underinvestment in these areas. I am emphasizing such investments within my country. And while America in the past has focused on oil and gas in this part of the world, we now seek a broader engagement.
On education, we will expand exchange programs, and increase scholarships, like the one that brought my father to America, while encouraging more Americans to study in Muslim communities. And we will match promising Muslim students with internships in America; invest in on-line learning for teachers and children around the world; and create a new online network, so a teenager in Kansas can communicate instantly with a teenager in Cairo.
On economic development, we will create a new corps of business volunteers to partner with counterparts in Muslim-majority countries. And I will host a Summit on Entrepreneurship this year to identify how we can deepen ties between business leaders, foundations and social entrepreneurs in the United States and Muslim communities around the world.
On science and technology, we will launch a new fund to support technological development in Muslim-majority countries, and to help transfer ideas to the marketplace so they can create jobs. We will open centers of scientific excellence in Africa, the Middle East and Southeast Asia, and appoint new Science Envoys to collaborate on programs that develop new sources of energy, create green jobs, digitize records, clean water, and grow new crops. And today I am announcing a new global effort with the Organization of the Islamic Conference to eradicate polio. And we will also expand partnerships with Muslim communities to promote child and maternal health.
All these things must be done in partnership. Americans are ready to join with citizens and governments; community organizations, religious leaders, and businesses in Muslim communities around the world to help our people pursue a better life.
The issues that I have described will not be easy to address. But we have a responsibility to join together on behalf of the world we seek - a world where extremists no longer threaten our people, and American troops have come home; a world where Israelis and Palestinians are each secure in a state of their own, and nuclear energy is used for peaceful purposes; a world where governments serve their citizens, and the rights of all God's children are respected. Those are mutual interests. That is the world we seek. But we can only achieve it together.
I know there are many - Muslim and non-Muslim - who question whether we can forge this new beginning. Some are eager to stoke the flames of division, and to stand in the way of progress. Some suggest that it isn't worth the effort - that we are fated to disagree, and civilizations are doomed to clash. Many more are simply skeptical that real change can occur. There is so much fear, so much mistrust. But if we choose to be bound by the past, we will never move forward. And I want to particularly say this to young people of every faith, in every country - you, more than anyone, have the ability to remake this world.
All of us share this world for but a brief moment in time. The question is whether we spend that time focused on what pushes us apart, or whether we commit ourselves to an effort - a sustained effort - to find common ground, to focus on the future we seek for our children, and to respect the dignity of all human beings.
It is easier to start wars than to end them. It is easier to blame others than to look inward; to see what is different about someone than to find the things we share. But we should choose the right path, not just the easy path. There is also one rule that lies at the heart of every religion - that we do unto others as we would have them do unto us. This truth transcends nations and peoples - a belief that isn't new; that isn't black or white or brown; that isn't Christian, or Muslim or Jew. It's a belief that pulsed in the cradle of civilization, and that still beats in the heart of billions. It's a faith in other people, and it's what brought me here today.
We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.
The Holy Koran tells us, "O mankind! We have created you male and a female; and we have made you into nations and tribes so that you may know one another". The Talmud tells us: "The whole of the Torah is for the purpose of promoting peace."
The Holy Bible tells us, "Blessed are the peacemakers, for they shall be called sons of God". The people of the world can live together in peace. We know that is God's vision. Now, that must be our work here on Earth. Thank you. And may God's peace be upon you.
(Cairo University, 04 June 2009)
We meet at a time of tension between the United States and Muslims around the world - tension rooted in historical forces that go beyond any current policy debate. The relationship between Islam and the West includes centuries of co-existence and cooperation, but also conflict and religious wars. More recently, tension has been fed by colonialism that denied rights and opportunities to many Muslims, and a Cold War in which Muslim-majority countries were too often treated as proxies without regard to their own aspirations. Moreover, the sweeping change brought by modernity and globalization led many Muslims to view the West as hostile to the traditions of Islam.
Story continues below
Violent extremists have exploited these tensions in a small but potent minority of Muslims. The attacks of September 11th, 2001 and the continued efforts of these extremists to engage in violence against civilians has led some in my country to view Islam as inevitably hostile not only to America and Western countries, but also to human rights. This has bred more fear and mistrust.
So long as our relationship is defined by our differences, we will empower those who sow hatred rather than peace, and who promote conflict rather than the cooperation that can help all of our people achieve justice and prosperity. This cycle of suspicion and discord must end.
I have come here to seek a new beginning between the United States and Muslims around the world; one based upon mutual interest and mutual respect; and one based upon the truth that America and Islam are not exclusive, and need not be in competition. Instead, they overlap, and share common principles - principles of justice and progress; tolerance and the dignity of all human beings.
I do so recognizing that change cannot happen overnight. No single speech can eradicate years of mistrust, nor can I answer in the time that I have all the complex questions that brought us to this point. But I am convinced that in order to move forward, we must say openly the things we hold in our hearts, and that too often are said only behind closed doors. There must be a sustained effort to listen to each other; to learn from each other; to respect one another; and to seek common ground. As the Holy Koran tells us, "Be conscious of God and speak always the truth." That is what I will try to do - to speak the truth as best I can, humbled by the task before us, and firm in my belief that the interests we share as human beings are far more powerful than the forces that drive us apart.
Part of this conviction is rooted in my own experience. I am a Christian, but my father came from a Kenyan family that includes generations of Muslims. As a boy, I spent several years in Indonesia and heard the call of the azaan at the break of dawn and the fall of dusk. As a young man, I worked in Chicago communities where many found dignity and peace in their Muslim faith.
As a student of history, I also know civilization' s debt to Islam. It was Islam - at places like Al-Azhar University - that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe's Renaissance and Enlightenment. It was innovation in Muslim communities that developed the order of algebra; our magnetic compass and tools of navigation; our mastery of pens and printing; our understanding of how disease spreads and how it can be healed. Islamic culture has given us majestic arches and soaring spires; timeless poetry and cherished music; elegant calligraphy and places of peaceful contemplation. And throughout history, Islam has demonstrated through words and deeds the possibilities of religious tolerance and racial equality.
I know, too, that Islam has always been a part of America's story. The first nation to recognize my country was Morocco. In signing the Treaty of Tripoli in 1796, our second President John Adams wrote, "The United States has in itself no character of enmity against the laws, religion or tranquility of Muslims". And since our founding, American Muslims have enriched the United States. They have fought in our wars, served in government, stood for civil rights, started businesses, taught at our Universities, excelled in our sports arenas, won Nobel Prizes, built our tallest building, and lit the Olympic Torch. And when the first Muslim-American was recently elected to Congress, he took the oath to defend our Constitution using the same Holy Koran that one of our Founding Fathers - Thomas Jefferson - kept in his personal library.
So I have known Islam on three continents before coming to the region where it was first revealed. That experience guides my conviction that partnership between America and Islam must be based on what Islam is, not what it isn't. And I consider it part of my responsibility as President of the United States to fight against negative stereotypes of Islam wherever they appear.
But that same principle must apply to Muslim perceptions of America. Just as Muslims do not fit a crude stereotype, America is not the crude stereotype of a self-interested empire. The United States has been one of the greatest sources of progress that the world has ever known. We were born out of revolution against an empire. We were founded upon the ideal that all are created equal, and we have shed blood and struggled for centuries to give meaning to those words - within our borders, and around the world. We are shaped by every culture, drawn from every end of the Earth, and dedicated to a simple concept: E pluribus unum: "Out of many, one."
Much has been made of the fact that an African-American with the name Barack Hussein Obama could be elected President. But my personal story is not so unique. The dream of opportunity for all people has not come true for everyone in America, but its promise exists for all who come to our shores - that includes nearly seven million American Muslims in our country today who enjoy incomes and education that are higher than average.
Moreover, freedom in America is indivisible from the freedom to practice one's religion. That is why there is a mosque in every state of our union, and over 1,200 mosques within our borders. That is why the U.S. government has gone to court to protect the right of women and girls to wear the hijab, and to punish those who would deny it.
So let there be no doubt: Islam is a part of America. And I believe that America holds within her the truth that regardless of race, religion, or station in life, all of us share common aspirations - to live in peace and security; to get an education and to work with dignity; to love our families, our communities, and our God. These things we share. This is the hope of all humanity.
Of course, recognizing our common humanity is only the beginning of our task. Words alone cannot meet the needs of our people. These needs will be met only if we act boldly in the years ahead; and if we understand that the challenges we face are shared, and our failure to meet them will hurt us all.
For we have learned from recent experience that when a financial system weakens in one country, prosperity is hurt everywhere. When a new flu infects one human being, all are at risk. When one nation pursues a nuclear weapon, the risk of nuclear attack rises for all nations. When violent extremists operate in one stretch of mountains, people are endangered across an ocean. And when innocents in Bosnia and Darfur are slaughtered, that is a stain on our collective conscience. That is what it means to share this world in the 21st century. That is the responsibility we have to one another as human beings.
This is a difficult responsibility to embrace. For human history has often been a record of nations and tribes subjugating one another to serve their own interests. Yet in this new age, such attitudes are self-defeating. Given our interdependence, any world order that elevates one nation or group of people over another will inevitably fail. So whatever we think of the past, we must not be prisoners of it. Our problems must be dealt with through partnership; progress must be shared.
That does not mean we should ignore sources of tension. Indeed, it suggests the opposite: we must face these tensions squarely. And so in that spirit, let me speak as clearly and plainly as I can about some specific issues that I believe we must finally confront together.
The first issue that we have to confront is violent extremism in all of its forms.
In Ankara, I made clear that America is not - and never will be - at war with Islam. We will, however, relentlessly confront violent extremists who pose a grave threat to our security. Because we reject the same thing that people of all faiths reject: the killing of innocent men, women, and children. And it is my first duty as President to protect the American people.
The situation in Afghanistan demonstrates America's goals, and our need to work together. Over seven years ago, the United States pursued al Qaeda and the Taliban with broad international support. We did not go by choice, we went because of necessity. I am aware that some question or justify the events of 9/11. But let us be clear: al Qaeda killed nearly 3,000 people on that day. The victims were innocent men, women and children from America and many other nations who had done nothing to harm anybody. And yet Al Qaeda chose to ruthlessly murder these people, claimed credit for the attack, and even now states their determination to kill on a massive scale. They have affiliates in many countries and are trying to expand their reach. These are not opinions to be debated; these are facts to be dealt with.
Make no mistake: we do not want to keep our troops in Afghanistan. We seek no military bases there. It is agonizing for America to lose our young men and women. It is costly and politically difficult to continue this conflict. We would gladly bring every single one of our troops home if we could be confident that there were not violent extremists in Afghanistan and Pakistan determined to kill as many Americans as they possibly can. But that is not yet the case.
That's why we're partnering with a coalition of forty-six countries. And despite the costs involved, America's commitment will not weaken. Indeed, none of us should tolerate these extremists. They have killed in many countries. They have killed people of different faiths - more than any other, they have killed Muslims. Their actions are irreconcilable with the rights of human beings, the progress of nations, and with Islam. The Holy Koran teaches that whoever kills an innocent, it is as if he has killed all mankind; and whoever saves a person, it is as if he has saved all mankind. The enduring faith of over a billion people is so much bigger than the narrow hatred of a few. Islam is not part of the problem in combating violent extremism - it is an important part of promoting peace.
We also know that military power alone is not going to solve the problems in Afghanistan and Pakistan. That is why we plan to invest $1.5 billion each year over the next five years to partner with Pakistanis to build schools and hospitals, roads and businesses, and hundreds of millions to help those who have been displaced. And that is why we are providing more than $2.8 billion to help Afghans develop their economy and deliver services that people depend upon.
Let me also address the issue of Iraq. Unlike Afghanistan, Iraq was a war of choice that provoked strong differences in my country and around the world. Although I believe that the Iraqi people are ultimately better off without the tyranny of Saddam Hussein, I also believe that events in Iraq have reminded America of the need to use diplomacy and build international consensus to resolve our problems whenever possible. Indeed, we can recall the words of Thomas Jefferson, who said: "I hope that our wisdom will grow with our power, and teach us that the less we use our power the greater it will be."
Today, America has a dual responsibility: to help Iraq forge a better future - and to leave Iraq to Iraqis. I have made it clear to the Iraqi people that we pursue no bases, and no claim on their territory or resources. Iraq's sovereignty is its own. That is why I ordered the removal of our combat brigades by next August. That is why we will honor our agreement with Iraq's democratically- elected government to remove combat troops from Iraqi cities by July, and to remove all our troops from Iraq by 2012. We will help Iraq train its Security Forces and develop its economy. But we will support a secure and united Iraq as a partner, and never as a patron.
And finally, just as America can never tolerate violence by extremists, we must never alter our principles. 9/11 was an enormous trauma to our country. The fear and anger that it provoked was understandable, but in some cases, it led us to act contrary to our ideals. We are taking concrete actions to change course. I have unequivocally prohibited the use of torture by the United States, and I have ordered the prison at Guantanamo Bay closed by early next year.
So America will defend itself respectful of the sovereignty of nations and the rule of law. And we will do so in partnership with Muslim communities which are also threatened. The sooner the extremists are isolated and unwelcome in Muslim communities, the sooner we will all be safer.
The second major source of tension that we need to discuss is the situation between Israelis, Palestinians and the Arab world.
America's strong bonds with Israel are well known. This bond is unbreakable. It is based upon cultural and historical ties, and the recognition that the aspiration for a Jewish homeland is rooted in a tragic history that cannot be denied.
Around the world, the Jewish people were persecuted for centuries, and anti-Semitism in Europe culminated in an unprecedented Holocaust. Tomorrow, I will visit Buchenwald, which was part of a network of camps where Jews were enslaved, tortured, shot and gassed to death by the Third Reich. Six million Jews were killed - more than the entire Jewish population of Israel today. Denying that fact is baseless, ignorant, and hateful. Threatening Israel with destruction - or repeating vile stereotypes about Jews - is deeply wrong, and only serves to evoke in the minds of Israelis this most painful of memories while preventing the peace that the people of this region deserve.
On the other hand, it is also undeniable that the Palestinian people - Muslims and Christians - have suffered in pursuit of a homeland. For more than sixty years they have endured the pain of dislocation. Many wait in refugee camps in the West Bank, Gaza, and neighboring lands for a life of peace and security that they have never been able to lead. They endure the daily humiliations - large and small - that come with occupation. So let there be no doubt: the situation for the Palestinian people is intolerable. America will not turn our backs on the legitimate Palestinian aspiration for dignity, opportunity, and a state of their own.
For decades, there has been a stalemate: two peoples with legitimate aspirations, each with a painful history that makes compromise elusive. It is easy to point fingers - for Palestinians to point to the displacement brought by Israel's founding, and for Israelis to point to the constant hostility and attacks throughout its history from within its borders as well as beyond. But if we see this conflict only from one side or the other, then we will be blind to the truth: the only resolution is for the aspirations of both sides to be met through two states, where Israelis and Palestinians each live in peace and security.
That is in Israel's interest, Palestine's interest, America's interest, and the world's interest. That is why I intend to personally pursue this outcome with all the patience that the task requires. The obligations that the parties have agreed to under the Road Map are clear. For peace to come, it is time for them - and all of us - to live up to our responsibilities.
Palestinians must abandon violence. Resistance through violence and killing is wrong and does not succeed. For centuries, black people in America suffered the lash of the whip as slaves and the humiliation of segregation. But it was not violence that won full and equal rights. It was a peaceful and determined insistence upon the ideals at the center of America's founding. This same story can be told by people from South Africa to South Asia; from Eastern Europe to Indonesia. It's a story with a simple truth: that violence is a dead end. It is a sign of neither courage nor power to shoot rockets at sleeping children, or to blow up old women on a bus. That is not how moral authority is claimed; that is how it is surrendered.
Now is the time for Palestinians to focus on what they can build. The Palestinian Authority must develop its capacity to govern, with institutions that serve the needs of its people. Hamas does have support among some Palestinians, but they also have responsibilities. To play a role in fulfilling Palestinian aspirations, and to unify the Palestinian people, Hamas must put an end to violence, recognize past agreements, and recognize Israel's right to exist.
At the same time, Israelis must acknowledge that just as Israel's right to exist cannot be denied, neither can Palestine's. The United States does not accept the legitimacy of continued Israeli settlements. This construction violates previous agreements and undermines efforts to achieve peace. It is time for these settlements to stop.
Israel must also live up to its obligations to ensure that Palestinians can live, and work, and develop their society. And just as it devastates Palestinian families, the continuing humanitarian crisis in Gaza does not serve Israel's security; neither does the continuing lack of opportunity in the West Bank. Progress in the daily lives of the Palestinian people must be part of a road to peace, and Israel must take concrete steps to enable such progress.
Finally, the Arab States must recognize that the Arab Peace Initiative was an important beginning, but not the end of their responsibilities. The Arab-Israeli conflict should no longer be used to distract the people of Arab nations from other problems. Instead, it must be a cause for action to help the Palestinian people develop the institutions that will sustain their state; to recognize Israel's legitimacy; and to choose progress over a self-defeating focus on the past.
America will align our policies with those who pursue peace, and say in public what we say in private to Israelis and Palestinians and Arabs. We cannot impose peace. But privately, many Muslims recognize that Israel will not go away. Likewise, many Israelis recognize the need for a Palestinian state. It is time for us to act on what everyone knows to be true.
Too many tears have flowed. Too much blood has been shed. All of us have a responsibility to work for the day when the mothers of Israelis and Palestinians can see their children grow up without fear; when the Holy Land of three great faiths is the place of peace that God intended it to be; when Jerusalem is a secure and lasting home for Jews and Christians and Muslims, and a place for all of the children of Abraham to mingle peacefully together as in the story of Isra, when Moses, Jesus, and Mohammed (peace be upon them) joined in prayer.
The third source of tension is our shared interest in the rights and responsibilities of nations on nuclear weapons.
This issue has been a source of tension between the United States and the Islamic Republic of Iran. For many years, Iran has defined itself in part by its opposition to my country, and there is indeed a tumultuous history between us. In the middle of the Cold War, the United States played a role in the overthrow of a democratically- elected Iranian government. Since the Islamic Revolution, Iran has played a role in acts of hostage-taking and violence against U.S. troops and civilians. This history is well known. Rather than remain trapped in the past, I have made it clear to Iran's leaders and people that my country is prepared to move forward. The question, now, is not what Iran is against, but rather what future it wants to build.
It will be hard to overcome decades of mistrust, but we will proceed with courage, rectitude and resolve. There will be many issues to discuss between our two countries, and we are willing to move forward without preconditions on the basis of mutual respect. But it is clear to all concerned that when it comes to nuclear weapons, we have reached a decisive point. This is not simply about America's interests. It is about preventing a nuclear arms race in the Middle East that could lead this region and the world down a hugely dangerous path.
I understand those who protest that some countries have weapons that others do not. No single nation should pick and choose which nations hold nuclear weapons. That is why I strongly reaffirmed America's commitment to seek a world in which no nations hold nuclear weapons. And any nation - including Iran - should have the right to access peaceful nuclear power if it complies with its responsibilities under the nuclear Non-Proliferation Treaty. That commitment is at the core of the Treaty, and it must be kept for all who fully abide by it. And I am hopeful that all countries in the region can share in this goal.
The fourth issue that I will address is democracy.
I know there has been controversy about the promotion of democracy in recent years, and much of this controversy is connected to the war in Iraq. So let me be clear: no system of government can or should be imposed upon one nation by any other.
That does not lessen my commitment, however, to governments that reflect the will of the people. Each nation gives life to this principle in its own way, grounded in the traditions of its own people. America does not presume to know what is best for everyone, just as we would not presume to pick the outcome of a peaceful election. But I do have an unyielding belief that all people yearn for certain things: the ability to speak your mind and have a say in how you are governed; confidence in the rule of law and the equal administration of justice; government that is transparent and doesn't steal from the people; the freedom to live as you choose. Those are not just American ideas, they are human rights, and that is why we will support them everywhere.
There is no straight line to realize this promise. But this much is clear: governments that protect these rights are ultimately more stable, successful and secure. Suppressing ideas never succeeds in making them go away. America respects the right of all peaceful and law-abiding voices to be heard around the world, even if we disagree with them. And we will welcome all elected, peaceful governments - provided they govern with respect for all their people.
This last point is important because there are some who advocate for democracy only when they are out of power; once in power, they are ruthless in suppressing the rights of others. No matter where it takes hold, government of the people and by the people sets a single standard for all who hold power: you must maintain your power through consent, not coercion; you must respect the rights of minorities, and participate with a spirit of tolerance and compromise; you must place the interests of your people and the legitimate workings of the political process above your party. Without these ingredients, elections alone do not make true democracy.
The fifth issue that we must address together is religious freedom.
Islam has a proud tradition of tolerance. We see it in the history of Andalusia and Cordoba during the Inquisition. I saw it firsthand as a child in Indonesia, where devout Christians worshiped freely in an overwhelmingly Muslim country. That is the spirit we need today. People in every country should be free to choose and live their faith based upon the persuasion of the mind, heart, and soul. This tolerance is essential for religion to thrive, but it is being challenged in many different ways.
Among some Muslims, there is a disturbing tendency to measure one's own faith by the rejection of another's. The richness of religious diversity must be upheld - whether it is for Maronites in Lebanon or the Copts in Egypt. And fault lines must be closed among Muslims as well, as the divisions between Sunni and Shia have led to tragic violence, particularly in Iraq.
Freedom of religion is central to the ability of peoples to live together. We must always examine the ways in which we protect it. For instance, in the United States, rules on charitable giving have made it harder for Muslims to fulfill their religious obligation. That is why I am committed to working with American Muslims to ensure that they can fulfill zakat.
Likewise, it is important for Western countries to avoid impeding Muslim citizens from practicing religion as they see fit - for instance, by dictating what clothes a Muslim woman should wear. We cannot disguise hostility towards any religion behind the pretence of liberalism.
Indeed, faith should bring us together. That is why we are forging service projects in America that bring together Christians, Muslims, and Jews. That is why we welcome efforts like Saudi Arabian King Abdullah's Interfaith dialogue and Turkey's leadership in the Alliance of Civilizations. Around the world, we can turn dialogue into Interfaith service, so bridges between peoples lead to action - whether it is combating malaria in Africa, or providing relief after a natural disaster.
The sixth issue that I want to address is women's rights.
I know there is debate about this issue. I reject the view of some in the West that a woman who chooses to cover her hair is somehow less equal, but I do believe that a woman who is denied an education is denied equality. And it is no coincidence that countries where women are well-educated are far more likely to be prosperous.
Now let me be clear: issues of women's equality are by no means simply an issue for Islam. In Turkey, Pakistan, Bangladesh and Indonesia, we have seen Muslim-majority countries elect a woman to lead. Meanwhile, the struggle for women's equality continues in many aspects of American life, and in countries around the world.
Our daughters can contribute just as much to society as our sons, and our common prosperity will be advanced by allowing all humanity - men and women - to reach their full potential. I do not believe that women must make the same choices as men in order to be equal, and I respect those women who choose to live their lives in traditional roles. But it should be their choice. That is why the United States will partner with any Muslim- majority country to support expanded literacy for girls, and to help young women pursue employment through micro -financing that helps people live their dreams.
Finally, I want to discuss economic development and opportunity.
I know that for many, the face of globalization is contradictory. The Internet and television can bring knowledge and information, but also offensive sexuality and mindless violence. Trade can bring new wealth and opportunities, but also huge disruptions and changing communities. In all nations - including my own - this change can bring fear. Fear that because of modernity we will lose of control over our economic choices, our politics, and most importantly our identities - those things we most cherish about our communities, our families, our traditions, and our faith.
But I also know that human progress cannot be denied. There need not be contradiction between development and tradition. Countries like Japan and South Korea grew their economies while maintaining distinct cultures. The same is true for the astonishing progress within Muslim-majority countries from Kuala Lumpur to Dubai. In ancient times and in our times, Muslim communities have been at the forefront of innovation and education.
This is important because no development strategy can be based only upon what comes out of the ground, nor can it be sustained while young people are out of work. Many Gulf States have enjoyed great wealth as a consequence of oil, and some are beginning to focus it on broader development. But all of us must recognize that education and innovation will be the currency of the 21st century, and in too many Muslim communities there remains underinvestment in these areas. I am emphasizing such investments within my country. And while America in the past has focused on oil and gas in this part of the world, we now seek a broader engagement.
On education, we will expand exchange programs, and increase scholarships, like the one that brought my father to America, while encouraging more Americans to study in Muslim communities. And we will match promising Muslim students with internships in America; invest in on-line learning for teachers and children around the world; and create a new online network, so a teenager in Kansas can communicate instantly with a teenager in Cairo.
On economic development, we will create a new corps of business volunteers to partner with counterparts in Muslim-majority countries. And I will host a Summit on Entrepreneurship this year to identify how we can deepen ties between business leaders, foundations and social entrepreneurs in the United States and Muslim communities around the world.
On science and technology, we will launch a new fund to support technological development in Muslim-majority countries, and to help transfer ideas to the marketplace so they can create jobs. We will open centers of scientific excellence in Africa, the Middle East and Southeast Asia, and appoint new Science Envoys to collaborate on programs that develop new sources of energy, create green jobs, digitize records, clean water, and grow new crops. And today I am announcing a new global effort with the Organization of the Islamic Conference to eradicate polio. And we will also expand partnerships with Muslim communities to promote child and maternal health.
All these things must be done in partnership. Americans are ready to join with citizens and governments; community organizations, religious leaders, and businesses in Muslim communities around the world to help our people pursue a better life.
The issues that I have described will not be easy to address. But we have a responsibility to join together on behalf of the world we seek - a world where extremists no longer threaten our people, and American troops have come home; a world where Israelis and Palestinians are each secure in a state of their own, and nuclear energy is used for peaceful purposes; a world where governments serve their citizens, and the rights of all God's children are respected. Those are mutual interests. That is the world we seek. But we can only achieve it together.
I know there are many - Muslim and non-Muslim - who question whether we can forge this new beginning. Some are eager to stoke the flames of division, and to stand in the way of progress. Some suggest that it isn't worth the effort - that we are fated to disagree, and civilizations are doomed to clash. Many more are simply skeptical that real change can occur. There is so much fear, so much mistrust. But if we choose to be bound by the past, we will never move forward. And I want to particularly say this to young people of every faith, in every country - you, more than anyone, have the ability to remake this world.
All of us share this world for but a brief moment in time. The question is whether we spend that time focused on what pushes us apart, or whether we commit ourselves to an effort - a sustained effort - to find common ground, to focus on the future we seek for our children, and to respect the dignity of all human beings.
It is easier to start wars than to end them. It is easier to blame others than to look inward; to see what is different about someone than to find the things we share. But we should choose the right path, not just the easy path. There is also one rule that lies at the heart of every religion - that we do unto others as we would have them do unto us. This truth transcends nations and peoples - a belief that isn't new; that isn't black or white or brown; that isn't Christian, or Muslim or Jew. It's a belief that pulsed in the cradle of civilization, and that still beats in the heart of billions. It's a faith in other people, and it's what brought me here today.
We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.
The Holy Koran tells us, "O mankind! We have created you male and a female; and we have made you into nations and tribes so that you may know one another". The Talmud tells us: "The whole of the Torah is for the purpose of promoting peace."
The Holy Bible tells us, "Blessed are the peacemakers, for they shall be called sons of God". The people of the world can live together in peace. We know that is God's vision. Now, that must be our work here on Earth. Thank you. And may God's peace be upon you.
(Cairo University, 04 June 2009)
Thursday, June 4, 2009
Kewajiban Istri terhadap suami…
Bismillahirrahmaani rrahiim.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Membicarakan permasalahan hak-hak dan kewajiban suami dan istri ini, tentu sangat besar, tidak cukup waktu sehari dua hari dalam mengupasnya.
Disini saya hanya ingin menggaris bawahi permasalahan, yang saya melihat agak sedikit kurang mengena di akal saya ini.
Disuatu milist saya ada membaca tentang hal yang baru kali ini pula saya baca, kalau tidak ada kewajiban istri dalam Islam itu untuk memasakkan, mecucikan dan sebagainya itu terhadap suami.
Kewajiban istri disana disebutkan seakan hanya pelampiasan nafsu seksualitas suaminya saja, kalau suami minta untuk berhubungan badan, haruslah ditaati saat itu, karena itu hak suami yang terbesar, dengan mengemukakan dalil yang memang dalil tersebut cukup kuat.
Cukup banyak dalil dalam hadits asshahihah yang mengecam para istri, sampai-sampai shalatnya tidak akan diterima, malaikat akan marah sama sang istri sampai pagi apabila istri tersebut menolak ajakan suaminya pada malam hari itu. Ok. Kita tak akan memungkiri hadits shahih tersebut(siapa lagi yang menolaknya?)
Namun, mungkin kita lupa, atau pura-pura dilupakan kali yah. Kalau hak istimta'(bersenang- senang itu), bukan hanya miliknya sang suami saja. Hak istimta' (jima') adalah hak tabadul(saling memiliki, bergantian), diantara keduanya.
Apakah kita lupa akan hadits shahih yang mana Rasulullah mengecam akan para lelaki yang sibuk dengan ibadah semata, dan melupakan kewajibannya terhadap keluarganya? Juga apakah kita lupa akan sabda Rasulullah kepada sahabat Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, diriwayatkan dalam kitab shahih Bukhari :"Wahai Abdullah, dikhabarkan kepadaku, bahwasanya engkau puasa disiang hari, dan shalat dimalam hari(tahajjud) ? Maka Abdullah berkata, "Iyah, benar wahai rasulullah". Apa tanggapan Rasulullah saat itu? :"Jangan engkau lakukan itu, puasalah dan juga berbukalah, shalatlah, tapi tidur juga, karena apa? Karena tubuh kamu punya hak atas kamu(untuk istirahat), mata kamu juga, istri kamu juga, tetangga kamu juga……dst..(H.R BUkhari kitab puasa, bab hak tubuh dalam hal berpuasa).
Dan juga, apakah kita lupa, hak tabadul juga, bukan suami saja yang mendapatkan pemanasan dari sang istri sebelum jima', namun seorang suami dianjurkan sebelum menggauli istrinya mendapatkan , almudaa'abah, mulaamasah, istilah kerennya (pemanasan) dulu. Dimain-mainkan dulu disentuh, dikecup, atau apa kek, biar sang istri gimana gitu. Bukankah hal ini untuk kesenangan sang istri? Jadi, mendapatkan kesenangan, bukanlah semata hak suami saja, tetapi hak yang tabadul(saling bergantian). Sebagaimana sang suami berhak mendapatkan kesenangan dalam hal jima', begitu pulalah seorang istripun berhak mendapatkan kesenangan yang sama.
Lantas, dimanakah hak-hak juga kewajiban sendiri-sendiri?
Bagi sang istri haknya terhadap suami adalah nafkah, dan sebaliknya kewajiban suami adalah memberikan nafkah, dan sesuai dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman "'alal muusi'I qadaruhu, wa'alal muqtiri qadaruhu", bagi yang tak mampu yang sesuai dengan kemampuannyalah, bagi yang kayapun begitu juga, jangan miskin dipaksakan sampai menghutang sana sini demi membahagiakan istri, korupsi, mencuri demi memberikan pelayanan yang terbaik untuk istri, ini mah,..salah kaprah. Atau kaya, tetapi pelit, ini mah suami keterlaluan.
Sekarang, secara spesifik mari kita lihat, hak suami dari istri, alias kewajiban san istri terhadap suaminya ada tiga kategori. Dan tiga kategori ini bisa mencakup keseluruhannya.
1. Kewajiban istri taat pada suami. (Lihat Q.S Annisa ayat 34).
Inilah sebesar-besar hak suami dari istrinya dan kewajiban istri terhadap suaminya. Yakni :"ta'at kepada suaminya". Sangat banyak hadits-hadits shahih yang mendukung akan hal ini. Sebenarnya dari yang satu ini saja sudah mencakupi keseluruhan hak-hak suami pada istrinya.
Dalam Alquran dan bahasa Arab, ada yang diistilahkan jami'ul kulum(satu lafaz yang singkat mencakup keseluruhan makna).
Dari kata "ta'at" saja, sudah mencakup disana kewajiban sang istri, bukan hanya sekedar istim'ta(jima' ), tetapi juga urusan memasak, mencuci, menggosok, ngepel dan sebagainya itu dalam hal urusan RT. Kenapa? Bagaimana, kalau sang suami meminta sang istri masak, cuci gosok dirumah, apakah kita tidak mau, dengan alasan bukan kewajiban kita, karena tidak ada perintah baik dalam AlQuran maupun hadits yang mewajibkan hal itu secara dhahir(nyata) , lafaznya?lantas, bagaimana dengan kewajiban utama sang istri pada suami, yakni Ta'at(ta'at sepanjang bukan ma'siat pda Allah Ta'ala tentunya, sebab dalam hadits disebutkan :"Laa thaa'ata al makhluuq fiy ma'siatil khaaliq"
Ok,..kalau itu jawaban sang istri. Karena tidak adanya nash sharih akan kewajiban cuci, masak ngepel dllnya.
Mari sama-sama kita jawab:
Bagaimana dengan perintah sang istri wajib ta'at pada suaminya? Kalau suami suruh masak gimana?
Kemudian, coba kita lihat qaedah Fiqh/ushul fiqh :"Al 'aadah muhakkamatun" (Kebiasaan suatu tempat/daerah menjadi hukum). Ingat, seperti yang pernah saya sampaikan, qauedah ushul fiqh kedudukannya dalam hukum seperti alat, dipakai saat dibutuhkan, dan di pakai sesuai dengan tempat yang dibutuhkan. Jangan asal pakai sembarang tempat saja. Nantik kaedah semacam diatas dipakai seenaknya saja.
Saya dulu agak kaget melihat kaedah :"Al 'aadah muhakkamatun" ini dipakai dalam hukum warisan di Minang, yang mana harta pusaka tinggi jatuh pada garis keturunan ibu saja. Dengan memakai kaedah ini, juga kaedah al mashalih al mursalah. Hal ini saya tentang habis-habisan dengan memberikan penjelasan dari kaedah ushul fiqh dan fiqh dalam islam itu seperti apa. Al mashalih al mursalah itu dan al 'aadah al muhakkamah itu kapan dipakainya, dan bagaimana syaratnya, sempat saya sampai menulis tentang hal ini. Tidak sembarang pakai saja. Nantik pisau untuk memotong sayuran dan daging di dapur, malah bisa dipakai untuk memotong leher manusia lagi. Kan bahaya itu? Hukum warisan sudah ada ketentuannya yang jelas dari Allah ta'ala dan RasulNya.
Kembali ke pembicaraan semula.
Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, baik di negeri Arab sendiri ataupun di luar Arab, bahwa yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah sang istri. Bukan suami. Suami kerjanya mencari nafkah, ini dah harga mati dari Allah Ta'ala. Sebagaimana harga mati juga, kalau Al qawwamah(kepemimpin an), berada di tangan sang suami.
Kalau Al qawwamah berada ditangan istri, maka terbaliklah dunia. Atas jadi bawah, bawah jadi atas. Sang suami pula yang disuruh masak, cuci ngepel, dimana lagi letak kepemimpinan suami kalau begitu. Apakah dengan alasan, bahwa kewajiban sang suami menyediakan makan, pakaian, tempat tinggal, jadi sang istri tinggal terima beres. Makanan yang diberikan sudah jadi begitu? Enak banget. Itu namanya sang istri pemimpin, ia yang jadi Raja kalau begitu. Ohh..alasannya katanya kan makanan kewajiban suami terhadap istri.
Ok. Benar. Nafkah lahir, makan kewajiban suami. Coba kita renungkan, Allah berfirman, makan dan minumlah kamu. Makanlah buahan, ikan dilaut, binatang ternak. Itu Allah yang berikan pada kita. Apakah Allah juga yang memasakkan ikan dan ternak ayam, kambing sapi dan sebagainya itu untuk kita. Juga buahan apel, mangga, apalagi durian, Allah kah yang kupaskan buat kita. Karena firman Allahkan, kalau Allah sudah menjamin setiap makhluk dipermukaan bumi ini, Allahlah yang akan memberi rezeki dan makan mereka. Apakah Allah juga yang kupasin mangga buat kita makan? Kalau itu dalil seorang istri kewajiban suami memberikan makan pada istrinya.
Apa suami juga yang masak? Itu sama saja kita meminta pada Allah atas janji dan jaminan Allah Ta'ala akan memberikan makan buat manusia. Kita minta Allah yang masakin kita, dan bersihkan halaman kita. Naudzubillahimindza lik. Allah memang menjamin kita akan memberikan makan, rezeki, juga sebagai makhluk kewajiban kita pada Allah ta'ala adalah ta'at kepadaNya dan menyembahNya.
Coba deh renungkan semua ini. Darimana pula landasan akal dan landasan syar'inya, kalau kewajiban suami pula yang harus memberikan kita makan yang sudah jadi, alias itu namanya kita minta suami memasak. Apalagi, kalau kita katakan tidak ada kewajiban sang istri membersihkan rumah, cuci, gosok, ngepel dan sebagainya itu.
Coba saja lihat dalam kepemimpinan, presiden yang jadi pemimpin, dia yang mengatur roda pemerintahan. Dia yang harus memberikan pelayanan baik pada sang rakyat. Tapi, rakyatnya bagaimana? Apakah rakyatnya harus duduk dan tiduran saja. Tidak bukan?. Rakyat tugasnya membantu sang Presiden, rakyat juga bekerja. Rakyat juga berhak mengkritik dan menasehati pemimpinnya kalau ada yang salah.
Inilah system kerja tabadul(saling bergantian), namanya. Masing-masing dari kedua belah pihak akan saling ketergantungan. Suami tidak bisa maju tanpa istri, begitupun sebaliknya. Tau hak-hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh syari'at. Tidak salah bukan, kalau kita disuruh mencari jodoh orang yang tau akan agama, bukan berarti orang yang harus sekolah agama. Banyak orang umum, tau agama koq? Yang penting dia tau akan agamanya.
Kalau saja katanya, dalil tidak adanya secara eksplisit akan kewajiban istri memasak dan mencuci disebutkan dalam AlQuran dan hadits. Selain kedua alasan dalil yang saya sebutkan diatas(ta'at kepada suami, serta kaedah fiqh "Al aadah muhakkamah") , kita coba lagi menambah penjelasan lainnya. Mari kita lihat hadits-hadits berikut:
Dari Ibn Umar radhiallahu' anhu beliau berkata. Aku mendengar Rasulullah bersabda: " Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki (suami), menjadi pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan perempuan juga pemimpin didalam RT (rumah suami) nya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang ada dalam rumah tersebut. Masing-masing kamu semuanya pemimpin.(H. R Bukhari dan Muslim)
Syahid dalam hadits ini, bahwa istri bertanggung jawab atas urusan RT adalah kalimat diatas :"Perempuan( istri), bertanggung jawab atas rumah suaminya.
Jelas sekali disana kewajiban istri dalam rumah suami. Menjaga harta suami, memikirkan apa yang akan dimakan nantiknya, menjaga kebersihan rumah dan sebagainya. Karena apa? Karena jelas disana dikatakan tanggung jawab istri. Apakah harus di perinci secara jelas, kamu wahai para istri masak, cuci ngepel begitu? Mintalah sama Allah Ta'ala, "Ya Allah tolonglah kupasin buah durian ini, karena dia berduri, tidak bisa kami memakannya".
Imam Ibn Al qayyim rahimahullahu ta'ala 'anhu, Ibn Habib berkata : " Rasulullah memberikan kebijaksanaan antara 'Ali bin Abi Thalid, serta istrinya Fatimah, tatkala fatimah mengadu masalah pembantu. Tangannya agak lecek sedikit kali, jadi beliau minta pembantu….kemudian hal ini dikhabarkan kepada Rasulullah, apa jawab Rasululah ketika itu? "Maukah kamu berdua saya kasih tau, apa yang lebih baik untuk kamu berdua ketimbang apa yang kamu adukan/minta tersebut? Jika kamu berdua ingin tidur, maka bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, itu jauh lebih baik untuk kamu berdua ketimbang meminta pembantu".(H. R Muslim dan lainnya).
Hadits yang lain, mari kita lihat :
Dari Asma(binti abi Bakar ra), ia berkata : "Aku melayani Zubair(suaminya yang terkenal pencemburu), pelayanan masalah rumah seluruhnya, ada daging dia sendiri yang potong,.akulah yang mencucikan (pakaiannya) , dan aku lah yang melaksanakan( semua kebutuhannya dalam rumah).(hadits shahih riwayat Ahmad)
Bahkan dalam riwayat lain, fatimah sendiri yang mengangkat tepung(kalau dikita orang Indonesia beraslah), makanan pokok, diatas kepalanya, mengadoni sendiri tepung itu untuk dijadikan roti(kalau kita beras dimasaklah), bahkan sampai menimba airpun beliau.
Memang terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini. Tetapi perbedaan mereka seputar, apakah seluruh tugas RT adalah kewajiban sang istri? Kalau Abu Tsaur mengatakan :"Iyah seluruh kewajiban tugas rumah, atas istri". Sementara Imam Malik, Syafi'i, Abu Hanifah melarang kewajiban itu secara keseluruhannya. (masak ia, sampai angkat air dari sumur juga istri, serta angkat padi dari sawah kerumah juga istri? Mereka berpendapat, bahwa hadits diatas ( yang angkat tepung diatas kepala itu lho), adalah sebagai sunnah saja buat istri, bukan kewajiban.
Secara dhahir hadits memang iaya tokh..? tapi koq sampai segitunya sekali sih tugas di berikan pada istri, kalau sanggup suami bantulah istri itu angkat yang berat-berat, tega amat, itu keterlaluan suami namanya, masak biarin istri angkat beras berat-berat. Beras/ tepung dari sawah kerumah diatas kepalanya, (sementara dia ada disana?).
Ada dalam riwayat lain disebutkan, pada akhirnya Asma dilarang angkat tepung diatas kepalanya itu, dan disuruh diam dirumah. Ini dikarenakan sahabat Zubair sangat pencemburu sama Asma, melihat istrinya berjalan dilihat sahabat lainnya. Dia tidak kuat menahan cemburu itu. Maka disuruh dirumah saja. Larangan itu semata karena cemburu.
Sementara pendapat yang mewajibkan khidmah(pelayanan) kepada suami dalam urusan dalam rumah, adalah kewajiban sang istri dengan firman Allah ta'ala (Q.S Al Baqarah 228, "dan bagi kamu wahai para istri, mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana
(Lihat penutup ayat, Allah maha bijaksana, ingat ayat bercerita masalah perkara antara suami istri, maka hukum Allahlah yang jauh lebih bijaksana dalam hal penentuan tugas masing-masing, tidak ditutup disana dengan Allah maha mendengar, atau melihat, tetapi maha bijaksana, luar biasa ayat AlQuran ini sangat detail dan sesuai sekali).
Dalam dhahir hadits diatas, lihatlah. Siapa itu Asma? Anak sahabat yang mulia, orang terdekat dengan rasulullah. Diberikan contoh mengadoni tepung, angkat tepung dan melayani suaminya dalam pekerjaan RT. Ini menandakan, kewajiban khidmah pada suami dalam urusan tugas rumah, tidak ada perbedaan apakah ia istri Presiden, istri menteri, pejabat tinggi, pendidikan tinggi. Magister, doctoral sekalipun istrinya. Tetap saja tugas masalah melayani suami didalam rumahnya adalah tugas utamanya(tentu selain tugas pada Allah Ta'ala, ya'ni beribadah).
Lantas, bagaimana kalau suami ikut membantu tugas dirumah, seperti masak, cuci gosok? Itu adalah suatu kebaikan dari sang suami. Rasulullah sendiripun melakukan hal tersebut. Ibunda 'Aisyah ketika ditanya, bagaimana sih Rasulullah didalam rumahnya, apa yang diperbuat oleh Rasulullah? Apa jawab ibunda Siti 'Aisyah? Beliau adalah sebenar-benar manusia. Melipat pakaiannya sendiri, memeras susu sendiri, dan mengerjakan urusan pribadinya sendiri(H.R Attirmidzi dengan derajat hadits shahih, dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Lihat lagi dalam hadits shahih yang lain : "Takutlah kamu kepada Allah dari perempuan, maka sesungguhnya mereka adalah "Awaanun" disisi kamu" "Al 'Aani= tawanan".
Kita tau bukan bagaimana derajat tawanan? Dan bagaimana sikap kita terhadap tawanan. Mereka khadim bagi yang menawannya, sementara yang menawannya tidak boleh keras terhadapnya, harus lembut. Sebahagian ulama salaf berkata : "Tidak diragukan lagi, bahwa menikah adalah sebahagian dari "arriq", maka hendaklah kamu melihat orang yang akan kita muliakan tersebut.
(lihat kitab Adab pergaulan hidup antara suami istri oleh Imam Sa'ad Yuusf halaman 199, juga kitab Undang-undang hidup dalam RT Muslim oleh Dr. Akram Ridha). Didalam kedua kitab tersebut banyak di rincikan tugas dan hak-hak masing-masing kedua belah pihak, perbedaan ulama, beserta dalil-dalilnya dari AlQuran dan Assunnah, sayangnya terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saya tidak tahu, saya hanya membaca dalam buku berbahasa Arabnya saja).
Mungkin, tulisan yang diambil oleh ustadz dibawah yang saya copykan, berasal dari buku tersebut, hanya tidak diungkapkan secara keseluruhannya. Hanya sepotong saja, sehingga timpanglah maksudnya. Menyatakan tidak ada kewajiban sang istri dalam hal urusan RT, semacam masak, nyuci ngepel, gosok dan sebagainya itu. Padahal ayat AlQuran dan hadits, baik secara Eksplisit ataupun implisit menyatakan tugas itu terletak dipundak sang istri. Hanya saja, itu bukan berarti suami tak berhak melakukannya. Boleh saja, itu adalah suatu kebaikan dari suami semata.
Jadi, tak ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa makanan yang diberikan suami haruslah makanan jadi. Itu sama saja kita meminta pada Allah ta'ala yang memberikan kita buahan untuk dikupas, memberikan kita binatang ternak untuk dimakan, tetapi langsung jadi, di potong dulu, kemudian dimasak oleh Allah ta'ala. Kalaupun suami memberikan pembantu untuk istrinya, ini juga suatu kebaikan dari suami.
Soal di Arab sana , bila kelihatan ada suami berbelanja di pasar bersama istrinya, atau dia berbelanja sendirian tanpa istrinya. Setau saya, itu dikarenakan memang di Arab sana , terutama Saudi Arabiya, perempuan keluar harus ditemani muhrimnya. Kalau di Mesir perempuan banyak belanja sendiri? Namun, tetap yang masak juga mereka koq, para istri. Kalaupun ada pembantu, tugasnya pembantu memang sekedar "pembantu", bukan pekerjaan utama. Angkat atau tugas berat-berat memang sering diserahkan ke pembantu, bagi yang mampu memiliki untuk membayar pembantu tentunya. Bukankah dalam ayat disebutkan "Bagi yang kaya sesuai dengan kekayaannya dalam memberikan pelayanan bagi istrinya, bagi yang miskin sesuai pulalah dengan kadar kemampuannya" .
Mungkin, sampai disini dulu. Seperti saya sampaikan, kalau membicarakan masalah urusan perkawinan, urusan hak dan kewajiban masing-masing pihak, ngak akan cukup sehari dua untuk membahasnya, karena masih sangat banyak hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak. Saya hanya membahas, dikarenakan hanya untuk mencoba menanggapi akan tulisan dibawah ini saja.
Allahu'aTa'ala A'lam bisshawab.
Wassalamu'alaikum (Rahima.S.S Abd. Rahim, Bukittinggi,
4 Juni 2009)
Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah?
Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yg dirahmati Allah,
Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika
mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an Ustadz masih ingat materi
"memuliakan istri", ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam
hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll,
(pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami
utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra
diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan
hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo
ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat
wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan dan pakain
yang layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan,
saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan,
sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini
terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan
kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah.
Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan
oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan
ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya
kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa
sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak
selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik
makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh
lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan
pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan . Coba, ibu bisa
lihat di pasar dan supermarket di Doha , yang belanja itu bapak-bapak
kan ? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah
bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan
kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu
kan lihat sendiri di Doha .
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah
satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal
itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi
biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan
ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang
hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di
Indonesia , kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti
ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di
Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari,
selepas bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu
juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang
bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci
pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu
ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara
eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga
para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat
eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang
berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa
pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang
mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak
kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa
dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga.
Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan
oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh
sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani
Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu,
pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh.
Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat
ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang
yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju
istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah
itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan
istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib
diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ??????????
????? ?????? ??????? ?????????? ???? ???????????? ?
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari
para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita
telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri
semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya
kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami
pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu
istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak
boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang
siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan :
Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat
roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami
harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk
memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib
atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan
rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap
kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib
berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat
istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq
Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri
berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat
lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban
untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya
tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik
berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang
sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan
nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan
seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh
istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga
menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada
kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat
lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi
istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi
maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi,
beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau
cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan
seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan
membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang
diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini,
namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami
memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya.
Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada
istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai
keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji'
para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah
tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada
istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu.
Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan
lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling
untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan
istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar
urusan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat
memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga
tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan
dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak
wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk
yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di
rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga
bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih,
mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari
mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut
malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya
sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa,
lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga
Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian.
Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar
agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
http://www.warnaisl am.com
__._,_.___
Messages in this topic (1) Reply (via web post) | Start a new topic
Messages | Database | Calendar
Kunjungi Perpustakaan Anda di lantai V Wisma Nusantara setiap hari Ahad s.d. Kamis pukul 13:00 s.d. 18:00
ANDA BEBAS membaca buku di PMIK (dengan ruangan full AC/heater) atau baca di rumah dengan meminjam buku kesukaan anda dari PMIK
Pastikan Anda menjadi anggota PMIK!
Hanya dengan membayar uang administrasi LE.10.00 (untuk anggota baru) atau LE.5.00 (untuk anggota lama) serta menyertakan pas foto ukuran 2X3/4x6 (2 lembar)Anda bisa menjadi anggota PMIK dan dapat langsung meminjam buku pada saat itu juga.
Satu lagi!
PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo) menerima hibah bahan pustaka berupa apa saja (buku, majalah, buletin, tesis, disertasi, dll.) dari pihak manapun. Untuk keterangan lebih lanjut, Hubungi: Kantor PMIK (2609228) atau Ardi Budiman (+20107688728)
MARKETPLACE
$9000/Month at Home. Learn how Part Time, online!.
I made $5,827 last week.. Find out How. Part Time!.
Mom Power: Discover the community of moms doing more for their families, for the world and for each other
Yahoo! Groups
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Recent Activity
*
5
New Members
Visit Your Group
Y! Messenger
PC-to-PC calls
Call your friends
worldwide - free!
Yahoo! Groups
Mom Power
Find wholesome recipes
and more. Go Moms Go!
Everyday Wellness
on Yahoo! Groups
Find groups that will
help you stay fit.
.
__,_._,___
Ke pesan Sebelumnya | Ke pesan Selanjutnya | Kembali ke Daftar Email
ASCII (ASCII)Yunani (ISO-8859-7)Yunani (Windows-1253)Latin-10 (ISO-8859-16)Latin-3 (ISO-8859-3)Latin-6 (ISO-8859-10)Latin-7 (ISO-8859-13)Latin-8 (ISO-8859-14)Latin-9 (ISO-8859-15)Eropa B (850)Eropa B (CP858)Eropa B (HPROMAN8)Eropa B (MACROMAN8)Eropa B (Windows-1252)Armenia (ARMSCII-8)Baltic Rim (ISO-8859-4)Baltic Rim (WINDOWS-1257)Cyrillic (866)Cyrillic (ISO-8859-5)Cyrillic (KOI8-R)Cyrillic (KOI8-RU)Cyrillic (KOI8-T)Cyrillic (KOI8-U)Cyrillic (WINDOWS-1251)Latin-2 (852)Latin-2 (ISO-8859-2)Latin-2 (WINDOWS-1250)Turki (ISO-8859-9)Turki (WINDOWS-1254)Arab (ISO-8859-6,ASMO-708)Arab (WINDOWS-1256)Yahudi (856)Yahudi (862)Yahudi (WINDOWS-1255)China yang Disederhanakan (GB-2312-80)China yang Disederhanakan (GB18030)China yang Disederhanakan (HZ-GB-2312)China yang Disederhanakan (ISO-2022-CN)China yang Disederhanakan (WINDOWS-936)China Trad.-Hong Kong (BIG5-HKSCS)China Tradisional (BIG5)China Tradisional (EUC-TW)Jepang (SHIFT_JIS)Jepang (EUC-JP)Jepang (ISO-2022-JP)Korea (ISO-2022-KR)Korea (EUC-KR)Thai (TIS-620-2533)Thai (WINDOWS-874)Vietnam (TCVN-5712)Vietnam (VISCII)Vietnam (WINDOWS-1258)Unicode (UTF-7)Unicode (UTF-8)Unicode (UTF-16)Unicode (UTF-32)
| Header Lengkap
Cari Email
Hak Cipta © 2009 Yahoo! Southeast Asia Pte Ltd. Semua hak dilindungi undang-undang. Hak Cipta/Kebijakan IP - Ketentuan Layanan - Bantuan
PEMBERITAHUAN: Kami mengumpulkan informasi pribadi di situs ini. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana kami menggunakan informasi Anda, bacalah Kebijakan Privasi
* Email
* Chat
* Sms
Kontak Buku Alamat
* Parsiti Parsiti Djohar
Kontak Buku Alamat
* religia azhar
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Membicarakan permasalahan hak-hak dan kewajiban suami dan istri ini, tentu sangat besar, tidak cukup waktu sehari dua hari dalam mengupasnya.
Disini saya hanya ingin menggaris bawahi permasalahan, yang saya melihat agak sedikit kurang mengena di akal saya ini.
Disuatu milist saya ada membaca tentang hal yang baru kali ini pula saya baca, kalau tidak ada kewajiban istri dalam Islam itu untuk memasakkan, mecucikan dan sebagainya itu terhadap suami.
Kewajiban istri disana disebutkan seakan hanya pelampiasan nafsu seksualitas suaminya saja, kalau suami minta untuk berhubungan badan, haruslah ditaati saat itu, karena itu hak suami yang terbesar, dengan mengemukakan dalil yang memang dalil tersebut cukup kuat.
Cukup banyak dalil dalam hadits asshahihah yang mengecam para istri, sampai-sampai shalatnya tidak akan diterima, malaikat akan marah sama sang istri sampai pagi apabila istri tersebut menolak ajakan suaminya pada malam hari itu. Ok. Kita tak akan memungkiri hadits shahih tersebut(siapa lagi yang menolaknya?)
Namun, mungkin kita lupa, atau pura-pura dilupakan kali yah. Kalau hak istimta'(bersenang- senang itu), bukan hanya miliknya sang suami saja. Hak istimta' (jima') adalah hak tabadul(saling memiliki, bergantian), diantara keduanya.
Apakah kita lupa akan hadits shahih yang mana Rasulullah mengecam akan para lelaki yang sibuk dengan ibadah semata, dan melupakan kewajibannya terhadap keluarganya? Juga apakah kita lupa akan sabda Rasulullah kepada sahabat Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, diriwayatkan dalam kitab shahih Bukhari :"Wahai Abdullah, dikhabarkan kepadaku, bahwasanya engkau puasa disiang hari, dan shalat dimalam hari(tahajjud) ? Maka Abdullah berkata, "Iyah, benar wahai rasulullah". Apa tanggapan Rasulullah saat itu? :"Jangan engkau lakukan itu, puasalah dan juga berbukalah, shalatlah, tapi tidur juga, karena apa? Karena tubuh kamu punya hak atas kamu(untuk istirahat), mata kamu juga, istri kamu juga, tetangga kamu juga……dst..(H.R BUkhari kitab puasa, bab hak tubuh dalam hal berpuasa).
Dan juga, apakah kita lupa, hak tabadul juga, bukan suami saja yang mendapatkan pemanasan dari sang istri sebelum jima', namun seorang suami dianjurkan sebelum menggauli istrinya mendapatkan , almudaa'abah, mulaamasah, istilah kerennya (pemanasan) dulu. Dimain-mainkan dulu disentuh, dikecup, atau apa kek, biar sang istri gimana gitu. Bukankah hal ini untuk kesenangan sang istri? Jadi, mendapatkan kesenangan, bukanlah semata hak suami saja, tetapi hak yang tabadul(saling bergantian). Sebagaimana sang suami berhak mendapatkan kesenangan dalam hal jima', begitu pulalah seorang istripun berhak mendapatkan kesenangan yang sama.
Lantas, dimanakah hak-hak juga kewajiban sendiri-sendiri?
Bagi sang istri haknya terhadap suami adalah nafkah, dan sebaliknya kewajiban suami adalah memberikan nafkah, dan sesuai dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman "'alal muusi'I qadaruhu, wa'alal muqtiri qadaruhu", bagi yang tak mampu yang sesuai dengan kemampuannyalah, bagi yang kayapun begitu juga, jangan miskin dipaksakan sampai menghutang sana sini demi membahagiakan istri, korupsi, mencuri demi memberikan pelayanan yang terbaik untuk istri, ini mah,..salah kaprah. Atau kaya, tetapi pelit, ini mah suami keterlaluan.
Sekarang, secara spesifik mari kita lihat, hak suami dari istri, alias kewajiban san istri terhadap suaminya ada tiga kategori. Dan tiga kategori ini bisa mencakup keseluruhannya.
1. Kewajiban istri taat pada suami. (Lihat Q.S Annisa ayat 34).
Inilah sebesar-besar hak suami dari istrinya dan kewajiban istri terhadap suaminya. Yakni :"ta'at kepada suaminya". Sangat banyak hadits-hadits shahih yang mendukung akan hal ini. Sebenarnya dari yang satu ini saja sudah mencakupi keseluruhan hak-hak suami pada istrinya.
Dalam Alquran dan bahasa Arab, ada yang diistilahkan jami'ul kulum(satu lafaz yang singkat mencakup keseluruhan makna).
Dari kata "ta'at" saja, sudah mencakup disana kewajiban sang istri, bukan hanya sekedar istim'ta(jima' ), tetapi juga urusan memasak, mencuci, menggosok, ngepel dan sebagainya itu dalam hal urusan RT. Kenapa? Bagaimana, kalau sang suami meminta sang istri masak, cuci gosok dirumah, apakah kita tidak mau, dengan alasan bukan kewajiban kita, karena tidak ada perintah baik dalam AlQuran maupun hadits yang mewajibkan hal itu secara dhahir(nyata) , lafaznya?lantas, bagaimana dengan kewajiban utama sang istri pada suami, yakni Ta'at(ta'at sepanjang bukan ma'siat pda Allah Ta'ala tentunya, sebab dalam hadits disebutkan :"Laa thaa'ata al makhluuq fiy ma'siatil khaaliq"
Ok,..kalau itu jawaban sang istri. Karena tidak adanya nash sharih akan kewajiban cuci, masak ngepel dllnya.
Mari sama-sama kita jawab:
Bagaimana dengan perintah sang istri wajib ta'at pada suaminya? Kalau suami suruh masak gimana?
Kemudian, coba kita lihat qaedah Fiqh/ushul fiqh :"Al 'aadah muhakkamatun" (Kebiasaan suatu tempat/daerah menjadi hukum). Ingat, seperti yang pernah saya sampaikan, qauedah ushul fiqh kedudukannya dalam hukum seperti alat, dipakai saat dibutuhkan, dan di pakai sesuai dengan tempat yang dibutuhkan. Jangan asal pakai sembarang tempat saja. Nantik kaedah semacam diatas dipakai seenaknya saja.
Saya dulu agak kaget melihat kaedah :"Al 'aadah muhakkamatun" ini dipakai dalam hukum warisan di Minang, yang mana harta pusaka tinggi jatuh pada garis keturunan ibu saja. Dengan memakai kaedah ini, juga kaedah al mashalih al mursalah. Hal ini saya tentang habis-habisan dengan memberikan penjelasan dari kaedah ushul fiqh dan fiqh dalam islam itu seperti apa. Al mashalih al mursalah itu dan al 'aadah al muhakkamah itu kapan dipakainya, dan bagaimana syaratnya, sempat saya sampai menulis tentang hal ini. Tidak sembarang pakai saja. Nantik pisau untuk memotong sayuran dan daging di dapur, malah bisa dipakai untuk memotong leher manusia lagi. Kan bahaya itu? Hukum warisan sudah ada ketentuannya yang jelas dari Allah ta'ala dan RasulNya.
Kembali ke pembicaraan semula.
Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, baik di negeri Arab sendiri ataupun di luar Arab, bahwa yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah sang istri. Bukan suami. Suami kerjanya mencari nafkah, ini dah harga mati dari Allah Ta'ala. Sebagaimana harga mati juga, kalau Al qawwamah(kepemimpin an), berada di tangan sang suami.
Kalau Al qawwamah berada ditangan istri, maka terbaliklah dunia. Atas jadi bawah, bawah jadi atas. Sang suami pula yang disuruh masak, cuci ngepel, dimana lagi letak kepemimpinan suami kalau begitu. Apakah dengan alasan, bahwa kewajiban sang suami menyediakan makan, pakaian, tempat tinggal, jadi sang istri tinggal terima beres. Makanan yang diberikan sudah jadi begitu? Enak banget. Itu namanya sang istri pemimpin, ia yang jadi Raja kalau begitu. Ohh..alasannya katanya kan makanan kewajiban suami terhadap istri.
Ok. Benar. Nafkah lahir, makan kewajiban suami. Coba kita renungkan, Allah berfirman, makan dan minumlah kamu. Makanlah buahan, ikan dilaut, binatang ternak. Itu Allah yang berikan pada kita. Apakah Allah juga yang memasakkan ikan dan ternak ayam, kambing sapi dan sebagainya itu untuk kita. Juga buahan apel, mangga, apalagi durian, Allah kah yang kupaskan buat kita. Karena firman Allahkan, kalau Allah sudah menjamin setiap makhluk dipermukaan bumi ini, Allahlah yang akan memberi rezeki dan makan mereka. Apakah Allah juga yang kupasin mangga buat kita makan? Kalau itu dalil seorang istri kewajiban suami memberikan makan pada istrinya.
Apa suami juga yang masak? Itu sama saja kita meminta pada Allah atas janji dan jaminan Allah Ta'ala akan memberikan makan buat manusia. Kita minta Allah yang masakin kita, dan bersihkan halaman kita. Naudzubillahimindza lik. Allah memang menjamin kita akan memberikan makan, rezeki, juga sebagai makhluk kewajiban kita pada Allah ta'ala adalah ta'at kepadaNya dan menyembahNya.
Coba deh renungkan semua ini. Darimana pula landasan akal dan landasan syar'inya, kalau kewajiban suami pula yang harus memberikan kita makan yang sudah jadi, alias itu namanya kita minta suami memasak. Apalagi, kalau kita katakan tidak ada kewajiban sang istri membersihkan rumah, cuci, gosok, ngepel dan sebagainya itu.
Coba saja lihat dalam kepemimpinan, presiden yang jadi pemimpin, dia yang mengatur roda pemerintahan. Dia yang harus memberikan pelayanan baik pada sang rakyat. Tapi, rakyatnya bagaimana? Apakah rakyatnya harus duduk dan tiduran saja. Tidak bukan?. Rakyat tugasnya membantu sang Presiden, rakyat juga bekerja. Rakyat juga berhak mengkritik dan menasehati pemimpinnya kalau ada yang salah.
Inilah system kerja tabadul(saling bergantian), namanya. Masing-masing dari kedua belah pihak akan saling ketergantungan. Suami tidak bisa maju tanpa istri, begitupun sebaliknya. Tau hak-hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh syari'at. Tidak salah bukan, kalau kita disuruh mencari jodoh orang yang tau akan agama, bukan berarti orang yang harus sekolah agama. Banyak orang umum, tau agama koq? Yang penting dia tau akan agamanya.
Kalau saja katanya, dalil tidak adanya secara eksplisit akan kewajiban istri memasak dan mencuci disebutkan dalam AlQuran dan hadits. Selain kedua alasan dalil yang saya sebutkan diatas(ta'at kepada suami, serta kaedah fiqh "Al aadah muhakkamah") , kita coba lagi menambah penjelasan lainnya. Mari kita lihat hadits-hadits berikut:
Dari Ibn Umar radhiallahu' anhu beliau berkata. Aku mendengar Rasulullah bersabda: " Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki (suami), menjadi pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan perempuan juga pemimpin didalam RT (rumah suami) nya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang ada dalam rumah tersebut. Masing-masing kamu semuanya pemimpin.(H. R Bukhari dan Muslim)
Syahid dalam hadits ini, bahwa istri bertanggung jawab atas urusan RT adalah kalimat diatas :"Perempuan( istri), bertanggung jawab atas rumah suaminya.
Jelas sekali disana kewajiban istri dalam rumah suami. Menjaga harta suami, memikirkan apa yang akan dimakan nantiknya, menjaga kebersihan rumah dan sebagainya. Karena apa? Karena jelas disana dikatakan tanggung jawab istri. Apakah harus di perinci secara jelas, kamu wahai para istri masak, cuci ngepel begitu? Mintalah sama Allah Ta'ala, "Ya Allah tolonglah kupasin buah durian ini, karena dia berduri, tidak bisa kami memakannya".
Imam Ibn Al qayyim rahimahullahu ta'ala 'anhu, Ibn Habib berkata : " Rasulullah memberikan kebijaksanaan antara 'Ali bin Abi Thalid, serta istrinya Fatimah, tatkala fatimah mengadu masalah pembantu. Tangannya agak lecek sedikit kali, jadi beliau minta pembantu….kemudian hal ini dikhabarkan kepada Rasulullah, apa jawab Rasululah ketika itu? "Maukah kamu berdua saya kasih tau, apa yang lebih baik untuk kamu berdua ketimbang apa yang kamu adukan/minta tersebut? Jika kamu berdua ingin tidur, maka bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, itu jauh lebih baik untuk kamu berdua ketimbang meminta pembantu".(H. R Muslim dan lainnya).
Hadits yang lain, mari kita lihat :
Dari Asma(binti abi Bakar ra), ia berkata : "Aku melayani Zubair(suaminya yang terkenal pencemburu), pelayanan masalah rumah seluruhnya, ada daging dia sendiri yang potong,.akulah yang mencucikan (pakaiannya) , dan aku lah yang melaksanakan( semua kebutuhannya dalam rumah).(hadits shahih riwayat Ahmad)
Bahkan dalam riwayat lain, fatimah sendiri yang mengangkat tepung(kalau dikita orang Indonesia beraslah), makanan pokok, diatas kepalanya, mengadoni sendiri tepung itu untuk dijadikan roti(kalau kita beras dimasaklah), bahkan sampai menimba airpun beliau.
Memang terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini. Tetapi perbedaan mereka seputar, apakah seluruh tugas RT adalah kewajiban sang istri? Kalau Abu Tsaur mengatakan :"Iyah seluruh kewajiban tugas rumah, atas istri". Sementara Imam Malik, Syafi'i, Abu Hanifah melarang kewajiban itu secara keseluruhannya. (masak ia, sampai angkat air dari sumur juga istri, serta angkat padi dari sawah kerumah juga istri? Mereka berpendapat, bahwa hadits diatas ( yang angkat tepung diatas kepala itu lho), adalah sebagai sunnah saja buat istri, bukan kewajiban.
Secara dhahir hadits memang iaya tokh..? tapi koq sampai segitunya sekali sih tugas di berikan pada istri, kalau sanggup suami bantulah istri itu angkat yang berat-berat, tega amat, itu keterlaluan suami namanya, masak biarin istri angkat beras berat-berat. Beras/ tepung dari sawah kerumah diatas kepalanya, (sementara dia ada disana?).
Ada dalam riwayat lain disebutkan, pada akhirnya Asma dilarang angkat tepung diatas kepalanya itu, dan disuruh diam dirumah. Ini dikarenakan sahabat Zubair sangat pencemburu sama Asma, melihat istrinya berjalan dilihat sahabat lainnya. Dia tidak kuat menahan cemburu itu. Maka disuruh dirumah saja. Larangan itu semata karena cemburu.
Sementara pendapat yang mewajibkan khidmah(pelayanan) kepada suami dalam urusan dalam rumah, adalah kewajiban sang istri dengan firman Allah ta'ala (Q.S Al Baqarah 228, "dan bagi kamu wahai para istri, mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana
(Lihat penutup ayat, Allah maha bijaksana, ingat ayat bercerita masalah perkara antara suami istri, maka hukum Allahlah yang jauh lebih bijaksana dalam hal penentuan tugas masing-masing, tidak ditutup disana dengan Allah maha mendengar, atau melihat, tetapi maha bijaksana, luar biasa ayat AlQuran ini sangat detail dan sesuai sekali).
Dalam dhahir hadits diatas, lihatlah. Siapa itu Asma? Anak sahabat yang mulia, orang terdekat dengan rasulullah. Diberikan contoh mengadoni tepung, angkat tepung dan melayani suaminya dalam pekerjaan RT. Ini menandakan, kewajiban khidmah pada suami dalam urusan tugas rumah, tidak ada perbedaan apakah ia istri Presiden, istri menteri, pejabat tinggi, pendidikan tinggi. Magister, doctoral sekalipun istrinya. Tetap saja tugas masalah melayani suami didalam rumahnya adalah tugas utamanya(tentu selain tugas pada Allah Ta'ala, ya'ni beribadah).
Lantas, bagaimana kalau suami ikut membantu tugas dirumah, seperti masak, cuci gosok? Itu adalah suatu kebaikan dari sang suami. Rasulullah sendiripun melakukan hal tersebut. Ibunda 'Aisyah ketika ditanya, bagaimana sih Rasulullah didalam rumahnya, apa yang diperbuat oleh Rasulullah? Apa jawab ibunda Siti 'Aisyah? Beliau adalah sebenar-benar manusia. Melipat pakaiannya sendiri, memeras susu sendiri, dan mengerjakan urusan pribadinya sendiri(H.R Attirmidzi dengan derajat hadits shahih, dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Lihat lagi dalam hadits shahih yang lain : "Takutlah kamu kepada Allah dari perempuan, maka sesungguhnya mereka adalah "Awaanun" disisi kamu" "Al 'Aani= tawanan".
Kita tau bukan bagaimana derajat tawanan? Dan bagaimana sikap kita terhadap tawanan. Mereka khadim bagi yang menawannya, sementara yang menawannya tidak boleh keras terhadapnya, harus lembut. Sebahagian ulama salaf berkata : "Tidak diragukan lagi, bahwa menikah adalah sebahagian dari "arriq", maka hendaklah kamu melihat orang yang akan kita muliakan tersebut.
(lihat kitab Adab pergaulan hidup antara suami istri oleh Imam Sa'ad Yuusf halaman 199, juga kitab Undang-undang hidup dalam RT Muslim oleh Dr. Akram Ridha). Didalam kedua kitab tersebut banyak di rincikan tugas dan hak-hak masing-masing kedua belah pihak, perbedaan ulama, beserta dalil-dalilnya dari AlQuran dan Assunnah, sayangnya terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saya tidak tahu, saya hanya membaca dalam buku berbahasa Arabnya saja).
Mungkin, tulisan yang diambil oleh ustadz dibawah yang saya copykan, berasal dari buku tersebut, hanya tidak diungkapkan secara keseluruhannya. Hanya sepotong saja, sehingga timpanglah maksudnya. Menyatakan tidak ada kewajiban sang istri dalam hal urusan RT, semacam masak, nyuci ngepel, gosok dan sebagainya itu. Padahal ayat AlQuran dan hadits, baik secara Eksplisit ataupun implisit menyatakan tugas itu terletak dipundak sang istri. Hanya saja, itu bukan berarti suami tak berhak melakukannya. Boleh saja, itu adalah suatu kebaikan dari suami semata.
Jadi, tak ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa makanan yang diberikan suami haruslah makanan jadi. Itu sama saja kita meminta pada Allah ta'ala yang memberikan kita buahan untuk dikupas, memberikan kita binatang ternak untuk dimakan, tetapi langsung jadi, di potong dulu, kemudian dimasak oleh Allah ta'ala. Kalaupun suami memberikan pembantu untuk istrinya, ini juga suatu kebaikan dari suami.
Soal di Arab sana , bila kelihatan ada suami berbelanja di pasar bersama istrinya, atau dia berbelanja sendirian tanpa istrinya. Setau saya, itu dikarenakan memang di Arab sana , terutama Saudi Arabiya, perempuan keluar harus ditemani muhrimnya. Kalau di Mesir perempuan banyak belanja sendiri? Namun, tetap yang masak juga mereka koq, para istri. Kalaupun ada pembantu, tugasnya pembantu memang sekedar "pembantu", bukan pekerjaan utama. Angkat atau tugas berat-berat memang sering diserahkan ke pembantu, bagi yang mampu memiliki untuk membayar pembantu tentunya. Bukankah dalam ayat disebutkan "Bagi yang kaya sesuai dengan kekayaannya dalam memberikan pelayanan bagi istrinya, bagi yang miskin sesuai pulalah dengan kadar kemampuannya" .
Mungkin, sampai disini dulu. Seperti saya sampaikan, kalau membicarakan masalah urusan perkawinan, urusan hak dan kewajiban masing-masing pihak, ngak akan cukup sehari dua untuk membahasnya, karena masih sangat banyak hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak. Saya hanya membahas, dikarenakan hanya untuk mencoba menanggapi akan tulisan dibawah ini saja.
Allahu'aTa'ala A'lam bisshawab.
Wassalamu'alaikum (Rahima.S.S Abd. Rahim, Bukittinggi,
4 Juni 2009)
Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah?
Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yg dirahmati Allah,
Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika
mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an Ustadz masih ingat materi
"memuliakan istri", ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam
hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll,
(pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami
utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra
diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan
hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo
ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat
wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan dan pakain
yang layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan,
saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan,
sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini
terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan
kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah.
Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan
oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan
ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya
kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar bahwa
sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak
selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik
makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh
lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan
pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan . Coba, ibu bisa
lihat di pasar dan supermarket di Doha , yang belanja itu bapak-bapak
kan ? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah
bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan
kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu
kan lihat sendiri di Doha .
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah
satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal
itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi
biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan
ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang
hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di
Indonesia , kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti
ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di
Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari,
selepas bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu
juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang
bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci
pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu
ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara
eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga
para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat
eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang
berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa
pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang
mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak
kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa
dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga.
Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan
oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh
sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani
Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu 'anhu,
pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh.
Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat
ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang
yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju
istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah
itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan
istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib
diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ??????????
????? ?????? ??????? ?????????? ???? ???????????? ?
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari
para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita
telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri
semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya
kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami
pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu
istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak
boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang
siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan :
Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat
roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami
harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk
memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib
atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan
rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap
kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib
berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat
istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq
Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri
berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat
lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban
untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya
tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik
berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang
sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan
nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan
seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh
istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga
menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada
kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat
lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi
istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi
maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi,
beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau
cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan
seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan
membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang
diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini,
namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami
memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya.
Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada
istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai
keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji'
para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah
tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada
istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu.
Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan
lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling
untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan
istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar
urusan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat
memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga
tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan
dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak
wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk
yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di
rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga
bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih,
mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari
mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut
malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya
sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa,
lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga
Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian.
Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar
agama Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
http://www.warnaisl am.com
__._,_.___
Messages in this topic (1) Reply (via web post) | Start a new topic
Messages | Database | Calendar
Kunjungi Perpustakaan Anda di lantai V Wisma Nusantara setiap hari Ahad s.d. Kamis pukul 13:00 s.d. 18:00
ANDA BEBAS membaca buku di PMIK (dengan ruangan full AC/heater) atau baca di rumah dengan meminjam buku kesukaan anda dari PMIK
Pastikan Anda menjadi anggota PMIK!
Hanya dengan membayar uang administrasi LE.10.00 (untuk anggota baru) atau LE.5.00 (untuk anggota lama) serta menyertakan pas foto ukuran 2X3/4x6 (2 lembar)Anda bisa menjadi anggota PMIK dan dapat langsung meminjam buku pada saat itu juga.
Satu lagi!
PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo) menerima hibah bahan pustaka berupa apa saja (buku, majalah, buletin, tesis, disertasi, dll.) dari pihak manapun. Untuk keterangan lebih lanjut, Hubungi: Kantor PMIK (2609228) atau Ardi Budiman (+20107688728)
MARKETPLACE
$9000/Month at Home. Learn how Part Time, online!.
I made $5,827 last week.. Find out How. Part Time!.
Mom Power: Discover the community of moms doing more for their families, for the world and for each other
Yahoo! Groups
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
Recent Activity
*
5
New Members
Visit Your Group
Y! Messenger
PC-to-PC calls
Call your friends
worldwide - free!
Yahoo! Groups
Mom Power
Find wholesome recipes
and more. Go Moms Go!
Everyday Wellness
on Yahoo! Groups
Find groups that will
help you stay fit.
.
__,_._,___
Ke pesan Sebelumnya | Ke pesan Selanjutnya | Kembali ke Daftar Email
ASCII (ASCII)Yunani (ISO-8859-7)Yunani (Windows-1253)Latin-10 (ISO-8859-16)Latin-3 (ISO-8859-3)Latin-6 (ISO-8859-10)Latin-7 (ISO-8859-13)Latin-8 (ISO-8859-14)Latin-9 (ISO-8859-15)Eropa B (850)Eropa B (CP858)Eropa B (HPROMAN8)Eropa B (MACROMAN8)Eropa B (Windows-1252)Armenia (ARMSCII-8)Baltic Rim (ISO-8859-4)Baltic Rim (WINDOWS-1257)Cyrillic (866)Cyrillic (ISO-8859-5)Cyrillic (KOI8-R)Cyrillic (KOI8-RU)Cyrillic (KOI8-T)Cyrillic (KOI8-U)Cyrillic (WINDOWS-1251)Latin-2 (852)Latin-2 (ISO-8859-2)Latin-2 (WINDOWS-1250)Turki (ISO-8859-9)Turki (WINDOWS-1254)Arab (ISO-8859-6,ASMO-708)Arab (WINDOWS-1256)Yahudi (856)Yahudi (862)Yahudi (WINDOWS-1255)China yang Disederhanakan (GB-2312-80)China yang Disederhanakan (GB18030)China yang Disederhanakan (HZ-GB-2312)China yang Disederhanakan (ISO-2022-CN)China yang Disederhanakan (WINDOWS-936)China Trad.-Hong Kong (BIG5-HKSCS)China Tradisional (BIG5)China Tradisional (EUC-TW)Jepang (SHIFT_JIS)Jepang (EUC-JP)Jepang (ISO-2022-JP)Korea (ISO-2022-KR)Korea (EUC-KR)Thai (TIS-620-2533)Thai (WINDOWS-874)Vietnam (TCVN-5712)Vietnam (VISCII)Vietnam (WINDOWS-1258)Unicode (UTF-7)Unicode (UTF-8)Unicode (UTF-16)Unicode (UTF-32)
| Header Lengkap
Cari Email
Hak Cipta © 2009 Yahoo! Southeast Asia Pte Ltd. Semua hak dilindungi undang-undang. Hak Cipta/Kebijakan IP - Ketentuan Layanan - Bantuan
PEMBERITAHUAN: Kami mengumpulkan informasi pribadi di situs ini. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana kami menggunakan informasi Anda, bacalah Kebijakan Privasi
* Chat
* Sms
Kontak Buku Alamat
* Parsiti Parsiti Djohar
Kontak Buku Alamat
* religia azhar
Subscribe to:
Posts (Atom)