Saturday, March 15, 2008

Fenomena Film Ayat-ayat Cinta (2)

BERITA UTAMA

15 Maret 2008


SM/Basuni H NOVEL BARU: Habiburrahman el Shirazy bersama ”Ketika Cinta Bertasbih”, novel yang juga akan diangkat menjadi film. (57)
Pada suatu itu (kiamat), orang-orang berteman, setengah mereka bermusuh-musuhan terhadap yang lain. Kecuali orang-orang yang bertakwa (QS Az Zukhruf:67)

PETIKAN ayat dari Alquran tersebut merupakan sumber inspirasi terciptanya novel Ayat Ayat Cinta (AAC). Banyak yang mengira buku itu adalah karya sastra pertama dari Habiburrahman el Shirazy. Padahal tidak.

Novel fenomenal tersebut merupakan karya keempat dari laki-laki yang akrab disapa Kang Abik. "Ayat Ayat Cinta ini terinspirasi dari Tadabun Alquran, Surat Az Zukhruf ayat 67," kata Kang Abik saat ditemui di rumahnya di Bugel, Kota Salatiga kemarin.

Karya pertamanya adalah Ketika Cinta Berbuah Surga, kemudian Di Atas Sajadah Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ayat Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1, Dalam Mihrab Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih 2.

Menurutnya, novel AAC itu membawa misi dakwah bahwa tidak ada jaminan cinta di dunia bisa langgeng kecuali di akherat. Dan hanya orang yang bertakwalah yang bisa mengekalkan cinta. Tokoh-tokoh yang ada di novel itu merupakan lekatan.

Secara khusus dia menjelaskan tokoh Fahri yang disebutnya sosok seperti KH Agus Salim dan Bung Hatta, yang terkenal gigih belajar ilmu pengetahuan, bahasa, dan agama semenjak mahasiswa. Tokoh-tokoh hebat yang dahulu ada tetapi sekarang sulit dijumpai.
"Fahri dalam novel bisa menguasai banyak bahasa, Inggris, Arab dan Jerman," kata dia. Dia mengatakan jika ada pemuda yang memiliki mental seperti mereka, maka negeri ini tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa maju.
Tentang film AAC yang disutradai Hanung Bramanto, dia mengaku tidak dilibatkan oleh sutradara itu dalam menentukan pemerannya.

”Saya hanya dimintai pendapat tentang bagaimana Fedi Nuril dan Zaskia Aditya Mecca,” jelas Kang Abik.
Tokoh lain, seperti Rianti Cartwright, Carissa Putri, dan Melanie Putria Dewita Sari sudah dibawa sebelumnya oleh Hanung Bramantyo.
Dia menyebut memiliki standar tersendiri untuk tokoh pemeran Fahri. Yakni kepribadiannya baik, tetapi di luar atau di kehidupan nyata juga harus baik, tidak hanya lipstik.

Pria yang saat ini tengah merampungkan novel Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening dan Bulan Madu di Yerusalem itu juga mengaku novel AAC masih lebih bagus dibandingkan filmnya.
Kang Abik menuturkan apa yang diangkat di film tidak sama persis seperti di novel. Banyak cerita di novel yang berbeda atau bahkan dihilangkan saat diubah ke dalam film. Namun dia memaklumi hal tersebut.

Karena banyak hal di novel yang tidak bisa dilukiskan menjadi sebuah adegan di film. ”Secara garis besar, misi dakwah yang ada di film sudah bagus,” ujarnya.
Kang Abik juga tidak heran atau kaget jika film itu meledak di pasaran, karena saat masih berupa novel sudah mendapat sambutan yang hangat di mana-mana. Pria ramah itu lalu berkisah betapa satu novel AAC dibaca oleh 200 orang santri di sebuah pondok pesantren yang ada di Kajen, Kabupaten Pekalongan.
Atau cerita di sebuah kantor di mana satu novel kemudian di fotokopi ramai-ramai. Menurut perkiraan pengasuh utama Pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia ini novel tersebut telah laku sebanyak 400 ribu eksemplar dan telah 33 kali dicetak ulang.

”Saya menganggap novelnya masih lebih bagus dibanding filmnya,” kata dia.
Komentar senada keluar dari Dita Widyawati (22), mahasiswi Psikologi Undip, dan oleh Metha Dwi Utami (21), mahasiswi Fakultas Sastra jurusan Sejarah UNS Surakarta, serta Resti Ayu (15), pelajar SMA Negeri 6 Surakarta.
”Tokoh Fahri di novel lebih alim, sedangkan di film lebih manusiawi, sedang Aisah kayaknya lebih centil di film,” kata Dita. Dia mengaku kagum dengan tokoh Fahri di novel, yang tidak berani memandang terlalu lama perempuan yang menjadi lawan bicaranya karena bukan muhrim.

Sementara Metha yang berjilbab itu mengaku, merasa lebih terhanyut dan menghayati novel dibandingkan filmnya.
Baik Dita, Metha dan Resti mengaku telah membaca novel lebih dahulu sebelum menonton film.

Resti menilai novelnya lebih bagus karena tidak ada cerita atau adegan yang dibikin cepat atau tergesa-gesa dan alurnya lebih jelas daripada di film. Menurut ketiganya, kemiripan antara di novel dan di film hanya sekitar 70 persen, namun filmnya tetap saja bagus dan enak dinikmati.

Terkait dengan aksi pembajakan yang mengiringi ketenaran novel ini, Kang Abik secara pribadi ”memaafkan”. Namun dia tetap meminta agar tindakan mereka ditangani secara serius karena bisa merusak bangsa dan membikin para penulis tidak bersemangat untuk menciptakan karay-karya yang bagus.
Dia juga tidak mau menggoreskan tanda tangan pada karya-karya bajakan yang terkait dengan novel itu. (Basuni H-60)

No comments: