4 Agustus 2008
Hasil Survei Iklim Bisnis (Business Climate Survey/BCS) Jateng 2007 mungkin akan disambut senyuman oleh pemerintah daerah dan pelaku bisnis di Eks Karesidenan Banyumas. Betapa tidak, wilayah yang meliputi Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara itu menduduki peringkat terbaik di Jateng.
Wartawan Suara Merdeka Didi Wahyu, Sigit Harsanto dan Agus Wahyudi menurunkan sejumlah catatan yang membuat wilayah ’’ngapak’’ itu tak perlu
terlalu berbesar hati dahulu.
SURVEI Iklim Bisnis (BCS) 2007 bisa diibaratkan sebagai rapor bagi daerah-daerah di provinsi ini. Bedanya, nilai diberikan bukan oleh guru, melainkan oleh pihak ketiga yang relatif independen dengan melibatkan sektor terkait. Maka bila Jateng diibaratkan sebuah sekolah, mutunya terhitung rendah.
Betapa tidak, hanya dibutuhkan nilai 5.91 agar eks Karesidenan Banyumas meraih predikat berdaya saing terbaik, di atas wilayah eks Karesidenan Pati (5,70), Surakarta (5,64), Kedu (4,89), Semarang (4,83), dan eks Karesidenan Pekalongan (4,61)
Penelitian dikerjakan bersama oleh Lembaga Kerjasama Teknis Jerman Program Pengembangan Ekonomi Wilayah (GTZ-red), Harian Suara Merdeka, Kantor Bank Indonesia Semarang, Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) Jateng, dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Jateng, sepanjang semester akhir 2007. Tak cuma mengandalkan data statistik, persepsi pengusaha diserap melalui wawancara.
Tentu saja, menjadi yang terbaik diantara yang terburuk bukan merupakan prestasi yang luar biasa. Nilai itu merefleksikan kinerja yang mencakup enam indikator, meliputi kinerja ekonomi, kapasitas pemerintahan, efesiensi pemerintahan, infrastruktur, iklim usaha dan dinamika usaha. Cilacap (6,14) berada di peringkat pertama Jateng, Purbalingga (5,10) peringkat ke 17, Banjarnegara (4,70) peringkat ke 29 dan Banyumas (4,54) peringkat ke 31 dari 35 kabupaten kota di Jateng.
Performa menarik ditunjukkan Kabupaten Cilacap yang menyumbang banyak angka dari tiga indikator. Iklim usaha yang baik (7.31), infrastruktur memadai (7.00) dan kinerja ekonomi prima (7.17) membuat Cilacap terhitung paling menonjol di Jateng.
Wilayah pesisir ini sekaligus menjadi satu-satunya kabupaten yang mengantongi nilai 6 pada penilaian daya saing keseluruhan di tingkat kabupaten. Sebanyak 34 kabupaten kota lain, tak ada yang sanggup meraih nilai 6.
Masih Timpang
Cilacap tak mampu meraih nilai total lebih tinggi, justru karena masih rendahnya kapasitas pemerintah (3.96). Secara terbuka, Sekretaris Daerah Soeprihono mengakui ketimpangan tersebut. Menurutnya, prioritas pemerintah saat ini baru pada tahap memperkuat fondasi ekonomi.
Strateginya dengan memberi kemudahan perizinan, melengkapi infrastruktur dan menciptakan kebijakan proinvestasi lainnya. Perusahaan besar seperti PT Pertamina dan PT Holcim pun pada mulanya tidak langsung dipersulit soal pajak. Pokoknya, pertama adalah mengupayakan investasi untuk mendorong penyerapan tenaga kerja.
’’Strategi kami adalah mengutamakan kemajuan perekonomian dengan memberi kemudahan investasi. Ada perusahaan, itu artinya warga bisa bekerja dan memperbaiki ekonomi makro. Setelah itu, baru mengoptimalkan pajak,’’ katanya menanggapi hasil survei.
Pelebaran jalan eks Pasar Gumilir dijadikan Soeprihono sebagai contoh buah manis dari upaya pembenahan infrastruktur. Jalan di sekitar kawasan diperlebar 1,5 kali lipat, dan ijin pendirian ruko dipermudah. Dia mengakui, pemerintah pada tahap-tahap awal bahkan tidak terlalu keras menetapkan standar pendirian ruko. Kini survei pemerintah menyatakan bahwa omset pedagang dan ruko naik hingga 10 kali lipat.
’’Di sana sekarang menjadi pusat keramaian dan pertumbuhan ekonomi baru. Nah kalau sudah maju ekonominya baru kami mengoptimalkan perolehan PAD,’’ jelasnya.
Nilai investasi yang terus merangkak naik memang menjadikan Cilacap sebagai primadona Jateng. Tahun ini saja, terdapat tiga investor besar meliputi PT Pertamit Processing (pemurnian dan kilang minyak bumi), PT Changjian Buana Nusantara (pertambangan pasir besi) dan PT D & C Enggineering (konstruksi ketenagalistrikan). Total nilai investasi mencapai Rp 17,3 triliun.
Namun wirausahawan muda sekaligus Direktur Pusat Studi Kebijakan Lingkungan (Pusaka) Cilacap, Chabibul Barnabas mengungkapkan, investasi memang terus masuk. Rata-rata bersifat padat modal dan menggunakan teknologi canggih yang meminimalisir pemanfaatan tenaga manusia. Itu akan berbeda dengan dampak yang diraih apabila ada investasi padat karya.
Selama ini, investasi juga dinilai masih berpusat di wilayah kota. Sementara di wilayah pedesaan menjadi kantong kemiskinan yang mencapai 37 persen. Sehingga selain investasi besar, pemerintah perlu meningkatkan kapasitasnya dengan membangun perekonomian di wilayah pedesaan sebagai kantong kemiskinan.
’’Persoalan kemiskinan ini tidak cukup diatasi melalui program kemitraan dengan perusahaan besar, ini terkait dengan komitmen pemerintah melalui paket kebijakan yang prorakyat miskin,’’ katanya.
Setelah sukses merayu investor kakap, saat ini pemerintah perlu memikirkan pengembangan perekonomian berbasis pertanian, perikanan dan sektor usaha rakyat lainnya. Dia belum pernah melihat ada kebijakan untuk memetakan potensi wilayah pedesaan yang bisa dikembangkan.
’’Gunakan jaringan struktural sampai ke desa untuk membuat potensi desa, dan menggalakan program pengembangan ekonomi rakyat,’’ katanya.
Paradoks Banyumas
Sementara itu, Kabupaten Banyumas menjadi penghuni peringkat paling buncit di Eks Karesidenan Banyumas. Lima dari enam indikator daya saing berada pada posisi kinerja medium rendah (berada di bawah angka lima).
Satu-satunya berkinerja medium tinggi yaitu dari sektor swasta yang memiliki iklim usaha dengan poin 5.04. Artinya, dunia usaha potensial menjadi lebih dinamis dan kokoh apabila didukung dengan perbaikan kinerja, efisiensi, dan kapasitas pemerintahan.
Meski demikian, ’’raport merah’’ ini bukan wacana baru. Hasil ini merupakan paradoks mengingat dibanding kabupaten tetangga, keberadaan perguruan tinggi semestinya bisa menjadi aset intelektual yang mendorong iklim bisnis dan pemerintahan yang lebih baik. Apalagi, Kota Purwokerto juga lebih dikenal dengan akses transportasi darat yang relatif lebih mudah dijangkau.
Kepala Program Magister Administrasi Publik (MAP) Unsoed, Paulus Israwan menuturkan, situasi semacam itu merupakan bagian dari peninggalan pemerintahan yang lama. Hasil riset perlu dijadikan momentum bagi pemerintahan yang baru berusia tiga bulan untuk memperbaiki berbagai aspek menyangkut iklim usaha, terutama iklim investasi.
’’Kepemimpinan saja tidak cukup menciptakan kebijakan yang proinvestasi. Perlu ada pembenahan birokrasi, yang didukung perubahan di sejumlah bidang yang vital bagi perekonomian Banyumas. Itu antara lain terdapat di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi serta di Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi,’’ jelasnya.
Bahkan hingga kini, Banyumas belum menetapkan zona wilayah industri. Padahal investor akan menyimak hal itu, untuk mencegah persinggungan dengan kepentingan publik. Jangan sampai investasi datang dengan asal memilih lokasi tanpa penataan yang jelas.
Selama ini, wacana proinvestasi juga terkesan terjebak pada persoalan perizinan satu pintu belaka. Padahal prinsipnya, mau satu atap atau banyak meja sama saja sepanjang kalangan bisnis mendapat informasi yang transparan. Sebaliknya, percuma bila sudah terdapat kantor pelayanan perijinan satu atap, namun kinerjanya tidak dioptimalkan.’’Perlu usaha agar layanan perijinan lebih transparan dari segi biaya dan waktu, serta ketegasan kebijakan,’’ katanya.
Sejumlah daerah yang mengedepankan pelayanan publik telah menerapkan ’citizen carter’. Polanya dengan memberi penghargaan atau hukuman. Bila aparatur tidak mampu menyelesaikan pelayanan publik tepat waktu, mereka mendapat sanksi dan warga mendapat konpensasi.
’’Bila izin usaha belum rampung sampai waktunya, aparat akan mengantarnya langsung ke klien. Komitmen dalam prinsip citizen carter semacam ini perlu dibiasakan di Banyumas,’’ jelasnya.
Sementara itu, sebagai orang baru, Bupati Mardjoko mengaku telah merampungkan agenda besar penataan birokrasi. Setelahnya, dia juga akan segera menggenjot kemajuan dalam sektor ekonomi.
Bukan hanya mendesain di tingkat konsep, melainkan juga membuat parameter yang sangat jelas.
’’Misalnya, kami gratiskan 15 macam jenis izin. Lalu seluruh perizinan membuka usaha dan investasi, harus dirampungkan aparatur maksimal selama 9 hari,’’ paparnya.
Dia juga akan mengevaluasi perda tata ruang, merevisi beberapa kebijakan perizinan, menyiapkan lahan dan zona industri strategis serta mengantisipasi kehadiran spekulan tanah. ’’Realisasinya antara lain menerima proyek bio energy PT Sampoerna dengan nilai investasi Rp 1 triliyun. Ada juga pengolahan minyak goreng senilai Rp 300 miliar dan pembangkit listrik mikrohidro senilai Rp 30 miliar,’’ tambahnya.
Purbalingga Konsisten
Kekuatan Kabupaten Purbalingga justru berbalik dengan Banyumas. Meski keduanya sama-sama memiliki kapasitas pemerintahan yang rendah, namun Pemkab Purbalingga jauh lebih efesien (6.9). Itu artinya, dunia usaha sudah melihat adanya kebijakan yang konsisten, memberi kepastian hukum dan meminimalisir pembiayaan nonformal yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Sayangnya, meski kebijakan telah mendukung, justru sektor swasta menunjukkan aktivitas yang belum menggembirakan. Iklim usaha ((4,61) dan dinamika usaha (4,38) berada pada kinerja medium rendah. Ini mengindikasikan sektor swasta masih relatif stagnan. Mereka tidak agresif mencari pinjaman modal ke bank dan terlalu sedikit menciptakan inovasi produk. Kapasitas produksi juga tergolong rendah, disamping masih sedikitnya pendirian usaha baru.
’’Sektor riil saat ini memang lamban. Pengusaha belum berani ekspansi usaha. Ini fenomena nasional,’’ kata Kepala Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) Sridadi.
Ketua Komisi C DPRD Purbalingga, Mustangin menyatakan dari segi pelayanan publik, Purbalingga memang patut unggul bukan saja di tingkat eks Karesidenan Banyumas. Dia mengakui jika pemerintah telah berhasil melaksanakan berbagai kebijakan yang pro terhadap dunia usaha.
’’Baru saja investor dari Korea dan Jepang juga masuk. Sementara investor yang sudah ada sudah menyerap ribuan tenaga kerja. Itu keberhasilan. Meski demikian, kini saatnya menggarap usaha kecil dan menengah’’ ujarnya.
Banjarnegara menampilkan performa iklim bisnis yang tidak tingggi, sekaligus tidak sangat rendah. Seorang pengusaha perdagangan, Endon Priyanto mengatakan, harus ada kesadaran baru mengenai pentingnya penguasaan teknologi bagi kalangan birokrasi dan pada akhirnya warga. Dia melihat daerahnya masih kurang bergeliat karena keterbatasan informasi yang mampu mendorong inovasi.
Seperti umumnya orangtua yang tak berkenan putra-putrinya terus-menerus memperoleh angka merah di raport, begitu pun harapan 4.9 juta warga eks Karesidenan Banyumas. Warga dan pemerintah tentu ingin melihat predikat daerah berdaya saing ekonomi terbaik tetap dipertahankan di masa mendatang. Tentu dalam standar yang juga jauh lebih baik. (21)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment