4 Juli 2008
Kabag Humas Bisa PTUN-kan Bupati
* Pencopotan Tanpa Prosedur
PURWOKERTO-Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unsoed, Komari SH MHum mengatakan, bupati bisa saja dituntut secara hukum karena mencopot pejabat struktural tanpa prosedur yang benar.
Dalam aturan kepegawaian kegiatan mutasi, promosi maupun pemberian sanksi di antaranya pemberhentian jabatan tetap harus melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangan yang terkait. Itu tidak bisa dilakukan karena kejadian tertentu yang dasar hukumnya masih lemah.
”Kalau pencopotan karena penilaian pribadi bupati tanpa ada dasar kuat kesalahannya di mana ini rawan gugatan. Pencopotan juga harus disertai berita acara dari instansi terkait ini terkait kesalahan-kesalahan yang dipakai untuk mengambil kebijakan itu,” kata dosen fakultas hukum ini.
Dia menilai, pejabat yang merasa dirugikan bisa saja menuntut ke jalur hukum, lewat pengadilan tata usaha negara (PTUN) untuk membatalkan SK tentang pemberhentiannya. Prosedur itu juga dibenarkan dan dilindungi secara hukum.
”Meski bupati memiliki hak prerogratif dalam membina kepegawaian, namun kalau yang terkait dengan sanksi atau pemberhentian jabatan harus ada prosedur yang dilalui. Kalau mendadak tanpa disertai bukti-bukti yang menguatkan, itu namanya kebijakan sepihak dan arogan,”kata mantan Pembantu Rektor III Unsoed selama dua periode ini.
Dari pemberitaan media yang dibaca, Bupati Mardjoko saat mencopot Achmad Supartono tak disertai dengan adanya laporan hasil penyidikan dari Bawasda dan BKD.
Pemberhentiannya karena alasan tak bisa membina hubungan baik dengan pers termasuk tak bisa mengendalikan demo dari sejumlah wartawan.
”Bukti kesalahannya juga harus bisa dijelaskan secara tertulis. Apalagi posisinya sekarang juga dinonjobkan. Padahal untuk menonjodkan pejabat struktural harus ada dasar hukum yang kuat,” nilainya.
Ketua PWI Banyumas Khaerudin Islam, menyesalkan atas pencopotan Supartono. Sebab selama ini mantan kabag humas ini dikenal baik dengan semua wartawan.
Pencopotan tersebut mestinya bukan karena alasan adanya SE Bupati yang berbuntut demo wartawan. Mestinya pertimbangannya atas penilaian kinerja atau hal-hal lain, misalnya tersangkut kasus hukum.
Dalam hal ini Supartono tak terkait kasus hukum, namun karena dinilai tak bisa berkomunikasi dengan pers dan tak bisa mengendalikan wartawan yang berdemo, resikonya jabatannya dicopot. ”Kami ikut prihatin atas pencopotan ini meskipun itu hak bupati. Semoga pola seperti ini tak diulangi lagi untuk kedua kalinya oleh bupati,” kata Khaerudin.
Koordinator Komunitas Pekerja Pers Banyumas Agus Maryono menyatakan, Supartono itu menjadi korban dari kebijakan satu pintu SE bupati. SE itu juga yang membuat hubungan Pemkab dengan media tak harmonis lagi. ”Kenapa kabag humas yang dikorbankan. Permasalahannya dengan wartawan kan karena SE satu pintu itu. Dan efek buruknya sekarang sudah memakan korban,” kata wartawan The Jakarta Post ini.
Karena selama ini hubungan Supartono dengan pers dinilai baik sehingga pihaknya berencana akan menganugerahi Pers Award kepada yang bersangkutan. ”Dia hanya korban. Kalau tidak ada SE bupati pasti hubungan dengan media masih bisa diperbaiki,” tandasnya.
Komunitas Pekerja Pers yang getol menentang agar SE Bupati dicabut.
Namun bupati bersikukuh, SE itu tetap tak dicabut karena tak mengekang wartawan untuk mencari berita. Kebijakan itu hanya penegasan ke internal Pemkab.
Bupati Mardjoko menyatakan, tidak masalah kalau mau di-PTUN-kan. Namun yang mestinya mem-PTUN-kan itu Achmad Supartono, bukan pihak dari luar.
Kalau yang bersangkutan tidak mempersoalkan dan telah menerima keputusan itu, kenapa pihak luar ikut campur urusan intrnal perintahan. ”Inikan urusan intern pemkab dan aturannya sudah jelas.” (G22-55)
©
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment