14 Juli 2008
PESERTA partai politik untuk Pemilu 2009 telah diumumkan. Ada 34 partai yang lolos dan berhak maju ke pemilihan umum ketiga di era reformasi. Ini berarti peserta Pemilu 2009 membengkak dibandingkan dengan pemilihan umum sebelumnya pada 2004 yang hanya diikuti 24 parpol. Meski demikian, masih lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 1999 dengan jumlah peserta 48 parpol.
Sepanjang sejarahnya, politik kepartaian di Indonesia mengalami fase naik turun. Pada pemilu pertama 1955, Indonesia menganut sistem multipartai (19). Jumlah ini berubah menjadi 10 partai pada pemilu kedua (1971), dan kemudian menjadi hanya dua partai dan satu Golongan Karya pada pemilu ketiga (1977).
Sistem tersebut berlanjut berturut-turut pada Pemilu1982, 1987, 1992 hingga 1997. Setelah Orde Baru tumbang, sistem dua partai dan Golongan Karya jebol. Politik Indonesia kembali pada sistem multipartai sebagai reaksi atas kesadaran bahwa selama era Orde Baru terjadi penyumbatan aspirasi rakyat.
Tidak Menjembatani
Era reformasi berdampak pada pelepasdirian atas otoritarisme dan pengebirian aspirasi yang terjadi selama Orde Baru. Partai-partai baru mulai bermunculan dan tidak terkendalikan. Mereka berlomba-lomba mencari pendukung dan mengumpulkan masa dengan jalan menampung suara hati rakyat. Partai politik menjamur dan saling bersaing. Ya, multipartai kembali beraksi. Lalu, efektifkah jumlah parpol yang terlalu banyak ini?
Memang, kehadiran parpol merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Tetapi parpol yang terlalu gemuk dikhawatirkan justru membuat rakyat bingung. Padahal rakyat mendambakan pertumbuhan demokrasi yang efektif, efisien, dan masuk akal.
Di sisi lain, suara rakyat belum cukup terwakili dengan baik. Berbagai macam partai dideklarasikan terus-menerus, ironisnya hasilnya tetap saja nihil. Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Barat baru-baru ini, angka golput masih tinggi, masing-masing 45,25% dan 35% dari keseluruhan jumlah suara yang ada.
Inilah bentuk kekecewaaan rakyat. Artinya, kehadiran multipartai belum berhasil menjembatani aspirasi mereka. Lantas buat apa multipartai jika suara kita saja masih banyak yang tercecer?
Terlepas dari sistem multipartai atau dua partai, penyelenggaraan negara yang efisien dan efektif adalah bekerjanya mekanisme check and balances secara baik. Artinya, ada sistem yang mudah dimengerti dan gampang diformulasikan. Untuk menuju sistem tersebut maka harus didukung secara masuk akal, yaitu sistem kepartaian yang sederhana, bukan multipartai. Sebab bila partai terlalu banyak, rakyat bingung memilih. Dampaknya, pemerintahan pun tidak bisa berjalan cekatan dan cepat, karena proses pembentukan koalisi lebih sulit.
Sebaliknya dengan sistem partai yang sederhana, peluang partai-partai untuk meraih kemenangan mayoritas lebih mudah. Inilah syarat penting bagi stabilitas pemerintahan. Selain itu, biaya penyelenggaraan menjadi lebih murah. Uang negara pun tidak terhamburkan sia-sia. Pada akhirnya, alangkah manis bila kita mengarah ke sistem partai sederhana saja. (Sasi/Pusdok SM-46)
© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved
Groups
Sunday, July 13, 2008
KABAG HUMAS BIS PTUN-KAN BUPATI
4 Juli 2008
Kabag Humas Bisa PTUN-kan Bupati
* Pencopotan Tanpa Prosedur
PURWOKERTO-Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unsoed, Komari SH MHum mengatakan, bupati bisa saja dituntut secara hukum karena mencopot pejabat struktural tanpa prosedur yang benar.
Dalam aturan kepegawaian kegiatan mutasi, promosi maupun pemberian sanksi di antaranya pemberhentian jabatan tetap harus melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangan yang terkait. Itu tidak bisa dilakukan karena kejadian tertentu yang dasar hukumnya masih lemah.
”Kalau pencopotan karena penilaian pribadi bupati tanpa ada dasar kuat kesalahannya di mana ini rawan gugatan. Pencopotan juga harus disertai berita acara dari instansi terkait ini terkait kesalahan-kesalahan yang dipakai untuk mengambil kebijakan itu,” kata dosen fakultas hukum ini.
Dia menilai, pejabat yang merasa dirugikan bisa saja menuntut ke jalur hukum, lewat pengadilan tata usaha negara (PTUN) untuk membatalkan SK tentang pemberhentiannya. Prosedur itu juga dibenarkan dan dilindungi secara hukum.
”Meski bupati memiliki hak prerogratif dalam membina kepegawaian, namun kalau yang terkait dengan sanksi atau pemberhentian jabatan harus ada prosedur yang dilalui. Kalau mendadak tanpa disertai bukti-bukti yang menguatkan, itu namanya kebijakan sepihak dan arogan,”kata mantan Pembantu Rektor III Unsoed selama dua periode ini.
Dari pemberitaan media yang dibaca, Bupati Mardjoko saat mencopot Achmad Supartono tak disertai dengan adanya laporan hasil penyidikan dari Bawasda dan BKD.
Pemberhentiannya karena alasan tak bisa membina hubungan baik dengan pers termasuk tak bisa mengendalikan demo dari sejumlah wartawan.
”Bukti kesalahannya juga harus bisa dijelaskan secara tertulis. Apalagi posisinya sekarang juga dinonjobkan. Padahal untuk menonjodkan pejabat struktural harus ada dasar hukum yang kuat,” nilainya.
Ketua PWI Banyumas Khaerudin Islam, menyesalkan atas pencopotan Supartono. Sebab selama ini mantan kabag humas ini dikenal baik dengan semua wartawan.
Pencopotan tersebut mestinya bukan karena alasan adanya SE Bupati yang berbuntut demo wartawan. Mestinya pertimbangannya atas penilaian kinerja atau hal-hal lain, misalnya tersangkut kasus hukum.
Dalam hal ini Supartono tak terkait kasus hukum, namun karena dinilai tak bisa berkomunikasi dengan pers dan tak bisa mengendalikan wartawan yang berdemo, resikonya jabatannya dicopot. ”Kami ikut prihatin atas pencopotan ini meskipun itu hak bupati. Semoga pola seperti ini tak diulangi lagi untuk kedua kalinya oleh bupati,” kata Khaerudin.
Koordinator Komunitas Pekerja Pers Banyumas Agus Maryono menyatakan, Supartono itu menjadi korban dari kebijakan satu pintu SE bupati. SE itu juga yang membuat hubungan Pemkab dengan media tak harmonis lagi. ”Kenapa kabag humas yang dikorbankan. Permasalahannya dengan wartawan kan karena SE satu pintu itu. Dan efek buruknya sekarang sudah memakan korban,” kata wartawan The Jakarta Post ini.
Karena selama ini hubungan Supartono dengan pers dinilai baik sehingga pihaknya berencana akan menganugerahi Pers Award kepada yang bersangkutan. ”Dia hanya korban. Kalau tidak ada SE bupati pasti hubungan dengan media masih bisa diperbaiki,” tandasnya.
Komunitas Pekerja Pers yang getol menentang agar SE Bupati dicabut.
Namun bupati bersikukuh, SE itu tetap tak dicabut karena tak mengekang wartawan untuk mencari berita. Kebijakan itu hanya penegasan ke internal Pemkab.
Bupati Mardjoko menyatakan, tidak masalah kalau mau di-PTUN-kan. Namun yang mestinya mem-PTUN-kan itu Achmad Supartono, bukan pihak dari luar.
Kalau yang bersangkutan tidak mempersoalkan dan telah menerima keputusan itu, kenapa pihak luar ikut campur urusan intrnal perintahan. ”Inikan urusan intern pemkab dan aturannya sudah jelas.” (G22-55)
©
Kabag Humas Bisa PTUN-kan Bupati
* Pencopotan Tanpa Prosedur
PURWOKERTO-Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unsoed, Komari SH MHum mengatakan, bupati bisa saja dituntut secara hukum karena mencopot pejabat struktural tanpa prosedur yang benar.
Dalam aturan kepegawaian kegiatan mutasi, promosi maupun pemberian sanksi di antaranya pemberhentian jabatan tetap harus melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangan yang terkait. Itu tidak bisa dilakukan karena kejadian tertentu yang dasar hukumnya masih lemah.
”Kalau pencopotan karena penilaian pribadi bupati tanpa ada dasar kuat kesalahannya di mana ini rawan gugatan. Pencopotan juga harus disertai berita acara dari instansi terkait ini terkait kesalahan-kesalahan yang dipakai untuk mengambil kebijakan itu,” kata dosen fakultas hukum ini.
Dia menilai, pejabat yang merasa dirugikan bisa saja menuntut ke jalur hukum, lewat pengadilan tata usaha negara (PTUN) untuk membatalkan SK tentang pemberhentiannya. Prosedur itu juga dibenarkan dan dilindungi secara hukum.
”Meski bupati memiliki hak prerogratif dalam membina kepegawaian, namun kalau yang terkait dengan sanksi atau pemberhentian jabatan harus ada prosedur yang dilalui. Kalau mendadak tanpa disertai bukti-bukti yang menguatkan, itu namanya kebijakan sepihak dan arogan,”kata mantan Pembantu Rektor III Unsoed selama dua periode ini.
Dari pemberitaan media yang dibaca, Bupati Mardjoko saat mencopot Achmad Supartono tak disertai dengan adanya laporan hasil penyidikan dari Bawasda dan BKD.
Pemberhentiannya karena alasan tak bisa membina hubungan baik dengan pers termasuk tak bisa mengendalikan demo dari sejumlah wartawan.
”Bukti kesalahannya juga harus bisa dijelaskan secara tertulis. Apalagi posisinya sekarang juga dinonjobkan. Padahal untuk menonjodkan pejabat struktural harus ada dasar hukum yang kuat,” nilainya.
Ketua PWI Banyumas Khaerudin Islam, menyesalkan atas pencopotan Supartono. Sebab selama ini mantan kabag humas ini dikenal baik dengan semua wartawan.
Pencopotan tersebut mestinya bukan karena alasan adanya SE Bupati yang berbuntut demo wartawan. Mestinya pertimbangannya atas penilaian kinerja atau hal-hal lain, misalnya tersangkut kasus hukum.
Dalam hal ini Supartono tak terkait kasus hukum, namun karena dinilai tak bisa berkomunikasi dengan pers dan tak bisa mengendalikan wartawan yang berdemo, resikonya jabatannya dicopot. ”Kami ikut prihatin atas pencopotan ini meskipun itu hak bupati. Semoga pola seperti ini tak diulangi lagi untuk kedua kalinya oleh bupati,” kata Khaerudin.
Koordinator Komunitas Pekerja Pers Banyumas Agus Maryono menyatakan, Supartono itu menjadi korban dari kebijakan satu pintu SE bupati. SE itu juga yang membuat hubungan Pemkab dengan media tak harmonis lagi. ”Kenapa kabag humas yang dikorbankan. Permasalahannya dengan wartawan kan karena SE satu pintu itu. Dan efek buruknya sekarang sudah memakan korban,” kata wartawan The Jakarta Post ini.
Karena selama ini hubungan Supartono dengan pers dinilai baik sehingga pihaknya berencana akan menganugerahi Pers Award kepada yang bersangkutan. ”Dia hanya korban. Kalau tidak ada SE bupati pasti hubungan dengan media masih bisa diperbaiki,” tandasnya.
Komunitas Pekerja Pers yang getol menentang agar SE Bupati dicabut.
Namun bupati bersikukuh, SE itu tetap tak dicabut karena tak mengekang wartawan untuk mencari berita. Kebijakan itu hanya penegasan ke internal Pemkab.
Bupati Mardjoko menyatakan, tidak masalah kalau mau di-PTUN-kan. Namun yang mestinya mem-PTUN-kan itu Achmad Supartono, bukan pihak dari luar.
Kalau yang bersangkutan tidak mempersoalkan dan telah menerima keputusan itu, kenapa pihak luar ikut campur urusan intrnal perintahan. ”Inikan urusan intern pemkab dan aturannya sudah jelas.” (G22-55)
©
Friday, July 11, 2008
Mbah Wahhab dan Mbah Bisri
12 Juli 2008
* Oleh A Mustofa Bisri
DALAM musyawarah ulama itu yang masih berdebat tinggal dua orang kiai. Kiai Abdul Wahhab yang terkenal ahli ushul fiqh dan Kiai Bisri yang masyhur sebagai ahli fiqh. Mereka berdua ini, masing-masing dengan keras mempertahankan pendapatnya hingga menggebrak meja segala. Kiai-kiai yang lain tidak ada yang berani ikut campur atau sekadar menengahi. Untunglah azan lohor berkumandang. Perdebatan yang memanas pun seketika berhenti. Semua kiai tanpa kecuali pun dengan khusyuk menyahuti azan. Begitu selesai berdoa sehabis azan, Kiai Abdul Wahhab buru-buru menuju sumur diikuti Kiai Bisri.
Kiai Abdul Wahhab yang lebih dahulu memegang timba segera menimba dan kemudian mengucurkan airnya untuk wudu Kiai Bisri. Setelah selesai berwudu, Kiai Bisri ganti yang menimba dan mengucurkan air untuk wudu Kiai Abdul Wahhab. Kemudian keduanya menuju kembali ke masjid.
Di masjid, Kiai Abdul Wahhab mempersilakan Kiai Bisri untuk mengimami dan Kiai Bisri memohon agar Kiai Abdul Wahhab mau mengimami. Kedua kiai besar yang baru saja berdebat mempertahankan pendapat masing-masing, hingga saling menggebrak meja, itu kini bersikeras ''berebut'' untuk menjadi makmumnya yang lain.
KH Abdul Wahhab Hasbullah dari Pesantren Tambak Beras dan KH Bisri Sansuri dari Pesantren Denanyar adalah dua orang kiai yang bersama-sama Hadlratusy Syeikh KHM Hasyim Asy'ari dari Pesantren Tebu Ireng Jombang, Kiai Asnawi Kudus dan kiai-kiai sepuh lain, mendirikan NU tahun 1926. Sebelumnya sekitar 1919, mereka mendirikan semacam koperasi yang mereka sebut Syirkatul Inaan.
Mbah Wahhab dan Mbah Bisri - demikianlah belakangan warga NU memanggil mereka- adalah Rois Aam dan Wakil Rois Aam PBNU sampai Mbah Wahhab wafat. Yang menarik, keduanya hampir selalu berbeda pendapat dalam banyak masalah. Perbedaan mereka seringkali bertolak-belakang satu dengan yang lain, seperti misalnya sikap mereka terhadap land reform, DPR GR, dlb. Namun eloknya, keduanya di mata warga NU adalah dua sejoli yang sangat rukun dan akrab. Keduanya bersama-sama, bahu-membahu, mengawal NU dan membimbing warganya.
Persaudaraan Terjaga
Pendapat boleh berbeda, persaudaraan harus tetap terjaga; itulah agaknya prinsip mereka berdua sebagai pemimpin panutan umat. Perbedaan adalah fitri dan persaudaraan adalah keniscayaan. Mereka dapat mempertahankan sikap dan perilaku keteladanan seperti itu kuncinya, di samping ilmu mereka yang luas, saya kira, adalah keikhlasan mereka.
Keikhlasan berjuang dan berkhidmah untuk agama, bangsa, dan umat, membuat kedua pemimpin itu dapat tetap istiqamah. Tetap lurus berjalan di atas rel dan tetap bersatu dalam perbedaan. Tidak terbelokkan oleh kepentingan-kepentingan lain yang tidak bersangkut-paut dengan kepentingan agama, bangsa, dan umat. Tidak terpengaruh oleh tinggi-rendah atau bahkan ada-tidaknya jabatan dalam jamÃiyah.
Mbah Wahhab, misalnya, pernah ''hanya'' menjabat katib PBNU dan orang tidak melihat perbedaan kiprahnya dengan pada saat beliau menjabat sebagai Rois Aam. Pada Muktamar NU yang terakhir beliau hadiri, terjadi hal yang luar biasa. Dalam pilihan Rois Aam, beliau kalah dari Mbah Bisri. Tapi karibnya itu menyatakan, selama masih ada Mbah Wahhab, beliau hanya bersedia menjadi wakilnya.
Lho, tadinya mau menulis berkenaan dengan Konferensi NU Wilayah Jawa Tengah, kok jadinya malah nostalgia menulis tentang Mbah Wahhab dan Mbah Bisri. Mudah-mudahan saja kawan-kawan yang berkonferensi juga teringat kepada dua tokoh legendaris itu. Al-Fatihah! (60)
- Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang
* Oleh A Mustofa Bisri
DALAM musyawarah ulama itu yang masih berdebat tinggal dua orang kiai. Kiai Abdul Wahhab yang terkenal ahli ushul fiqh dan Kiai Bisri yang masyhur sebagai ahli fiqh. Mereka berdua ini, masing-masing dengan keras mempertahankan pendapatnya hingga menggebrak meja segala. Kiai-kiai yang lain tidak ada yang berani ikut campur atau sekadar menengahi. Untunglah azan lohor berkumandang. Perdebatan yang memanas pun seketika berhenti. Semua kiai tanpa kecuali pun dengan khusyuk menyahuti azan. Begitu selesai berdoa sehabis azan, Kiai Abdul Wahhab buru-buru menuju sumur diikuti Kiai Bisri.
Kiai Abdul Wahhab yang lebih dahulu memegang timba segera menimba dan kemudian mengucurkan airnya untuk wudu Kiai Bisri. Setelah selesai berwudu, Kiai Bisri ganti yang menimba dan mengucurkan air untuk wudu Kiai Abdul Wahhab. Kemudian keduanya menuju kembali ke masjid.
Di masjid, Kiai Abdul Wahhab mempersilakan Kiai Bisri untuk mengimami dan Kiai Bisri memohon agar Kiai Abdul Wahhab mau mengimami. Kedua kiai besar yang baru saja berdebat mempertahankan pendapat masing-masing, hingga saling menggebrak meja, itu kini bersikeras ''berebut'' untuk menjadi makmumnya yang lain.
KH Abdul Wahhab Hasbullah dari Pesantren Tambak Beras dan KH Bisri Sansuri dari Pesantren Denanyar adalah dua orang kiai yang bersama-sama Hadlratusy Syeikh KHM Hasyim Asy'ari dari Pesantren Tebu Ireng Jombang, Kiai Asnawi Kudus dan kiai-kiai sepuh lain, mendirikan NU tahun 1926. Sebelumnya sekitar 1919, mereka mendirikan semacam koperasi yang mereka sebut Syirkatul Inaan.
Mbah Wahhab dan Mbah Bisri - demikianlah belakangan warga NU memanggil mereka- adalah Rois Aam dan Wakil Rois Aam PBNU sampai Mbah Wahhab wafat. Yang menarik, keduanya hampir selalu berbeda pendapat dalam banyak masalah. Perbedaan mereka seringkali bertolak-belakang satu dengan yang lain, seperti misalnya sikap mereka terhadap land reform, DPR GR, dlb. Namun eloknya, keduanya di mata warga NU adalah dua sejoli yang sangat rukun dan akrab. Keduanya bersama-sama, bahu-membahu, mengawal NU dan membimbing warganya.
Persaudaraan Terjaga
Pendapat boleh berbeda, persaudaraan harus tetap terjaga; itulah agaknya prinsip mereka berdua sebagai pemimpin panutan umat. Perbedaan adalah fitri dan persaudaraan adalah keniscayaan. Mereka dapat mempertahankan sikap dan perilaku keteladanan seperti itu kuncinya, di samping ilmu mereka yang luas, saya kira, adalah keikhlasan mereka.
Keikhlasan berjuang dan berkhidmah untuk agama, bangsa, dan umat, membuat kedua pemimpin itu dapat tetap istiqamah. Tetap lurus berjalan di atas rel dan tetap bersatu dalam perbedaan. Tidak terbelokkan oleh kepentingan-kepentingan lain yang tidak bersangkut-paut dengan kepentingan agama, bangsa, dan umat. Tidak terpengaruh oleh tinggi-rendah atau bahkan ada-tidaknya jabatan dalam jamÃiyah.
Mbah Wahhab, misalnya, pernah ''hanya'' menjabat katib PBNU dan orang tidak melihat perbedaan kiprahnya dengan pada saat beliau menjabat sebagai Rois Aam. Pada Muktamar NU yang terakhir beliau hadiri, terjadi hal yang luar biasa. Dalam pilihan Rois Aam, beliau kalah dari Mbah Bisri. Tapi karibnya itu menyatakan, selama masih ada Mbah Wahhab, beliau hanya bersedia menjadi wakilnya.
Lho, tadinya mau menulis berkenaan dengan Konferensi NU Wilayah Jawa Tengah, kok jadinya malah nostalgia menulis tentang Mbah Wahhab dan Mbah Bisri. Mudah-mudahan saja kawan-kawan yang berkonferensi juga teringat kepada dua tokoh legendaris itu. Al-Fatihah! (60)
- Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang
Subscribe to:
Posts (Atom)