Perintah untuk memperbagus lurusnya shaf (barisan)
Dari Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
أَحْسِنُوْا إِقَامَةَ الصُّفُوْفِ فِيْ الصَّلاَةِ
“Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat” (HR Ahmad di dalam Musnad-nya dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albânî di dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb : 499)
Bagaimana cara memperbagus lurusnya shaf?
Hadits Jâbir bin Samuroh Radhiyallâhu ‘anhu menjelaskan hal ini. Beliau berkata : “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami dan berkata :
مَالِيْ أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيْكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابَ خَيْلِ شُمُسٍ, أُسْكُنُوا فِيْ الصَّلاَةِ
“Aku tidak pernah melihat kalian mengangkat-angkat tangan kalian, seakan-akan seperti ekor kuda liar saja. Tenanglah kalian di dalam sholat (jangan bergerak).”
Jâbir berkata kembali : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami (pada lain waktu) dan melihat kami sedang bergerombol, lantas beliau bersabda :
مَالِيْ أَرَاكُمْ عَزِيْنَ
“Aku tidak pernah melihat kalian bergerombol? !”
Jâbir melanjutkan : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami sembari mengatakan :
أَلاَ تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ المَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا
“Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?”
Kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya Malaikat di hadapan Rabb mereka?”
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :
يَتُمُّوْنَ الصُّفُوْفَ الأَوَّلِ وَيَتَرَاصَّوْنَ فِيْ الصَّفِّ
“Mereka menyempurnakan shaf/barisan yang paling awal sembari merapatkan barisannya.” (HR Muslim : 430)
Jadi, memperbagus shaf itu tidak akan terwujud melainkan dengan menyempurnakan dan merapatkan barisannya.
Mari kita amati realita yang ada di hadapan kita, yaitu kebesaran para tentara angkatan darat beserta pasukan dan kekuatannya dari aspek militer, begitu bagus dan teraturnya pola barisan mereka. Anda tidak dapati adanya kebengkokan maupun cela padanya. Jarak satu dengan lainnya teratur rapi, sungguh pemandangan yang sungguh indah. Coba Anda perhatikan, orang yang mengamatinya, mereka sangat interes dan terkagum-kagum dibuatnya.
Adapun di sekolahan, jangan Anda tanyakan bagaimana perhatian mereka yang begitu besar di dalam masalah meluruskan, merapikan dan mengatur barisan. Bukankah para pemakmur Masjid itu seharusnya adalah orang yang lebih utama di dalam memberikan perhatian di dalam mengatur shaf dan merapatkan barisan, sebagaimana malaikat berbaris di hadapan Rab mereka Subhânahu wa Ta’âlâ?!
Kita tidak akan masuk surga sampai kita meluruskan shaf
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersumpah, bahwa kita tidaklah dikatakan beriman, dan kita tidak akan bisa masuk surga sampai kita saling mencintai di jalan Alloh Ta’âlâ. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidaklah dikatakan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai?! Sebarkanlah salam di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim : 54)
Kecintaan ini tidak akan mudah jika tanpa merapatkan dan meluruskan shaf. Sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa ketidaklurusan shaf di dalam sholat itu, memicu perselisihan hati.
Kesimpulannya adalah, bahwasanya keimanan, surga, kecintaan dan persatuan, kesemuanya ini tidak akan mudah diraih melainkan dengan meluruskan dan merapatkan shaf.
Perhatian kita terhadap segala sesuatu yang bersifat lahiriah tidak lain adalah bentuk ketaatan, apalagi masalah meluruskan shaf
Sungguh aneh kita ini, bagaimana kita bisa menaruh perhatian terhadap lahiriah perkara duniawi sedangkan kita tidak mau memperhatikan lahiriah urusan agama kita?! Saya tidak melihatnya melainkan hal ini berasal dari syaithan.
Saya tidak tahu apa yang akan mereka perbuat. Sekiranya ada nash-nash (dalil) yang mengharamkan untuk merapatkan dan meluruskan shaf, niscaya syaithan-syaithan dari golongan jin dan manusia akan berbondong-bondong untuk merapatkan shaf. Rapat dan lurusnya tidak akan pernah Anda lihat ada satupun yang menyamainya! Demikianlah keadaan mereka ini, Wallôhu a’lam. Jika tidak, lantas dimanakah segala sesuatu yang Alloh Ta’âlâ haramkan di dalam Kitab-Nya dan as-Sunnah, tidak Anda dapati di tengah-tengah manusia sebagai sesuatu yang lumrah dan dicintai?!
Lihatlah diri kita sendiri, bagaimana kita begitu mencintai lahiriah duniawi. Sungguh, kita akan lebih mencintai orang yang kaya walaupun ia seorang yang bodoh ketimbang kita mencintai orang yang fakir padahal ia berilmu! Kita lebih memilih berteman dengan orang yang kuat dan kita tinggalkan orang yang lemah!
Adakalanya, seorang manusia mau menginfakkan hartanya dalam jumlah besar hanya untuk suatu hal yang remeh supaya dikatakan : “Fulan telah berbuat ini dan itu”! Terkadang, orang yang bodoh dapat menyebabkan kita tertawa oleh sebab pakaiannya yang bagus, seorang penipu dapat mengelabui kita dengan tutur katanya yang manis dan seorang munafik dapat memikat kita dengan kepandaiannya bersilat lidah.
Adapula bentuk formalitas bagi para tamu dan pengunjung yang tidak boleh tidak, harus ada. Bagi yang menyelisihinya akan dicela dan dianggap aneh. Jika ada suatu kaum berada di majelis dan ada seseorang yang tidak berdiri (untuk menyambut dan menghormati mereka), mereka memprotes dan menghukumnya, sebab ia dianggap tidak menghormati dan menghargai mereka, dan mereka menganggapnya sebagai orang yang tidak faham etika bermasyarakat.
Jika dikatakan kepada mereka, “berjabat tangan dengan wanita asing dan wanita yang halal dinikahi (non mahram) adalah haram hukumnya.” Mereka menjawab, “hati-hati kami ini terjaga, bersih dan suci. Yang jadi patokan bukanlah masalah lahiriah seperti itu!” Namun, apabila ada seorang pemuda fakir yang bagus agama dan akhlaknya, bermaksud menikahi anak-anak puteri mereka, maka masalah lahiriyah menjadi patokan dengan begitu saja. Mereka tidak lagi butuh kepada bathin, harga diri dan kesucian hati pemuda itu. Yang penting, ia haruslah orang yang memiliki harta, jabatan dan kedudukan.
Apabila mereka diminta untuk merapatkan dan meluruskan shaf, mereka mengatakan, “yang menjadi ukuran adalah bathin, bukanlah dari faktor fisik.” Akan tetapi, keimanan mereka terhadap faktor fisik muncul ketika ada seseorang yang bermaksud meminang puteri mereka. Mereka akan menetapkan beberapa hal, mereka akan memasang tarif mahal untuk mahar, memperketat persyaratan, pakaian harus begini dan begitu, perabotan haruslah dengan harga yang selangit, pestanya haruslah meriah dan menarik sehingga mendapatkan pujian orang-orang dan tidak dicemooh!
Maka, dimanakah kebajikan bathin terhadap Tuhanmu dan keimananmu kepada-Nya tatkala Anda diseru untuk merapatkan shaf?! Dan dimanakah kekufuran mereka terhadap perkara-perkara fisik untuk meluruskan dan mengatur shaf? Ataukah ini merupakan hawa nafsu?! Semoga Alloh membinasakan hawa nafsu.
سُبْحَانَ رَبِّكَ كَيْفَ يَغْلَبُكَ الهَوَى سُبْحَانَهُ إِنَّ الهَوَى لَغَلُوْبُ
Maha Suci Rabb-mu bagaimana kamu sampai dikalahkan oleh nawa nafsumu
Maha Suci Diri-Nya sesungguhnya hawa nafsu itulah yang pasti akan terkalahkan
Apa seperti ini sikapmu wahai kaum? Perkara lahiriah yang Alloh kehendaki, cintai dan perintahkan, serta ia ancam orang yang meninggalkannya dengan malapetak dan bencana, namun Anda menjadikannya sebagai bahan senda gurau dan main-main?! Dan perkara-perkara lahiriah yang Alloh Subhânahu tidak izinkan, Anda malah menjadikannya sebagai syariat dan agama? Kejahatan apakah gerangan yang telah Anda lakukan, dan kesalahan apakah gerangan yang Anda perbuat?
Sungguh kami telah mengimani masalah meluruskan shaf ini dengan penuh keimanan. Hanya saja keimanan ini ada di luar masjid, bukan di dalamnya. Tidakkah anda melihat bersamaku bagaimana lurusnya barisan tentara dan di sekolah?!
Di sini ada yang mengatakan, “sesungguhnya, keteraturan barisan (di ketentaraan dan sekolahan) merupakan bentuk simbol kekuatan, ketertiban, ketaatan dan kemajuan! Namun keteraturan barisan di masjid hanyalah sebuah bentuk lahiriah belaka, masalah kulit yang remeh, yang tidak berguna dan tidak berfaidah!”
Untuk menyelesaikan urusan muamalah kita di kantor dan yayasan secara cepat, dan supaya terhindar dari problematika dan perselisihan, memang harus ada suatu peraturan dan keseragaman. Adapun perlunya kita mengimplementasikan hal ini di dalam Masjid, adalah untuk menghindarkan kita dari perpecahan dan perselisihan, yang mana hal ini sudah tidak perlu lagi ditanyakan, baik kepada orang yang lupa atau orang yang masa bodoh. Karena Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menjanjikan hal ini.
Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan perselisihan hati
Dari Abû Mas’ûd Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
اسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُوْا قُلُوْبَكُمْ
“Luruskanlah shaf dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan hati kalian akan berselisih.” (HR Muslim : 432)
Kalimat pertama dalam hadits, yaitu “luruskanlah”, merupakan bentuk kalimat imperatif (perintah), dan kalimat imperatif itu menunjukkan kewajiban sampai ada qorînah (indikasi) lain yang memalingkan kewajibannya. Sedangkan indikasi yang menunjukkan kewajibannya ada banyak, diantaranya adalah hadits sebelumnya yang berbunyi : “Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat.”
Diantaranya juga adalah penggalan hadits yang Anda lihat di atas, yaitu hadits yang melarang perselisihan, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “dan janganlah kalian berselisih”. Kalimat negasi/larangan menunjukkan keharamannya sampai ada indikasi yang memalingkannya. Dalam hadits ini, terhimpun kalimat perintah dan larangan sekaligus, yang mana satu dengan lainnya merupakan indikasi yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf dan memperingatkan dari tidak mematuhi perintahnya. Karena hal ini akan memicu perselisihan, sebagaimana di dalam hadits :
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَوَاللهِ لَتُقِيْمَنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Luruskan shaf-shaf kalian. Dan demi Alloh, luruskanlah shaf-shaf kalian, atau jika tidak niscaya Alloh akan menjadikan hati kalian saling berseteru.” (Shahîh Sunan Abu Dâwud : 616)
Di dalam riwayat hadits yang lain :
أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling bertikai.”
Huruf fa’ (فَ) pada hadits kata takhtalifu (تَخْتَلِفُ) disebut dengan Fa` as-Sababiyah (yang menunjukkan sebab), sehingga makna hadits menjadi : perselisihan lurusnya shaf (tidak lurusnya shaf) di dalam sholat merupakan sebab berselisihnya hati.
Lantas, betapa lancangnya seseorang yang berkata bahwa meluruskan shaf dan hadits yang membicarakan tentangnya akan memecah belah umat! Apakah mereka berada di dalam keraguan tentang hal ini?! Padahal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersumpah kepada mereka dan beliau adalah orang yang jujur lagi dibenarkan, adakah kamu melihat mereka membenarkannya?
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menegaskan hal ini dengan banyak penekanan di dalam nash hadits di atas dan selainnya, diantaranya adalah adanya Lâm dan Nûn Taukîd ats-Tsaqîlah (huruf lam dan nun yang berfungsi superlatif) di dalam dua kata : tuqîm (luruskanlah) dan yukholif (memalingkan) , kemudian meng-‘athaf-kan (mengikutkan) taukîd (penegasan) dengan taukîd (penegasan), akan tetapi mereka pergi berlalu dengan mengabaikannya begitu saja. Bagaimana bisa mereka berijtihad padahal nash (dalil)-nya ada?!
Perkaranya tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan ijtihad mereka sampai merubah pemahaman yang benar lagi jelas. Padahal sesungguhnya, orang yang paling rendah pengetahuannya tentang fikih dan Bahasa Arab saja, sekiranya dia membaca hadits-hadits yang membicarakan masalah meluruskan shaf, niscaya dia akan dapat memahami bahwa tidak merapatkan dan meluruskan shaf, akan memicu perselisihan dan perpecahan hati.
Dari manakah mereka mendatangkan ijtihad seperti ini, yaitu mereka melarang dan mencegah, serta memerintahkan orang-orang untuk meninggalkan hadits yang berbicara tentang masalah meluruskan shaf supaya dapat mempersatukan hati?
Perselisihan ini tidaklah terlewatkan begitu saja dari perhatian Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan hal ini tidak layak bagi beliau, bahkan beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mendahului kita di dalam memahami dan mengetahui hal ini, sebab “ucapan beliau tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS an-Najm : 4)
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan perselisihan ummatnya di dalam banyak nash/teks hadits dengan lafazh yang bervariasi. Diantaranya sabda beliau : “niscaya hati kalian akan berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan hati-hati kalian saling berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih.”[2]
Kendati Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengetahui masalah perselisihan dan faktor penyebabnya serta beliau membencinya, beliau tidak mau berpaling dari perkara meluruskan shaf, agar kaum muslimin terbebas dari perdebatan dan perselisihan di dalamnya, kemudian agar mereka dapat menjaga diri dari perpecahan hati yang merupakan akibat dari perselisihan!
Kesemua hal ini, tidak beliau puji dan beliau tolak sedikitpun. Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan umat daripada kita, beliau lebih faham tentang mana yang urgen dan lebih diprioritaskan. Namun beliau tidak pernah alpa memperingatkan dari perselisihan yang timbul dari tidak lurusnya shaf. Yang ditetapkan, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan masalah meluruskan shaf, tidak pernah ketinggalan untuk melakukannya dan tidak pernah berhenti memperbincangkannya .
Adapun orang yang berpandangan bahwa solusi yang benar adalah tidak meributkan masalah meluruskan shaf atau pembahasan yang semisal dengannya, namun yang utama adalah membincangkan masalah perjuangan memerangi musuh dan memerangi kejahatan dan kebiadaban mereka dengan berbagai bentuknya –dan kami tidaklah bermaksud meremehkan masalah ini-, maka keadaan orang ini adalah seperti orang yang beranggapan bahwa sholat itu lebih urgen ketimbang puasa dan selainnya, lantas ia mengingkari orang yang memperbincangkan masalah urgensi puasa, haramnya berinteraksi dengan riba, atau semisalnya, dengan alasan bahwa manusia saat ini banyak yang menyia-nyiakan dan melalaikan sholat.
Ini merupakan kesalahan yang besar, karena kewajiban itu ada banyak, bermacam-macam dan beraneka ragam. Seorang muslim dituntut untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ini dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Tidak boleh bagi kita mengabaikan sebagiannya dan mengamalkan sebagiannya. Membenahi aqidah itu wajib, jihad di jalan Alloh juga wajib. Berdakwah itu wajib dan mewaspadai sepak terjang musuh juga wajib. Memerangi ghibah dan namimah adalah wajib, berbakti kepada orang tua dan meluruskan shaf juga merupakan perkara yang wajib.
Lantas, bagaimana mungkin kita bisa berjihad, menjaga dan membela agama sedangkan kita dalam keadaan berpecah belah dan bertikai satu sama lainnya?!
Mari kita perhatikan perselisihan dan pertikaian yang telah menjangkiti umat, sampai-sampai saudara kita para mujahidin –kendati sedikit dan jarang-, mereka juga saling berpecah belah dan berselisih.
Jangan kamu lupakan pula, bahwa syaithan yang menggerakkan penganut madzhab yang membinasakan, adalah syaithan atau sejenisnya yang tinggal di sela-sela barisan dan berdiri diantara celah barisan/shaf kaum muslimin. Mereka membuat hati menjadi saling berselisih dan jauh antara satu dengan lainnya agar senantiasa tidak dapat bersatu, agar kaum muslimin tidak mampu memberantas madzhab-madzhab yang menyimpang dan keyakinan-keyakinan yang menyeleweng. Hal ini disebabkan syaithan itu tahu bahwa meluruskan shaf dapat mempersatukan hati dan wajah. Apabila kaum muslimin telah bersatu dan saling mencintai, maka syaithan dari bangsa jin dan manusia sudah tidak memiliki kemampuan lagi (untuk memporakporandakan kaum muslimin), dan inilah yang diperkirakan dan ditakuti syaithan bakal terjadi.
Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan kehancuran umat
Telah jelas bagi kita dari paparan hadits Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sebelumnya yang tidak meninggalkan keraguan sedikitpun, bahwa ketidaklurusan shaf akan menyebabkan perselisihan yang nantinya dapat memicu kelemahan, kehancuran dan hilangnya kekuatan dan potensi umat. Tentang hal ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.” (QS al-Anfâl : 46)
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian berselisih. Karena umat sebelum kalian, mereka berselisih dan menjadi hancur.” (HR Bukhârî : 2410)
Dari perpaduan kedua nash di atas, maknanya menjadi : Luruskan shaf kalian dan jangan berselisih, yang nantinya akan menyebabkan kalian menjadi hancur, lemah dan hilang kekuatan kalian.
Adakah kita menginginkan kehancuran yang lebih besar daripada ini? Ataukah menanti kelemahan yang lebih dahsyat? Kita saat ini sedang dikerumuni oleh umat-umat selain Islam, sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas wadahnya. Inilah keadaan negeri kita yang dijajah, musuh-musuh Islam dengan tamaknya mengeksploitasi negeri kita tanpa sisa, kita hanya bisa termenung tanpa memiliki kemampuan dan kekuatan di antara umat yang ada. Tidak satupun yang kita dengar melainkan hanya keluhan dan rintihan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari serangan musuh. Kita sendiri telah menjadi bergolong-golongan dan berkelompok- kelompok. “dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Mu`minûn : 53)
Hati pun telah tercerai berai dan jihad telah ditinggalkan. Seakan-akan tidaklah tersisa bagi kita melainkan hanya sekedar perbincangan tentangnya belaka. Sampai kapan gerangan kita selalu berada di dalam perpecahan, perselisihan dan kehampaan seperti ini?! Adapun sekarang, tiba saatnya hati kita senantiasa khusyu’ di dalam mengingat Alloh dan mempelajari agama kita! Adapun sekarang, wahai manusia pilihan dan terbaik, tiba saatnya kalian saling bersatu dan mencintai! Marilah kita terima masalah meluruskan shaf ini. Sebagai permulaan untuk mempersatukan hati kita dengan izin Alloh.
Aduhai, betapa bahayanya bersatu dengan syaithan, baik dari bangsa jin maupun manusia!
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Disarikan dari risalah Taswiyatu ash-Shufûf wa Atsaruhâ fî Hayâtil Ummah karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awâyisyah (Dâr Ibnu Hazm, cet 1, 1423)
[2] Di dalam an-Nihâyah, dikatakan : “maksudnya adalah setiap orang yang memalingkan wajahnya dari orang lain, akan menyebabkan terjadinya sikap saling membenci. Karena menghadapkan wajah dengan wajah itu berdampak terhadap rasa kasih sayang dan persatuan.”
http://abu-salma. co.cc/
Monday, July 27, 2009
Saturday, July 11, 2009
Multi Level Marketing, HALAL ATAU HARAM ?
Pengantar dari Khairan
Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka, termasuk bisnis MLM (Multi Level Marketing). Tentu saja ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Berikut ini saya sampaikan beberapa pendapat tentang bisnis MLM itu sendiri.
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sesuai firman Allah, “…Allah telah menghalalkan jual beli…” (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Multi Level Marketing sendiri merupakan salah satu terobosan dalam dunia pemasaran dengan membentuk jaringan pemasaran guna meningkatkan penjualan disertai dengan berbagai imbalan menarik bagi mereka yang sanggup membangun jaringan tersebut.
Pada tingkatan paling dasar, cara mudah menolak sistem ini adalah karena adanya unsur menzholimi, yaitu si pemilik jaringan mendapatkan bonus dari hasil kerja downline mereka, atau bonus mereka didapatkan dari perhitungan bonus group (hasil kerja downline) mereka. Seakan mereka merasa berhak mendapatkan kontribusi atau apapun namanya dari hasil kerja downline mereka, inilah yang dinamakan zhalim dan bathil. Sedangkan dalam Al Qur’an sudah jelas dikatakan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil…” [QS Al Baqarah 188]. Dan firmanNya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS Asy Syu'araa' 183].
Namun demikian para perusahaan ataupun pengusaha MLM sangat pandai mengelak dengan mengatakan bahwa MLM tidaklah menzholimi. Keuntungan yang dipeoleh sipemilik jartingan semata-mata merupakan hasil kerja profesional mereka dalam membentuk jaringan tersebut.
Tidak hanya itu, bahkan saat ini para pengusaha atau perusahaan MLM memanfaatkan isu syariah. meniadakan beberapa elemen dalam sistem MLM konvensional (seperti Poin, tutup buku, dsbnya), dean menggantikannya dengan elemen yang seolah-olah islami. Celakanya mereka juga sudah mulai mengembangkan konsep MLM syariah yang hasil kerjanya atau imbalan yang akan diperoleh sipemilik jaringan disamakan dengan gambaran Shodaqoh yang dikeluarkan di jalan Allah SWT yaitu :“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa de-ngan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2:261)
Selain itu mereka juga menjual konsep MLM syariah dengan terobosan mendompleng hadis Rosulullah SAW; ”terputuslah amalan seorang anak adam ketika wafat kecuali 3 perkara: Amal jariayahnya, Ilmunya dan anaknya yang sholeh”
Dari hadis tersebut, mereka melakukan terobosan pensiun seumur hidup bagi si pemilik jaringan. Artinya, bila di MLM konvensional, sipemilik jaringan meningal dunia, maka segala keuntungan yang biasa diterimanya akan terputus atau terhenti secara otomatis. Namun di MLM Syariah, bila si pemilik jaringan meninggal dunia, maka istri atau anak cucunya akan terus menikmati hasil kerja jaringan tersebut.
Begitu indahnya para penguasaha dan perusahaan MLM mengemas sistemnya, sehingga banyak dari para muslim dan khususnya aktivis dakwah terbuah oleh sistem yang sangat mengelabui dan menyesatkan dari Syariah Islam yang sesungguhnya.
Begitu banyak dari sistem MLM ini yang bertentangan dengan syariah Islam, namun kali kita akan tinjau dari sudut akad-nya. dan untuk itu kami berikan dua tulisan, masing-masing pendapat dari Irfan Syauqi Beik, Msc di http://www.jacksite .wordpress. com dan Hafidz Abdurrahman di media Kosultasi Islam mengatasi malah dengan syariah dalam http://www.konsulta si.wordpress. com. Dimana Judul dari kedua tulisan tersebut telah dirubah guna menyesuaikan dengan temanya.
DUA SISTEM DI DALAM MLM YANG BERTENTANGAN
DENGAN AJARAN ISLAM
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan) , dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan) , yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran) .
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran) .
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan) .
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) , ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)
Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith) . Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith) , maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran) .
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran) . Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) ; pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) . Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!
RAMBU _RAMBU SYARIAH ISLAM YANG DI LANGGAR SISTEM MLM
Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya.
Kejelasan Akad
Berbicara mengenai masalah mu’amalah, Islam sangat menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar (penipuan) dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad.
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalah yang memiliki kejelasan akad.
Sistem Murabahah
Jika akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa marjin profit yang disepakati. Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Misalnya A membeli produk dari PT.MLM. Kemudian A menjual kepada B dengan mengatakan, “Saya menjual produk ini kepada anda dengan harga Rp 11.000,-. Harga pokoknya Rp 10.000,- dan saya ambil keuntungan Rp 1.000,-.
Selanjutnya B tidak dapat langsung bertransaksi dengan PT.MLM. Jika B mau menjual kepada C, maka prosesnya sama dengan A (keuntungan yang hendak diambil terserah kepada B).
Sistem Mudharabah
Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Mudharabah adalah Akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (’amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan) , sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, 2/66).
Mudharabah sendiri terdiri dari Mudharabah Muqhthalaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Selanjutnya hak yang diperoleh A adalah berdasarkan kesepakatan antara A dengan PT.MLM.
Mudhorobah Muthlaqoh adalah kontrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Sedangkan Mudhorobah Muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan- persyaratan tertentu.
Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya dengan syarat dijual kepada member dengan harga Rp 100.000,-. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Jika A menjual produk kepada member PT.MLM, maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,-, sedangkan jika ia menjual kepada non member, maka ia bebas menjual berapapun harga yang diinginkan A. Selanjutnya hak A adalah kesepakatan antara A dan PT.MLM atas pembagian keuntungan dari penjualan produk kepada non member.
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika A melakukan proses mudharabah kepada B (sebagai downline nya) ?
Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika produk itu diserahkan kepada PT.MLM [pemilik modal]. Golongan ini berpendapat bahwa A [mudhorib pertama] tidak bertanggung jawab terhadap produk yang diserahkannya kepada B [mudhorib kedua] kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. PT.MLM [pemilik modal] mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan A [mudhorib pertama]. Sementara itu bagian keuntungan dari A [mudhorib] dibagi berdua dengan B [mudhorib yang kedua] sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya [antara A dan B].
Berkaitan dengan hak-hak A [mudhorib] yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha yaitu, pertama, biaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan A [mudhorib] menggunakan modal untuk biaya operasi kecuali diizinkan oleh PT.MLM [pemodal]. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya biaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Biaya operasi ini akan diambil dari keuntungan, jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, A [mudhorib] mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa.
Sistem Musyarakah
Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Misalnya PT.MLM bekerja sama dengan A untuk menjual produknya. Dalam kesepakatan, PT.MLM menyediakan barang, sedang A menanggung biaya transportasi pemasaran. Selanjutnya hak masing-masing dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Jika akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya, berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antara pemilik barang dan penyewa yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan) .
Kalau akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan keuntungan berapapun besarnya. Secara istilah wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Namun kalau orang yang dititipkan barang/penjaga barang mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya penjaga barang harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu penjaga barang tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
Demikian pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking, merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.
Logika bisnis riil
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah logika bisnis riil. Apakah mungkin suatu usaha bisnis riil dapat menjanjikan keuntungan berlipat-lipat, bahkan hingga ribuan persen, dalam waktu yang sangat singkat? Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Biasanya profit semacam itu hanya dihasilkan dari aktivitas spekulasi di pasar uang dan pasar modal konvensional, dengan instrumen bunga dan gharar yang sangat kental.
(
Sumber : Berbisnis Secara Syariah, Mengkaji Ulang MLM, Irfan Syauqi Beik, Msc [Anggota Dewan Asatidz PV dan Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia, sumber tulisan : www.pesantrenvirtua l.com dengan sedikit edit tanpa mengurangi maksud dari tulisan beliau]
Fakta Yang Terjadi Pada MLM
Dari penjelasan-penjelas an di atas, dapat diketahui bahwa sangat terlihat dengan jelas bahwa system MLM yang berjalan saat ini tidak sesuai dengan syari’at.
Bagaimana mungkin para pebisnis MLM dapat menuai hasil jutaan rupiah hanya dengan menkonsumsi/ membeli/menjual sekian produk.
Sebagai contoh, A terdaftar sebagai member PT.MLM. Sesuai dengan kesepakatan dari PT.MLM, untuk mendapatkan bonus, A harus menjual/membeli/ mengkonsumsi produk PT.MLM sebanyak 50 poin (misalkan bonus Rp 1 Juta). Dengan mengkonsumsi/ menjual/membeli dengan nilai 50 poin, A akan mendapatkan bonus atas penjualan/pembelian /konsumsi pribadi dan bonus poin jaringan group. Selanjutnya A merekrut 3 orang downline, dan masing-masing downline melakukan hal yang sama seperti A. Kemudian pada akhir bulan (atau istilahnya closing), A berhasil menjual/mengkonsums i/membeli produk senilai 50 poin, sedangkan poin jaringan group berhasil menjual/mengkonsums i/membeli produk senilai 500 poin.
Kalkulasi yang umum terjadi kemudian adalah sebagai berikut :
Bonus yang didapat oleh A :
Penjualan/konsumsi pribadi = 50 poin
Penjualan/konsumsi group = 500 poin
Total Bonus = 550 poin
Dari sini dapat kita lihat, total bonus yang akan dikalkulasikan untuk bonus A adalah sebesar 550 poin. Bagaimana mungkin A mendapatkan bonus senilai 550 poin, sedangkan A hanya berhasil mencapai target 50 poin. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hak A adalah hanya sebesar 50 poin, sedangkan sisanya bukan haknya.
Umumnya, para pebisnis MLM seakan tidak tahu, tidak mengerti atau mungkin tidak mau tahu dan tidak mau mengerti dengan realita seperti ini. Kemudian mereka akan mengatakan, “Saya berhak mendapat bonus dari jaringan saya karena saya yang merekrut mereka melalui para downline-downline saya“. Sistem seperti inilah yang memang ditetapkan oleh perusahaan yang menjalankan system MLM. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Ini yang menjadi permasalahan. Para promoter (upline) merasa bahwa mereka berhak mendapatkan kontribusi dari hasil kerja downline mereka. Persepsi seperti ini yang diterapkan kepada para downline mereka. Mereka mengatakan kepada para downline-nya, “Jika anda ingin seperti saya, maka anda harus menerapkan hal yang sama kepada para downline anda“.
Atau mungkin mereka akan mengatakan, “Sistemnya memang seperti ini“. Tapi para pebisnis MLM tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) bahwa ini bertentangan dengan aturan bermuamalah dalam syariat Islam.
Ada juga para pebisnis MLM yang mengatakan, “Sistem yang dijalankan tidak zhalim. Bisa saja para downline memiliki peringkat dan penghasilan yang lebih besar daripada upline, karena para downline bekerja lebih baik daripada upline mereka. Jadi tidak zhalim“.
Lantas siapa yang berhak menentukan criteria zhalim atau tidaknya system yang berjalan ? Tidak lain yang mengatakannya adalah para pemilik perusahaan dengan system MLM dan para pebisnis MLM. Bagaimana mungkin mereka bisa mengatakan “ini tidak zhalim”, sedangkan mereka mendapatkan bonus dari hasil kerja downline mereka, atau bonus mereka didapatkan dari perhitungan bonus group (hasil kerja downline) mereka. Seakan mereka merasa berhak mendapatkan kontribusi atau apapun namanya dari hasil kerja downline mereka, inilah yang dinamakan zhalim dan bathil. Sedangkan dalam Al Qur’an sudah jelas dikatakan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil…” [QS Al Baqarah 188]. Dan firmanNya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS Asy Syu'araa' 183].
Kalau mereka mau mengakui dengan sejujurnya, bahwa bonus yang benar-benar menjadi hak mereka hanyalah dari hasil penjualan/konsumsi/ pembelian pribadi mereka. Para downline dan upline bekerja dalam satu team. Dalam artian, para downline tidak bekerja untuk upline, karena bonus yang didapatkan tidak dibayarkan dari kantong pribadi upline mereka. Terkecuali, bonus para downline dibayarkan oleh para upline, maka bisa dikatakan para downline memang bekerja untuk upline.
Sepertinya hal ini sudah jelas dan sangat jelas untuk dipahami. Hanya saja para pebisnis MLM dan perusahaan dengan system MLM menyamarkan kondisi ini, dan bisa juga karena kejahilan atau ketidakmautahuan para pebisnis itu sendiri.
--- On Thu, 7/9/09, Masyhurim wrote:
From: Masyhurim
Subject: (InfoPMIK)> Merajut Cahaya Hati
To: anggotaicmi@ yahoogroups. com, "Abdul Pari", pcim_kairo_mesir@ yahoogroups. com, infopmik@yahoogroup s.com, "false" , forkit@yahoogroups. com
Date: Thursday, July 9, 2009, 5:39 PM
Assalamualaikum wR wB
PAGI!!! LUAR BIASA!!!
Rasulullah saw telah bersabda tentang hati itu :
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
Yang bermaksud :
“Ketahuilah bawaha didalam jasa ada segumpal (seketul) daging, jika baik dia, (maka) baiklah jasad keseluruhannya, dan jika rosak dia, (maka) rosaklah jasad keseluruhannya. Ketahuilah dia itulah “HATI”. (H.R. Bukhari Muslim)
Hati itu bagaikan sebuah antenna yang sangat sensitive, antenna yang sensitive akan menerima segala macam siaran yang sedang mengudara, sehingga semua siaran masuk kedalam radio yang sedang dihidupkan.
Begitu juga hati manusia itu ketika bangun dipagi hari dalam keadaan bersih atau baru “ON” kemudian seorang manusia berhadapan dengan perjuangan “hidup” yang bemacam ragamnya, sehingga hati tadi menerima sinyal yang berbeda-beda, setiap sinyal yang diterima telah memberi efek terhadap hati, hati yang pagi tadi keadaannya masih bersih kini dia sudah merekam berbagai-bagai problematika kehidupan sehingga dipetang hari hati itu mula calar dan ternoda.
Sinyal pada harinya itu ada yang menyenangkan sehingga hati seseorang itu menjadi gembira ada pula yang menyakitkan sehingga hatinya menjadi sedih, ada pula yang mengecewakan sehingga hatinya menjadi geram dan resah. Begitulah seterusnya kehidupannya bergulir penuh dengan sinyal-sinyal permasalahan baik ataupun buruk.
Hati itupun semakin tua, beriringan dengan usia orang yang membawanya, maka hati yang putih itu semakin bertambah runyam dan sekrang kelihatan berkarat, setiap hari hatinya semakin keras dan menghitam, karena tidak pernah disirami oleh sinar-sinar lembutnya “alunan” al-Quran, hatinya tidak disinari oleh belaian kasih sayang nabinya, hatinya tidak pernah diusahakan untuk di “defrag” kembali agar kehidupan esoknya dapat dengan tegar menerima sinyal yang berbagai rupa dan kerenahnya.
Hati itupun keras. Adakah ianya sekeras batu? Tidak ia tidak sekeras batu tetapi lebih keras lagi, apakah itu agaknya? Besikah yang lebih keras dari batu. Betul, hatinya telah menjadi keras lebih keras dari batu!!! Manakala batu-batu itu ada yang memancar darinya sungai-sungai, ada pula diantara batu-batu itu yang pecah kemudian mengalir pula darinya air, dan adapula yang runtuh karena takut kepada Allah swt . Maka berfirmanlah Allah swt didalam surah al-Bqarah mengenai hati manusia itu :
(ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ) (البقرة : 74 )
“Kemudian sesudah itu, hati kamu juga menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal di antara batu-batu itu ada Yang terpancar dan mengalir air sungai daripadanya; dan ada pula di antaranya Yang pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya; dan ada juga di antaranya Yang jatuh ke bawah kerana takut kepada Allah; sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa Yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah : 74)
Ternyata sang hati walaupun ia sangat sensitive ternyata lebih keras daripada batu-batu ditepian sungai, jika hatinya sudah mengeras seperti besi, ataupun lebih dari itu? Maka hati itu bagaikan tanah yang gersang dan tandus, hati itu menjadi tidak sensitive hati itu tidak dapat menerima kebenaran, hati itu tidak lagi dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dihatinya tidak lagi terbit perasaan kasih sayang, hatinya sudah tertutup dari pintu-pintu hidayah yang tebuka lebar. Bunga-bunga hikmah kehidupan yang harum baunya sungguh tidak dapat tumbuh dengan subur bahkan tidak dapat hidup padanya. Hatinya membesi, hatinya sakit, hatinya perlu obat.
Islam agama rahmatan lil alamiin, agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. Allah swt telah menciptakan manusia dengan segala persiapan yang sempurna, karena hanya manusia saja yang dijadikan khalifahnya, dan sebagai seorang “wakil” Allah swt dimuka bumi dengan segala problematikanya, maka Allah swt menggenggam hatinya, dan Allah swt Maha Mengetahui tentang hati itu, hati yang senantiasa berhadapan dengan sepak terjang kehidupan, hati yang senantiasa bertukar rasa, hati yang cenderung untuk menjadi resah dan berkarat.
Demi melihat kondisi hati manusia yang sangat komplek itu, maka Allah swt punya cara tersendiri bagaimana mengembalikan kemurnian hati manusia agar ia dapat menerima kembali sinyal dengan sempurna sebagaimana fitrahnya diciptakan dahulu kala, maka Allah swt memberikan obat-obat untuk menjaga kebugaran hati itu, sebagaimana yang diperintahkan didalam al-Quran dan sunnah rasluNya.
Pertama : Menunaikan solat lima waktu. Dengan solat lima waktu maka hati kita akan tertata rapi, jika hati sudah tertata rapi, maka pandangan kita akan menjadi baik, pendengaran akan menjadi baik, perkataan akan menjadi baik, pemikiran akan menjadi baik dan perbuatan akan menjadi baik. Demikianlah yang diceritakan oleh Allah swt kepada kita didalam surah al-Nahl ayat ke 90 dan surah al-Ankabut ayat ke 45. Akan lebih besar kesan atau efeknya jika solat itu dikerjakan secara berjamaah sebagaiman perintah Allah swt war ka’uu maarraki’iina “dan rukuklah kamu semua bersama orang-orang yang rukuk” (Q.S. al-Baqarah : 42) demikian pula sang Rasul mulia bersabda : “Solat berjamaah lebih afdhal dari solat bersendirian sebanyak 25 derajat” (H.R. Bukhari)
Kedua : Gemar bersedekah. Dengan bersedekah maka hilanglah perasaan pelit bin kedekut dari hatinya, gemar bersedekah pula bertambah berkah hartanya, suka bersedekah akan bertambah hartanya. Demikianlah janji Allah swt didalam quranNya : “Bandingan (derma) orang-orang Yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah, ialah sama seperti sebiji benih Yang tumbuh menerbitkan tujuh tangkai; tiap-tiap tangkai itu pula mengandungi seratus biji. dan (ingatlah), Allah akan melipatgandakan pahala bagi sesiapa Yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas (rahmat) kurniaNya, lagi meliputi ilmu pengetahuanNya”. (Q.S. al-Baqarah : 261).
Jika dermawan kita, maka banyak pintu kebaikan yang terbuka, namun jika pelit dan kedekut kita, kawan-kawan dan saudaramara- pun tinggalkan kita.
Ketiga : Membaca al-Quran. Rasulullah saw bersabda didalam sebuah hadis yang bermaksud : “Sesungguhnya hati itu boleh menjadi keras seperti kerasnya besi” maka dikatakan kepada beliau : wahai Rasulullah saw dan apa obatnya? Maka beliau berkata : “Membaca al-Quran dan ingat mati”. Orang yang membaca al-Quran dan tidak memahami maknanya, janganlah bersedih hati dan jangan pula beranggapan itu merupakan perbuatan sia-sia karena Allah swt tidak akan menyia-nyiakan amal solehnya demikianlah Allah swt menghibur hati kita seperti yang telah dijelaskan olehnya didalam firmanNya : “Dan sesungguhnya Allah swt tidak akan mempersia-siakan amalan orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Ali Imran : 171, Al-Taubah : 170, Hud : 115 dan Yusuf : 90). Manakala orang-orang yang membaca al-Quran seraya dia memahami maknanya, maka renungkanlah janji-janji Allah swt, renungkan keindahan surga-surgaNya, bayangkan pahit azab nerakanya. Maka dengan cara demikian hati itu akan menjadi lembut, jika hati sudah lembut maka ia bagaikan lahan yang subur yang tumbuh padanya segala macam pohon-pohon yang berwarna-warni bunganya dan semerbak mengharum bunga-bungaannya. Adapun cara yang paling diridhai oleh Allah swt didalam membaca al-Quran, hendaklah seseorang itu membacanya dengan tartil ataupun perlahan sambil mentadabburkan bacaan yang sedang dibaca olehnya. Demikianlah Allah swt memerintahkan didalam firmanNya : dan bacalah Al-Quran Dengan "Tartil". (Q.S. Al-Muzammil : 4)
Keempat : Mengingat kematian. Jika dihadapkan kepada kematian, maka hati yang keras akan menjadi lembut. Berapa ramai manusia yang tadinya mata mereka itu bersinar-sinar dan angkuh? Berapa ramai manusia yang tadinya sangat berambisi dalam mengejar cita-cita? Berapa ramai manusia tadinya merancang plan-plan kejayaan dunianya? Namun ketika datang malaikat maut kepadanya, maka dimanakah letaknya mata yang bersinar-sinar itu? Maka dimanakah ambisi yang besar itu? Maka dimanakah rancangan plan-plan itu? Dimana semua itu? Yang ada sekarang hanya tubuh kaku dan tidak berdaya, bahkan mata itu menjadi sayu, pandangannya menjadi kosong, pandangannya terkadang menggambarkan kekecewaan, tetapi apa yang dikecewakan? Tubuhnya yang dahulunya gagah itu, tubuhnya yang dahulu menggoda itu sekarang tidak lagi laku. Dia tidak lama lagi akan masuk kedalam tanah dan akan menjadi santapan lezat binatang-binatang didalam tanah, melainkan mereka yang Allah swt jaga jasad kasarnya. Duhai tubuh itu, duhai cita-cita itu, duhai dunia, dimana sekarang dikau berada?
Kelima : Memperbanyak muhasabah diri atau menghitung amalan-amalan sepanjang hari. Orang yang senantiasa bermuhasabah akan menyadari kemana telah melangkah kakinya, apa yang telah disentuh oleh tangannya dan apa yang telah dimakan olehnya. Jika kita senantiasa bermuhasabah diri, maka hati ini akan menjadi hidup, dapat merasa. Dia dapat bersinar kemudian menerangi jalan hidup pemiliknya. Hatinya menjadi lentera penerang didalam melalui gelapnya celah-celah kehidupan yang pengap dan kelam. Adapun waktu yang paling baik untuk bermuhasabah adalah sebelah malam, karena saat inilah manusia lebih bersedia untuk melihat kedalam dirinya.
Keenam : Berpuasa. Jika berpuasa seorang hamba, maka bersih hatinya. Jika bersih hatinya maka tidak susah baginya untuk menerima ilmu dan kebenaran. Namun jika kotor hati manusia itu, bebal jadinya dan gelap pandangannya, jika sudah gelap pandangannya maka kemana arah melangkahnya?
Ketujuh : Lihatlah orang-orang yang lebih rendah dari kita. Rasulullah saw bersabda didalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra :
عن أبي هريرة : عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه(
Yang bermaksud :
“Daripada Abu Hurairah ra : Rasulullah saw telah bersabda : “Jika seorang darimu melihat kepada orang yang dilebihkan keatasnya dalam harta dan ciptaan, maka hendaklah dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya”. (H.R. Bukhari Muslim)
Penjelasan hadis : Jika kita melihat mereka yang dilebihkan dalam harta, maka jangan kita berkecil hati, ataupun jika kita melihat mereka lebih cantik, lebih handsome, lebih gagah, lebih tinggi, lebih putih dan mulus kulitnya, lebih mancung hidungnya, lebih lentik bulu matanya, lebih tebal alis matanya, lebih lurus berderai rambutnya, jangan mengatakan Allah tidak adil.
Palingkan pandangan kita kepada mereka yang lebih miskin dari kita, dalam artian jika mereka memiliki kereta atau mobil lebih mewah dari kita punya, maka bersyukurkalah karena tetangga kita tidak dapat membeli kereta yang buruk sekali-pun, jika kita hanya memiliki motosikal, maka jangan berkecil hati karena ternyata tetangga kita kemana-mana pergi naik bas, jika tidak memiliki kendaraan, maka janganlah berkecil hati karena ternyata tetangga kita tidak dapat berjalan disebabkan kakinya diamputasi ataupun terkena lumpuh.
Mereka kurang cantik, kurang handsome, kurang gagah, kurang tinggi, kurang putih mulus kulit, kurang mancung hidung, kurang lentik bulu mata, kurang tebal alis mata, tidak lurus rambutnya (kribo) bersyukurlah karena saudara masih menjadi hamba Allah swt dan bukan hamba nafsu.
Lihatlah mereka yang kurang darimu niscaya tentram jiwamu, namun jika kamu melihat orang-orang yang lebih darimu, maka akan dikhawatirkan hatimu menjadi rosak dan tidak dapat mensyukuri apa yang dikau dapat.
Kedelapan : Mengasihi orang dhaif dan anak yatim. Jika saudara sudah memiliki ketujuh obat diatas, maka agar lebih mujarab, manjur dan lebih berkesan kepada kesehatan hati, maka sempatkanlah diri saudara untuk melihat mereka yang dhaif. Renungkanlah wahai saudara bagaimana sang bayi menangis meminta-minta makan dari ibunya? Lihatlah wahai saudara bagaimana seorang buta yang tercari-cari jalan? Perhatikanlah bagaimana orang-orang miskin itu berebut sedikit makanan? Amat-amatilah wahai saudara bagaimana seorang ibu kebingungan karena tidak dapat membeli makan bayinya? Pikir-pikirkanlah wahai saudara bagaimana keadaan seorang ayah yang tidak lagi mampu berusaha untuk membesarkan anak-anaknya? Dan bayangkanlah wahai saudara, bagaimana keadaan anak-anak yatim yang tidak sempat merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Maka jika kita masih lagi merasakan desakan-desakan hiba didalam jiwa, insya Allah hati kita masih sehat sempurna.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan saat ini semoga kita yang masih diberikan kesempatan ini (hidup) dapat menambahkan amal dan memperbaiki segala kekurangan.
Wallahu a’lam bi al shawab
DI SADUR DARI :liqoah.blogspot. com/2009/ 06/hukum- mlm-dalam- islam.html
Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka, termasuk bisnis MLM (Multi Level Marketing). Tentu saja ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Berikut ini saya sampaikan beberapa pendapat tentang bisnis MLM itu sendiri.
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sesuai firman Allah, “…Allah telah menghalalkan jual beli…” (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Multi Level Marketing sendiri merupakan salah satu terobosan dalam dunia pemasaran dengan membentuk jaringan pemasaran guna meningkatkan penjualan disertai dengan berbagai imbalan menarik bagi mereka yang sanggup membangun jaringan tersebut.
Pada tingkatan paling dasar, cara mudah menolak sistem ini adalah karena adanya unsur menzholimi, yaitu si pemilik jaringan mendapatkan bonus dari hasil kerja downline mereka, atau bonus mereka didapatkan dari perhitungan bonus group (hasil kerja downline) mereka. Seakan mereka merasa berhak mendapatkan kontribusi atau apapun namanya dari hasil kerja downline mereka, inilah yang dinamakan zhalim dan bathil. Sedangkan dalam Al Qur’an sudah jelas dikatakan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil…” [QS Al Baqarah 188]. Dan firmanNya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS Asy Syu'araa' 183].
Namun demikian para perusahaan ataupun pengusaha MLM sangat pandai mengelak dengan mengatakan bahwa MLM tidaklah menzholimi. Keuntungan yang dipeoleh sipemilik jartingan semata-mata merupakan hasil kerja profesional mereka dalam membentuk jaringan tersebut.
Tidak hanya itu, bahkan saat ini para pengusaha atau perusahaan MLM memanfaatkan isu syariah. meniadakan beberapa elemen dalam sistem MLM konvensional (seperti Poin, tutup buku, dsbnya), dean menggantikannya dengan elemen yang seolah-olah islami. Celakanya mereka juga sudah mulai mengembangkan konsep MLM syariah yang hasil kerjanya atau imbalan yang akan diperoleh sipemilik jaringan disamakan dengan gambaran Shodaqoh yang dikeluarkan di jalan Allah SWT yaitu :“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa de-ngan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2:261)
Selain itu mereka juga menjual konsep MLM syariah dengan terobosan mendompleng hadis Rosulullah SAW; ”terputuslah amalan seorang anak adam ketika wafat kecuali 3 perkara: Amal jariayahnya, Ilmunya dan anaknya yang sholeh”
Dari hadis tersebut, mereka melakukan terobosan pensiun seumur hidup bagi si pemilik jaringan. Artinya, bila di MLM konvensional, sipemilik jaringan meningal dunia, maka segala keuntungan yang biasa diterimanya akan terputus atau terhenti secara otomatis. Namun di MLM Syariah, bila si pemilik jaringan meninggal dunia, maka istri atau anak cucunya akan terus menikmati hasil kerja jaringan tersebut.
Begitu indahnya para penguasaha dan perusahaan MLM mengemas sistemnya, sehingga banyak dari para muslim dan khususnya aktivis dakwah terbuah oleh sistem yang sangat mengelabui dan menyesatkan dari Syariah Islam yang sesungguhnya.
Begitu banyak dari sistem MLM ini yang bertentangan dengan syariah Islam, namun kali kita akan tinjau dari sudut akad-nya. dan untuk itu kami berikan dua tulisan, masing-masing pendapat dari Irfan Syauqi Beik, Msc di http://www.jacksite .wordpress. com dan Hafidz Abdurrahman di media Kosultasi Islam mengatasi malah dengan syariah dalam http://www.konsulta si.wordpress. com. Dimana Judul dari kedua tulisan tersebut telah dirubah guna menyesuaikan dengan temanya.
DUA SISTEM DI DALAM MLM YANG BERTENTANGAN
DENGAN AJARAN ISLAM
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan) , dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan) , yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran) .
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran) .
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan) .
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) , ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)
Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith) . Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith) , maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran) .
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran) . Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) ; pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) . Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!
RAMBU _RAMBU SYARIAH ISLAM YANG DI LANGGAR SISTEM MLM
Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya.
Kejelasan Akad
Berbicara mengenai masalah mu’amalah, Islam sangat menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar (penipuan) dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad.
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalah yang memiliki kejelasan akad.
Sistem Murabahah
Jika akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa marjin profit yang disepakati. Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Misalnya A membeli produk dari PT.MLM. Kemudian A menjual kepada B dengan mengatakan, “Saya menjual produk ini kepada anda dengan harga Rp 11.000,-. Harga pokoknya Rp 10.000,- dan saya ambil keuntungan Rp 1.000,-.
Selanjutnya B tidak dapat langsung bertransaksi dengan PT.MLM. Jika B mau menjual kepada C, maka prosesnya sama dengan A (keuntungan yang hendak diambil terserah kepada B).
Sistem Mudharabah
Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Mudharabah adalah Akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (’amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan) , sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, 2/66).
Mudharabah sendiri terdiri dari Mudharabah Muqhthalaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Selanjutnya hak yang diperoleh A adalah berdasarkan kesepakatan antara A dengan PT.MLM.
Mudhorobah Muthlaqoh adalah kontrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Sedangkan Mudhorobah Muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan- persyaratan tertentu.
Misalnya PT.MLM meminta A menjual produknya dengan syarat dijual kepada member dengan harga Rp 100.000,-. Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Jika A menjual produk kepada member PT.MLM, maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,-, sedangkan jika ia menjual kepada non member, maka ia bebas menjual berapapun harga yang diinginkan A. Selanjutnya hak A adalah kesepakatan antara A dan PT.MLM atas pembagian keuntungan dari penjualan produk kepada non member.
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika A melakukan proses mudharabah kepada B (sebagai downline nya) ?
Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika produk itu diserahkan kepada PT.MLM [pemilik modal]. Golongan ini berpendapat bahwa A [mudhorib pertama] tidak bertanggung jawab terhadap produk yang diserahkannya kepada B [mudhorib kedua] kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. PT.MLM [pemilik modal] mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan A [mudhorib pertama]. Sementara itu bagian keuntungan dari A [mudhorib] dibagi berdua dengan B [mudhorib yang kedua] sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya [antara A dan B].
Berkaitan dengan hak-hak A [mudhorib] yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha yaitu, pertama, biaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan A [mudhorib] menggunakan modal untuk biaya operasi kecuali diizinkan oleh PT.MLM [pemodal]. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya biaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Biaya operasi ini akan diambil dari keuntungan, jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, A [mudhorib] mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa.
Sistem Musyarakah
Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Misalnya PT.MLM bekerja sama dengan A untuk menjual produknya. Dalam kesepakatan, PT.MLM menyediakan barang, sedang A menanggung biaya transportasi pemasaran. Selanjutnya hak masing-masing dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Jika akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya, berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antara pemilik barang dan penyewa yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan) .
Kalau akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan keuntungan berapapun besarnya. Secara istilah wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Namun kalau orang yang dititipkan barang/penjaga barang mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya penjaga barang harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu penjaga barang tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
Demikian pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking, merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.
Logika bisnis riil
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah logika bisnis riil. Apakah mungkin suatu usaha bisnis riil dapat menjanjikan keuntungan berlipat-lipat, bahkan hingga ribuan persen, dalam waktu yang sangat singkat? Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Biasanya profit semacam itu hanya dihasilkan dari aktivitas spekulasi di pasar uang dan pasar modal konvensional, dengan instrumen bunga dan gharar yang sangat kental.
(
Sumber : Berbisnis Secara Syariah, Mengkaji Ulang MLM, Irfan Syauqi Beik, Msc [Anggota Dewan Asatidz PV dan Dosen FEM IPB dan Kandidat Doktor IIU Malaysia, sumber tulisan : www.pesantrenvirtua l.com dengan sedikit edit tanpa mengurangi maksud dari tulisan beliau]
Fakta Yang Terjadi Pada MLM
Dari penjelasan-penjelas an di atas, dapat diketahui bahwa sangat terlihat dengan jelas bahwa system MLM yang berjalan saat ini tidak sesuai dengan syari’at.
Bagaimana mungkin para pebisnis MLM dapat menuai hasil jutaan rupiah hanya dengan menkonsumsi/ membeli/menjual sekian produk.
Sebagai contoh, A terdaftar sebagai member PT.MLM. Sesuai dengan kesepakatan dari PT.MLM, untuk mendapatkan bonus, A harus menjual/membeli/ mengkonsumsi produk PT.MLM sebanyak 50 poin (misalkan bonus Rp 1 Juta). Dengan mengkonsumsi/ menjual/membeli dengan nilai 50 poin, A akan mendapatkan bonus atas penjualan/pembelian /konsumsi pribadi dan bonus poin jaringan group. Selanjutnya A merekrut 3 orang downline, dan masing-masing downline melakukan hal yang sama seperti A. Kemudian pada akhir bulan (atau istilahnya closing), A berhasil menjual/mengkonsums i/membeli produk senilai 50 poin, sedangkan poin jaringan group berhasil menjual/mengkonsums i/membeli produk senilai 500 poin.
Kalkulasi yang umum terjadi kemudian adalah sebagai berikut :
Bonus yang didapat oleh A :
Penjualan/konsumsi pribadi = 50 poin
Penjualan/konsumsi group = 500 poin
Total Bonus = 550 poin
Dari sini dapat kita lihat, total bonus yang akan dikalkulasikan untuk bonus A adalah sebesar 550 poin. Bagaimana mungkin A mendapatkan bonus senilai 550 poin, sedangkan A hanya berhasil mencapai target 50 poin. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hak A adalah hanya sebesar 50 poin, sedangkan sisanya bukan haknya.
Umumnya, para pebisnis MLM seakan tidak tahu, tidak mengerti atau mungkin tidak mau tahu dan tidak mau mengerti dengan realita seperti ini. Kemudian mereka akan mengatakan, “Saya berhak mendapat bonus dari jaringan saya karena saya yang merekrut mereka melalui para downline-downline saya“. Sistem seperti inilah yang memang ditetapkan oleh perusahaan yang menjalankan system MLM. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam.
Ini yang menjadi permasalahan. Para promoter (upline) merasa bahwa mereka berhak mendapatkan kontribusi dari hasil kerja downline mereka. Persepsi seperti ini yang diterapkan kepada para downline mereka. Mereka mengatakan kepada para downline-nya, “Jika anda ingin seperti saya, maka anda harus menerapkan hal yang sama kepada para downline anda“.
Atau mungkin mereka akan mengatakan, “Sistemnya memang seperti ini“. Tapi para pebisnis MLM tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) bahwa ini bertentangan dengan aturan bermuamalah dalam syariat Islam.
Ada juga para pebisnis MLM yang mengatakan, “Sistem yang dijalankan tidak zhalim. Bisa saja para downline memiliki peringkat dan penghasilan yang lebih besar daripada upline, karena para downline bekerja lebih baik daripada upline mereka. Jadi tidak zhalim“.
Lantas siapa yang berhak menentukan criteria zhalim atau tidaknya system yang berjalan ? Tidak lain yang mengatakannya adalah para pemilik perusahaan dengan system MLM dan para pebisnis MLM. Bagaimana mungkin mereka bisa mengatakan “ini tidak zhalim”, sedangkan mereka mendapatkan bonus dari hasil kerja downline mereka, atau bonus mereka didapatkan dari perhitungan bonus group (hasil kerja downline) mereka. Seakan mereka merasa berhak mendapatkan kontribusi atau apapun namanya dari hasil kerja downline mereka, inilah yang dinamakan zhalim dan bathil. Sedangkan dalam Al Qur’an sudah jelas dikatakan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil…” [QS Al Baqarah 188]. Dan firmanNya, “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS Asy Syu'araa' 183].
Kalau mereka mau mengakui dengan sejujurnya, bahwa bonus yang benar-benar menjadi hak mereka hanyalah dari hasil penjualan/konsumsi/ pembelian pribadi mereka. Para downline dan upline bekerja dalam satu team. Dalam artian, para downline tidak bekerja untuk upline, karena bonus yang didapatkan tidak dibayarkan dari kantong pribadi upline mereka. Terkecuali, bonus para downline dibayarkan oleh para upline, maka bisa dikatakan para downline memang bekerja untuk upline.
Sepertinya hal ini sudah jelas dan sangat jelas untuk dipahami. Hanya saja para pebisnis MLM dan perusahaan dengan system MLM menyamarkan kondisi ini, dan bisa juga karena kejahilan atau ketidakmautahuan para pebisnis itu sendiri.
--- On Thu, 7/9/09, Masyhurim
From: Masyhurim
Subject: (InfoPMIK)> Merajut Cahaya Hati
To: anggotaicmi@ yahoogroups. com, "Abdul Pari"
Date: Thursday, July 9, 2009, 5:39 PM
Assalamualaikum wR wB
PAGI!!! LUAR BIASA!!!
Rasulullah saw telah bersabda tentang hati itu :
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
Yang bermaksud :
“Ketahuilah bawaha didalam jasa ada segumpal (seketul) daging, jika baik dia, (maka) baiklah jasad keseluruhannya, dan jika rosak dia, (maka) rosaklah jasad keseluruhannya. Ketahuilah dia itulah “HATI”. (H.R. Bukhari Muslim)
Hati itu bagaikan sebuah antenna yang sangat sensitive, antenna yang sensitive akan menerima segala macam siaran yang sedang mengudara, sehingga semua siaran masuk kedalam radio yang sedang dihidupkan.
Begitu juga hati manusia itu ketika bangun dipagi hari dalam keadaan bersih atau baru “ON” kemudian seorang manusia berhadapan dengan perjuangan “hidup” yang bemacam ragamnya, sehingga hati tadi menerima sinyal yang berbeda-beda, setiap sinyal yang diterima telah memberi efek terhadap hati, hati yang pagi tadi keadaannya masih bersih kini dia sudah merekam berbagai-bagai problematika kehidupan sehingga dipetang hari hati itu mula calar dan ternoda.
Sinyal pada harinya itu ada yang menyenangkan sehingga hati seseorang itu menjadi gembira ada pula yang menyakitkan sehingga hatinya menjadi sedih, ada pula yang mengecewakan sehingga hatinya menjadi geram dan resah. Begitulah seterusnya kehidupannya bergulir penuh dengan sinyal-sinyal permasalahan baik ataupun buruk.
Hati itupun semakin tua, beriringan dengan usia orang yang membawanya, maka hati yang putih itu semakin bertambah runyam dan sekrang kelihatan berkarat, setiap hari hatinya semakin keras dan menghitam, karena tidak pernah disirami oleh sinar-sinar lembutnya “alunan” al-Quran, hatinya tidak disinari oleh belaian kasih sayang nabinya, hatinya tidak pernah diusahakan untuk di “defrag” kembali agar kehidupan esoknya dapat dengan tegar menerima sinyal yang berbagai rupa dan kerenahnya.
Hati itupun keras. Adakah ianya sekeras batu? Tidak ia tidak sekeras batu tetapi lebih keras lagi, apakah itu agaknya? Besikah yang lebih keras dari batu. Betul, hatinya telah menjadi keras lebih keras dari batu!!! Manakala batu-batu itu ada yang memancar darinya sungai-sungai, ada pula diantara batu-batu itu yang pecah kemudian mengalir pula darinya air, dan adapula yang runtuh karena takut kepada Allah swt . Maka berfirmanlah Allah swt didalam surah al-Bqarah mengenai hati manusia itu :
(ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ) (البقرة : 74 )
“Kemudian sesudah itu, hati kamu juga menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal di antara batu-batu itu ada Yang terpancar dan mengalir air sungai daripadanya; dan ada pula di antaranya Yang pecah-pecah terbelah lalu keluar mata air daripadanya; dan ada juga di antaranya Yang jatuh ke bawah kerana takut kepada Allah; sedang Allah tidak sekali-kali lalai daripada apa Yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah : 74)
Ternyata sang hati walaupun ia sangat sensitive ternyata lebih keras daripada batu-batu ditepian sungai, jika hatinya sudah mengeras seperti besi, ataupun lebih dari itu? Maka hati itu bagaikan tanah yang gersang dan tandus, hati itu menjadi tidak sensitive hati itu tidak dapat menerima kebenaran, hati itu tidak lagi dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dihatinya tidak lagi terbit perasaan kasih sayang, hatinya sudah tertutup dari pintu-pintu hidayah yang tebuka lebar. Bunga-bunga hikmah kehidupan yang harum baunya sungguh tidak dapat tumbuh dengan subur bahkan tidak dapat hidup padanya. Hatinya membesi, hatinya sakit, hatinya perlu obat.
Islam agama rahmatan lil alamiin, agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. Allah swt telah menciptakan manusia dengan segala persiapan yang sempurna, karena hanya manusia saja yang dijadikan khalifahnya, dan sebagai seorang “wakil” Allah swt dimuka bumi dengan segala problematikanya, maka Allah swt menggenggam hatinya, dan Allah swt Maha Mengetahui tentang hati itu, hati yang senantiasa berhadapan dengan sepak terjang kehidupan, hati yang senantiasa bertukar rasa, hati yang cenderung untuk menjadi resah dan berkarat.
Demi melihat kondisi hati manusia yang sangat komplek itu, maka Allah swt punya cara tersendiri bagaimana mengembalikan kemurnian hati manusia agar ia dapat menerima kembali sinyal dengan sempurna sebagaimana fitrahnya diciptakan dahulu kala, maka Allah swt memberikan obat-obat untuk menjaga kebugaran hati itu, sebagaimana yang diperintahkan didalam al-Quran dan sunnah rasluNya.
Pertama : Menunaikan solat lima waktu. Dengan solat lima waktu maka hati kita akan tertata rapi, jika hati sudah tertata rapi, maka pandangan kita akan menjadi baik, pendengaran akan menjadi baik, perkataan akan menjadi baik, pemikiran akan menjadi baik dan perbuatan akan menjadi baik. Demikianlah yang diceritakan oleh Allah swt kepada kita didalam surah al-Nahl ayat ke 90 dan surah al-Ankabut ayat ke 45. Akan lebih besar kesan atau efeknya jika solat itu dikerjakan secara berjamaah sebagaiman perintah Allah swt war ka’uu maarraki’iina “dan rukuklah kamu semua bersama orang-orang yang rukuk” (Q.S. al-Baqarah : 42) demikian pula sang Rasul mulia bersabda : “Solat berjamaah lebih afdhal dari solat bersendirian sebanyak 25 derajat” (H.R. Bukhari)
Kedua : Gemar bersedekah. Dengan bersedekah maka hilanglah perasaan pelit bin kedekut dari hatinya, gemar bersedekah pula bertambah berkah hartanya, suka bersedekah akan bertambah hartanya. Demikianlah janji Allah swt didalam quranNya : “Bandingan (derma) orang-orang Yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah, ialah sama seperti sebiji benih Yang tumbuh menerbitkan tujuh tangkai; tiap-tiap tangkai itu pula mengandungi seratus biji. dan (ingatlah), Allah akan melipatgandakan pahala bagi sesiapa Yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas (rahmat) kurniaNya, lagi meliputi ilmu pengetahuanNya”. (Q.S. al-Baqarah : 261).
Jika dermawan kita, maka banyak pintu kebaikan yang terbuka, namun jika pelit dan kedekut kita, kawan-kawan dan saudaramara- pun tinggalkan kita.
Ketiga : Membaca al-Quran. Rasulullah saw bersabda didalam sebuah hadis yang bermaksud : “Sesungguhnya hati itu boleh menjadi keras seperti kerasnya besi” maka dikatakan kepada beliau : wahai Rasulullah saw dan apa obatnya? Maka beliau berkata : “Membaca al-Quran dan ingat mati”. Orang yang membaca al-Quran dan tidak memahami maknanya, janganlah bersedih hati dan jangan pula beranggapan itu merupakan perbuatan sia-sia karena Allah swt tidak akan menyia-nyiakan amal solehnya demikianlah Allah swt menghibur hati kita seperti yang telah dijelaskan olehnya didalam firmanNya : “Dan sesungguhnya Allah swt tidak akan mempersia-siakan amalan orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Ali Imran : 171, Al-Taubah : 170, Hud : 115 dan Yusuf : 90). Manakala orang-orang yang membaca al-Quran seraya dia memahami maknanya, maka renungkanlah janji-janji Allah swt, renungkan keindahan surga-surgaNya, bayangkan pahit azab nerakanya. Maka dengan cara demikian hati itu akan menjadi lembut, jika hati sudah lembut maka ia bagaikan lahan yang subur yang tumbuh padanya segala macam pohon-pohon yang berwarna-warni bunganya dan semerbak mengharum bunga-bungaannya. Adapun cara yang paling diridhai oleh Allah swt didalam membaca al-Quran, hendaklah seseorang itu membacanya dengan tartil ataupun perlahan sambil mentadabburkan bacaan yang sedang dibaca olehnya. Demikianlah Allah swt memerintahkan didalam firmanNya : dan bacalah Al-Quran Dengan "Tartil". (Q.S. Al-Muzammil : 4)
Keempat : Mengingat kematian. Jika dihadapkan kepada kematian, maka hati yang keras akan menjadi lembut. Berapa ramai manusia yang tadinya mata mereka itu bersinar-sinar dan angkuh? Berapa ramai manusia yang tadinya sangat berambisi dalam mengejar cita-cita? Berapa ramai manusia tadinya merancang plan-plan kejayaan dunianya? Namun ketika datang malaikat maut kepadanya, maka dimanakah letaknya mata yang bersinar-sinar itu? Maka dimanakah ambisi yang besar itu? Maka dimanakah rancangan plan-plan itu? Dimana semua itu? Yang ada sekarang hanya tubuh kaku dan tidak berdaya, bahkan mata itu menjadi sayu, pandangannya menjadi kosong, pandangannya terkadang menggambarkan kekecewaan, tetapi apa yang dikecewakan? Tubuhnya yang dahulunya gagah itu, tubuhnya yang dahulu menggoda itu sekarang tidak lagi laku. Dia tidak lama lagi akan masuk kedalam tanah dan akan menjadi santapan lezat binatang-binatang didalam tanah, melainkan mereka yang Allah swt jaga jasad kasarnya. Duhai tubuh itu, duhai cita-cita itu, duhai dunia, dimana sekarang dikau berada?
Kelima : Memperbanyak muhasabah diri atau menghitung amalan-amalan sepanjang hari. Orang yang senantiasa bermuhasabah akan menyadari kemana telah melangkah kakinya, apa yang telah disentuh oleh tangannya dan apa yang telah dimakan olehnya. Jika kita senantiasa bermuhasabah diri, maka hati ini akan menjadi hidup, dapat merasa. Dia dapat bersinar kemudian menerangi jalan hidup pemiliknya. Hatinya menjadi lentera penerang didalam melalui gelapnya celah-celah kehidupan yang pengap dan kelam. Adapun waktu yang paling baik untuk bermuhasabah adalah sebelah malam, karena saat inilah manusia lebih bersedia untuk melihat kedalam dirinya.
Keenam : Berpuasa. Jika berpuasa seorang hamba, maka bersih hatinya. Jika bersih hatinya maka tidak susah baginya untuk menerima ilmu dan kebenaran. Namun jika kotor hati manusia itu, bebal jadinya dan gelap pandangannya, jika sudah gelap pandangannya maka kemana arah melangkahnya?
Ketujuh : Lihatlah orang-orang yang lebih rendah dari kita. Rasulullah saw bersabda didalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra :
عن أبي هريرة : عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه(
Yang bermaksud :
“Daripada Abu Hurairah ra : Rasulullah saw telah bersabda : “Jika seorang darimu melihat kepada orang yang dilebihkan keatasnya dalam harta dan ciptaan, maka hendaklah dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya”. (H.R. Bukhari Muslim)
Penjelasan hadis : Jika kita melihat mereka yang dilebihkan dalam harta, maka jangan kita berkecil hati, ataupun jika kita melihat mereka lebih cantik, lebih handsome, lebih gagah, lebih tinggi, lebih putih dan mulus kulitnya, lebih mancung hidungnya, lebih lentik bulu matanya, lebih tebal alis matanya, lebih lurus berderai rambutnya, jangan mengatakan Allah tidak adil.
Palingkan pandangan kita kepada mereka yang lebih miskin dari kita, dalam artian jika mereka memiliki kereta atau mobil lebih mewah dari kita punya, maka bersyukurkalah karena tetangga kita tidak dapat membeli kereta yang buruk sekali-pun, jika kita hanya memiliki motosikal, maka jangan berkecil hati karena ternyata tetangga kita kemana-mana pergi naik bas, jika tidak memiliki kendaraan, maka janganlah berkecil hati karena ternyata tetangga kita tidak dapat berjalan disebabkan kakinya diamputasi ataupun terkena lumpuh.
Mereka kurang cantik, kurang handsome, kurang gagah, kurang tinggi, kurang putih mulus kulit, kurang mancung hidung, kurang lentik bulu mata, kurang tebal alis mata, tidak lurus rambutnya (kribo) bersyukurlah karena saudara masih menjadi hamba Allah swt dan bukan hamba nafsu.
Lihatlah mereka yang kurang darimu niscaya tentram jiwamu, namun jika kamu melihat orang-orang yang lebih darimu, maka akan dikhawatirkan hatimu menjadi rosak dan tidak dapat mensyukuri apa yang dikau dapat.
Kedelapan : Mengasihi orang dhaif dan anak yatim. Jika saudara sudah memiliki ketujuh obat diatas, maka agar lebih mujarab, manjur dan lebih berkesan kepada kesehatan hati, maka sempatkanlah diri saudara untuk melihat mereka yang dhaif. Renungkanlah wahai saudara bagaimana sang bayi menangis meminta-minta makan dari ibunya? Lihatlah wahai saudara bagaimana seorang buta yang tercari-cari jalan? Perhatikanlah bagaimana orang-orang miskin itu berebut sedikit makanan? Amat-amatilah wahai saudara bagaimana seorang ibu kebingungan karena tidak dapat membeli makan bayinya? Pikir-pikirkanlah wahai saudara bagaimana keadaan seorang ayah yang tidak lagi mampu berusaha untuk membesarkan anak-anaknya? Dan bayangkanlah wahai saudara, bagaimana keadaan anak-anak yatim yang tidak sempat merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Maka jika kita masih lagi merasakan desakan-desakan hiba didalam jiwa, insya Allah hati kita masih sehat sempurna.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan saat ini semoga kita yang masih diberikan kesempatan ini (hidup) dapat menambahkan amal dan memperbaiki segala kekurangan.
Wallahu a’lam bi al shawab
DI SADUR DARI :liqoah.blogspot. com/2009/ 06/hukum- mlm-dalam- islam.html
Subscribe to:
Posts (Atom)