Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Sebagai pengusung gagasan Islam moderat, Syafii Maarif percaya, bila Islam dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin kekerasan. Dalam tulisan berjudul 'Musharraf dan Dilema Republik Islam', Syafii Maarif menganggap bahwa Era Pervez Musharraf (1999) adalah bukti terkini tentang betapa rumitnya mengurus sebuah negara modern yang diberi nama Republik Islam Pakistan itu. Dalam konstitusinya tercantum dasar filosofi mewah tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam realitas, baik gagasan kedaulatan Allah maupun syariah ternyata tidak mampu menolong nasib Pakistan berhadapan dengan konflik suku dan sengketa politik yang sering berdarah itu.
Menghadapi sengketa politik di negara Islam itu, Syafii pun meradang. "Mengapa Islam yang dipeluk oleh 97 persen rakyat Pakistan tidak dapat menjadi perekat utama untuk sebuah perdamaian? Anda tidak perlu berandai-andai lagi. Islam bila sudah dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin pembenar konflik atau bahkan perang saudara, dan untuk Pakistan bisa juga menjadi perang suku dengan perbedaan paham agama yang dibawanya masing-masing. Alquran yang menjadi Kitab Suci rakyat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa, sekali ia dipakai untuk tujuan politik kekuasaan. Oleh sebab itu, orang harus ekstra hati-hati untuk membawa agama ke dalam pusaran politik kekuasaan." (Republika, 31 Juli 2007).
Dusta sejarah
Nasib rakyat Pakistan, seperti nasib rakyat Indonesia. Dua negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Muslim, tetap saja sengsara dengan gejolak politik yang hampir tak pernah reda. Bedanya, yang pertama mengenakan label negara Islam, sedangkan Indonesia tidak jelas kelaminnya. Bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler, alias netral terhadap semua agama.
Lalu, apa untungnya mengenakan baju negara Islam, jika kenyataannya sama-sama bernasib buruk, malah dengan resiko dimusuhi Amerika dan negara-negara Barat? Bukankah lebih maslahat menempuh jalan tengah, seperti negara ‘waria’ Indonesia, dengan tidak memaksakan Islam sebagai dasar dan UU negara. Tetapi, sebagai institusi politik, negara dapat menjadikan syariah Islam sebagai hukum dan kebijakan publik, dengan syarat tunduk pada konstitusi fundamental atas alasan hak asasi manusia, pluralisme, dan demokrasi.
Memposisikan Republik Islam Pakistan sebagai contoh buruk tentang kegagalan Islam membangun negara modern, seperti yang dikesankan Syafii Maarif, jelas tidak tepat. Memang benar, dalam konstisusi Negara Pakistan tercantum rumusan tentang kedaulatan Allah, dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Tapi, apalah artinya sebuah konstitusi yang tidak berdaya guna, ketika para jenderal sekuler negeri itu, seakan berlomba mengudeta konstitusi republik Islam itu.
Jenderal Ayub Khan, adalah penguasa jenderal militer pertama yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan Islam Pakistan yang sah. Pada tahun 1959, Jenderal Ayub Khan yang condong pada sekularisme membekukan UUD dan menjalankan pemerintahan secara diktator berdasarkan dekrit. Salah seorang penasihat politiknya, tokoh antisyariah bernama Prof Fazlur Rahman, menjadi guru Syafii Maarif di Ohio University. Fazlur Rahman, termasuk tokoh yang berperan dalam mengatur kehidupan politik sekuler dan menyingkirkan syariah. Dia juga memusuhi orang yang memperjuangkan syariah Islam dalam mengatur kekuasan politik dan negara, seperti Abul A’la Al Maududi.
Mula-mula Ayub Khan membubarkan parlemen dan membekukan UUD. Selanjutnya, membubarkan parpol Islam, dan melarang para ulama berkecimpung dalam ranah politik serta kenegaraan, termasuk mengancam Abul A’la Al Maududi dengan hukuman mati. Setelah Ayub Khan, Jenderal Yahya Khan (1969-1971) menggantikan kedudukannya sebagai penguasa militer, tapi kemudian terguling akibat meletusnya pembrontakan Pakistan Timur yang sekarang menjadi Banglades.
Kemudian muncul Perdana Menteri Ali Butho (1971-1980) yang memimpin Pakistan berdasarkan sosialisme dan anti-Islam. Pada tahun 1988, Jenderal Ziaul Haq menggantikan Ali Butho sebagai perdana menteri atas dukungan para ulama dan gerakan Islam. Jenderal yang dikenal saleh ini, berupaya merintis kembali ke konstitusi Pakistan yang berjiwa Islam, tetapi digagalkan oleh konspirasi Amerika. Ia terbunuh dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang bersama sejumlah jenderal, dan dubes AS untuk Pakistan ketika itu. Sesudah itu muncul pemerintahan yang lemah, Benazir Butho, perdana menteri wanita pertama di Republik Islam Pakistan yang berhaluan sekuler dan antisyariah Islam.
Dalam sebuah pidato di hadapan rakyat Pakistan, Benazir Butho pernah mengatakan bahwa Islam tidak berhasil membawa Pakistan keluar dari krisis. Karena itu, dia ingin menerapkan sosialisme yang sebelumnya telah dirintis oleh bapaknya, Ali Butho.
Padahal, baik Ali Butho maupun putrinya Benazir, termasuk Soekarno dan Soeharto di Indonesia, belum pernah secara konsisten menerapkan syariah Islam dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Bagaimana mereka menuntut Islam bertanggung jawab atas kegagalan yang puluhan tahun dilakukan oleh kelompok sekuler dan antiagama?
Bangkitnya para ulama Pakistan dan mendukung Nawaz Syarif sebagai perdana menteri Pakistan, mendorong pihak militer berulah. Mereka menentang kebijakan Nawaz Syarif dengan menyulut pertentangan antara Muhajirin (Muslim pendatang dari India) dan pengikut Syiah.Dalam kemelut politik yang tak henti ini, peluang munculnya para petualang di panggung politik Pakistan terbuka lebar. Tampilnya kader Ahmadiyah, Jenderal Perver Musharraf, yang ternyata lebih banyak bertindak sebagai kaki tangan Inggris, memorak porandakan Islam di Asia Selatan, dan jadi sekutu dekat Amerika. Kudeta militer yang berkali-kali menggoyang bahtera Republik Islam Pakistan, sama sekali bukan atas nama Islam, melainkan motivasi sekularisme yang dipaksakan oleh para jenderal sekuler. Semua ini melengkapi drama bersimbah darah di Pakistan, untuk menelikung Negara Islam Pakistan yang paling ditakuti Barat.
Maka, mempertanyakan mengapa Alquran dan atas nama kedaulatan Allah di bumi, gagal memperbaiki nasib rakyat Pakistan, tidak lah relevan. Sebab, Alquran bukan makhluk yang dapat bertindak sebagaimana manusia berakal, melainkan hudan linnas, kitab petunjuk bagi manusia untuk menempuh jalan hidup yang benar dan menjauhi kesesatan. Jika ajarannya tidak diamalkan, kemudian terjadi krisis di masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, penyalahgunaan kekuasan, dan berbagai bencana alam, jangan salahkan negara atau syariah Islam. Menuntut tanggung jawab Islam, terhadap petaka yang ditimbulkan kaum antisyariah Islam, adalah beban di luar tanggung jawab Islam. Tidaklah adil, menyalahkan, apalagi menuntut peran Islam memperbaiki kondisi masyarakat, sementara hukum-hukumnya diposisikan sekadar bahan pertimbangan dalam hukum positif dan kebijakan publik pemerintah.
Republika, 10 Agustus 2007
Diposting oleh: admin jam 4:36 PM 0 komentar Buat link dari post ini
Label: Ahmad Syafii Maarif, Amerika, Irfan S Awwas, Islam, Pluralisme, Republika
Friday, December 1, 2006
Hamka dan Pluralisme Agama
Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia
Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan tersebut.
Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.
Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.'
Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.
Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.
Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen."
Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.
Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.
Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.
Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah keimanan Islam.
Ikhtisar
- Ayat 62 Surat Al Baqarah dan ayat 69 Surat Al Maidah kerap digunakan untuk menjustifikasi paham pluralisme agama.
- Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat Muslim, tapi juga di kalangan umat beragama lain.
- Tiap agama pun melawan paham tersebut.
- Sosok Hamka sangatlah jauh berbeda pandangannya dengan para pengusung paham pluralisme agama.
( )
Diposting oleh: admin jam 2:04 AM 0 komentar Buat link dari post ini
Label: Adian Husaini, Alquran, Pluralisme, Polemik, Republika, Tafsir
Menyelami Penafsiran Buya Hamka
Syamsul Hidayat
Wakil Ketua Majelis Tabilgh PP Muhammadiyah
Sangat menarik Resonansi Republika (21/11) yang memuat tulisan Buya Syafii Maarif. Tulisan itu bermula dari jawaban atas pertanyaan melalui SMS yang beliau terima dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di daerah konflik Poso. Sangat patut dan layak diapresiasi sikap Sang Jendral tersebut, begitu pula Buya Syafii dalam merespons permintaan tersebut.
Dalam rangka apresiasi kepada beliau berdua dan takzim kepada Buya Hamka rahimahullah, tulisan ini ingin menggaris bawahi apa yang dikemukakan oleh Buya Syafii maupun Buya Hamka. Namun, ada kutipan Syafii dari tafsir Hamka yang membuat Resonansi itu menyisakan pertanyaan. Di situ terlihat seolah-olah ayat 62 Al Baqarah dan ayat 69 Al Maidah beserta tafsir Buya Hamka mengisyaratkan pengakuan Alquran atas paham pluralisme agama.
Empat golongan
Sebagaimana Syafii Maarif, tulisan ini mencoba mengutip apa adanya pernyataan Buya Hamka yang dimuat dalam Tafsir Al Azhar, juz I halaman 203 menurut versi yang penulis miliki: cetakan September 1987 terbitan Pustaka Panjimas Jakarta. Perbedaan posisi halaman dengan kutipan Buya Syafii, menurut hemat penulis lebih disebabkan oleh perbedaan edisi cetaknya.
Berikut kutipannya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman" (pangkal ayat 62). Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman di sini adalah orang yang memeluk agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan tetaplah menjadi pengikutnya hingga Hari Kiamat. "Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin", yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan, tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian, "barang siapa yang beriman kepada Allah". Yaitu mengaku adanya Allah Yang Maha Esa dengan sebenar-benar pengakuan, mengkuti suruhanNya dan menghentikan larangannya, "dan Hari Kemudian dan beramal shaleh", yaitu hari akhirat, kepercayaan yang telah tertanam kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka buktikan pula dengan mempertinggi mutu diri mereka. "Maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka". Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. "Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita" (ujung ayat 62)
Demikianlah bunyi utuh dari tafsir ijmali (tafsir garis besar) yang ditulis Hamka atas ayat tersebut. Syafii Maarif, mengambil kesimpulan dari tafsir ijmali tersebut. Mungkin karena terbatasnya ruang Resonansi, aspek-aspek rinci yang dikemukakan oleh Buya Hamka dalam kutipan Syafii kurang mendapatkan porsi, padahal sangat penting.
Dalam tafsir yang lebih rinci yang tercantum halaman 203-210, Hamka menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat nama dari empat golongan, yaitu: (1) golongan orang beriman, (2) orang-orang yang jadi Yahudi, (3) orang Nasrani dan (4) orang-orang Shabiin. Golongan pertama adalah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok kedua adalah orang-orang yang jadi Yahudi, yakni yang memeluk agama Yahudi.
Demikian juga kelompok ketiga, sering dihubungkan dengan tempat kelahiran Isa Al Masih, yaitu kampung Nazaret atau disebut juga Nasiroh. Dan kelompok keempat yaitu Shabiin, yakni orang yang berpindah-pindah dari agama asalnya. Dalam ayat tersebut, kata Hamka, keempat golongan tersebut dikumpulkan menjadi satu, bahwa mereka semua akan mendapatkan ganjaran dari Allah, terbebas dari rasa ketakutan dan duka cita, apabila benar-benar mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh.
Menurut Buya Hamka, ayat ini dakwah kepada penegakan nilai-nilai agama sebagai hakikat beragama. Beragama bukan sekadar klaim kebenaran melalui mulut dan tidak dibuktikan dengan keyakinan yang kokoh dan perbuatan amal saleh.
Selanjutnya ayat ini menerangkan tentang keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Iman kepada Allah, meniscayakan keimanan kepada wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya, tidak membeda-bedakan di antara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang telah diturunkan Allah.
Dakwah dan toleransi
Buya Syafii dalam kajian tersebut menghubungkan dengan ayat 69 Surat Al Maidah, yang memiliki redaksi mirip. Lengkapnya dalam terjemahan Buya Hamka berbunyi: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan (begitu juga) orang Shabi'un dan Nasara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang saleh. Maka tidaklah ada ketakutan dan tidaklah mereka akan berduka cita". (Tafsir Al Azhar, Juz VI: hlm 312). Namun, karena keterbatasan tempat pula, agaknya, Buya Syafii belum memuat bagaimana Buya Hamka menafsirkan ayat ini, dan implikasinya dalam konteks dakwah dan toleransi beragama.
Sangat menarik, Buya Hamka menafsirkan ayat ini dengan menggunakan pendekatan munasabah al ayat, yakni menghubungkan ayat yang dikaji dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Pada ayat-ayat sebelumnya (67-68 Al Maidah), Allah menegaskan kembali perintah kepada Rasul untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Di antara dakwah yang wajib dikerjakan oleh Rasulullah, begitu juga para pengikutnya, adalah ajakan kepada Ahlul Kitab (Yahudi-Nasrani) untuk kembali menegakkan ajaran agama Allah yang benar. (Juz VI, hlm 313).
Setelah itu Hamka menjelaskan bahwa Al-Maidah ayat 69 mengajarkan prinsip toleransi yang sangat agung dalam Islam. Artinya memeluk agama adalah merupakan hak asasi. Mengakhiri tafsir atas Al Ma'idah ayat 69, Buya Hamka mengatakan, "Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam. Terdapatlah di sini, bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orang yang ingin mendekati Tuhan dengan penuh iman dan amal saleh. Bahkan orang-orang yang telah mengaku beriman sendiri, orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimah Syahadat dan iman pun harus turut membuktikan imannya dengan amal saleh."
( )
Sumber: Republika
Diposting oleh: admin jam 2:03 AM 0 komentar Buat link dari post ini
Label: Alquran, Pluralisme, Polemik, Republika, Syamsul Hidayat, Tafsir, Toleransi
Tuesday, November 21, 2006
Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.
Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka dari sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu menurut tafsir Hamka.
Al-Baqarah 62: "Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita."
Kemudian al-Maidah 69: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitu juga) orang Shabi'un, dan Nashara, barangsipa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita."
Ikuti penafsiran Hamka berikut: "Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. 'Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.
Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali 'Imran yang artinya: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih." (Hlm 217).
"Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu da'wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia." (Hlm. 217).
Tentang neraka, Hamka bertutur: "Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran." (Hlm. 218).
Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali 'Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).
Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian dengan Buya, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya berikan. Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, sekalipun tidak sependirian.
Sumber: Republika
Diposting oleh: admin jam 10:23 AM 0 komentar Buat link dari post ini
Label: Ahmad Syafii Maarif, Alquran, Hamka, Pluralisme, Tafsir
Newer Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)
Pengunjung
Arsip Kolom
Saturday, September 13, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)