Friday, April 17, 2009

Students hold arts festival to celebrate difference, learn respect for other

Saturday, April 18, 2009 2:49 AM


Several students of Diponegoro School perform a recital with angklung (a traditional musical instrument) at an arts festival in Rawamangun, East Jakarta, to commemorate World Peace Day, which fell on Jan. 1.

The festival - One World, One Dream for Peace Through Culture - aims to raise awareness among the students that peace can be obtained through cultural exchange, tolerance and understanding.

Besides the angklung recital and a gamelan recital by students from Central Java, there was a showcase of traditional dances from different areas across the archipelago.

The Saman dance from Nanggroe Aceh Darussalam, the Piring from Padang, West Sumatra, and the Rampak Gendang from West Java were among the dances performed by students at the two-hour event.

"Difference should not be a reason for war or conflict," Mazarina, a student, told The Jakarta Post.

"Instead people should learn from each other's views."

But, she said, the principles of tolerance was easier said than done.

"Even in my everyday life, I find it difficult to practise such a noble principle," she said.

"As humans, we all have our own emotions and sentiments.

"Personally, I find it hard to like Israel after what their military has done to Palestine," she said, referring to the Israeli attacks on the Gaza Strip.

"I know that not all Israelis are bad, but it is hard for me to like them after the attacks," she said.

Prior to the event, the students held a mass prayer for Palestinian victims. They also raised funds totaling Rp 50 million, to be donated to the victims through a humanitarian organization, Mer-C.

"Although my heart is with Palestine, I hope that both the Israeli and Palestinians leaders can put aside their differences," said another student. "After all, they were brothers and sisters for thousands of years before the land dispute of the 1960s."

Diponegoro School counselor Arief Rachman said the festival was held annually.

"Last year, we held a Wayang, or shadow puppet show, to commemorate World Peace Day," said Arief, who is known as an outspoken observer on education issues.

"Hopefully, the students will learn how to respect each other.

"The more we know about other cultures, the better we can understand and relate to each other." --- The Jakarta Post/hdt

kata " Menakhlukkan " atau " Menguasai " kok konotasinya negatif.

Ahad, 12 April 2009 13:08

Pertanyaan

Assalamu'alaikum wr.wb

Begini ustadz, dahulu Islam pernah berjaya selama 300 tahun di bawah
satu kekhalifahan, hingga populer dengan sebutan " 3 ABAD
KEEMASAN."Islam berhasil menakhlukkan Mesir, Persia, dan Romawi yang
merupakan imperium raksasa.
Bahkan sampai ke Andalusia (Spanyol ). Nah seperti apakah cara Islam
waktu itu dalam menakhlukkan (menguasai ) negara - negara tersebut?
Mengingat kata " Menakhlukkan " atau " Menguasai " kok konotasinya
negatif.
Terus bagaimanakah keadaan daerah takhlukanIslam waktu itu?

Jazakumullah khoiron katsiron

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya ada hal perlu sedikit dikoreksi sebelum kami menjawab
masalah ini. Kejayaan Islam itu bukan hanya 3 abad. Dari mana dapat
ungkapan pelecehan sepeti itu?

Sejarah dunia mengakui bahwa peradaban Islam itu berjaya dan unggul
dibandingkan peradaban barat selama 14 abad tanpa terputus. Sejak
diangkatnya nabi Muhammad SAW menjadi rasul di tahun 611 hingga tahun
1924 Masehi.

Memang pusat peradabannya sempat berpindah berkali-kali. Awalnya
berpusat di Madinah, lalu boyong ke Damaskus, Syiria. Pindah lagi ke
Baghdad, dan sempat pula punya pusat peradaban di Spanyol, Eropa.

Saat Baghdad kemudian diratakan dengan tanah oleh bangsa Mongol,
tiba-tiba muncul imperium terbesar dan terlama sepanjang sejarah,
Khilafah Turki Utsmani. Bahkan para khalifahnya berhasil membebaskan
kota Byzantium yang dulunya menjadi pusat kepemimpinan bangsa-bangsa
Eropa.

Sejak itu bangsa Eropa terutama di bagian Timur sudah mengenal
Islam, sebagian lainnya malah sudah memeluk agama ini. Dan khilafah
Turki Utsmani masih tetap berlangsung secara de facto dan de jure
hingga ditumbangkan oleh para kader yahudi yang tetap secara formal
memeluk Islam. Itu terjadi sudah di abad 20, tepatnya pada tahun 1924.

Jadi ungkapan bahwa kejayaan Islam yang cuma 3 abad sebenanya boleh dibilang agak mengada-ada, tapi bertentangan dengan fakta.

Penaklukan atau Pembebasan?

Istilah penaklukan memang bisa berdampak psikologis yang berbeda. Di
satu sisi mengesankan kegagahan, tapi kalau dipandang dari sisi
lainnya. malah bisa ditafsirkan sebagai menampakkan kekejaman.
Jadi semua akan kembali kepada dari mana kita memandangnya.

Ini sebenarnya hanya permasalahan rasa bahasa saja. Sebab dalam
bahasa Arabnya, justru yang banyak dipakai bukan penaklukan, melainkan
al-fathu. Istilah itu dalam kamus berasal dari kata: fataha yaftahu
yang artinya membuka.

Sering pula kemudian diterjemahkan menjadi pembebasan. Agaknya
istilah ini lebih representatif buat ukuran zaman dan situasi sekarang
ini. Karena kesan yang muncul bahwa Islam membebaskan manusia dari
kungkungan kezaliman, kebodohan, kejahilan dan ketidak-tahuan atas
kekuasaan Allah SWT.

Islamisasi = Modernisasi

Kalau kita jujur dengan sejarah, atau setidaknya kalau kita baca
para ahli sejarah yang jujur, sebenarnya ketika Islam mencapai puncak
peradabannya, tidak ada pihak yang dirugikan.

Sebaliknya, justru Eropa malah berhutang budi kepada dunia Islam.
Seandainya tidak ada peradaban Islam yang menjaga keutuhan warisan ilmu
pengetahuan Eropa kuno, boleh jadi banga Eropa tidak mengenal sejarah
nenek moyang mereka.

Naskah berharga para ilmuwan barat purba semacam Socrates,
Aristoteles dan Plato, tidak dikenal oleh umat manusia, kecuali dalam
bahasa Arab. Umat Islam pada saat itu menterjemahkan naskah-naskah ke
dalam bahasa Arab.

Peradaban Barat Untung Besar Kedatangan Islam

Sebelum mengenal peradaban Islam, keadaan negeri-negeri Barat
sungguh memprihatinkan. Dalam buku Sejarah Umum karya Lavis dan Rambon
dijelaskan bahwa Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah
abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh, dan liar.

Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik daripada
hewan. Eropa masih penuh dengan hutan-hutan belantara. Mereka tidak
mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan
rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk. Dan kota terbesar di Eropa
penduduk-nya tidak lebih dari 25.000 orang.

Jauh berbeda dengan keadaan kota-kota besar Islam pada waktu yang
sama. Seperti di kota Cordoba, ibukota Andalus di Spanyol. Cordoba
dikelilingi taman-taman hijau. Penduduknya lebih dari satu juta jiwa.
Terdapat 900 tempat pemandian, 283.000 rumah penduduk, 80.000
gedung-gedung, 600 masjid, 50 rumah sakit, dan 80 sekolah. Semua
penduduknya terpelajar. Karena orang-orang miskin pun menuntut ilmu
secara cuma-cuma.

Selain ketinggian peradaban Islam, para ilmuwan Muslim juga punya peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dunia.
Dalam bidang kedokteran ada Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi
(Razes [864-930 M]) yang dikenal sebagai 'dokter Muslim terbesar'.
Peradaban Islam juga punya pakar kedokteran lainnya seperti Abu Ali
Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037 M]).

Ilmu kimia lahir dan dibesarkan di dunia Islam. Siapa tidak kenal
Jabir Ibnu Hayyan yang meninggal tahun 803 M. Oleh ilmuwan barat modern
yang jujur, sosok beliau disebut sebagai Bapak Kimia.

Dunia modern sekarang ini tidak pernah mengenal hitungan matematika
atau Algoritma, kalau tidak ada ahli matematika Muslim bernama Muhammad
bin Musa Al-Khwarizmi (770-840 M).

Bahkan dunia tidak pernah mengenal pengkodean digital yang terdiri
dari angka nol (0) dan satu (1), kalau bukan karena jasa peradaban
Islam. Karena umat Islam adalah penemu angka nol, setelah sebelumnya
bangsa Romawi menuliskan angka dengan balok-balok yang sangat tidak
praktis.

Bukan Penaklukan Tapi Pembangunan Peradaban

Berbeda dengan terminologi perang di kalangan bangsa barat yang
identik dengan darah, luka dan nestapa. Pelebaran peradaban negeri
Islam justru untuk menghidupkan manusia bukan untuk memusnahkan.

Ketika peradaban besar itu dihadapi oleh para rezim yang takut
kehilangan tahtanya dengan sabetan pedang dan tikaman belati, maka umat
Islam mempertahankan diri sewajarnya.

Kalau pun para diktator dunia itu mengerahkan pasukan sakit hati
untuk menyerang peradaban Islam, sangat wajar bila peradaban Islam
menjaga dan melindungi dirinya.

Tidaklah para diktator dunia itu memusuhi peradaban besar Islam,
kecuali mereka memang sakit melihat begitu banyak rakyatnya yang masuk
Islam. Padahal rakyat itu masuk Islam secara sukarela, karena Islam
tidak mengenal pemaksaan, apalagi ancaman.

Namun para diktator dunia itu tahu, Islam punya sistem yang jauh
lebih baik untuk memanusiakan manusia. Kalau Islam sebagai agama sampai
dipeluk oleh rakyat, maka tirani yang sudah mereka bangun turun temurun
dikhawatirkan akan terancam. Sebab para raja itu terbiasa memperbudak
manusia, memeras mereka dengan pajak yang mencekik, berbuat sekehendak
hati, melecehkan perempuan, menginjak-injak harga diri dan kemanusiaan.

Jadi kalau sampai pernah ada perang, yang terjadi adalah para
diktator dunia itu tidak ikhlas kalau Islam banyak dipeluk orang, lalu
mereka menyerang secara militer, dan kekuatan umat Islam bertahan
membela diri. Itulah yang terjadi sebenarnya.

Peran Orientalis Jahat

Sayangnya, oleh para orientalis jahat, semua fakta itu diputar
balik. Alih-alih mengakui Islam memberikan sumbangan besar pada dunia
ilmu pengetahuan, mereka malah menuduh Islam harus darah, suka
peperangan, sadis dan menerapkan hukum rimba.

Dan karena upaya penyesatan ini menjadi misi penting, para
konglomerat dunia rela merogoh kocek sedalam-dalamnya untuk mendirikan
pusat studi Islam di Amerika dan Eropa. Para pemuda dan mahasiswa
muslim dari seluruh penjuru dunia Islam akan dimanjakan dan
diiming-imingi gelar kesarjanaan, kecendekiawanan, dan bejibun gelar
lainnya, kalau mau jadi murid.

Dari Indonesia, ada ribuan mahasiwa muslim yang belajar ke pusat
studi di Amerika dan Eropa. Judulnya sih keren, belajar Islam. Tapi ada
yang aneh. Belajar Islam kok ke Eropa dan Amerika? Lalu yang jadi guru
siapa?

Ternyata yang jadi guru tidak lain adalah para rahib dan pendeta,
baik yang masih mengaku keturunan yahudi dan nasrani, atau pun yang
sudah terang-terangan mengaku atheis.

La ilaha illallah, kok mau-maunya anak-anak mahasiswa itu
mengaji kepada orang yahudi yang tidak pernah mandi janabah dan
wajahnya tidak pernah terkena air wudhu'?

Ternyata selain iming-iming bea siswa dan hidup enak di luar negeri,
mereka pun diangkat kedudukannya, dipuji setinggi langit sebagai muslim
modern, plus janji mendapat jabatan tinggi di Indonesia sepulang dari
cuci otak.

Orientalis Jujur

Namun selain orientalis jahat, ternyata ada juga
sebagian kecil yang agak jujur dan baik serta objektif saat membuat
penilaian. Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt
dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang.

Menurutnya, “Mereka (para orientalis) umumnya
mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah
seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara
Islam dan pedang.

Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli
kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh
suatu pemerintahan Islam.”

Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah
masuknya Islam ke Spanyol. Islam, tak hanya masuk dengan damai, namun
dengan cepat menyebar dan membangun peradaban tinggi hingga mencapai
puncak kejayaannya. Kota-kota terkemuka Spanyol seperti Andalusia dan
Cordova, menjadi center of excellent peradaban dunia.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Thursday, April 16, 2009

Siswa Akan Ikuti UASBN dan UN

Jakarta, CyberNews. Sebanyak 10.297.816 siswa akan mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) dan Ujian Nasional (UN) 2008/2009. Jumlah peserta UASBN SD/MI/SDLB sebanyak 4.514.024 siswa.

“Sedangkan peserta UN SMP/MTs/SMPLB sebanyak 3.575.987 siswa. Adapun peserta UN SMA/MA/SMK sebanyak 2.207.805 siswa. Kelulusan ditargetkan mencapai 92 persen,” kata Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo dalam siaran pers yang diterima Suara Merdeka, Rabu (15/4).

Eddy menyampaikan, UASBN SD/MI/SDLB akan dilaksanakan pada 11-13 Mei 2009, sedangkan UN SMP/MTs/SMPLB akan dilaksanakan pada 27-30 April 2009. Adapun UN SMA akan digelar selama lima hari pada 20-24 April 2009. Sementara UN SMK/SMALB akan berlangsung selama tiga hari pada 20-22 April 2009.

“Mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan akan diujikan di sekolah yang akan dilakukan oleh guru,” paparnya.

Terkait persiapan penyelenggaraan UN dan UASBN, Eddy menyampaikan, pencetakan soal ujian telah dilakukan sejak 19 Maret 2009. Kemudian, kata dia, distribusi soal diharapkan tiga hari sebelum pelaksanaan ujian telah sampai di tingkat kabupaten/kota atau di rayon.

“Sudah ada provinsi yang melakukan pendistribusian yaitu pada daerah-daerah yang jangkauannya jauh,” ujarnya. Eddy menyebutkan, penyelenggaraan ujian akan melibatkan sebanyak 1.030.000 pengawas. Setiap pengawas, kata dia, akan mengawasi sepuluh peserta didik.

Penyelenggaraan ujian, lanjut dia, juga akan melibatkan tim pemantau independen dan pengawas satuan pendidikan dari unsur perguruan tinggi, widya iswara, dan asosiasi profesi non-PGRI sebanyak 55.265 orang.

“Pengawasan dan pemantauan dilakukan pada ujian SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB/ SMK,”imbuhnya.

Eddy menyebutkan, biaya penyelenggaraan UASBN sebanyak Rp 59.523.075.000 Sedangkan biaya UN SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB/ SMK sebanyak Rp 296.099.583. 000.

Kemudian, kata dia, biaya untuk pengawasan termasuk scanning sebanyak Rp.83 miliar. Adapun Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas Burhanuddin Tolla mengatakan, paket soal UN dibuat berdasarkan pada standar kompetensi lulusan (SKL) lalu dikemas menjadi kisi-kisi soal.

“Agar menjaga kebocoran soal maka dibuat paralel soal. Setiap provinsi bervariasi soalnya. Soal di DKI Jakarta berbeda dengan soal di Jawa Barat berbeda dengan soal di Aceh. Namun, kemungkinan ada yang sama sekitar lima sampai dengan sepuluh persen,” tukasnya.

Mungin menambahkan, khusus untuk soal UASBN, penyelenggara tingkat pusat menyiapkan 25 persen butir soal, sedangkan penyelenggara tingkat provinsi menyiapkan 75 persen butir soal dan merakit master naskah soal.

Adapun kriteria kelulusan UN Tahun 2008/2009 mengalami kenaikan nilai rata-rata 0,25 dibandingkan tahun 2007/2008, yaitu dari 5,25 menjadi 5,50. Mungin menyampaikan, penyelenggaraan ujian juga akan diselenggarakan bagi sekolah Indonesia di luar negeri.

“Diantaranya di Belanda, Rusia, Mesir, Saudi Arabia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, Syria dan Filiphina,” jelasnya.

Saturday, April 11, 2009

Arti Penting Bahasa

15 February 2005 at 12:00 am · under General ·

Malam ini keisengan saya muncul saat sedang lewat ruang tamu alias warnet dan melihat user dari Somalia, pelanggan tetap kami, sedang asik duduk di komputer sembilan yang berdekatan dengan pintu masuk kamar depan. Saya menghampirinya sebentar lalu bertanya, “apakah ada kamus bahasa Somalia?” Dia menjawab, “iya ada.” “Maksudku dijual di pasaran?” Dia kembali menegaskan jawabannya. Sepanjang informasi yang saya miliki, Somalia termasuk dalam komunitas Arab sehingga bisa ditebak bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Arab. Namun dalam percakapan mereka yang sering saya dengar, sepertinya mereka tidak berbicara dalam bahasa Arab. Hal inilah yang memunculkan keisengan saya untuk bertanya.[@more@]
Saya lebih mendekat dan dia dengan semangat memperlihatkan teks-teks yang ada di layar monitor lalu menjelaskan sedikit-sedikit beberapa hurup dan bacaan dari kalimat yang tertera. Saya agak sedikit terkejut, karena rupanya hurup-hurup latin itu tidak lain adalah Bahasa Arab dalam tulisan yang berbeda. Segera terlintas di benak saya obrolan dengan seorang staff Athan KBRI di Cairo ketika kami menyimak peristiwa-peristiwa dan kerusuhan yang melanda Somalia waktu itu. Dia pernah menyatakan bahwa Somalia sekarang memang dibiarkan berantakan “secara politik” tetapi secara budaya ada kekuatan yang ingin dibangun oleh Amerika. Menurutnya, orang-orang Somalia diberikan kemudahan secara khusus untuk pergi ke Amerika dan tinggal di sana.

Mungkin ini juga sebagai penjelasan lebih lanjut kenapa semenjak warnet ini berdiri, pelanggan-pelanggannya rata-rata adalah orang Somalia dan mereka membutuhkan internet untuk berkomunikasi dengan saudara-saudara dan keluarga mereka di sana. Sedangkan bagaimana situasi dan kondisi negara mereka sekarang? hampir tidak pernah lagi diangkat ke permukaan sehingga saya sendiri tidak tahu banyak lagi.

Namun bahasa Arab dalam tulisan latin sebagaimana yang disampaikan oleh teman Somalia tadi mengalihkan perhatian saya dari maksud pertanyaan iseng saya. Tidak lagi terlintas di benak saya untuk bertanya bahasa apa yang biasa mereka gunakan dalam percakapan yang sering saya dengar. Toh Kalau dikatakan bahasa Arab juga, sangat tidak mungkin kalau saya sendiri tidak bisa memahami walau satu kata yang sempat tertangkap telinga.

Bahasa Arab dalam tulisan latin sebagai penulisan resmi mengingatkan saya terhadap perdebatan bahasa di Mesir pada era 1900-an dan sesudahnya. Berawal dari perdebatan antara penggunaan bahasa Arab Fusha dan bahasa Arab pasaran (’Amiyah). Perdebatan ini cukup sengit dan memunculkan kubu-kubu yang kemudian berimbas pada politik dan agama. Kemudian meruncing dan melebar ke masalah-masalah lain yang terkait dengan perdebatan itu. Apalagi bahasa ‘Amiyah dari segi praktis pernah ditetapkan dalam sebuah keputusan yang tidak populer. Sebagaimana diungkapkan oleh Dosen saya al-Marhum Sa’ad Zhallam dalam suatu kuliah, bahwa otoritas di Turki pernah membuat keputusan yang melarang penggunaan bahasa Arab Fusha di seluruh negri Arab. Dalam penerapannya, dua tempat yang tidak bisa disentuh keputusan itu adalah Al-Azhar dan Tanah Haram. Dari cerita al-Marhum, tersirat bahwa keputusan itu mungkin tidak tertuang dalam kertas undang-undang resmi pemerintahan tetapi ada secara praktis, sehingga apabila seseorang sudah keluar dari komplek Al-Azhar, dengan sangat terpaksa menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam kehidupan sehari-hari kalau tidak ingin bernasib sial dengan otoritas kekuasaan.

Pelarangan ini juga termasuk salah satu masalah yang mempengaruhi perdebatan tersebut dan pada gilirannya juga mempengaruhi ide-ide dan pendapat-pendapat yang mengalir waktu itu tentang perlunya mempertahankan Khilafah yang berada di tangan Dinasti Ottoman atau memilih bebas sebagai wilayah yang berdiri sendiri. Perjuangan terhadap penjajahan Inggris dan Perancis pun terbelah menjadi membebaskan wilayah untuk mengembalikannya dalam Khilafah atau untuk membebaskannya dan kemudian berdiri sendiri secara independen. Tetapi apapun hasilnya, semua orang waktu itu sepakat bahwa kekuasaan asing (Inggris dan Perancis) harus dilawan dengan perjuangan dan menempuh segala cara.

Selain itu, bahasa ‘Amiyah juga didukung oleh kekuasaan kolonial tetapi dalam penerapannya mereka tidak menggunakan pendekatan kekuasaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh otoritas Turki. Mereka lebih menekankan pendekatan budaya dan pendidikan seperti dalam pidato-pidato dan mengadakan kursus-kursus, penelitian-penelitian. Semua kegiatan yang terkait dengan kebahasaan lebih didorong untuk mengembangkan bahasa ‘Amiyah. Pada sisi ini juga yang sangat berpengaruh menarik perdebatan ini ke dalam konteks agama. Alasan penolakan utama kaum agamawan, sebagian cendikiawan dan pendukung mereka terhadap politik kebahasaan oleh kolonial ini adalah menjauhkan masyarakat Arab dari al-Qur’an dan khazanah keilmuan mereka yang sudah mapan secara bahasa sehingga tidak lagi setiap orang Arab dipastikan bisa memahami al-Qur’an, hadits, dan literature keilmuan lainnya karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Fusha.

Di kalangan budayawan, pakar agama, dan ahli bahasa, perdebatan antara dua bahasa (Fusha dan ‘Amiyah) tersebut terus berlanjut. Masing-masing mengemukakan pendapat dan argumennya. Namun menurut saya, masing-masing menang dan masing-masing kalah. Apabila Bahasa ‘Amiyah pernah mendapat dukungan secara praktis dari suatu otoritas, begitu juga bahasa Fusha pernah mendapatkan dukungan praktis otoritas tertentu dalam bentuk yang lain. Dari sisi agama, teks-teks keagamaan mulai dari bahasa al-Qur’an, Hadits, dan literature-literatur yang sangat banyak itu cukup membantu pertahanan bahasa Fusha.

Pada sisi kekinian dalam bentuk yang mengalir bersama perdebatan itu, bahasa Fusha juga pernah dibantu oleh otoritas kebahasaan seperti kasus novel Zainab yang dikarang oleh Husain Haikal. Keputusan otoritas sastra menetapkan bahwa novel ini merupakan novel dalam bahasa Arab pertama dalam makna novel menurut pengertian modern. Padahal lima tahun sebelum itu sudah terbit satu novel dengan judul ‘Azra Dansyuai (Perawan Dansyuai). Novel ini mengangkat tema perjuangan para petani Dansyuai diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan kolonial Inggris dan antek-antek pejabat lokal yang loyal terhadap kolonial. Keputusan Lord Kromer untuk melaksanakan hukuman gantung massal terhadap para petani dan kemudian pemberontakan para petani menjadi titik klimaks novel ini. Dalam diktat kuliah yang mengetengahkan perbandingan antara novel Zainab dan ‘Azra Dansyuai dikemukakan pandangan-pandangan penduduk desa dan penduduk kota, begitu juga bagaimana novel itu melukiskan tentang wanita secara khusus Zainab dan Perawan Dansyuai. Hanya saja novel ‘Azra Dansyuai ini tidak diakui oleh otoritas sastra karena menggunakan Bahasa ‘Amiyah.

Sekali lagi, kedua jenis bahasa itu sama-sama menang dan sama-sama kalah karena secara praktek semua orang Arab menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam percakapan sehari-hari dan pada saat yang sama Bahasa Fusha menjadi bahasa resmi Negara sehingga bahasa jenis ini yang digunakan dalam kontek-kontek resmi seperti pidato-pidato kenegaraan, pers, buku-buku, televisi (seperti berita-berita dan yang sifatnya resmi). Dalam pengantar kuliah, kedua-duanya mendapatkan tempat sesuai dengan dosennya sehingga kawan-kawan baru hanya bisa melongo pada saat-saat pertama masuk kuliah apabila kebetulan dosennya menggunakan bahasa ‘Amiyah.

Bahkan karena bahasa Fusha ini lebih ditekankan pada penggunaan resmi, beberapa orang-orang Mesir seringkali melongo saja kebingungan ketika mendengar saya, Husain (dari Nigeria), Husain (orang Mesir), Hasan (orang Mesir) yang lebih membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Fusha dalam percakapan kami di manapun. Memang tragis dan saya hanya bisa menggelengkan kepala ketika ada orang Mesir di sekitar kami yang bertanya-tanya bahasa apa yang kami pergunakan. Bahasa dia sendiri, Bahasa Imrul Qais, Nabigah Zubyani, ‘Antarah, Tharfah, Abu Jahal, Abu Lahab, Bahasa Muhammad, para Sahabat dan bahasa nenek moyangnya sendiri.

Keuntungan bahasa Fusha adalah bisa digunakan di semua Negara Arab dan orang-orang Arab yang berpendidikan lebih maju bisa mengerti, sedangkan bahasa ‘Amiyah belum tentu bisa dipahami di setiap Negara karena sifatnya lokal walau sebenarnya huruf-huruf dan beberapa katanya sama.

Satu hal lagi yang terkait dalam perdebatan dua jenis bahasa tersebut, Abdul Aziz Fahmi, salah seorang cendikiawan Mesir ketika perdebatan ini sedang hangat-hangatnya pernah melontarkan gagasan agar bahasa Arab diganti tulisannya ke dalam bahasa Latin dan tidak lagi menggunakan huruf-huruf Arab sebagaimana yang telah ada. Kontan saja gagasan ini seperti mengobarkan api yang sudah besar. Bahkan tidak hanya bantahan-bantahan penolakan yang muncul ke permukaan tetapi juga tuduhan-tuduhan sesat, kafir, antek penjajah, dan sebagainya. Dan memang pada kenyataannya, gagasan ini tidak mendapatkan tempat hingga sekarang dan menghilang begitu saja.

Tetapi akhir-akhir ini saya melihat gagasan itu sudah mendapatkan jatah dalam komunitas kecil, khususnya dalam arena chatting irc, sebagian forum-forum komunitas internet, dan sebagian sms. Mungkin bisa jadi gagasan itu telah mendapatkan tempat yang layak di Somalia.

Catatan Tambahan:

1. Bahasa Arab ‘Amiyah dalam kontek sejarah perkembangan sebenarnya sudah muncul sejak abad ke 4 H. Faktor perbedaan dialek (lahajat) baik pengucapan, arti suatu kata maupun penggunaan sangat berperan besar dalam mempengaruhi pertumbuhan Bahasa ‘Amiyah. Bahkan semenjak masa Jahiliah (Pra-Islam), perbedaan itu sudah ada, baik antara wilayah maupun antar suku-suku seperti perbedaan Bahasa Arab Utara dan Arab Selatan (Yaman dan sekitarnya sekarang). Penelitian tentang sejarah perkembangan dan tarik-ulur antara Bahasa Arab ‘Amiyah dan Bahasa Arab Fusha pernah dijadikan materi dalam mata kuliah Ilmu bahasa (Linguistik) di Univ. al-Azhar, Fakultas Studi-Studi Islam jurusan Bahasa Arab putri (sekitar tahun ajaran 96-97 atau 97-98).

2. Beberapa sumber tulisan ini tidak disebutkan baik buku atau majalah karena berdasarkan ingatan dan buku-bukunya sudah dikirim ke Indonesia. Pada sisi lain, sebagian sumbernya juga berdasarkan penyampaian saksi hidup ketika itu seperti al-Marhum Sa’ad Zhallam. Beliau adalah dekan Fakultas Bahasa Arab, univ. al-Azhar putra dan meninggal pada tahun 1999 dan belum sempat menanda-tangani ijazah Lc saya sehingga ditanda-tangani oleh Dekan yang baru ditunjuk beberapa hari.

3. Untuk membaca lebih lanjut tentang perdebatan masalah ini bisa merujuk kembali buku-buku yang ada seperti Abathil wa Asmar karya Mahmud Syakir, karya-karya Ahmad Taimur dan Muhammad Taimur, Taufiq Hakim, Luis ‘Iwadh, Muhammad Mandur, Muhammad Ghunami Hilal, Thaha Abdul Bar, dan lain-lain. Bahkan Mahmud Syakir sebagai salah seorang pelaku yang ikut serta dalam perdebatan (khususnya perdebatan dia sendiri dengan gurunya Thaha Husain) selalu memuat kesaksian-kesaksian dalam setiap Pendahuluan yang dia tulis dalam buku-buku yang ia tahqiq (teliti).

4. Arti Penting Bahasa, anda bisa nyambung ngga tulisan saya dengan judul? Bicaralah kemudian renungi bahasa apa yang anda gunakan dalam bicara tentu anda akan menemukan jawabannya. Saya memang lagi iseng.

Arti Penting Bahasa

15 February 2005 at 12:00 am · under General ·

Malam ini keisengan saya muncul saat sedang lewat ruang tamu alias warnet dan melihat user dari Somalia, pelanggan tetap kami, sedang asik duduk di komputer sembilan yang berdekatan dengan pintu masuk kamar depan. Saya menghampirinya sebentar lalu bertanya, “apakah ada kamus bahasa Somalia?” Dia menjawab, “iya ada.” “Maksudku dijual di pasaran?” Dia kembali menegaskan jawabannya. Sepanjang informasi yang saya miliki, Somalia termasuk dalam komunitas Arab sehingga bisa ditebak bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Arab. Namun dalam percakapan mereka yang sering saya dengar, sepertinya mereka tidak berbicara dalam bahasa Arab. Hal inilah yang memunculkan keisengan saya untuk bertanya.[@more@]
Saya lebih mendekat dan dia dengan semangat memperlihatkan teks-teks yang ada di layar monitor lalu menjelaskan sedikit-sedikit beberapa hurup dan bacaan dari kalimat yang tertera. Saya agak sedikit terkejut, karena rupanya hurup-hurup latin itu tidak lain adalah Bahasa Arab dalam tulisan yang berbeda. Segera terlintas di benak saya obrolan dengan seorang staff Athan KBRI di Cairo ketika kami menyimak peristiwa-peristiwa dan kerusuhan yang melanda Somalia waktu itu. Dia pernah menyatakan bahwa Somalia sekarang memang dibiarkan berantakan “secara politik” tetapi secara budaya ada kekuatan yang ingin dibangun oleh Amerika. Menurutnya, orang-orang Somalia diberikan kemudahan secara khusus untuk pergi ke Amerika dan tinggal di sana.

Mungkin ini juga sebagai penjelasan lebih lanjut kenapa semenjak warnet ini berdiri, pelanggan-pelanggannya rata-rata adalah orang Somalia dan mereka membutuhkan internet untuk berkomunikasi dengan saudara-saudara dan keluarga mereka di sana. Sedangkan bagaimana situasi dan kondisi negara mereka sekarang? hampir tidak pernah lagi diangkat ke permukaan sehingga saya sendiri tidak tahu banyak lagi.

Namun bahasa Arab dalam tulisan latin sebagaimana yang disampaikan oleh teman Somalia tadi mengalihkan perhatian saya dari maksud pertanyaan iseng saya. Tidak lagi terlintas di benak saya untuk bertanya bahasa apa yang biasa mereka gunakan dalam percakapan yang sering saya dengar. Toh Kalau dikatakan bahasa Arab juga, sangat tidak mungkin kalau saya sendiri tidak bisa memahami walau satu kata yang sempat tertangkap telinga.

Bahasa Arab dalam tulisan latin sebagai penulisan resmi mengingatkan saya terhadap perdebatan bahasa di Mesir pada era 1900-an dan sesudahnya. Berawal dari perdebatan antara penggunaan bahasa Arab Fusha dan bahasa Arab pasaran (’Amiyah). Perdebatan ini cukup sengit dan memunculkan kubu-kubu yang kemudian berimbas pada politik dan agama. Kemudian meruncing dan melebar ke masalah-masalah lain yang terkait dengan perdebatan itu. Apalagi bahasa ‘Amiyah dari segi praktis pernah ditetapkan dalam sebuah keputusan yang tidak populer. Sebagaimana diungkapkan oleh Dosen saya al-Marhum Sa’ad Zhallam dalam suatu kuliah, bahwa otoritas di Turki pernah membuat keputusan yang melarang penggunaan bahasa Arab Fusha di seluruh negri Arab. Dalam penerapannya, dua tempat yang tidak bisa disentuh keputusan itu adalah Al-Azhar dan Tanah Haram. Dari cerita al-Marhum, tersirat bahwa keputusan itu mungkin tidak tertuang dalam kertas undang-undang resmi pemerintahan tetapi ada secara praktis, sehingga apabila seseorang sudah keluar dari komplek Al-Azhar, dengan sangat terpaksa menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam kehidupan sehari-hari kalau tidak ingin bernasib sial dengan otoritas kekuasaan.

Pelarangan ini juga termasuk salah satu masalah yang mempengaruhi perdebatan tersebut dan pada gilirannya juga mempengaruhi ide-ide dan pendapat-pendapat yang mengalir waktu itu tentang perlunya mempertahankan Khilafah yang berada di tangan Dinasti Ottoman atau memilih bebas sebagai wilayah yang berdiri sendiri. Perjuangan terhadap penjajahan Inggris dan Perancis pun terbelah menjadi membebaskan wilayah untuk mengembalikannya dalam Khilafah atau untuk membebaskannya dan kemudian berdiri sendiri secara independen. Tetapi apapun hasilnya, semua orang waktu itu sepakat bahwa kekuasaan asing (Inggris dan Perancis) harus dilawan dengan perjuangan dan menempuh segala cara.

Selain itu, bahasa ‘Amiyah juga didukung oleh kekuasaan kolonial tetapi dalam penerapannya mereka tidak menggunakan pendekatan kekuasaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh otoritas Turki. Mereka lebih menekankan pendekatan budaya dan pendidikan seperti dalam pidato-pidato dan mengadakan kursus-kursus, penelitian-penelitian. Semua kegiatan yang terkait dengan kebahasaan lebih didorong untuk mengembangkan bahasa ‘Amiyah. Pada sisi ini juga yang sangat berpengaruh menarik perdebatan ini ke dalam konteks agama. Alasan penolakan utama kaum agamawan, sebagian cendikiawan dan pendukung mereka terhadap politik kebahasaan oleh kolonial ini adalah menjauhkan masyarakat Arab dari al-Qur’an dan khazanah keilmuan mereka yang sudah mapan secara bahasa sehingga tidak lagi setiap orang Arab dipastikan bisa memahami al-Qur’an, hadits, dan literature keilmuan lainnya karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Fusha.

Di kalangan budayawan, pakar agama, dan ahli bahasa, perdebatan antara dua bahasa (Fusha dan ‘Amiyah) tersebut terus berlanjut. Masing-masing mengemukakan pendapat dan argumennya. Namun menurut saya, masing-masing menang dan masing-masing kalah. Apabila Bahasa ‘Amiyah pernah mendapat dukungan secara praktis dari suatu otoritas, begitu juga bahasa Fusha pernah mendapatkan dukungan praktis otoritas tertentu dalam bentuk yang lain. Dari sisi agama, teks-teks keagamaan mulai dari bahasa al-Qur’an, Hadits, dan literature-literatur yang sangat banyak itu cukup membantu pertahanan bahasa Fusha.

Pada sisi kekinian dalam bentuk yang mengalir bersama perdebatan itu, bahasa Fusha juga pernah dibantu oleh otoritas kebahasaan seperti kasus novel Zainab yang dikarang oleh Husain Haikal. Keputusan otoritas sastra menetapkan bahwa novel ini merupakan novel dalam bahasa Arab pertama dalam makna novel menurut pengertian modern. Padahal lima tahun sebelum itu sudah terbit satu novel dengan judul ‘Azra Dansyuai (Perawan Dansyuai). Novel ini mengangkat tema perjuangan para petani Dansyuai diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan kolonial Inggris dan antek-antek pejabat lokal yang loyal terhadap kolonial. Keputusan Lord Kromer untuk melaksanakan hukuman gantung massal terhadap para petani dan kemudian pemberontakan para petani menjadi titik klimaks novel ini. Dalam diktat kuliah yang mengetengahkan perbandingan antara novel Zainab dan ‘Azra Dansyuai dikemukakan pandangan-pandangan penduduk desa dan penduduk kota, begitu juga bagaimana novel itu melukiskan tentang wanita secara khusus Zainab dan Perawan Dansyuai. Hanya saja novel ‘Azra Dansyuai ini tidak diakui oleh otoritas sastra karena menggunakan Bahasa ‘Amiyah.

Sekali lagi, kedua jenis bahasa itu sama-sama menang dan sama-sama kalah karena secara praktek semua orang Arab menggunakan bahasa ‘Amiyah dalam percakapan sehari-hari dan pada saat yang sama Bahasa Fusha menjadi bahasa resmi Negara sehingga bahasa jenis ini yang digunakan dalam kontek-kontek resmi seperti pidato-pidato kenegaraan, pers, buku-buku, televisi (seperti berita-berita dan yang sifatnya resmi). Dalam pengantar kuliah, kedua-duanya mendapatkan tempat sesuai dengan dosennya sehingga kawan-kawan baru hanya bisa melongo pada saat-saat pertama masuk kuliah apabila kebetulan dosennya menggunakan bahasa ‘Amiyah.

Bahkan karena bahasa Fusha ini lebih ditekankan pada penggunaan resmi, beberapa orang-orang Mesir seringkali melongo saja kebingungan ketika mendengar saya, Husain (dari Nigeria), Husain (orang Mesir), Hasan (orang Mesir) yang lebih membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Fusha dalam percakapan kami di manapun. Memang tragis dan saya hanya bisa menggelengkan kepala ketika ada orang Mesir di sekitar kami yang bertanya-tanya bahasa apa yang kami pergunakan. Bahasa dia sendiri, Bahasa Imrul Qais, Nabigah Zubyani, ‘Antarah, Tharfah, Abu Jahal, Abu Lahab, Bahasa Muhammad, para Sahabat dan bahasa nenek moyangnya sendiri.

Keuntungan bahasa Fusha adalah bisa digunakan di semua Negara Arab dan orang-orang Arab yang berpendidikan lebih maju bisa mengerti, sedangkan bahasa ‘Amiyah belum tentu bisa dipahami di setiap Negara karena sifatnya lokal walau sebenarnya huruf-huruf dan beberapa katanya sama.

Satu hal lagi yang terkait dalam perdebatan dua jenis bahasa tersebut, Abdul Aziz Fahmi, salah seorang cendikiawan Mesir ketika perdebatan ini sedang hangat-hangatnya pernah melontarkan gagasan agar bahasa Arab diganti tulisannya ke dalam bahasa Latin dan tidak lagi menggunakan huruf-huruf Arab sebagaimana yang telah ada. Kontan saja gagasan ini seperti mengobarkan api yang sudah besar. Bahkan tidak hanya bantahan-bantahan penolakan yang muncul ke permukaan tetapi juga tuduhan-tuduhan sesat, kafir, antek penjajah, dan sebagainya. Dan memang pada kenyataannya, gagasan ini tidak mendapatkan tempat hingga sekarang dan menghilang begitu saja.

Tetapi akhir-akhir ini saya melihat gagasan itu sudah mendapatkan jatah dalam komunitas kecil, khususnya dalam arena chatting irc, sebagian forum-forum komunitas internet, dan sebagian sms. Mungkin bisa jadi gagasan itu telah mendapatkan tempat yang layak di Somalia.

Catatan Tambahan:

1. Bahasa Arab ‘Amiyah dalam kontek sejarah perkembangan sebenarnya sudah muncul sejak abad ke 4 H. Faktor perbedaan dialek (lahajat) baik pengucapan, arti suatu kata maupun penggunaan sangat berperan besar dalam mempengaruhi pertumbuhan Bahasa ‘Amiyah. Bahkan semenjak masa Jahiliah (Pra-Islam), perbedaan itu sudah ada, baik antara wilayah maupun antar suku-suku seperti perbedaan Bahasa Arab Utara dan Arab Selatan (Yaman dan sekitarnya sekarang). Penelitian tentang sejarah perkembangan dan tarik-ulur antara Bahasa Arab ‘Amiyah dan Bahasa Arab Fusha pernah dijadikan materi dalam mata kuliah Ilmu bahasa (Linguistik) di Univ. al-Azhar, Fakultas Studi-Studi Islam jurusan Bahasa Arab putri (sekitar tahun ajaran 96-97 atau 97-98).

2. Beberapa sumber tulisan ini tidak disebutkan baik buku atau majalah karena berdasarkan ingatan dan buku-bukunya sudah dikirim ke Indonesia. Pada sisi lain, sebagian sumbernya juga berdasarkan penyampaian saksi hidup ketika itu seperti al-Marhum Sa’ad Zhallam. Beliau adalah dekan Fakultas Bahasa Arab, univ. al-Azhar putra dan meninggal pada tahun 1999 dan belum sempat menanda-tangani ijazah Lc saya sehingga ditanda-tangani oleh Dekan yang baru ditunjuk beberapa hari.

3. Untuk membaca lebih lanjut tentang perdebatan masalah ini bisa merujuk kembali buku-buku yang ada seperti Abathil wa Asmar karya Mahmud Syakir, karya-karya Ahmad Taimur dan Muhammad Taimur, Taufiq Hakim, Luis ‘Iwadh, Muhammad Mandur, Muhammad Ghunami Hilal, Thaha Abdul Bar, dan lain-lain. Bahkan Mahmud Syakir sebagai salah seorang pelaku yang ikut serta dalam perdebatan (khususnya perdebatan dia sendiri dengan gurunya Thaha Husain) selalu memuat kesaksian-kesaksian dalam setiap Pendahuluan yang dia tulis dalam buku-buku yang ia tahqiq (teliti).

4. Arti Penting Bahasa, anda bisa nyambung ngga tulisan saya dengan judul? Bicaralah kemudian renungi bahasa apa yang anda gunakan dalam bicara tentu anda akan menemukan jawabannya. Saya memang lagi iseng.

CERITA TENTANG TANAH DAN AIR

Berlabuh kapal ku tersiar ke 4 penjuru mata angin
suara deburan air laut begitu keraaaaas!!
bau laut yang begitu haruuuuuuuuum, , melekat semakin dekat
balutan angin berdesing seperti bernyanyi menemani perjalanan ku
Sampailah aku di ujung rangkai pulau misterius
dengan berjuta khayalan di benak ku..
pelan2 ku tapaki tanah ini saat berlabuh..
hmmmmmmmm aroma tanah yg begitu memikat,
setelah iring-iringan tarian hujan selesai..
ada sahabat jauh melambaikan tangan padaku
dan dia berkata “wahai sahabat nama ku Sanjaya!!”
lantas ia jabat erat tangan ku,,ia meneruskan perkenalan ini
“aku adalah sanjaya,,aku berkebudayaan tanah”
sembari ia tunjukan tanah nya yang begitu subuuuuuur nan permai
sesaat kita berjalan menikmati pemandangan laut
dari kejauhan seorang memanggil2 kami berdua…
ternyata sanjaya sangat mengenal sosok orang itu..
lalu org itu mendekati ku dan berkata “wahai sahabat nama ku purnawarman” ia pun menjabat tangan kami berdua,,ia berkata lagi
“aku adalah purnawarman, ,aku berkebudayaan tanah”
lalu ia tunjukan hasil2 laut yang begitu berlimpaaah ruah..
dan intan berlian yg bersinar di tengah lautan di saat metahari akan terbenam,,,
dalam hati ku,,,
dua kebudayaan ini ada dalam satu teritori
apakah ini tanah air??
apa kah ini yang sering di ceritakan ibunda ku?!
tanah yg mashur,,laut yang permai?!
ibunda ku sering bercerita tentang hal ini,,
nama ibunda ku ibu pertiwi
beliau yang ajarkan aku tetang kehidupan
mmm aku telah lama pergi…aku rindu ibu pertiwi
saat nya aku untuk kembali,,
aku dengar ibu pertiwi terus-terusan memanggil ku
di kejauhan,,
di ufuk barat aku dengar ia menantikan aku pulang
entah tahun-tahun ini beliau terlihat sedih sekali…
aku harus pulang untuk menghibur nya…
(Nurendra Bagas)

Thursday, April 9, 2009

Indonesia Language remains important at TOP US universities

Friday, April 10, 2009 3:21 AM



Moch. N. Kurniawan , The Jakarta Post , Berkeley | Sun, 03/22/2009 2:02 PM | Discover

Although some 250 million people speak Indonesian, the language's global importance is often downplayed.

Indonesians might also think the same.

However, top US universities including the University of California-Berkeley still offer Indonesian language courses, proof that the language is quite influential.

Other universities such as Cornell, Yale, Stanford, University of California-Los Angeles, University of Texas-Austin, University of Colorado-Boulder, Northern Illinois, University of Hawaii -Honolulu, Arizona State University, Ohio University, University of Wisconsin-Madison, and University of Michigan-Ann Harbor also offer Indonesian language courses.

Ninik Lunde, an Indonesian language lecturer at UC Berkeley for the past 15 years, shared her thoughts recently that Indonesian had something strong to offer. "If you speak Indonesian, you can communicate with hundreds of million people in Indonesia, East Timor, Malaysia and Brunei," she said. "For researchers or businesspeople interested in Southeast Asia, the language will help them understand and get along with the people."

That makes Indonesian a necessary language to teach at UC Berkeley, she added.

At the university, the Indonesian language course has been offered for almost four decades as part of courses in the Department of South and Southeast Asia Studies.

The course is divided into three levels: introductory Indonesian, intermediate Indonesian, and literature.

Between 10 and 15 students usually take each level of the course, which gives them an opportunity to attend more comprehensive lectures than in a bigger class. In those classes, students learn about oral and written Indonesian.

"First-year students begin to speak basic Indonesian," Ninik said. "Lessons for second-year students put more weight on a combination between speaking and writing. After that, they can start learning Indonesian literature."

Isabel F. Esterman, a second-year graduate student at the UC Berkeley Graduate School of Journalism, also taking up Southeast Asia studies, said she learned Indonesian because she felt it would support her research on Southeast Asia and her plan to work in the region.

"It's important to connect with people using their language, not through a translator when you work there," she said. "And I think Indonesian is a growing language."

Esterman, who also speaks Tagalog, said it was true that Indonesian was simpler than English, but sometimes because of its simplicity, she found something was missing when using Indonesian.

David Hembry, a fourth-year PhD student at the School of Environment Science, concurred with Esterman.

He said learning Indonesian would help him easily communicate with his peers in Indonesia should he realize his plan to go there for his research on plants.

"I'm taking the Indonesian language course for my second year now after a break last year," said Hembry, who also speaks French and Japanese.

He added the language was relatively easy to learn, but he found it difficult when having to use too many passive sentences.

Editha Setiawan, an Indonesian citizen born and raised in the US, was tempted to learn Indonesian to better understand her roots, with her father hailing from Surabaya and her mother from Bojonegoro, East Java.

"My father has been working in the US for years, and they speak to me in Indonesian. But I speak in English most of the time because I grew up here. I could understand when people talked to me in Indonesian, but I was unable to respond properly," she said.

The fourth-year UC Berkeley undergraduate, majoring in molecular and cell biology, and in public health, said she went out of her comfort zone when she started taking Indonesian language class.

"I understand Indonesian better now," she said. "Besides, I always enjoyed my time in Indonesia, getting along with my extended family, so learning Indonesian will certainly help me have a better time there."

Ninik expressed hope the Indonesian language course at UC Berkeley would one day receive funds from private firms, just like the Japanese language course at the university, to boost the development of the course.

Successful election marks a decade of democracy

Friday, April 10, 2009 2:47 AM

Indonesians flooded polling stations across the sprawling island nation Thursday, capping a decade of democracy in a parliamentary election that boosted the reform-minded president's chances of re-election.

Violence in the easternmost province of Papua, the scene of a decades-long insurgency, marred otherwise peaceful polls with five killed in a string of pre-dawn attacks by suspected rebels, said local police chief Maj. Gen. Bagus Ekodanto.

Millions lined up to cast ballots, choosing between 38 parties vying for seats in the new 560-member legislature.

The vote is being closely watched because it will determine who will qualify to run for president in July. Parties or coalitions that win a fifth of the seats - or 25 percent of the popular vote - can nominate a candidate for that race.

Early results showed President Susilo Bambang Yudhoyono's Democratic Party quickly emerging as the front-runner, tripling its share of the popular vote to 21 percent from just 7 percent in 2004.

But if those tallies hold he will still need to form a coalition - probably again with Vice President Jusuf Kalla's Golkar Party - to govern.

They "have a really great chance to continue their mandate for a second term," said Ichlasul Amal, a political scientist at the University of Gadjah Mada in central Java. "It's a nice and easy choice."

Indonesia, the world's most populous Muslim nation, emerged from 32 years of dictatorship when Gen. Suharto was swept from power in 1998, leading to reforms that freed the media, vastly improved the country's human rights record, and for the first time allowed citizens to vote for president.

Despite some concerns about polling irregularities, religious intolerance and an ongoing ban on left-wing political activities, Indonesia has surprised many by turning into to one of the most stable democracies in the region.

There were 171 million eligible voters, making it the world's third largest electorate behind India and the United States. They flocked to 500,000 polling stations spread out across thousands of islands.

"It's an enormous undertaking," said Paul Rowland of the U.S.-based National Democratic Institute, noting that hundreds of thousands also will be contesting legislative seats at the provincial, municipal and regency level.

"It's the world's largest single-day election this year. We'll see more people voting for more positions than any other country."

Many voters were baffled by the myriad of choices, with hundreds of candidates sometimes listed on a poster-sized ballot.

"It's more complicated than last time," said Rivaldi Aswin, a 25-year-old bank employee who turned out with 300 others at a station west of the capital, Jakarta.

"I barely recognized any of the faces," he said after having his pinky dabbed with purple ink to keep people from repeat voting. "But I'm glad to have this opportunity."

Last time around, Yudhoyono's party won only 7 percent of the popular vote and had to partner up with late dictator Suharto's Golkar party and a handful of Islamic parties that pushed through laws governing everything from the way women dressed to the types of magazines that could be hawked on street corners.

Though many analysts had predicted waning support for religious parties, the early returns indicated the conservative Islamic Prosperous Justice Party, which came from nowhere in 2004 to scoop up 7.3 percent of the popular vote, may have made small gains.

Campaigns across the board were largely personality driven and policies have been broad and ill-defined, focusing on issues like the effect the global slowdown has had on the economy or the need to root out pervasive corruption.

Unlike 2004, security is no longer a big issue, something many credit to Yudhoyono.

Indonesia was last hit by an al-Qaida-linked terrorist attack four years ago and, thanks to a 2005 peace deal, guns have largely fallen silent in formerly war-torn Aceh province, on the country's northwestern tip.

Early quick count results were trickling in Thursday.

With more than 75 percent of the vote counted, the Indonesian Survey Circle had Yudhoyono's Democratic Party in the lead with 20 percent; the Indonesian Democratic Party of Struggle headed by former President Megawati Sukarnoputri, 15 percent; and Suharto's former political machine, Golkar, 15 percent.

The religious-based Islamic Prosperous Justice Party had 8 percent.
Comments (0) | Post comment

Thursday, April 2, 2009

Dasar-dasar Penulisan Cerita Anak-anak

Wednesday, May 9, 2007

Oleh: Korrie Layun Rampan


Cerita anak-anak adalah cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan.


1. Cerita sebenarnya dimulai dari TEMA. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama.


2. Pilar kedua adalah TOKOH, yaitu utama (protagonis) dan lawan (antagonis). Lalu juga disertai tokoh-tokoh sampingan, dan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat). Penokohan harus (seharusnya) memperlihatkan perkembangan karakter tokoh.


3. LATAR. Peristiwa2 di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya tepat. Latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.



4. ALUR adalah rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita, menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Alur dapat dibangun secara kronologis atau episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, yang memunyai gawatan, klimaks, dan leraian. Alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya.


Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang nanti terjadi.


Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Ada konflik pada diri sendiri (person-against-self); dengan orang lain (person-against-person); dan dengan masyarakat (person-against-society). Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.


5. GAYA menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang beraksen, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.

Wednesday, April 1, 2009

BENAR, AL-QUR’AN MENGGUNAKAN BAHASA ARAB Oleh: Zulfan Syahansyah

Secara historis, bahasa Arab adalah termasuk salah satu dari rumpun bahasa
Semit, yang meliputi bahasa-bahasa Babilonia, Asyuria, Aramy, Ibrani, Yaman
Lama, Habsyi Semit dan bahasa Arab itu sendiri. Ketiga bahasa yang pertama
telah lenyap, demikian pula sebagian dari bahasa-bahasa Yaman Lama. Sedangkan
tiga yang terakhir masih ada, tapi bahasa Arab adalah yang paling menonjol dan
paling luas tersiar dan tersebar. Realita inilah yang menjadi salah satu
penyebab keunggulan bahasa Arab dari bahasa lainnya; sampai saat ini masih
"hidup" dan menjadi alat berkomunikasi resmi, setidaknya oleh masyarakat yang
tinggal di kawasan Jazirah Arab dan Asia Tengah

Secara temporal, konteks yang penulis maksud dengan keutamaan bahasa Arab
sebagai linguistik yang dipakai untuk sebuah kitab (bacaan) suci adalah saat
masa penurunan Al-Qur'an. Dalam hal ini, Al-Biruni, salah seorang ilmu­wan
non-Arab berpendapat, seperti yang ditulis oleh Budhy Munawwar Rahcman: bahwa
menulis ilmu harus dalam bahasa Arab.

Hal ini karena memang wak­tu itu tidak ada bahasa yang bisa memuat ilmu
pengetahuan selain bahasa Arab, sebanding dengan bahasa Inggris dalam perannya
di zaman modern. Banyak dalil dari Al-Qur'an yang mengungkap alasan kenapa ia
turun dengan menggunakan bahsa Arab. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 44:
58, dan 46 : 12. Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa
Al-Qur'an itu diturunkan dalam "bahasa Arab". Adalah keliru jika karena Allah
menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan "tidak universal".
Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak
"ketuhanan" Allah yang jelas tidak bisa kita kritisi untuk menafikannya. Meski
demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan
secara ilmiah dengan beberapa point argument berikut:

1. Bahasa Tertua Yang Terbukti Masih Aktif

Rasulullah saw. dengan suatu mukjizat Ilahi, yang merupakan wujud dari
rancangan azali (rancangan primordial) tampil dengan menggunakan bahasa Arab
yang secara kebetulan merupakan salah satu dari empat bahasa yang sangat kaya
dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Hingga saat ini bahasa Arab masih
tetap ada, sementara tiga bahasa lainnya, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, dan
Romawi serta Latin telah mati.

Di samping itu, bahasa Arab lah yang menjadi bahasa kitab suci yang masih
aktif dipakai. Ia juga termasuk dari rumpun bahasa Semit yang masih bertahan
dan berkembang. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa
Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian
Lama (PL).

Meskipun begitu, menurut Isrâ'il Wilfinson, dalam bukunya Târîkh al-Lughât
al-Sâmiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof.
Al-A‘zamî, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani. Bahasa
pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek
Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih
tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali ± 1500
S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif. Semua alfabet
yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari,
pencapaian Kanaan ini.New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya
adalah bahasa Yunani juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari
Injil.

Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham
bahasa Yunani. Bukankah ini ‘mencederai' saktralitas Injil yang diklaim sebagai
‘firman Tuhan'?

Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di Arab dengan seorang nabi yang
berbicara dalam bahasa Arab. Ternyata bahasa Arab itu adalah bahasa tertua di
dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as, bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian
ulama berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa umat manusia yang pertama.

Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa
ahli surga adalah bahasa Arab. Seperti keimanan umat Islam dan umat-umat agama
samawi lainnya, asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan
isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya
berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa
kedua 'Bapak Ibu' itu adalah bahasa Arab, sebagai bahasa tempat asal mereka.
Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka
mengajarkan bahasa surga itu kepada para putra-putri mereka, yaitu bahasa Arab.

2. Bahasa Terkaya

Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa Arab memiliki jumlah
kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang
menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam
penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang Arab punya
sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan
anjing ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang
bisa menyamai bahasa Arab dalam hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan
bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran
diturunkan.

Selain itu, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan, di antaranya: (1)
Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang
hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan
tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab
mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk
perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain.

3. Bahasa Penunjang Kekekalan Al-Qur'an

Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata
(bilisanin ‘Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi
hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan
tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari
kegelapan "syirik" kepada cahaya "tauhid", dari kegelapan "kebodohan" kepada
cahaya "pengetahuan", dan dari kegelapan "kesesatan" kepada cahaya "hidayah".

Tiga kesatuan poin agama Islam; risalah (Islam), kitab (Al-Qur'an) dan utusan
Allah (Muhammad SAW), berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini
hancur.[8] Karena Islam adalah risalah (misi) yang universal dan kekal, maka
mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal
juga. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Qur'an, seperti firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Qur'an) dan Kami pula yang
memeliharanya." (Qs. 15: 9).

Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi
risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap
bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu
akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali. Maka
harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah
besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah
bahasa Arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah
berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar
umat manusia.

Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa Arab dalam
hal kekayaan perbendaharaan kata. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu
pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Quran diturunkan.

Urgensi Bahasa Arab

Oleh : Abu Farha Qasim Atha

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Qur’an dengan standar bahasa Arab dan mengutus rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan Arab yang fasi. Amma ba’du.
Urgensi bahasa Arab meliputi banyak cabang disiplin ilmu yang tidak bisa dipisahkan dari bahasa arab, namun dalam makalah yang sederhana ini kami paparkan hal-hal penting yang terkait dengan kehidupan sehari-hari kaum muslimin yang akan dijelaskan dalam pembahasan nanti.
Tentunya tulisan ini hanya untuk membuka hati dan pikiran kita agar kita memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan bahasa Arab khususnya bagi para pemuda umat ini sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Perlu kesadaran pada diri setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan bahasa persatuan kaum muslimin.

URGENSI PENGETAHUAN BAHASA ARAB
Ada dua poin penting yang berkaitan dengan pentingnya mempelajari bahasa Arab, yaitu:

1. Sebagai sumber ilmu
2. Sebagai pemersatu ummat

A. Sumber Ilmu
Sepanjang sejarah, bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki cabang ilmu yang indah dan kekuatan sastra yang kokoh sehingga mudah dipahami.
Para ulama mengatakan bahwa seseorang sebelum dia membaca teks Arab dia sudah bisa paham baik dia berbahasa Arab aktif maupun pasif. Berbeda dengan bahasa lain dimana seseorang harus membacanya terlebih dahulu baru kemudian dia bisa paham.1
Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan terutama ilmu-ilmu keislaman, karena al-Qu’an, al-hadits, al-atsar serta penjelasan para ulama terdahulu menggunakan bahasa Arab. Kita tidak bisa memahaminya kecuali dengan bahasa Arab. Ini adalah bagian dari mukjizat al-Qur’an yaitu memiliki standar bahasa yang baku yaitu bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan sumber keilmuan karena terdapat beberapa hal sebagai berikut:

1. Sarana mencapai kemuliaan
Ilmu adalah kemuliaan dan tidak bisa diraih kecuali dengan bahasa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberi kemuliaan pada bahasa Arab dengan dua yaitu:
a.Standar bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu-Nya agar umat manusia bisa memahaminya dengan mudah. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” 2
b.Memilih dan mengutus rasul-Nya dari orang Arab untuk seluruh alam. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam.” 3

Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan orang Arab “asli” yang sangat fasih berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa yang mulia sehingga menjaga diri seseorang dari kebodohan dan perselisihan. al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih, kecuali ketika mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung pada bahasa Aristoteles.” 4
Oleh karena itu, banyak orang-orang mulia dari kalangan ulama, pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sumber rujukan dalam memahami al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyah. Mereka diantaranya yaitu:

a.Al-Imam Syafi’i rahimahullah
Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan al-Ja’farani, dia berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dan lebih alim dari Imam syafi’i. Jika dibacakan syai’r di hadapannya pasti beliau mengetahuinya, beliau adalah ibarat lautan ilmu.” 5
Dalam riwayat yang lain, dari Rabi’ah bin Sulaiman, dia berkata, “Saya mendengar Ibn Hisyam rahimahullah pengarang buku Maghazi berkata, “Imam Syafi’i adalah hujjah dan bahasa.” 6
b.Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ibrahim al-Harbi rahimahullah berkata, “Saya melihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah seakan-akan Allah mengumpulkan ilmu orang terdahulu dan terakhir untuknya.” 7
c.Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah
Abu Hayyan rahimahullah adalah guru para ahli Nahwu, ketika dia bertemu dengan Ibn Taimiyah rahimahullah, dia berkata, “Kedua mata saya belum pernah melihat orang seperti Ibn Taimiyah.” 8

Dengan demikian, para ulama mendapat kemuliaan baik disisi manusia maupun disisi Allah karena mereka menjadikan bahasa Arab sebagai sarana untuk memahami agama ini.

2. Sarana memahami agama
Bahasa arab merupakan sarana yang paling penting untuk memahami agama Islam. Hal ini karena al-Qur’an, al-hadits, al-atsar, tafsir, dan penjelasan para ulama sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Untuk bisa memahaminya kita membutuhkan sarana yaitu bahasa Arab.
Oleh karena itu, sahabat yang mulia al-Faruq Umar bin khaththab radiallahu ‘anhu diriwayatkan telah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radiallahu ‘anhu seraya berkata,
تعلموا العربية فإنها من دينكم……
“Belajarlah bahasa Arab karena sesungguhnya bahasa Arab itu bagian dari agama kalian.” 9
Dalam riwayat yang lain dari Umar bin Zaid berkata, “Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu menulis surat kepada abu Musa al-Asy’ari radiallahu’anhu, ‘pahamilah sunnah dan pahamilah bahasa arab.’ ” 10
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengarahkan penuntut ilmu hadits agar mempelajari bahasa dan Sastra arab. Beliau berkata, “Menurut pandangan saya, seorang penuntut ilmu yang mendalami ilmu hadits harus memperbanyak studi ilmu sastra dan bahasa Arab sehingga dia mampu menguasai fiqhul hadits dengan baik karena hadits adalah ucapan orang Arab (rasulullah) yang paling fasih.” 11
Keterangan di atas adalah wujud perhatian besar para ulama terhadap bahasa Arab yang merupakan sarana mereka dalam memahami agama Islam.

B. Pemersatu Ummat
Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa orang Arab semata, akan tetapi merupakan bahasa kaum muslimin di seluruh dunia yang dengannya kaum muslimin menyatu dalam beberapa aspek ibadah dan dengan tujuan ini pula Allah menurunkan al-Qur’an menggunakan bahasa bahasa Arab.
Jika bahasa Arab hanya menjadi bahasa orang (bangsa) Arab saja maka tidak mungkin Allah menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal itu bertentangan dengan firman-firman-Nya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai “sumber ilmu”.
Dalam Islam, ada beberapa ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan bahasa arab, diantaranya sebagai berikut:
1.Shalat
Shalat tidak sah kecuali dengan bahasa arab, mulai dari panggilan untuk shalat (adzan dan iqamah), dan saat melakukan shalat yang diawali dengan takbiratul ihram, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir, dan salam, semua itu diucapkan dengan bahasa arab.
2. Dzikir-dzikir dan do’a-do’a
Dzikir dan do’a pada asalnya mengunakan bahasa Arab. Hal itu lebih utama, termasuk dalam dzikir adalah membaca al-Qur’an. Para ulama mengatakan diantara dzikir-dzkir yang paling utama adalah membaca al-Qur’an selain kalimat thayyibah (لا إله إلا الله).
Seseorang dikatakan telah membaca al-Qur’an jika dia membaca teks aslinya. Orang yang membaca terjemahannya tidaklah dikatakan membaca al-Qur’an, karena bisa jadi terjemahan itu keliru.
Walaupun dzikir dan do’a secara umum boleh menggunakan bahasa terjemahan (bahasa Ibu) bagi orang non-Arab, namun “tidak” di semua tempat dan waktu boleh berdzikir dan berdo’a menggunakan bahasa non-Arab.

C. Kesimpulan.
Urgensi bahasa Arab selain sebagai bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sebagai bahasa komunitas kaum muslimin di seluruh dunia. Apabila kita menengok sejarah perkembangan Islam maka tidak terlepas dari bahasa arab. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa negara di Afrika yang sampai sekarang masih menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (bahasa sehari-hari). Wallahu a’lam

Sejarah Perkembangan Bahasa Arab

Dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, terdiri dari beberapa priode, antara lain :

1. Priode Jahiliyah. Priode ini munculnya nilai-nilai standarisari pembentukan bahasa arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan peting yang telah menjadi tradisi masyarakat Makah . Kegiatan tersebut berupa festifal syair-syair arab yang diadakan di pasar Ukaz, Majanah, Zul Majah. yang akhirnya mendorong tersiar dan meluasnya bahasa arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat membentuk stsndarisasi bahasa arab fusha dan kesusasteraannya.

2. Periode Permulaan Islam. Turunnya Al - Quran dengan membawa kosa kata baru dengan jumlah yang sangat luar biasa banyaknya menjadikan bahasa Arab sebagai suatu bahasa yang telah sempurma baik dalam mufradat, makna, gramatikal dan ilmu –ilmu lainnya. Adanya perluasan wilayah-wilayah kekuasaan islam sampai berdirinya daulah umayah . Setelah berkembang kekuasaan Islam, maka orang-orang islam arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafaa Al-Al-Rasyidiin

3. Priode bani Umayah. Terjadinya percampuran orang-orang arab dengan penduduk asli akibat adanya perluasan wilayah islam. Adanya upaya-upaya orang arab untuk menyebarkan bahasa arab ke wilayah melalui akspansi yang beradab. Melakukan arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga penduduk asli mempelajari bahasa arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.

4. Priode bani Abasiyah. Pemerintahan Abasiyas berkeyakinan bahwa kejayaan pemerintahannya dapat bertahan bila bergantung kepada kemajuan agama islam dan bahasa arab, kemajuan agama islam dipertahankan dengan cara melaksanakan kegiatan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa Arab Badwi yang bersifat alamiah ini tetap dipertahankan dan dipandang sebagai bahasa yang bermutu tinggi dan murni yang harus dikuasai oleh putra-putra bani Abas. Pada abad ke empat H bahasa arab fusha sudah menjadi bahasa tulisan untuk keperluan administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahas Arab mulai dipelajari melalui buku-buku ,sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.

5. Priode ke lima. Sesudah abad ke 5 H bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan adminisrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non arab “ Bani Saljuk” yang mendeklarasikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara islam dibagian timur, sementara Turki Usmani yang menguasai dunia arab yang lainnya mendeklarasikan bawwa bahasa Turki sebagai bahasa administrasi pemerintahan. Kejak saat itu sampai abad ke7 H bahasa Arab semakin terdesak.

6. Priode bahasa arab di zaman baru. Bahasa arab bangkit kembali yang dilandasi adanya upaya-upaya pengembangan dari kaum intelektual Mesir yang mendapat pengaruh dari golongan intelektual Eropa yang datang bersama serbuan Napoleon.

a. Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar disekolah. Waktu-waktu perkuliahan disampaikan dengan bahasa arab.

b. Munculnya gerakan menghidupkan warisan budaya lama dan menghidupkan penggunaan kosakata asli yang berasal dari bahasa fusha.

c. Adanya gerakan yang yang telah berhasil mendorang penerbit dan percetakan dinegara-negara arab untuk mencetak kembali buku-buku sastra arab dari segala zaman dalam jumlah yang sangat besar dan berhasil pula menerbitkan buku-buku dan kamus bahasa arab.

Munculnya kesadaran dari intelektual arab yang mempertahankan bahasa Arab dari berbagai kritikan terhadap bahasa arab yang datang dari non arab atau dari orang arab sendiri untuk mempertahankan bahasa arab, tidak hanya sebagai bahasa agama, melainkan sebagai bahasa nasional dan diwujudkan melalui :

a. adanya usaha-usaha pembinaan dan pengembangan bahasa arab seperti Majma’ al lughah al-arabiyyah th 1934 di Mesir. Tujuannya untuk memelihara keutuhan dan kemurnian bahasa fusha dan melakukan usaha - usaha pengenbangan agar menjadi bahasa yang dinamis, maju dan mampu memenuhi tuntutan kemajuan dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.

b. Mendirikan lembaga pendidikan hkususnya pengajaran bahasa arab seperti Al -Azhar jurusan bahasa arab. Perhatian bangsa arab tidak hanya terjadi di Mesir tetapi terjadi pula di negara arab lainnya.

Asal Muasal bahasa Arab تاريخ فى اللغة العربية

Pembahasan sejarah bahasa arab merupakan pemikiran yang sangat rumit dan panjang untuk ditelusuri. Dengan berbagai bentuk teori dan perbandingan dengan penemuan script kuno dan lain sebagainya, sampailah para pencinta bahasa arab kepada ketidak-adanya kesepakatan yang baik antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.

Masing-masing berdalih dan berdalil dengan kuat sehingga tidaklah jelas hingga saat ini manakah diantara beragam teori yang ada tersebut merupakan satu kebenaran atau yang paling mendekati kebenaran yang bisa diterima oleh pihak lain, atau paling tidak oleh ummat islam sendiri yang pada dasarnya merupakan pengembang dan penyebar bahasa ini. Dalam artikel ini langsung saja akan diuraikan secara ringkas mengenai beberapa pendapat yang banyak beredar dan utama dikalangan ahli bahasa, ilmuwan, arkeologi, ahli sejarah, dan kalangan umum.

Diantara pendapat mengenai perkembangan bahasa arab yang paling global adalah:

1. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Arab telah ada semenjak zaman Adam, sehingga perintis tulisan Arab dan pola kalimat bahasa Arab adalah Adam. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling klasik dan merupakan interpretasi secara langsung dari Alquran surah Albaqarah 31, و علّم آدم الأسماء كلها yang artinya kuranglebih sbb: “Allah telah mengajari Adam pengetahuan tentang segala nama”. Dari dalil ini, mereka yang berpendapat bahwa nama-nama benda dan berbagai hal atau sifat di dunia ini telah diajarkan oleh Allah kepada Adam dalam bahasa Arab. Bahkan pengikut pendapat ini yang lebih tegas menyatakan bahwa huruf Arab telah dikuasai oleh Adam tanpa belajar dan langsung dari Allah seketika, atau disebut sebagai sebuah mukjizat atau paling tidak sebagai karunia (nadzariyah at tauqif).
2. Pendapat dari ahli-ahli tulisan kaligrafi mengenai bahasa Arab menyatakan bahwa bahasa ini memang ada semenjak zaman Adam, jadi merupakan bahasa pertama yang diciptakan manusia dan kemudian berkembang menjadi berbagai bahasa baru. Baik bahasa utamanya maupun berbagai cabang yang tumbuh darinya tersebut pada akhirnya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sesuai dengan peradaban manusia. Pendapat ini juga menggunakan bukti-bukti sejarah dan sebagainya untuk mendukung teori mereka. Disebutkan bahwa dari berbagai penemuan yang ada diketahuai bahawa semenjak 4000 tahun sebelum masehi, baru ada manusia yang bisa membuat membuat abjad atau bahasa tulis (sebelumnya dianggap belum ada bahasa tulis atau memang belum diketemukan bukti tertulisnya), yaitu oleh bangsa Sumeria di Mesopotamia yang membuatnya diatas batu; selanjutnya bangsa Mesir purba dengan sistem tulisan hyeroglyph; kemudian bangsa Babilonia dan Assyria di Mesopotamia yang memakai tulisan paku atau “cuneiform” dan dipahatkan diatas batu; begitupun bangsa Phunisia, China, Romawi, dan lain sebagainya. Mereka termasuk bangsa-bangsa yang mengawali pembangunan peradaban tinggi. Sementara itu tulisan Arab masih tergolong muda karena lahir belakangan. Ada pendapat bahwa tulisan Arab Kufi merupakan turunan terakhir dari hyeroglyph setelah melewati fase tulisan Phunisia, Musnad, dan Arami hingga kemudian mencapai jenis tulisan masa sekarang. Dengan semakin berkembangnya pendapat para ahli, teori ini terbagi menjadi beberapa kelompok utama, yaitu:
1. Teori Selatan (Himyari) yang menyatakan bahwa tulisan Arab yang ada pada saat ini diadopsi dari musnad himyari atau hameir di Yaman. Orang Yaman kuno (Himyar) pindah ke Hierah, sebuah kota dintara Nejef dan Kufah pada masa dinasti Al Mundzir keturunan Tababiah suku Yaman. Dari Hierah ini, kemudian dibawa oleh pengembara bernama Harb bin Umayyah yang belajar dari kota tersebut kemudian setelah menetap di Makah mengajarkan kepada penduduk sekitarnya. Akhirnya, suku-suku di Madinah, yaitu Auz, Khajraj, dan Tsaqif ketularan.
2. Teori Utara (Hieri) yang menyatakan bahwa berdasar riwayat Al Baladzuri (bernama asli Ahmad bin Yahya) yang merupakan sejarawan Arab keturunan Persia yang handal dan teruji validitasnya. Dia lahir di Baghdad dan wafat pada 892M. Ia meriwayatkan dari Abbas bin Hisyam bin Saib Al Kalby dari kakeknya dari Assyarqi Al Qathani: bahwa saya Maramir bin Murrah, Aslam putra Sadarah beserta Amir bin Jadrah yang semuanya dari Boulan, dan mereka adalah anggota kaum Thayik yang mendiami daerah Buqah, yang terletak di seberang Anbar. Kaum ini menyamakan ejaan Arab dengan ejaan Suryani. Oleh penduduk Hierah kemudian ditransfer dan dibuat formula baru. Transfer tersebut dipelopori oleh Basyar bin Abdul Malik yang lebih dikenal dengan nama Al Kindi. Ditambah lagi, Al Kindi adalah saudara penguasa Daumatul Jandal yaitu Ukaidar. Al Kindi hijrah ke Hierah dan menetap beberapa waktu sehingga dari dialah penduduk Hierah (Huron) belajar tulisan Arab. Selanjutnya dia hijrah ke Makkah dan disini beberapa tokoh bangsawan Quraish minta diajari tata tulis dan ejaannya. Diantaranya adalah Sufyan bin Umayyah bin Abd Syams beserta Abu Kais bin Abd Manaf bin Zuhrah yang akhirnya bisa menulis Arab. Pada suatu ketika, Al Kindi dan Abu Kais melakukan kegiatan bisnis di Thaif ditemani pula Ghaylan bin Salmah At Tsaqafi yang juga belajar tulisan Arab pada Al Kindi. Dari waktu itulah kemudian baca tulis maju pesat di kota dagang tersebut. Dari riwayat tersebut diketahui bahwa tulisan Arab berawal dari tulisan Suryani yang transformasinya menghasilkan tulisan Anbari dan tahap selanjutnya ke tulisan Hieri dan kemudian menghasilkan khat Hejazi atau Makki.
3. Pendapat modern dari para sejarawan islam dan pencinta kaligrafi arab memberikan sedikit gambaran lebih mendetail tentang perkembangan tulisan dan bahasa arab terutama pada beberapa abad sebelum datangnya islam. Dalam pendapat ini, hal-hal yang menjadi titik penting adalah :

1) Suku Nabti adalah suku Arab pertama yang diperkirakan menguasai daerah Arami sekaligus terpengaruh budaya Arami dalam perjalanan waktu sehingga mereka pada akhirnya menggabungkan dua bahasa sekaligus dengan akulturasi tulisan baru yang masih nampak sentuhan awal Arami. Tulisan ini disebut sebagai tulisan Nabti.

2) Dari prasasti Utrubah dismpulkan bahwa khat Nabti merupakan transformasi dari tulisan Arami (entah apakah Aram asli atau juga sudah terkontaminasi bahasa lain), dan tulisan Arab merupakan evolusi dari jenis tulisan Nabti yang terakhir. Hal ini diperkuat atau didukung oleh prasasti atau inskripsi Al Hajar Al Khomsah (Prasati Lima Batu) yang membuka sejarah tulisan Arab sebelum islam. Prasasti tersebut jika diurutkan secara sitematik tahun pembuatannya adalah inskripsi Umm Al Jimal I, Nammarah, Zabad, Huron, dan terakhir Umm Al Jimal II. Dan semua ini dinyatakan sebagai prasasti Nabti (Naqsi Nabtiyah).

a) Naqsy Umm Al Jimal I ditulis dalam dua bahasa Nabti dan Arami di kawasan Umm Al Jimal diantara Syria dan Yordan sekarang. Bertahun 250M, dianggap toggak awal lahirnya tulisan Arab.

b) Naqsy Nammarah, dikawasan Huran Syria selatan, bertahun 328M dalam tulisan Nabti dengan bahasa Adnan Kuno yang dominan di awal abad ke-4M dan berbahasa Arab, serta beberapa Arami kuno, serta adanya penggunaan Alif Lam Ta`rif yang menjadi indikator perkembangan lebih mendekati Arab baru dibanding Umm Al Jimal I.

c) Naqsy Zabad, ditemukan direruntuhan Zabad di tenggara Halep (Aleppo) antara Qinsrin dan sungai Euphrat pada sebuah batu di sebuah kanisah. Bertahun 511-512M. Memuat tiga jenis tulisan (Yunani, Suryani, dan Anbti terakhir atau yang diyakini sebagai jenis tulisan Arab kuno). Tulisannya menyerupai jenis khat kufi islami.

d) Naqsy Harran, diatas pintu kanisah di Alluja, Harran, utara gunung Hurran, dalam bahasa Yunani dan Arab. Banyak kemiripan dengan khat naskhi kuno pada awal islam. Bertahun 463 N (463 kalender Nabti) pada masa kaisar Romawi Tiryanus dengan Gubernur Syria-Romawi “Balma” yang mengalahkan kerajaan Anbath pada tahun 102M dan menamainya sebagai distri Arab. Jadi 102 +463 = 569M, terpaut kira-kira 53 tahun sebelum hijrah.

e) Naqsy Umm Al Jimal II pada abad ke-6M, merupakan nash arab kuno yang paling muda yang diketemukan. Inskripsi ini begitu dekat dengan bahasa Arab Al Qur`an, jauh dari corak Nabti dari segi lingual maupun tulisannya.

3) Jadi, disini para ahli berpendapat bahwa cikal bakal tulisan Arab adalah khat Nabti yang kemudian menyebar ke Hejaz dengan proses perpindahan yang diperkirakan sama dengan tahun-tahun pembuatan lima prasasti batu utama tersebut. Selain itu dari sana diperoleh gambaran pula adanya proses evolutif dari Nabti murni kemudian setelah bebeapa tahap menjadi tulisan Arab yang sama dengan tulisan yang dipakai menyalin Al Qur`an. Sedangkan perjalanannya, diperkirakan dengan memakai dua jalur utama, yaitu:

a) Jalur I, berputar dari Hurran utara Damaskus menyusur ke selatan sampai lembah Euphrat bagian tengah kemudian sampai ke kota Hierah dan Anbar yang selanjutnya menembus daerah Daumatul Jandal lalu sampai ke Makkah dan Thaif.

b) Jalur II, bermula dari Diyar Nabti lalu ke Batra (orang Yunani menyebutnya Petra) di Yordan, lalu ke Ula yang sebelumnya bernama Didan dan merupakan daerah subur yang sering didatangi orang di utara Hejaz, lalu sampai ke Makkah dan Madinah.

1. Pendapat modern secara internasional:

Dalam pembahasan pada bagian ini dapat diperoleh digambarkan lebih jelas dan mendetail, bahkan semenjak ribuan tahun sebelum masehi, dengan berbagai cabang bahasa baru, dan yang jelas pembahasannya lebih kompleks daripada sebelumnya.

Menurut teori dan pendapat para ahli modern, bahasa di dunia ini pada awalnya adalah berasal dari daerah asal manusia pertama menetap, yaitu sekitar Afrika dan Asia. Dan bahasa yang lahir dari sumber ini dikemudian hari mencapai ratusan bentuk bahasa baru yang dipakai oleh sebagian besar penduduk dunia. Bahasa ini oleh para ahli dinamakan Afro-Asiatic, Afrasian, Hamito-Semitic, Lisramic, atau Erythraean, memperanakkan sekitar 400 jenis bahasa yang diantaranya memang telah punah, namun tetap saja merupakan kelompok bahasa yang paling banyak dipakai oleh penduduk bumi, yaitu dipakai di hampir seluruh Afrika, dan separuh Asia, terutama disebelah Asia selatan dan barat, serta sebagian Eropa.

Sub kelompok utama dari bahasa ini adalah:

· Berber

· Chadic

· Egyptian

· Semitic

· Cushitic

· Beja (ada yang memasukkannya ke dalam Cushitic)

· Omotic (ada yang memasukkannya ke dalam Cushitic)

Mengenai tempat masyarakat awal yang memakai bahasa Afro-Asiatic ini menetap, belum ada kesepakatan yang jelas antara para ahli, namun sebagian besar memperkirakan di Afrika utara, di dekat laut merah, dan di sahara.

Keterkaitan setiap sub-bahasa ini diperlihatkan oleh para ahli sebagai berikut:

· b-n- “build” (Ehret: *bĭn), attested in Chadic, Semitic (*bny), Cushitic (*mĭn/*măn “house”), Berber (*bn) and Omotic (Dime bin- “build, create”);

· m-t “die” (Ehret: *maaw), attested in Chadic (for example, Hausa mutu), Egyptian (mwt *muwt, mt, Coptic mu), Berber (mmet, pr. yemmut), Semitic (*mwt), and Cushitic (Proto-Somali *umaaw/*-am-w(t)- “die”). (Also similar to the Proto-Indo-European base *mor-/mr-. “die”, evidence in favor of both the Afro-Asiatic and Indo-European language families’ classification in the hypothetical Nostratic superfamily.)

· s-n “know”, attested in Chadic, Berber, and Egyptian;

· l-s “tongue” (Ehret: *lis’ “to lick”), attested in Semitic (*lasaan/lisaan), Egyptian (ns *ls, Coptic las), Berber (ils), Chadic (for example, Hausa harshe), and possibly Omotic (Dime lits’- “lick”);

· s-m “name” (Ehret: *sŭm / *sĭm), attested in Semitic (*sm), Berber (ism), Chadic (for example, Hausa suna), Cushitic, and Omotic (though some see the Berber form, ism, and the Omotic form, sunts, as Semitic loanwords.) The Egyptian smi “report, announce” offers another possible cognate.

· d-m “blood” (Ehret: *dîm / *dâm), attested in Berber (idammen), Semitic (*dam), Chadic, and arguably Omotic. Compare Cushitic *dîm/*dâm, “red”.

Dalam tatana pola kalimat kerjanya, Semitic, Berber, and Cushitic (termasuk Beja) semuanya membuktikan adanya pemakaian “prefix conjugation”:

English


Arabic (Semitic)


Kabyle (Berber)


Saho (Cushitic)


Beja (verb is “arrive”)

he dies


yamuutu


yemmut


yagdifé


iktim

she dies


tamuutu


temmut


yagdifé


tiktim

they (m.) die


yamuutuuna


mmuten


yagdifín


iktimna

you (m. sg.) die


tamuutu


temmuteḍ


tagdifé


tiktima

you (m. pl.) die


tamuutuuna


temmutem


tagdifín


tiktimna

I die


ˀamuutu


mmuteγ


agdifé


aktim

we die


namuutu


nemmut


nagdifé


niktim

Semua sub-kelompok dari Afro-Asiatic menunjukkan bukti adanya pemakaian “causative affix s”, dan bahkan imbuhan yang agak mirip ditemukan dalam kelompok lain, seperti bahasa-bahasa Niger-Congo. Sementara itu, Semitic, Berber, Cushitic (termasuk Beja), and Chadic mendukung pemakaiaan “possessive pronoun suffixes”.

Berdasar kepada asal awal bahasa Shemit, bahasa cabangnya banyak memiliki kesamaan bunyi kata dan arti. Contoh:

English


Proto-Semitic


Akkadian


Arabic


Hebrew


Syriac


Ge’ez


Mehri


Phoenician

father


*ʼab-


ab-


ʼab-


ʼāḇ


ʼab-ā


ʼab


ḥa-yb


ab-

heart


*lib(a)b-


libb-


lubb-


lēḇ(āḇ)


lebb-ā


libb


ḥa-wbēb


lib

house


bayt-


bītu, bētu


bayt-


báyiṯ, bêṯ


bayt-ā


bet


beyt, bêt


bet

peace


*šalām-


šalām-


salām-


šālôm


šlām-ā


salām


səlōm


salem

tongue


*lišān-/*lašān-


lišān-


lisān-


lāšôn


leššān-ā


lissān


əwšēn


lshen

water


*may-/*māy-





māʼ-


máyim


mayy-ā


māy


ḥə-mō


maym

Kadangkala ada juga makna yang berbeda dari setiap akar bahasa Shemit dari satu cabang dengan cabang lainnya. Sebagai contohnya, akar kata b-y-ḍ dalam bahasa Arab mempunyai arti “putih” dan juga “telur”, sedangkan di Malta bajda berarti “putih” (f. sing./satu) dan juga “telur”, kemudian dalam Hebrew hanya berarti “telur”. Akar kata l-b-n berarti “susu” dalam bahasa Arab, tetapi berarti “putih” dalam Hebrew. Akar kata l-ḥ-m berarti “daging” dalam bahasa Arab dan kata laħam berarti “daging” dalam bahasa Malta, namun berarti “roti” dalam Hebrew dan “sapi” dalam bahasa-bahasa Ethiopia; Sedangkan arti awalnya kemungkinan adalah “makanan”. Kata medina berarti “kota” dalam Arab, dan “metropolis” dalam Amharic, sedangkan Hebrew berarti “negara”.

Semua bahasa-bahsa Shemit memiliki pola yang unik yang disebut “triliteral” yang biasanya terdiri dari tiga konsonan, mulai dari kata benda, kata bantu, dan kata kerja yang terbentuk dengan sisipan huruf hidup dalam bentuk prefix, suffixes, maupun infixes.

Sebagai contoh, akar kata k-t-b (diartikan dengan bahasa Inggris agar lebih ringkas), “menulis”, dalam bahasa Arab:

kataba كتب means “he wrote”

kutiba كتب means “it was written” masculine

kutibat كتبت means “it was written” feminine

kitābun كتاب means “book”

kutubun كتب means “books”

kutayyibun كتيب means “booklet” dimunitive

kitābatun كتابة means “writing”

kātibun كاتب means “writer” masculine

kātibatun كاتبة means “writer” feminine

kuttābun كتاب means “writers”

katabatun كتبة means “writers”

maktabun مكتب means “desk”

maktabatun مكتبة means “library”

maktūbun مكتوب means “written” or “postal letter”

Sedangkan dalam bahasa Hebrew (k-t-ḇ):

kataḇti כתבתי means “I wrote”

kataḇta כתבת means “you (m) wrote”

kataḇt כתבת means “you (f) wrote”

kataḇ כתב means “he wrote” or “reporter” (m)

katḇa כתבה means “she wrote”

kataḇnu כתבנו means “we wrote”

kataḇtem (modern informal)/ktaḇtem (traditional) כתבתם means “you (plural m) wrote”

kataḇten (modern informal)/ktaḇten כתבתן means “you (plural f) wrote”

katḇu כתבו means “they wrote”

kateḇet כתבת means “reporter” (f)

kataḇa כתבה means “article” (plural katavot כתבות)

miḵtaḇ מכתב means “postal letter” (plural miḵtavim מכתבים)

miḵtaḇa מכתבה means “writing desk” (plural miḵtavot מכתבות)

ktoḇet כתובת means “address” (plural ktoḇot כתובות)

ktaḇ כתב means “handwriting”

katuḇ כתוב means “written” (f ktuḇa כתובה)

hiḵtiḇ הכתיב means “he dictated” (f hiḵtiḇa הכתיבה)

hitkateḇ התכתב means “he corresponded (f hitkatḇa התכתבה)

niḵtaḇ נכתב means “it was written” (m)

niḵteḇa נכתבה means “it was written” (f)

ktiḇ כתיב means “spelling” (m)

taḵtiḇ תכתיב means “prescript” (m)

meḵutaḇ מכותב means “a person on one’s mailing list” (meḵuteḇet מכותבת f)

ktuba (note: b, not ḇ) כתובה means “ketubah (a Jewish marriage contract)” (f)

Di dalam bahasa Malta:

jien ktibt means “I wrote”

inti ktibt means “you wrote” (m or f)

huwa kiteb means “he wrote”

hi kitbet means “she wrote”

aħna ktibna means “we wrote”

intkom ktibtu means “you (pl) wrote

huma kitbu means “they wrote”

huwa miktub means “it is written”

kittieb means “writer”

kittieba means “writers”

ktieb means “book”

kotba means “books”

Akar kata ini di dalam Tigrinya dan Amharic hanya bertahan dalam kata benda kitab, yang berarti “amulet”, dan kata kerjanya “to vaccinate”. Kata kerja di dalam bahasa Afro-Asiatic yang lain menunjukkan pola yang lebih berbeda, dengan lebih banyak menggunakan pola biconsonantal; contohnya dalam bahasa Kabyle afeg berarti “terbanglah!”, sedangkan affug berarti “penerbangan”, dan yufeg berarti “dia laki-laki telah terbang” (ini bisa dibandingkan dengan Hebrew uf, te’ufah dan af).

Sedangkan perkembangan huruf-huruf Shemit antara lain sebagai berikut:

Diantara sub-kelompok bahasa Afro-Asiatic, bahasa yang dikemudian hari diperkirakan memperanakkan bahasa Arab dan beberapa saudaranya adalah sub-kelompok Shemit. Sub-kelompok bahasa ini dipakai kira-kira hingga 400 juta sebagai bahasa induk dan hampir dua kali lipatnya untuk bahasa kedua diseluruh penjuru dunia.

Sedangkan cabang bahasanya yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah bahasa Arab (250 juta pemakai sehari-hari, atau total 400 juta jika ditambah pemakai sebagai bahasa kedua), diikuti oleh bahasa Amhari (30 juta pemakai sehari-hari), Tigrinya (9 juta total pemakai), Hebrew (6 juta pemakai sehari-hari), dan banyak bahasa lainnya. Kata-kata Shemit sendiri diambil dari Shem nama anak Noah (dalam bahasa alkitab yahudi maupun nasrani). Shem (שֵׁם “renown; prosperity; name”, dalam Standard Hebrew Šem, Tiberian Hebrew Šēm; Yunani Σημ, Sēm; Arab سام). Sub-kelompok bahasa Shemit merupakan yang pertama memiliki formasi bahasa tulis, yaitu tulisan dalam bahasa Akkadian pada awal millenium ke-3 sebelum masehi.

Abad ke-14 BC “diplomatic letter” dalam Akkadian,

ditemukan di Tell Amarna.

Seperti telah diketahui bersama bahwa sub-kelompok Shemit merupakan anggota kelompok bahasa Afro-Asiatic yang sub-kelompok lainnya (selain Shemit) merupakan bahasa yang menetap di Afrika. Sedangkan Shemit atau Proto-Shemit datang dari Afrika ke Asia, terutama Timur Tengah semenjak masa Neolitik. Namun, beberapa ilmuwan menyatakan sebaliknya, yaitu bahasa Afro-Asiatic datang dari daerah Timur Tengah dan sub-kelompok selain Shemit mengungsi atau membentuk cabang baru di Afrika. Nmaun, dengan mengesampingkan itu semua, yang jelas bahasa Shemit ini diperkirakan telah ada di Timur Tengah semenjak millenium ke-4 sebelum masehi dan kemudian berkembang masuk ke kebudayaan Mesopotamia atau membentuk kebudayaan Mesopotamia dengan bahasa Akkadia dan Amorit ke arah barat dan mencapai daerah seperti Ebla di Syria sekarang.

Pada awal millenium ke-2, bahasa-bahasa Shemit Timur mendominasi di Mesopotamia, sedangkan bahasa-bahasa Shemit Barat menempati wilayah Syria hingga Yaman, meskipun dikemudian hari muncul bahasa Arab kuno di sebelah selatan yang bukan dari Shemit Barat tapi diperkirakan dari Shemit Selatan. Bahasa Akkadia pada saat awal millenium baru itu menjadi bahasa utama dengan pemakaian tulisan paku atau “cuneiform” yang diadaptasi dari bahasa Summeria, sedangkan bahasa Ebla punah bersama hancurnya kota utamanya, dan Amorit hanya diketemukan penyebutannya dalam tulisan-tulisan saja.

Perkembangan bahasa-bahasa Shemit selanjutnya memberikan bentuk baru, yaitu penciptaan alphabet. Bahasa Proto-Canaan yang merupakan cabang dari Shemit Barat, pada 1500 sebelum masehi menciptakan huruf, kemudian diikuti oleh Ugarit di utara Syria kira-kira 1300 sebelum masehi, juga Arami yang berada di Syria, serta Akkadia yang juga semakin berkembang dengan terpecah menjadi dua dialek utama, yaitu dialek Babylonia dan dialek Assyria.

Pada abad ke-1 sebelum masehi, pemakaian huruf semakin berkembang, memberikan gambaran jelas kepada para ahli tidak saja mengenai Canaan, tetapi juga Arami, bahasa Arab Selatan kuno, dan Ge`ez awal. Koloni-koloni Phunisia menyebarkan bahasa Canaan meliputi Mediteranian, dengan Hebrew menjadi bahasa utama dalam literatur keagamaan yaitu kitab Torah dan Tanakh. Namun, bagaimanapun juga dengan adanya perluasaan kekuasaan bangsa Assyria, bahasa Arami menjadi bahasa utama dan menyingkirkan bahasa Akkadia, Hebrew, Phunisia, dan beberapa bahasa lainnya (Hebrew bertahan karena dipakai dalam literatur keagamaan). Dalam masa yang sama di Ethiopia mulai berkembang tulisan Ge`ez yang menjadi tulisan pertama Shemit di Ethiopia.

Naskah abad ke-9 BC Syriac.

Memasuki babak baru dengan lahirnya agama kristen, literatur keagamaan berganti dengan Syriac hingga abad ke-5M. Namun, dengan adanya perkembangan islam, Arami berubah dan bertansformasi bersama bahasa Arab kuno dan kebudayaan baru menjadi bahasa Arab yang pada generasi-generasi islam selanjutnya menjadi bahasa utama mulai dari Spanyol hingga Asia Tengah, Mediterania, dan juga Afrika. Dengan keistimewaan sebagai bahasa literatur keagamaan dan dukungan dari kekhalifahan, maka berkembanglah tulisan Arab yang mendominasi bahasa sehari-hari diberbagai belahan dunia dan dengan berbagai jenis khat dan variannya yang terpengaruh oleh budaya yang telah ada di setiap wilayah baru tersebut sebelumnya. Setelah kejatuhan kerajaan Nubia di Dongola pada abad ke-14M, bahasa Arab berkembang pesat di Mesir Selatan, beberapa waktu kemudian qabilah Bani Hassan membawanya ke Mauritania. Bahkan bahasa ini kemudian menapai Sudan dan Chad untuk menjadi bahasa utama penduduk setempat dengan cara damai maupun peperangan.

Sementara itu, bahasa Shemit lainnya yang telah terpecah di Ethiopia dan Eritrea dengan pengaruh yang mendominasi dari Chusitic, akhirnya menjadi beberapa bahasa baru, diantaranya adalah Amhari dan Tigrinya di Ethiopia, dan Tigre di Eritrea. Selain itu juga Gurage di selatan Ethiopia, serta Harari di kota Harar. Bahasa-bahasa ini menggantikan beberapa bahasa yang ada sebelumnya seperti bahasa Gafat (Shemit) dan juga Weyto (non-Shemit), serta mengganti Ge`ez dengan jenis baru.

Lembar halaman Qur`an abad ke-12M.

Pada saat ini, bahasa Arab dipakai oleh orang Arab, Persia, sebagian besar penduduk Mauritania hingga Oman, separuh Afrika, Asia, dan sedikit Eropa. Meskipun pada saat ini telah terjadi banyak kemunduran dalam dunia islam yang terpecah-pecah setelah kehancuran khilafah, namun dalam bentuk literatur keagamaan masih tetap terjaga. Sedangkan bahasa Shemit lainnya di Timur Tengah yang masih dipakai adalah bahasa Hebrew yang dalam bahasa lamanya disebut Hebrew (Ibri), sekarang dengan standard modern disebut Ivrit. Beberapa etnis minoritas terutama Assyria, tetap berusaha memakai bahasa Arami di sekitar pegunungan utara Iraq, sedangkan Syriac dipakai oleh orang kristen ortodox iraq dalam literatur keagamaan mereka. Benarlah pendapat yang mengatakan bahawa Shemit adalah bahasa yang paling banyak dipakai oleh penduduk dunia. Selain itu, sub-kelompok ini juga kaya dengan bahasa-bahasa baru dan istimewa, dipakai dalam berbagai jenis literatur keagamaan.

Ahli-ahli bahasa Shemit telah bertahun-tahun lamanya menganalisis berbagai data dan naskah kuno yang telah diketemukan untuk melakukan pemetaan struktur dan memahami perkembangannya sehingga pada akhirnya diperoleh pembagian atau pengklasifikasian secara lebih mendetail dan jelas. Perkembangan setiap tahunnya mengalami kemajuan yang pesat dengan semakin banyak ditemukannya naskah kuno dan berhasil dibacanya bahasa-bahasa kuno yang menjelaskan peradaban masa lalu. Pengklasifikasian oleh beberapa ahli Shemit yang dianggap paling valid adalah karya Robert Hetzron pada 1976 dan dilanjutkan oleh John Huehnergard dan Rodgers pada 1997. Klasifikasi berdasarkan kepada penelitian yang dikembangkan oleh Robert Hetzron ini merupakan hasil analisis yang paling banyak diterima oleh berbagai kalangan modern saat ini, meskipun tentu saja masih ada pula pendapat lainnya. Beberapa ahli bahasa Shemit seperti Alexander Militarev mempunyai pandangan yang berbeda (klasifikasi oleh Alexander Militarev dapat dilihat dalam box photo dengan format .jpg).

Berikut ini adalah klasifikasi Shemit atau pembagian bahasa-bahasa Shemit berdasarkan kepada hasil kerja Robert Hetzron yang telah dikembangkan dan diperbaharui hingga beberapa tahun terakhir ini:
East Semitic languages

* Akkadian language — extinct
* Eblaite language — extinct

West Semitic languages
Central Semitic languages
Northwest Semitic languages

* Amorite language — extinct
* Ugaritic language — extinct
* Canaanite languages
o Ammonite language — extinct
o Moabite language — extinct
o Edomite language — extinct
o Hebrew languages
+ Biblical Hebrew language — extinct
+ Mishnaic Hebrew language — extinct
+ Medieval Hebrew language — extinct
+ Mizrahi Hebrew language — live descendants
+ Sephardi Hebrew language — live descendants
+ Ashkenazi Hebrew language — live descendants
+ Samaritan Hebrew language — extinct
+ Modern Hebrew — live descendants
o Phoenician language — extinct
+ Punic — extinct
* Aramaic languages
o Western Aramaic languages
+ Nabataean Aramaic language — extinct
+ Western Middle Aramaic languages
# Jewish Middle Palestinian Aramaic language — extinct
# Samaritan Aramaic language — extinct
# Christian Palestinian Aramaic language — extinct
+ Western Neo-Aramaic language — live descendants
o Eastern Aramaic languages
+ Biblical Aramaic language — extinct
+ Hatran Aramaic language — extinct
+ Syriac language — live descendants
+ Jewish Middle Babylonian Aramaic language — extinct
+ Chaldean Neo-Aramaic language — live descendants
+ Assyrian Neo-Aramaic language — live descendants
+ Senaya language — live descendants
+ Koy Sanjaq Surat — live descendants
+ Hertevin language — live descendants
+ Turoyo language — live descendants
+ Mlahsô language — extinct
+ Mandaic language — live descendants
+ Judæo-Aramaic language — live descendants

Arabic languages

* Old North Arabian (extinct)
* Arabic language
o Fusha (literally “eloquent”), the written language, divided by specialists into:
+ Classical Arabic — the language of the Qur’an and early Islamic Arabic literature,
+ Middle Arabic, a generic term for premodern post-classical efforts to write Classical Arabic, characterized by frequent hypercorrections and occasional lapses into more colloquial usage. Not a spoken language.
+ Modern Standard Arabic — modern literary (non-native) language used in formal media and written communication throughout the Arab World, differing from Classical Arabic mainly in numerous neologisms for concepts not found in medieval times, as well as in occasional calques on idioms from Western languages.
o Numerous Modern Arabic spoken dialects, roughly divided by the Ethnologue into:
+ Eastern Arabic dialects
# Arabian Peninsular dialects
* Dhofari Arabic — Oman/Yemen
* Hadrami Arabic — Yemen
* Hijazi Arabic — Saudi Arabia
* Najdi Arabic — Saudi Arabia
* Omani Arabic
* Sana’ani Arabic — Yemen
* Ta’izzi-Adeni Arabic — Yemen
* Judeo-Yemeni Arabic
# Bedouin/Bedawi Arabic dialects
* Eastern Egyptian Bedawi Arabic
* Peninsular Bedawi Arabic — Arabian Peninsula
# Central Asian dialects
* Tajiki Arabic
* Uzbeki Arabic
# Egyptian Arabic — Cairo and Delta region
* Saidi Arabic — Upper Egypt
# Gulf dialects — includes speakers in Iran
* Baharna Arabic — Bahrain
* Gulf Arabic — Persian Gulf (all bordering countries)
* Shihhi Arabic — UAE
# Levantine Arabic dialects
* Cypriot Maronite Arabic
* North Levantine Spoken — Lebanon, Syria
o Lebanese Arabic
* South Levantine Spoken — Jordan, Palestinian Authority, West Bank, Israel
o Palestinian Arabic
# Iraqi Arabic — Iraq
# North Mesopotamian Arabic — Northern Iraq, Syria
# Judeo-Iraqi Arabic
# Sudanese Arabic
+ Maghrebi Arabic dialects
# Algerian Arabic
# Saharan Arabic
# Shuwa Arabic — Chad
# Hassaniya Arabic — Mauritania and Saharan area
# Libyan Arabic
# Judeo-Tripolitanian Arabic — Libyan dialect
# Andalusi Arabic Old Iberian Arabic — extinct
# Siculo-Arabic — Sicily - extinct
* Maltese language — separate language from, but ultimately derived from Arabic and member of the Arabic family of languages/dialects
# Moroccan Arabic
# Judeo-Moroccan Arabic
# Tunisian Arabic
# Judeo-Tunisian Arabic

Several Jewish dialects, typically with a number of Hebrew loanwords, are grouped together with classical Arabic written in Hebrew script under the imprecise term Judeo-Arabic.
South Semitic languages
Western South Semitic

* Old South Arabian languages — extinct, formerly believed to be the linguistic ancestors of modern South Arabian and Ethiopian Semitic languages (for which see below)
o Sabaean language — extinct
o Minaean language — extinct
o Qatabanian language — extinct
o Hadhramautic language — extinct

* Ethiopic languages (Ethio-Semitic, Ethiopian Semitic):
o North
+ Ge’ez language (Ethiopic) — extinct, liturgical use in Ethiopian Orthodox and Eritrean Orthodox Churches
+ Tigrinya language - national language of Eritrea
+ Tigré language
+ Dahlik language — “newly discovered”
o South
+ Transversal
# Amharic-Argobba
* Amharic language — national language of Ethiopia
* Argobba language
# Harari-East Gurage
* Harari language
* East Gurage
o Selti language (also spelled Silt’e)
o Zway language (also called Zay)
o Ulbare language
o Wolane language
o Inneqor language
# Outer
* n-group:
o Gafat language — extinct
o Soddo language (also called Kistane)
o Goggot language
* tt-group:
o Mesmes language — extinct
o Muher language
o West Gurage
+ Masqan language (also spelled Mesqan)
# CPWG
* Central Western Gurage:

· Ezha language

· Chaha language

· Gura language

· Gumer language

*
o
+
#
*
o
+
#
* Peripheral Western Gurage:

· Gyeto language

· Ennemor language (also called Inor)

· Endegen language
Eastern South Semitic

These languages are spoken mainly by tiny minority populations on the Arabian peninsula in Yemen and Oman.

* Bathari language
* Harsusi language
* Hobyot language
* Jibbali language (also called Shehri)
* Mehri language
* Soqotri language — on the islands of Soqotra, Abd el Kuri and Samha (Yemen)and in the UAE.

Bahasa Arab, seperti juga bahasa-bahasa Shemit lainnya, memiliki banyak kesamaan gramatik dan huruf. Namun, kurang dari beberapa abad setelah kemunculannya, ahli grammar arab melakukan perombakan pada huruf-hurufnya, dengan alasan pengajaran mulailah dilakukan bentuk peletakan huruf yang hampir sama bentukya bersambung dengan huruf sebelumnya. Begitu pula dalam urutan huruf-hurufnya. Hal ini menciptakan arahan baru dan membedakannya dengan cara penulisan bahasa-bahasa saudaranya yang tetap menggunakan urutan gaya lama atau disebut urutan gaya Levantine ataupun urutan angka (urutan ini biasa untuk menggantikan angka).

Berikut ini adalah urutan baru bahasa Arab dan perbandingannya dengan beberapa bahasa lainnya yang tetap menggunakan urutan lama:

(Yunani waw = digamma)

Demikianlah gambaran mengenai perkembangan bahasa Arab dan pembahasannya secara lebih mendetail mengenai perubahannya dari awal bahasa Shemit. Semoga berguna bagi segenap pembaca, dan tidak lupa selalu penulis tekankan, analisislah setiap wacana dengan kepala dingin dan objektifitas tinggi sehingga dapat memaksimalkan perbaikan pada pola pikir dan pengetahuan kita. Amin. (http://t724626.multiply.com/)