Sunday, November 23, 2008

MENcari entry point DALAM Menggerakkan persyarikatan

Posted on October 1st, 2008 in 15 Wawasan Muhammadiyah by redaksi

Jabrohim

Banyak sekali pengalaman yang penulis dapat ketika ikut terjun mengelola Kuliah Kerja Nyata mahasiswa di pelosok-pelosok. Kehidupan riil masyarakat dapat terasa denyutnya. Demikian juga, kehidupan riil persyarikatan di pelosok-pelosok desa dan daerah yang jauh itu. Ada fakta-fakta yang menggembirakan, karena di sana persyarikatan dapat hidup dan berkembang pesat. Ada pula fakta-fakta yang memrihatinkan karena di sana persyarikatannya mengalami kemandegan, kembang kempis dan ada pula yang nyaris almarhum.

Di daerah dan di pelosok desa itu, maju mundurnya Persyarikatan ditandai oleh adanya regenerasi yang lancar atau mandek. Regenerasi bisa menyangkut usia tokoh penggerak Persyarikatan, bisa menyangkut peralihan atau transfer ide dan ideologi gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Kadang regenerasi tokoh tidak jalan dan transfer ideologi gerakan juga tidak jalan. Kalau sudah demikian, kisah sukses Persyarikatan di tempat ini tinggal menjadi masa silam. Kehebatan para perintis, kehebatan para penggerak dan para pejuang Muhammadiyah dulu, tinggal menjadi kisah sukses yang enak dikenang, tetapi tidak enak untuk dihadirkan di tengah kondisi Persyarikatan yang kurang menggembirakan. Muhammadiyah menjadi organisasi para simbah dalam arti faktual dan simbolik sekaligus. Artinya, geraknya lamban dan kurang mampu menghadapi berbagai perubahan baru dalam masyarakat.
Ada pula yang regenerasi tokoh tidak jalan tetapi proses transfer ide dan ideologi gerakan berlangsung lancar. Ini biasanya ditandai oleh suburnya Ortom anak muda. Juga, satu dua majelis yang diisi oleh aktivis muda. Kegiatan ortom sangat mewarnai masyarakat itu, meski kegiatan Muhammadiyah sendiri cenderung semakin rutin. Karena tokoh tua Persyarikatan cukup arif untuk memberi ruang dan kesempatan kepada aktivis ortom dan aktivis majelis, maka para anak muda tetap memiliki gairah untuk tetap bergerak, berjuang dan mengembangkan masyarakat dalam kerangka perjuangan Muhammadiyah. Kondisi yang demikian masih memungkinkan Persyarikatan untuk memahami dan menghadapi berbagai perubahan zaman, yang paling kini sekalipun. Mereka bisa mengantisipasi perubahan tanpa gagap dan tergagap sedikitpun.
Yang paling ideal dan optimal manakala regenerasi tokoh dan proses transfer ide serta ideologi perjuangan dan gerakan berlangsung sama-sama mulusnya. Hampir dipastikan, Persyarikatan di tempat ini maju pesat. Kemajuan Persyarikatan ditandai, secara fisik, memiliki kantor yang bagus, masjid yang bersih dan representatif, amal usaha pendidikan yang jenjangnya lengkap, punya amal sosial yang tidak mengecewakan, amal usaha kesehatan pun tidak kalah dengan tempat lain, ditambah hadirnya lembaga keuangan syariah Muhammadiyah yang dapat menjadi pusat penggerakan ekonomi masyarakat setempat. Kemajuan pesyarikatan di tempat ini secara nonfisik tampak dari gerakan dakwah jamaah, dakwah media dan multimedia, dakwah kultural dan dakwah sosial. Kemampuan Muhammadiyah setempat untuk memecahkan persoalan masyarakat menjadi maksimal. Orang miskin terlindungi dan orang kaya terayomi. Semua dapat hidup berdampingan dalam suasana kehidupan yang relatif tenteram, tenang, tetapi sekaligus dinamis, berkemajuan dan mampu hadir berada di depan kelompok masyarakat yang lain.
Ketika mahasiswa kami berada di tempat yang kondisinya masuk dalam kategori kedua dan ketiga, mereka tidak begitu mengeluh. Bahkan, para mahasiswa itu dapat berguru ke masyarakat setempat. Mereka mendapat pengalaman yang luar biasa tentang bagaimana mengelola dan menggerakkan Persyarikatan. Tetapi, ketika mahasiswa kami kebetulan berada di tempat yang kondisinya termasuk kategori pertama, maka mereka banyak mengeluh. Dalam usia yang masih muda dan miskin pengalaman, meski punya ilmu agak banyak tetapi mereka belum terampil mempraktikkan ilmunya. Masyarakat setempat yang tahu kalau para mahsiswa itu berasal dari kampus Muhammadiyah, sangat berharap dan sering memperlakukan para mahasiswa sebagai konsultan tentang bagaimana menggerakkan Muhammadiyah. Untung pembekalan yang diberikan biasanya cukup memadai. Mereka yang tangkas dalam berfikir dan bertindak biasanya mampu dan berhasil menjadi konsultan Persyarikatan ini.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana mencari entry point untuk menggerakkan Persyarikatan yang kondisinya sudah terlanjur parah ini. Bahkan tidak jarang, Persyarikatan di tempat ini benar-benar sudah almarhum karena aktivisnya sudah tidak ada lagi. Yang tersisa tinggal satu dua tokoh tua, atau anak muda yang kebetulan pernah sekolah atau dididik di sekolah Muhammadiyah. Untuk ini kondisi sosial serta semacam peta dakwah setempat harus diketahui dengan lengkap dan cermat terlebih dahulu. Kita dapat meniru metode Buya AR Sutan Mansur, yang ketika masuk ke daerah baru beliau melakukan pengamatan yang cermat selama berbulan-bulan dulu. Istilahnya, mencari titik subur dari sebidang tanah dan mencari segenggam benih yang siap ditabur dan disiram.
Mencari entry point untuk menggerakkan Persyarikatan sungguh tidak gampang. Kemungkinannya banyak. Misalnya, pertama, dengan mendekati ibu-ibu. Kalau di tempat itu belum ada TK ABA, maka upaya untuk merintis dan mendirikan TK ABA hampir dipastikan merupakan entry point yang manjur. Sebab di banyak sekali tempat, para pasukan ibu-ibu Asiyiyah ini yang lebih dahulu bergerak mendirikan TK ABA sebelum mendirikan Aisyiyah. Dengan berdirinya TK ABA, maka para aktivis bisa berkumpul, bisa selalu ada waktu untuk berembug, ada alasan untuk ketemu. Demikian juga, masyarakat, mereka dapat diajak bertemu lalu secara bersama-sama diajak untuk merawat dan memajukan TK ABA ini. Biasanya, para ibu-ibu ini senang diajak kumpul-kumpul. Para wali anak TK ABA pun dapat diajak kumpul, pengajian atau arisan atau apa. Dari sini kemudian, kalau kondisinya sudah oke, baru dirintis berdirinya Aisiyah. Kalau Aisyiyahnya berdiri, maju maka bapaknya akan lebih mudah untuk diajak pengajian, lalu merintis ranting Muhammadiyah, anaknya mendirikan ranting ortom.
Kemungkinan kedua justru dengan menggerakkan anak mudanya. Pernah ada aktivis Pemuda Muhammadiyah mengeluh,”Mas, kenapa ya, anak muda di sini sulit digerakkan. Tetapi, ketika diajak latihan Kokam mereka mau, berbondong-bondong dan semangat.” Lho, ini malah bagus. Tak usah dikeluhkan. Artinya, naluri bela negara dan naluri anak muda untuk mengatasi tantangan masih ada. Gerakan menumbuhkan Kokam, dapat menjadi entry point tersendiri. Mulai dari potensi Kokam, anak-anak muda setempat mau menggerakkan Pemuda Muhammadiyah. Mereka kemudian dapat memancing para pemudi untuk bangkit mendirikan NA. Dengan entry point berbeda.
Kalau masyarakat di situ kebetulan masyarakat yang memiliki semangat kependekaran yang tinggi, maka entry point ketiga adalah tentu saja dengan merintis latihan Tapak Suci. Kalau masyarakat setempat suka main sepakbola dan nonton sepakbola, maka sepakbola HW dapat dikenalkan dan dirintis untuk dididirkan di situ. Bisa mulai dari anak-anak, atau mulai dari anak mudanya. Kalau ada tokoh pandu HW ada di dekat tempat itu, maka perintisan dan upaya menghidupkan kembali pandu HW dapat dijadikan pilihan sebagai entry point. Sekarang ini terdapat begitu banyak fakta yang menggembirakan, yaitu bagaimana masyarakat yang dulu dikenal sebagai basis Muhammadiyah kemudian mati suri, dapat dibangkitkan kembali Muhammadiyahnya lewat gerakan Pandu HW lintas usia dan lintas generasi. Semua semangat nabuh drum band HW, dan rajin kalau diminta untuk pawai. Dari sebuah gerakan pandu HW, maka gairah ber-Muhammadiyah pun dapat dikobarkan kembali.
Masih ada entry point lain. Misalnya, keempat, dengan menghadirkan lembaga keuangan mikro dan lembaga konsultasi usaha kecil di tengah masyarakat miskin. Jangan biarkan mereka putus asa kemudian menjadi gerombolan pengemis. Mereka perlu didekati dan ditolong. Lewat upaya pertolongan pertama pada kebutuhan finansial. Caranya bisa dimulai dari langkah sederhana. Para pedagang kecil dan para pembuat makanan, atau pemilik warung kecil itu dikumpulkan. Biasanya mereka mengeluh tidak punya modal untuk mengembangkan usaha. Kalau mau pinjam rentenir atau bank resmi bunganya mencekik. Dengan mengenalkan dan dibantu modal untuk membuat dana bergulir tanpa bunga yang berasal dari zakat atau sedekah, mereka akan punya harapan untuk maju secara ekonomi. Kalau mereka sudah tertolong secara ekonomi, maka upaya untuk mendakwahi mereka menjadi lebih mudah. Dan ini, sekaligus merupakan upaya untuk membentengi iman mereka. Dan untuk masyarakat pedesaan, pola penitipan atau menggaduhkan ternak juga dapat dipilih sebagai entry point. Ternak pedaging berupa sapi atau kambing, ternak penghasil telur berupa induk ayam atau itik dapat dititipkan ke warga desa, mereka diminta untuk memelihara, kemudian hasilnya dibagi. Upaya ini merupakan kegiatan pengentasan kemiskinan yang konkret, produktif, rasional dan halal. Biasanya, mereka yang tertolong secara ekonomi ini kemudian tidak merasa berat ketika kemudian harus menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Muhammadiyah.
Entry point sederhana yang lain, entry point kelima, adalah dengan aktif mengisi pengajian di masjid, musholla, dan aktif mendidik anak-anak warga di TPA-TPA. Ini memerlukan stamina, kelompok mujahid dakwah yang tangguh, dan harus disertai rencana yang rapi dan berkelanjutan. Biasanya salah satu tanda-tanda kemunduran dan kematian persyarikatan di suatu tempat ditandai oleh matinya pengajian di tingkat ranting atau jamaah. Nah, kalau ini dihidupkan lagi, ada harapan Persyarikatan akan hidup lagi.
Tentu saja sebuah entry point memiliki kehebatan dan kelemahan tersendiri. Jadi, perlu dipilih mana yang tepat untuk kondisi masyarakat setempat. Untuk ini memang dibutuhkan apa yang bisa disebut sebagai kecerdasan berPersyarikatan, kecerdasan ber-Muhammadiyah. Para pendiri, perintis dan pelanjut Muhammadiyah kita di mana-mana ketika suskes memimpin Muhammadiyah hampir dipastikan memiliki kecerdasan ber-Muhammadiyah seperti itu. Termasuk kecerdasan dalam menentukan sebuah atau beberapa buah entry point, yang ketika disentuh akan menimbulkan efek berantai yang positif di masyarakat. Dan kuncinya hanya dua. Selama kita ikhlas dan selama kita mampu hadir sebagai pemecah masalah, maka masyarakat mana pun akan menerima kita dan Muhammadiyah kita. Begitu sebaliknya, kalau kita tidak ikhlas dan hadir justru menimbulkan masalah baru maka kita dan Muhammdiyah kita tidak bakalan diterima.l
Penulis adalah Kepala LPM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Gerakan muhammadiyah melalui komunikasi dakwah

Posted on November 1st, 2008 in 15 Wawasan Muhammadiyah by redaksi

M. Nurdin Juned

“Serulah umat manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bermujahadalah terhadap mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allah Swt lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNYA dan dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.s. an-nahl [16]: 125)

Untuk lebih memantapkan dan meningkatkan gerakan muhammadiyah dari semua sektor kegiatannya, maka terlebih dahulu kita harus melakukan evaluasi yang selama ini telah kita perjuangkan dan telah kita perbuat, baik oleh para tokoh-tokoh kita terdahulu sebagai perintis dan penegaknya, maupun oleh para generasi penerus sebagai pewarisnya. Karena gerakan Muhammadiyah itu, adalah gerakan untuk mengajak umat dalam rangka beramar ma’ruf dan bernahi munkar dengan membawa visi dan misi yang jelas, yaitu untuk menegakkan dan menjujung tinggi agama Islam agar terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar- benarnya. Adapun visi dan misi Muhammadiyah itu telah tertuang dalam satu rumusan yang terdiri dari tiga prinsip utama yaitu; 1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni, agar umat Islam terjauh dari kemusyrikan. 2. Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar umat Islam tidak tersesat oleh pengaruh ajaran yang menyimpang dari dua sumber ajaran tersebut. 3. Mewujudkan amal Islami dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat, agar umat Islam itu dapat menjadi contoh teladan yang baik bagi siapa pun. Dari ketiga visi tersebut intinya adalah pada misi kedua yaitu menyebar luaskan ajaran Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedangkan visi dan misi pertama dan ketiga merupakan implementasi dari ajaran kedua sumber tersebut. Guna mencapai sasaran dari ketiga visi dan misi itu, maka gerakan Muhammadiyah perlu adanya kegiatan yang menunjang atau mendukung yang sifatnya untuk mencerdaskan umat dan bangsa ini dari keterbelakangannya melalui jalur komunikasi dari semua elmen masyarakat secara berkesinambungan, namun tetap dalam koridor pemahaman keagamaan yang telah diajarkan oleh Muhammadiyah selama ini.
Hal ini disebabkan telah banyak orang berkifrah di Muhammadiyah dengan latar belakang displin ilmu yang dikuasainya, atau dengan kepentingan yang dapat menopang kehidupannya, maupun dengan kecintaanya terhadap ajaran Islam yang sebenarnya. Namun, dari kesemua kiprah yang telah mereka lakukan itu tetaplah kita berharap agar mereka mempertautkan diri dengan kegiatan langsung Persyarikatan. Sebab telah banyak kita ketahui, bahwa mereka berkiprah di Muhammadiyah ini manakala berkaitan dengan mobilitas dirinya, baik secara mental spritual maupun secara fisik material di amal amal usaha yang telah didirikan dan dikelola oleh Muhammadiyah masih ada yang belum menunjukkan jati dirinya sebagai seorang Muslim yang kaffah. Sehingga ada di antara mereka yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah tetapi aktivitas dan pemahamannya masih jauh dari ajaran Islam yang telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Akibatnya dari semua potensi dan energi yang telah dikeluarkan Muhammadiyah belum menghasilkan secara maksimal dalam membesarkan Muhammadiyah, bahkan ada yang ekstrem secara logika berkata; Amal usahanya yes! Muhammadiyahnya No!
Oleh karena itu memperhatikan fenomena yang terjadi dan mungkin bisa berkembang di tengah umat atau masyarakat yang belum mengerti visi dan misi Muhammadiyah, maka sebagai ujung tombak Persyarikatan dari semua sektor kegiatannya, adalah kegiatan tabligh dan dakwah khusus yang harus tetap bersinergi dalam mengomunikasikan visi dan misi Muhammadiyah tersebut kepada kegiatan apa pun bentuknya dengan cara yang bijaksana dan bertoleransi yang benar. Di sisi lain melalui tabligh dan dakwahnya, Muhammadiyah akan terus mengembangkan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada pembaharuan dalam membentuk tatanan kemanusiaan dan kemasyarakatan seiring dengan perkembangan zaman dengan segala permasalahannya. Seperti melalui lembaga pendidikan, gerakan Muhammadiyah itu harus selalu berorientasi kepada masa depan generasi berikutnya, yaitu agar sistem pengajaran dan pembelajaran dilembaga ini mampu menjadikan anak didik yang baik dan benar, bukan hanya menjadikan anak didik yang hanya pintar tetapi tidak benar. Sebab itu pendidikan di perguruan Muhammadiyah mempunyai ciri tersendiri yang harus dicermati oleh para pendidik dan dipertahankan sampai kapan pun. Kalau di perguruan di luar Muhammadiyah mungkin ajaran Islam itu hanya sebatas ilmu yang perlu didapatkannya, namun di perguruan Muhammadiyah hendaknya ajaran Islam itu menjadi bekal mereka untuk mengembangkan dirinya di tengah masyarakat nantinya. Sehingga apa pun disiplin ilmu yang telah dikuasai, namun ilmu dan amal ke-Islamannya tetap utuh pada dirinya, sekalipun berada di tengah gelombang kemajuan yang terus bergulir di era global ini. Melalui pengkajian masalah tarjih, gerakan Muhammadiyah itu mampu menempatkan dirinya di tengah umat Islam yang masih terombang-ambing oleh pemahaman yang bertahan kepada kebiasaan atau pemahaman kebebasan yang dikenal liberalisme dan sekularisme yang selalu dijunjung tinggi oleh para ilmuan, bukan kepada kebenaran yang bersumber kapada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Melalui Wakaf dan Lazisnya, gerakan Muhammadiyah itu tetap eksis untuk menyejahterakan umatnya demi kemaslahatan bersama sesama anak bangsa ini. Melalui pengkaderannya Muhammadiyah itu harus terus-menerus atau berkesinambungan untuk mencetak generasi penerus yang mampu menjadi pewaris masa lalu agar tetap memahami bagaimana sepak terjang para pendiri Muhammadiyah ini, sehingga Muhammadiyah itu menjadi besar seperti sekarang. Kemudian menjadi penegak masa sekarang yang tak pernah surut dalam gerakannya untuk selalu mengembangkan inovasi baru dalam menyebarkan visi dan misi Muhammadiyah di tengah-tengah umat dan bangsa ini. Selanjutnya menjadi perintis masa yang akan datang yang tak akan berhenti untuk membuat terobosan-terobosan baru sesuai dengan gerakan Muhammadiyah yaitu sebagai organisasi tajdid dalam bidang pemikirannya. Demikian pula, dengan gerakan lainnya yang kesemuanya itu merupakan pondasi tegaknya ajaran Islam yang sebenar-benarnya dengan bermuara kepada tujuan akhir yaitu untuk mencapai ridha Allah SwT.
Selain itu Muhammadiyah dalam mengomunikan gerakannya dari semua sektor kegiatan tetaplah bertumpu kepada “Amar ma’ruf Nahi Munkar dan Akhlaqul Karimah”. Karena ini adalah sifat utama yang harus jadi tolok ukur gerakannya. Didalam Al-Qur’an surah Al-Imran 104 yang sangat popular di kalangan kita Muhammadiyah, ada tiga hal yang sangat prinsipil untuk diterjemahkan dalam misi dan visinya. Pertama kalimat yad’u na ilal khair yaitu untuk mengajak atau memanggil umat kepada kebaikan dan kebenaran yang telah diajarkan oleh Islam. Kegiatan ini merupakan PR-nya umat dakwah dari semua unsur yang terkait, yang dimulai dari diri pribadi, keluarga dan masyarakat agar selalu mengajak dan mengingatkan untuk berada di garis terdepan dalam melaksanakan ajaran Islam secara kaffah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan tahapan pemahaman yang rasional. Kedua, kalimat waya’muru nabil Ma’ruf ya-itu untuk menyuruh umat ini agar selalu berbuat kebaikan dan kebenaran yang dimulai oleh para Ulama dan Umara atau para cendekiawan dan pemimpinnya sebagai teladan umat dibelakangnya, untuk melakukan segala perbuatan yang terpuji, sehingga menjadikan dirinya sebagai umat yang menjadi ikutan bukan menjadi sorotan. Kemudian menjadi umat yang selalu mendekatkan diri kita kepada Allah SwT dan berbuat ihsan sesama manusia beserta lingkungannya. Ketiga, wayan hauna ‘anil munkar yaitu untuk mencegah perbuatan umat manusia dari semua yang akan merusak, baik pada dirinya maupun pada orang lain, apalagi kepada masyarakat dan bangsa ini. Rasulullah pernah menyatakan dalam Haditsnya; Jika diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah kamu cegah dengan tangan kamu atau kekuatan dan kekuasaan yang kamu miliki, sekiranya tidak kamu punyai cegahlah dengan perkataan yang berhikmah dan bijaksana dengan tidak mengorbankan prinsip akidah Islam, namun jika keduanya belum ada pada diri kamu maka cegahlah dengan berdoa kepada Allah SwT walaupun dikatakan selemah- lemahnya iman.
Dari beberapa aspek yang kita kemukakan di atas, maka berarti, gerakan Muhammadiyah melalui komunikasi dari sektor apa pun, hendaknya mampu mencapai sasarannya, yaitu untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini melalui pemikiran yang cerdas dan tidak terkontaminasi oleh pemikiran yang sekuler atau liberalisme yang akan merusak akidah umat ini. Kemudian mampu menciptakan suasana damai dengan penuh ketenangan dan ketentraman baik lahir maupun batin dari setiap individu anak bangsa ini.l
Penulis, Wakil Ketua PWM Sumatera Selatan.

Universitas Al-Azhar: Oase di Keringnya PendidikanUstadzi Hamzah

Posted on November 1st, 2008 in 17 Hadlarah by redaksi

Ustadzi Hamzah

Sepintas, tidak ada yang istimewa dari pusat pendidikan Islam di dunia yang terletak di kota Cairo (Mesir) ini. Al-Azhar, sebuah perguruan tinggi Islam yang paling menonjol di dunia, merupakan satu fenomena yang unik bagi dunia pendidikan Islam itu sendiri. Jika kita melihat secara teliti akan ditemukan hal-hal yang “luar biasa” dari universitas ini.

Dari sisi bangunan dan arsitekturnya, Universitas Al-Azhar sudah menampakkan sebuah institusi pendidikan yang prestisius di dunia Islam, khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya. Arsitektur yang merupakan paduan seni bangunan Islam dan sentuhan lokal Arab, serta beberapa sisi yang bernuansa Iran, merupakan manifestasi dari sebuah perjalanan panjangnya. Unsur-unsur yang tampak merupakan cerminan peradaban masa lalu yang gemilang. Tak dapat disangkal lagi bahwa Universitas Al-Azhar, di samping universitas Nizamiyah di Iraq, merupakan universitas tertua yang masih eksis di dunia Islam, bahkan di dunia pendidikan secara umum, sementara universitas Nizamiyah telah punah seiring lunturnya kekuasaan Islam di Iraq.
Dari aspek lain, kalau kita cermati, Universitas Al-Azhar merupakan pelopor bagi “proyek-proyek” pembaruan di lingkungan dunia Islam. Banyak tokoh kelas dunia yang lahir dari “asuhan” model pendidikan Al-Azhar. Ini menunjukkan bahwa kekuatan model pembelajaran merupakan kunci utama bagi terciptanya iklim pendidikan yang berorientasi pada penguasaan materi, sehingga menjadi semaian bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran modern dan progresif.
Pemikiran-pemikiran yang muncul dari sarjana-sarjana lulusan Al-Azhar, meskipun tidak langsung berakar pada keilmuan Al-Azhar secara keseluruhan, melainkan perpaduan sinergis dengan tradisi pendidikan Eropa, telah menginspirasi pembaharuan pemikiran di dunia Islam. Sebut saja misalnya Ibn Khaldun, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Najib Mahfuz, dan lain-lain. Ini, sekali lagi, tidak terlepas dari pamor istimewa dari universitas ini. Selanjutnya, untuk melihat bagaimana universitas ini berkembang menjadi sebuah pusat pengkajian Islam di dunia, maka di bawah ini akan disajikan profil dan sejarah Universitas Al-Azhar.

Era Kelahiran dan Pertumbuhan
Al-Azhar didirikan pada tahun 970 M oleh dinasti Fatimiyah di Mesir setelah membangun kota Cairo tahun 969 M. Pada awal berdirinya, universitas ini merupakan pengembangan bagi komunitas intelektual yang berbasis masjid sebagai pusat intelektualnya. Al-Azhar merupakan nama masjid yang didirikan oleh Jauhar Al-Katib As-Siqilli tahun 970 M. Nama Al-Azhar diambil dari nama puteri Rasulullah, Fatimah Az-Zahrah, bermakna “yang cermerlang”.
Sebagai pusat pengkajian dan penyebaran paham Syi’ah Ismailiyah, masjid Al-Azhar merupakan tempat yang strategis bagi Dinasti Fatimiyah dengan khalifah Abu Tamam Ma’ad Al-Mu’izz li-Dinillah. Pada tahun 988 M, atas pengaruh dari konsep-konsep pendidikan Yaqub ibn Al-Qillis, seorang Yahudi yang telah memeluk Islam, Al-Azhar berubah menjadi sebuah model “perguruan tinggi”, yakni pengembangan materi yang diajarkan tidak hanya Al-Qur’an dan kitab-kitab Syi’ah, saja tetapi juga sastra, hukum, dan kalam.
Sekalipun demikian, setelah peralihan kekuasaan dari dinasti Fatimiyah ke dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12 M (tahun 1172 M), maka Al-Azhar oleh Salahuddin Al-Ayyubi diubah menjadi pusat kajian Islam yang berbasis pada ajaran Suni, dan juga digunakan sebagai pusat penggemblengan kader “tentara” Islam dalam menghadapi Perang Salib. Dinasti Mamluk (1250-1517) yang menggantikan dinasti Ayyubiyah semakin menonjolkan warna Sunni di Al-Azhar.
Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol dan serangan Mongol ke Baghdad tahun 1258 M, maka Al-Azhar secara praktis menjadi pusat peradaban Islam yang masih tersisa, terutama dalam pendidikan. Hal ini berlanjut sampai sekarang. Sebagai pemegang kendali koordinasi “administratif” dan keilmuan, Al-Azhar dipimpin oleh para syaikh. Posisi syaikh di sini sangat menentukan arah dari keilmuan. Sejak peralihan dari Syi’i ke Sunni, secara hukum yang diajarkan lebih bercorak Syafi’i, karena di antara syaikhnya bermadzhab Syafi’i.
Metode pengajaran yang dijalankan pada era ini mengacu pada tradisi halaqah sufi (sorogan), di mana para murid berkumpul di sekeliling syaikh yang tengah mengajarkan ilmu-ilmu. Dengan demikian, model serapan ilmu ditempuh dengan menghapal apa yang disampaikan oleh para syaikh, dan ini berkembang sampai ada reformasi tahun 1936 oleh Mustafa Al-Maraghi. Waktu pembelajaran juga disesuaikan dengan aktivitas masjid dan mengikuti waktu shalat; yakni pagi setelah subuh, siang setelah dhuhur, dan sore sampai malam. Di waktu pagi mata kuliah yang diberikan adalah Tafsir Qur’an, Hadits, dan Fikih, sedangkan di waktu siang hari diajarkan Nahwu dan Sharaf (grammar), Sastra, Balaghah, Logika, Usul Fikih, dan ilmu-ilmu bantu lainnya. Setelah malam mata kuliah yang diberikan adalah materi-materi tambahan yang terkait dengan kitab-kitab Tasawuf, Akhlak, Kalam, dan lain-lain.
Secara umum, pada masa ini murid-murid Al-Azhar berasal dari wilayah Cairo saja, namun pada perkembangannya banyak pula para murid yang berasal dari luar Cairo. Mereka yang berasal dari luar Cairo dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan riwaqs. Masing-masing riwaqs menerima beasiswa untuk studi dan hidup di Cairo. Selain itu, setiap riwaqs juga dipimpin oleh syaikh. Sampai sekitar tahun 1900 terdapat tiga riwaq besar, yakni Lower Egypt (Mesir wilayah Utara), Central Egypt (wilayah Tengah), dan Upper Egypt (wilayah Selatan). Selain itu, ada juga riwaq yang menampung para mahasiswa dari negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Indonesia (saat itu dikenal dengan Jawa). Sebagai basis pengajaran Islam Sunni, Al-Azhar mengajarkan empat madzhab dalam tradisi Sunni, yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Madzhab Syafi’i merupakan madzhab terbesar di sini karena banyak mahasiswa yang berasal dari negara-negara bermadzhab Syafi’i, maka para syaikh madzhab Syafi’i yang tersedia pun lebih banyak dari yang lainnya.

Era Pembaruan dan Perkembangan
Seiring dengan perubahan sistem kekuasaan di Mesir secara umum, Al-Azhar juga terkena dampaknya. Fase yang paling monumental adalah ketika Khedive Ismail Pasha (1830-1895 M) menggelontorkan pemikiran pembaruan di pemerintahan. Sikap terbuka terhadap pembaharuan mengantarkan Mesir pada pertumbuhan yang progresif. Al-Azhar di sisi lain banyak terpengaruh dengan keterbukaan yang dibangun. Masuknya kaum Azhari (sebutan untuk para syeikh Al-Azhar sebagai tokoh elit Al-Azhar) yang progresif, seperti Rifa’ah Rafi’ At-Tantawi, Muhammad Abduh, dan Sa’ad Zaghlul, menandai perubahan besar tersebut. Dalam kurikulum dan materi pembelajaran, di samping program-program kajian Tafsir Qur’an, Hadits, Fikih, Kalam, dan disiplin keilmuan lain, Al-Azhar mulai membuka sistem “jurusan”, penerbitan, dan jurnal akademik. Terlebih ketika syaikh Al-Azhar dipegang oleh Muhammad Abduh, dan seiring dengan peralihan kekuasaan semasa revolusi Urabi Pasha tahun 1881-1882, pembaruan dalam sistem pendidikan berubah secara progresif, seperti manajemen perpustakaan, manajemen gaji bagi para pegawai dan pengajar, perluasan jaringan institusional di bawah manajemen Al-Azhar.
Ketika Muhammad Mustafa Al-Maraghi naik sebagai Syaikh Al-Azhar telah terjadi perubahan pada sistem pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan dekrit Al-Azhar tahun 1930, yang ditindaklanjuti dengan dekrit tahun 1933 dan 1936, Al-Azhar benar-benar berubah menjadi lembaga pendidikan yang terispirasi oleh lembaga pendidikan Barat, sebagaimana universitas milik pemerintah lain di Mesir, seperti Al-Jami’ah Al-Qahira (Universitas Cairo). Al-Azhar yang berbasis intelektual pada masjid, menjadi Al-Jami’ah Al-Azhar (Universitas Al-Azhar), yang memadukan antara pengajaran berbasis masjid dan model pendidikan Barat. Untuk kuliah Ushuluddin, Syariah, dan bahasa Arab dipisahkan dari masjid dan berada di samping masjid dengan bangunan baru yang dipimpin masing-masing dekan, sedangkan kuliah yang diselenggarakan di masjid hanya kuliah-kuliah umum yang menyangkut materi yang umum pula. Raja Fuad juga mengirim para syaikh Al-Azhar untuk “dialog” dengan Syi’ah dan Barat dengan kuliah di negara-negara Eropa, di antaranya Mustafa Abd. Ar-Raziq yang menjadi syaikh Al-Azhar tahun 1945-1947.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan perjalanan waktu, Universitas Al-Azhar, yang lebih dikenal dengan Al-Azhar Asy-Syarif, semakin menampakkan sosoknya sebagai lembaga pendidikan tua yang modern dengan tradisi keilmuan yang maju.
Meskipun jika dibandingkan dengan Universitas Cairo, Al-Azhar lebih rendah secara mutu untuk ilmu-ilmu umum, namun terobosan untuk “memadukan” antara disiplin agama dengan kajian ilmu umum merupakan kemajuan luar biasa yang tidak pernah terbayangkan oleh para pendirinya dahulu. Sekalipun demikian, untuk content kajian keislaman dan bahasa Arab Universitas Al-Azhar tetap menjadi referensi bagi tradisi keilmuan di negara-negara Muslim. Untuk era sekarang ini, Universitas Al-Azhar telah mengantarkan dunia pendidikan Islam pada posisi strategis sebagai agen bagi perubahan masyarakat. Penilaian konservatif bagi Al-Azhar tidak selamanya sejalan dengan realitas jika kita melihat Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Qasim Amin, Naguib Mahfouz, Thaha Husain, dan nama-nama progresif lainnya. Inilah bukti bahwa Universitas Al-Azhar merupakan inspirasi bagi lembaga pendidikan Islam di dunia muslim, bak oase di gurun pasir. Wallahu a’lam.l
Penulis Staf pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, saat ini sedang menyelesaikan disertasinya tentang “Studi Agama-agama” di Mesir.

ISLAM DI PERSIMPANGAN JALAN?

Saturday, 16 November 2002

BEBERAPA tahun menjelang Perang Dunia II, Muhammad Asad menulis sebuah buku, Islam di Persimpangan Jalan. Kini, kita sudah memasuki abad ke-21, sementara dunia Islam belum banyak beranjak dari posisinya di persimpangan jalan. Sukar sekali bagi umat yang mengaku percaya pada Al-Quran ini untuk meninggalkan persimpangan itu.

Selama abad ke-20/21, beberapa pemikir muslim muncul: Muhammad Iqbal, Muhammad Asad, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Hossein Nasr, Naquib al-Attas, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan masih dapat disebut nama-nama lainnya. Para pemikir ini telah menafsirkan dan membela Islam menurut perspektif masing-masing melalui karya-karya yang cukup beragam, kalau bukan mengandung perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang sangat jauh, khususnya antara Rahman dan Nasr. Rahman dengan metode Al-Qurannya, Nasr dengan pendekatan neotradisionalisnya.

Pada dataran akar rumput, jangkauan ide para pemikir di atas nyaris tidak dirasakan. Mereka tetap saja terkungkung dalam dunia fikih atau tasawuf yang dirumuskan puluhan abad lalu. Apalagi filsafat dan 'Ilm 'l-kalam merupakan barang asing bagi mereka. Disiplin ini hanyalah bergema di kalangan intelektual muslim tertentu, dan juga belum banyak terobosan pemikiran baru yang diintegrasikan ke dalamnya. Yang baru terjadi adalah mengulang-ulang pemikiran yang sudah ada dan di sana-sini diberi tafsiran sekadarnya, sementara substansinya tetap tidak disentuh. Barangkali inilah di antara pertanda betapa dunia Islam masih saja termenung di persimpangan jalan.

Bila dihadapkan pada perkembangan peradaban sekuler Barat yang ditopang ilmu dan teknologi, dunia Islam seperti terbelah, tidak mampu menentukan pilihan antara menerima modernitas atau menolaknya sambil menawarkan sebuah peradaban alternatif dengan meramu unsur-unsur kearifan dari Barat dan Timur dengan Al-Quran sebagai parameter utamanya. Barangkali dengan parameter ini, umat Islam akan dapat beranjak dari posisi persimpangan jalan, dan kemudian dengan kepala tegak memasukkan diri secara kreatif ke dalam kekuatan-kekuatan perubahan sosial sambil menggiringnya ke arah proses transendensi historis.

Adapun prasyarat untuk mencapai tujuan ini diperlukan ilmu, klasik dan modern, secara mendalam, dengan Al-Quran sebagai rujukan tertinggi. Tanpa ilmu yang mendalam itu, umat Islam akan tetap saja berada dalam polarisasi tajam, neomodern, fundamentalis, dan neofundamentalis, atau gabungan yang tak keru-keruan dari berbagai aliran itu. Kondisi kotak-kotak ini akan membentuk pandangan dunia mereka yang tidak jarang berbenturan satu sama lain, sementara semua pihak mengaku berpedoman pada Al-Quran. Dan mereka yang nekat dan putus asa tidak mustahil membinasakan diri dalam kegiatan-kegiatan terorisme untuk melawan terorisme negara yang dilakukan negara Barat tertentu dan Israel.

Karena Al-Quran masih setia bersama kita, seharusnya kita pun menunjukkan kesetiaan yang dalam dan sungguh-sungguh kepada Kitab Suci ini dengan memahaminya secara cerdas, jujur, tulus, dan bertanggung jawab, sehingga fungsinya sebagai hudan li 'innas (petunjuk bagi manusia), syifa' (obat penawar), nur (cahaya), rahmah (rahmat), dan furqan (kriterium pembeda) akan dapat dibawa turun ke bumi. Tujuan jangka panjangnya adalah terciptanya sebuah bangunan peradaban yang asri, toleran, kreatif, dan damai untuk kebahagiaan seluruh umat manusia, tanpa kecuali.

Semua cita-cita mulia itu hanyalah mungkin terwujud bila umat Islam bersedia melepaskan diri dari penjara egoisme dan subjektivisme sejarah dan lingkungannya masing-masing, sebuah penjara dan lingkungan yang pengap tanpa udara segar, yang memasung kita untuk dapat beranjak dari posisi persimpangan jalan, tanpa peta masa depan yang jelas.

*Guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Ketua PP Muhammadiyah

OTOKRITIK GERAKAN DAKWAH MUHAMMADIYAH

Posted on March 15th, 2008 in 02 Sajian Utama by redaksi
Sejak mula berdirinya, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dakwah. Dalam statuta awal berdirinya, tujuan Muhammadiyah juga ditegaskan untuk menyebarluaskan agama Islam di seluruh tanah air. Anak panah-anak panah Muhammadiyah telah banyak disebarkan untuk mewartakan kebenaran Islam yang sejati, kebenaran Islam yang belum tercemar dengan kepentingan pragmatis para elitnya. Dengan demikian, kebenaran Islam itu dapat diwartakan dengan bahasa yang jernih, baik, dan indah serta mudah mempesona pendengarnya.
Visi ke depan berjangka panjang yang dimiliki para pimpinan
generasi awal serta kesediaan mereka membuka diri secara
cerdas pada perkembangan peradaban dunia menjadikan Muhammadiyah lebih dikenal sebagai organisasi dakwah Islam yang berkemajuan. Kreativitas dakwahnya cukup tinggi, kemampuannya menyerap kebutuhan dasar umat ditambah kemampuannya untuk merumuskan dalam strategi dakwah pun juga sangat tinggi. Inilah yang menyebabkan, pada periode awal banyak kalangan berbondong-bondong ingin belajar Islam pada Muhammadiyah, kemudian mereka menjadi kader Persyarikatan yang tangguh.
Salah satu ciri Islam berkemajuan yang dilekatkan kepada Muhammadiyah adalah sangat menghargai dunia keilmuan. Semua warga Muhammadiyah didorong untuk mencari ilmu setinggi mungkin untuk menghindari taklid dan pembodohan. Para da’i Muhammadiyah dikenal sangat senang berdialog dengan semua kalangan. Tokoh Kristen, Katolik, Ahmadiyah, Abangan, bahkan, tokoh komunis semua diajak berdialog untuk mendapatkan pengetahuan tambahan. Dengan penuh percaya diri para da’i itu bisa berkomunikasi secara santun membicarakan tema-tema kehidupan yang berbobot dan ilmiah.
Menurut penelitian A. Munir Mulkhan, kongres-kongres resmi Muhammadiyah dulu sering menghadirkan tokoh-tokoh multi aliran untuk memberikan ceramah. Perbedaan bukan merupakan hambatan bagi Muhammadiyah untuk terus membuka diri dan menimba ilmu dari kelompok lain. Rumah sakit Muhammadiyah di Surabaya juga dibantu oleh para dokter Eropa beragama Kristen dan juga disumbang harta oleh para penganut agama lain.
Masalahnya, saat ini dakwah Muhammadiyah dapat dikatakan sedang berada di persimpangan jalan. Para da’inya lebih suka berdakwah di dalam komunitas sendiri bahkan banyak yang disindir sebagai ‘ahli hujat wa fitnah’ tanpa tabayyun. Suka menista dan menyebarkan kabar buruk teman seperjuangan tanpa dirunut dulu kesahihannya. Di samping itu, mereka juga banyak yang tidak mau lagi mendengar dari banyak sumber, mereka hanya mau mendengar dari satu sumber. Kemudian dengan mudah mereka menyimpulkan bahwa kelompok manusia itu terbagi minhum dan minna. Para da’i kita banyak yang kekurangan ilmu dan kurang terbuka terhadap perkembangan, juga ditengarai banyak yang kurang pergaulan dengan kalangan yang luas.
Salah satu materi Kolokium Nasional Pemikiran Islam yang diadakan Al-Maun Institute dan Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang di Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang 11-13 Pebruari 2008 yang lalu juga membahas permasalahan dakwah Muhammadiyah tersebut.
Dalam sambutannya Rektor UMM, DR. Muhadjir Effendy menyatakan kalau kesediaan UMM menggelar acara Kolokium itu adalah sebagai bukti bahwa UMM itu sangat dekat dengan dunia keilmuan, mau mendengar aspirasi tentang Muhammadiyah dari yang paling ujung ke ujung. Kekayaan ilmu, aspirasi, sejarah dan pengalaman praktis dari berbagai arah itu diharapkan dapat mendewasakan para da’i dalam berdakwah.l
Bahan: Ies, tof. Tulisan: isma

MASIH ADAKAH KAUM MUDA NON-POLITIK?

Posted on March 15th, 2008 in 01 Tajuk Rencana by redaksi
Kenapa anak-anak muda saat ini kian tertarik dan bergairah untuk menjadi politisi dan mendirikan partai politik? Tentu saja jawaban idealnya ingin memperjuangkan nasib rakyat dan mengubah keadaan melalui jalur kekuasaan. Demikian bersemangat menempuh perjuangan melalui jalur kekuasaan itu, hingga cenderung mengecilkan perjuangan mereka yang bergerak di ranah dakwah kemasyarakatan. Malahan lebih bergairah lagi hingga menggambarkan posisi sebagai politisi dan perjuangan melalui jalur politik sebagai segala-galanya sambil melukiskan mereka yang sekadar melalui jalur organisasi kemasyarakatan seolah kelas dua dan tidak signifikan untuk perjuangan umat dan bangsa.
Selain gerak mobilitas ke atas, dunia politik juga menjanjikan daya pikat materi yang cepat dan besar. Jika, melalui jalur lain seperti guru, dosen, pegawai, dan sejenisnya raihan materi itu penuh perjuangan tinggi dan relatif kecil. Namun, melalui politik justru laksana jalan tol dan fantastis. Jadi, sangat logis jika kaum muda menjadi bergairah untuk masuk ke ranah politik. Mobilitas yang demikian tentu saja wajar adanya. Harapan kita bagaimana jalur tol yang penuh jaminan itu sepadan dengan tanggungjawabnya untuk memperjuangkan nasib rakyat, mengurus negara dengan benar, dan sebesar-besarnya untuk memajukan bangsa.
Bagi kader politik Muhammadiyah juga dapat memperjuangkan misi Muhammadiyah sekaligus memberi maslahat yang sebesar-besarnya bagi perjuangan umat. Namun, jangan besar pasak daripada tiang dan malah lebih memberi beban daripada memberi kemaslahatan. Ceritanya serba indah menempuh jalur politik, tetapi, manfaat dan kemaslahatannya tidak begitu dirasakan oleh Muhammadiyah, umat, dan bangsa. Memang ada cipratannya, tetapi, tak sebanding dengan raihan mobilitas diri para politisi sendiri. Muhammadiyah dan umat sekadar jadi tempat lewat bagi langkah-langkah politiknya. Lalu muncul berbagai kekecewaan publik.
Ada hal lain yang lebih penting lagi, di luar jalur politik yang penuh pesona tetapi sebenarnya besar tanggungjawabnya. Apakah masih banyak kaum muda yang konsisten menggeluti dunia intelektual dan bergerak istiqamah dalam pemberdayaan masyarakat? Sebutlah gerak dan jalur non-politik. Warga, umat, dan masyarakat di akar rumput maupun di tingkat nasional juga sangat memerlukan peran-peran kemasyarakatan yang mencerahkan dari kaum mudanya. Bahkan, mereka memiliki penghormatan dan kepercayaan tinggi terhadap kader dan gerak non-politik yang jernih dan mulia.
Muhammadiyah sungguh memerlukan peran-peran para kaum mudanya yang menekuni dunia pencerahan dan pemberdayaan masyarakat. Berkiprah dalam memajukan organisasi dan amal usaha. Menggairahkan intelektualisme dan karya-karya pembaruan pemikiran. Memberdayakan dan mencerahkan masyarakat di akar rumput melalui kerja-kerja pembinaan masyarakat. Mengembangkan ekonomi umat. Agenda-agenda tersebut sangatlah penting dan strategis. Dalam konteks inilah sebenarnya larangan rangkap jabatan dengan jabatan politik menjadi sangat relevan agar para kader Muhammadiyah berkiprah optimal di masing-masing tempat.
Silakan yang menempuh jalur politik berkiprah optimal, profesional, bermoral, dan penuh pertanggungjawaban. Namun, yang berkiprah di dunia pencerahan masyarakat tidak kalah penting, strategis, dan sarat kemaslahatan bagi masa depan umat dan bangsa. Lebih-lebih bagi Muhammadiyah yang sejak awal memang berkiprah di jalur dakwah kemasyarakatan dan tidak di ranah politik. Kader Angkatan Muda Muhammadiyah di berbagai lingkungan organisasi otonom dan lini-lini lainnya, perlu semakin beristiqamah dalam melangkah untuk gerak dakwah dan pencerahan masyarakat. Umat dan bangsa sangat menanti peran mulia dan strategis seperti itu. Memang, tidak mempesona seperti jadi politisi, tapi terhormat. Martabat kader dan pemimpin tidak terletak pada hingar-bingar publik, kendati sering menggoda, tetapi pada kiprah-kiprah kerisalahan sebagaimana jejak para Nabi dan pejuang umat. Jangan takut miskin. Percayalah soal rizki semuanya berada dalam taburan rahmat dan kasih sayang Tuhan. Tuhan pasti selalu memberi jalan-jalan-Nya yang lapang bagi para hamba yang berjuang gigih dan ikhlas dalam menegakkan risalah-Nya. (HNs)