Sunday, September 30, 2007

Mata Pelajaran Unas SMP - SMA Ditambah

Minggu, 30 Sept 2007,

JAKARTA - Ujian nasional sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) 2008 dipastikan semakin menambah beban belajar siswa. Itu setelah Depdiknas berancang-ancang menambah jumlah mata pelajaran yang diujikan di dua tingkat tersebut.

Menurut Sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Suharsono, penambahan tersebut tidak lain untuk mengakomodasi mata pelajaran dasar yang belum masuk dalam UN. "IPA dan IPS adalah mata pelajaran dasar
yang tidak kalah penting," ujarnya. Sebelumnya, UN SMP dan SMA hanya mncakup tiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika.

Di tingkat SMP, BSNP memutuskan, mata pelajaran berubah menjadi empat, yakni ditambah IPA. Sementara di tingkat SMA, UN menjadi enam mata pelajaran, dengan penambahan berbeda-beda di kelas IPA dan IPS. "Untuk IPA, akan ditambah fisika, biologi, dan kimia. Sementara IPS ditambah sosiologi, geografi, dan ekonomi," jelasnya.

Tingkat SMK pun tidak luput dari penambahan mata pelajaran. Tapi, tidak seperti kelas umum di atas, BSNP memperbolehkan SMK menambah mata pelajaran sesuai spesialisasi di SMK tersebut. "Penentuan mata pelajaran tambahan diserahkan ke direktur SMK," lanjutnya.

Apakah jumlah tersebut tidak menambah beban siswa? Menurut Suharsono, penambahan tersebut nanti diharapkan bisa mengangkat angka kelulusan siswa. Alasannya, mata pelajaran yang ditambahkan adalah spesialisasi di kelas mereka masing-masing. "Siswa tentu sudah lebih menguasai pelajaran spesialisasinya," ujarnya.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 45 Tahun 2006, pemerintah menerapkan angka 5,00 sebagai standar kelulusan. Namun, untuk tahun ini, secara tidak langsung BSNP menyatakan angka tersebut bisa saja bertambah. "Belum kami pastikan," kata Suharsono. (bay)




Din Lebih Cocok Jadi Cawapres


Line
Senin, 01 Oktober 2007 NASIONAL
Line


JAKARTA - (SM)Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachry Ali menyatakan, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dinilai lebih cocok menjadi calon presiden (capres), bahkan lebih memiliki peluang pada Pilpres 2009 mendatang.

"Kalau capres masih belum. Sebab hipotesis saya tokoh muda pasnya jadi cawapres," ujar Fachry di Jakarta kemarin.

Dia mengemukakan hal itu menanggapi pernyataan Din Syamsuddin di Surabaya yang mengatakan siap jika ada partai yang mencalonkan dirinya untuk menjadi capres atau cawapres.

Meski menyatakan siap, Ketua PP Muhammadiyah itu mengingatkan keputusan untuk maju dalam Pilpres 2009 ini harus sudah mendapatkan ijin dari pengurus pusat maupun daerah Muhammadiyah seluruh Indonesia.

"Terserah Muhammdiyah. Saya ini committed kepada Muhammadiyah untuk menjadi ketua hingga 2010," katanya.

Dikatakan, apabila pimpinan Muhammadiyah tidak setuju, maka dirinya taat. "Tapi apabila semua pimpinan Muhammadiyah bilang setuju, maka dirinya akan mengukur diri," kata Din di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Sabtu (29/9/2007) lalu.

Menurut Din, yang akan diukur bukan bisa atau tidak bisa, bukan soal kualitas pribadi. "Rasa-rasanya sih, bisa jadi presiden atau wakil presiden."

Tapi, lanjutnya, hal yang akan diukur adalah peluang bisa menang atau tidak. Dirinya tidak mau bertarung dalam Pilpres 2009 tapi kemudian kalah. "Saya tidak mau tim sukses saya kemudian menjadi tim kalah."

Inflasi

Menanggapi hal itu, Fachry mengatakan, saat ini ada inflasi tokoh muda yang punya kapasitas untuk menjadi cawapres. Kehadiran Din, Hidayat Nurwahid, Jimly Asshiddiqie, dan yang lain akan menutupi hal itu.

Dikatakan, agar pencalonan Din Syamsuddin sukses maka perlu didukung oleh partai besar. Apalagi selama ini yang bersangkutan juga disebut-sebut dilirik oleh PDI-P untuk dijadikan cawapres. "Jika Din dijadikan cawapres dari partai di luar, maka PAN akan kena implikasinya."

Lebih lanjut Fachry mengatakan, jika ingin sukses, Din dan pasangannya harus meniru duet Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla, yang merupakan model ideal. Di sini siapa yang akan berpasangan dengannya sangat penting. "Sebab dalam pemilihan seperti ini ketokohan pribadi yang penting, lalu pasangan, baru partainya."(di-49)



Thursday, September 27, 2007

KPR Terancam Bubar


Line
Jumat, 28 September 2007 BANYUMAS
Line


PURWOKERTO-(SM)Koalisi Poros Rakyat (KPR) gabungan dari Partai Demokrat, PKS dan aliansi 12 partai nonparlemen kini terancam bubar. Padahal pimpinan koalisinya pekan depan berencana memutuskan satu calon yang akan diusung setelah masing-masing merumuskan calon.

KPR sesuai ketentuan perundangan-undangan bisa mengusung calon sendiri dengan catatan mereka masih solid. Atau sebaliknya, kalau ada yang keluar namun harus ada penggantinya agar menenuhi ketentuan minimal memiliki dukungan suara 15 persen dari hasil Pemilu 2004.

Salah satu anggota aliansi 12 partai nonparlemen dari PKPI, Emanuel Enggana mengancam akan keluar kalau dua partai yang berkoalisi yakni Demokrat dan PKS tidak mau membuka komunikasi lagi dan tidak saling menghargai.

''Kalau sudah tidak saling menghargai, tidak lagi sekadar pisah baik-baik, tapi saya tegaskan ya harus bubar saja,'' kata Emanuel kemarin dalam keterangan persnya kepada Suara Merdeka.

Sikapnya itu didasari alasan, di antaranya Tim Sembilan (tim penjaringan KPR) juga tidak transparan. Dia mengaku sejauh ini belum menandatangani hasil resume penjaringan. Padahal posisinya sebagai sekretaris. Namun tim sudah melaporkan ke pimpinan koalisi. Dia menilai, pimpinan Demokrat dan PKS sudah melangkah terlalu jauh hingga membangun opini seolah-olah KPR sudah mau memilih satu nama calon saja.

''Tim aliansi (Tim Tiga) saja belum rapat kok sudah diarahkan ke sana. Padahal calon bupati (BP-Red) belum pernah berkomunikasi dengan kami. Yang berkomunikasi dengan kami adalah Imam Durori, Warman Suharno dan Tarsun,'' kata Sekretaris PKPI Banyumas ini. Ketua Tim Sembilan KPR, Agus Wijayanto menyatakan, semua anggota tim sudah diundang rapat bersama.

Meski ada ancaman dari PKPI, Ketua DPC Demokrat Banyumas dan DPD PKS Ibnu Salimi menyatakan tidak gentar. Dua pimpinan koalisi KPR menyatakan sudah menyiapkan skenario antisipasi. Nanti kemungkinan akan ada koalisi jilid kedua.

Demokrat merumuskan tiga nama Bambang Priyono, Aris Wahyudi dan Warman Suharno. PKS Bambang Priyono, Imam Durori dan Mardjoko. ''Pokoknya dua nama yang ada di Demokrat dan PKS juga akan kami pilih,'' ujar Makmur. Suara yang santer, yakni nama Bambang Priyono dan Imam Durori. (G22,in-55)



Tuesday, September 25, 2007

Pendidikan Tanggung Jawab Bersama


"

Advertisement
Menu Utama arrow Pendidikan di Indonesia arrow Opini arrow Pendidikan Tanggung Jawab Bersama

Friday, 05 May 2006

Jakarta (Media Indonesia: 05/05/06) Berbagai bentuk kegiatan dilakukan dalam memeriahkan Hari Pendidikan Nasional, baik oleh sekolah, lembaga swadaya masyarakat peduli pendidikan, maupun instansi pendidikan formal dan nonformal. Momentum tersebut, sekaligus bisa kita jadikan sebagai refleksi untuk memperbincangkan kembali fenomena pendidikan di Indonesia, terutama dari sisi sistem penyelenggaraan pendidikan, mutu dan kualitas pendidikan, anggaran, kesejahteraan guru dan lain-lain.

Pendidikan memiliki peranan penting dalam menjaga keberlangsungan pembangunan di Indonesia, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.

Persoalan pendidikan yang sering muncul di negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah belum adanya pemahaman secara komprehensif yang kemudian diikuti dengan langkah-langkah yang berkesinambungan yang berkaitan dengan peran pendidikan.

Sebagaimana telah sama-sama dimaklumi bahwa peran pendidikan (formal) tidak sebatas memberikan pengetahuan dan keahlian kepada tiap individu untuk dapat bekerja sebagai agen perubahan ekonomi yang baik bagi masyarakat.

Pendidikan juga menanamkan tata nilai yang serbaluhur atau akhlak mulia, norma-norma, cita-cita, tingkah laku dan aspirasi, selalu berkaitan--baik secara langsung maupun tidak langsung--dengan kepentingan pembangunan bangsa yang bersangkutan, khususnya pembangunan SDM.
Melihat urgensi dan kompleksnya pendidikan tersebut, maka maju mundurnya pendidikan tidak bisa hanya diletakkan pada pundak pemerintah semata.

Semua stake holders pendidikan, baik dari sisi software (kurikulum dan sistem pendidikan) maupun hardware-nya (peserta didik, guru, orang tua, pemerintah, lingkungan, infrastruktur pendidikan, keluarga dan lain-lain) harus turut andil dalam proses keberlangsungan pendidikan.

Dari sisi software, upaya untuk mengakomodasikan kurikulum pendidikan yang berbasis lokal telah dicoba oleh pemerintah, kurang lebih telah diterapkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini dilakukan dengan mengakomodasi aspek budaya yang menjadi identitas kultural dan indigenous people-nya dalam kurikulum pendidikan.

Diundangkannya UU Sisdiknas menjadi instrumen penting dalam paradigma baru sistem pendidikan nasional, baik dari sisi penyelenggaraan maupun tenaga pendidik. UU Sisdiknas dengan tegas telah mengamanatkan bahwa paradigma baru pendidikan nasional antara lain bahwa tujuan dasar pendidikan tidak lagi sebatas mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga terselenggaranya pendidikan secara demokratis yang menempatkan peran serta masyarakat dalam proses pendidikan di Indonesia.

Dengan demikian, pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Berbagai peran dari stake holder pendidikan antara lain adalah, pertama, peserta didik. Peserta didik sering disebut sebagai objek dari pendidikan. Dalam konteks pendidikan kategorisasi murid lebih didasarkan pada usia. Artinya, pengelompokan anak didik menurut umur yang didasarkan pada tiga premis, yaitu anak hadir di sekolah, anak belajar di sekolah, dan anak diajar di sekolah.

Ketiga premis inilah yang kemudian menjadi basis dalam sistem pengajaran. Keaktifan dan kreativitas anak didik di sini amat dituntut mampu berprestasi dengan kompetensi yang dimilikinya.

Meskipun demikian, dalam pengelompokan tersebut, heterogenitas tetap tidak bisa dinafikan, sehingga pluralitas tetap menjadi prinsip utama dalam pengelompokan, baik pluralitas yang berdasarkan pada agama, suku, etnik, kemampuan ekonomi maupun latar belakang keluarga. Hal inilah yang akan menjadi nilai lebih sekaligus pertaruhan dari kualitas pendidikan itu sendiri.

Kedua, guru. Peran serta guru tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Termasuk dalam proses pembelajaran di sekolah, sosok guru adalah sebagai sosok moralis--penganti orang tua--dan guru sebagai ahli terapi khususnya untuk membantu atau membimbing peserta didik untuk menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi sesuai perkembangan anak didik.

Mengingat kompleks dan beratnya peran guru, maka memberikan jaminan kesejahteraan dan kebebasan berimprovisasi dalam pendekatan pengajaran menjadi amat mutlak. Untuk itulah, keberadaan UU Guru dan Dosen menjadi bagian integral dari upaya pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan, melalui pengakuan atas eksistensi guru selaku tenaga pendidik.

Ketentuan mengenai sertifikasi dan kompetensi guru selaku tenaga pendidik, membawa implikasi adanya tanggung jawab negara (baca, pemerintah) untuk meningkatkan kesejahteraan guru.

Demikian halnya dengan pengangkatan guru honorer yang tetap harus diperjuangkan oleh pemerintah dan DPR. Ketiga, orang tua dan keluarga. Tidak semua waktu anak didik dihabiskan di sekolah, bahkan keberadaannya di sekolah adalah sebagian kecil dari seluruh waktu yang dimilikinya, maka peranan orang tua menjadi penting, khususnya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dan perilaku anak di luar sekolah.

Dalam lingkungan keluarga inilah anak belajar berbicara, berpikir, merasakan, mencinta, bermain, menghormati, berperilaku dan berakhlak termasuk penyembuhan diri, tanpa campur tangan guru. Bahkan agama menempatkan orang tua sebagai penanggung jawab pertama dan utama pendidikan anak.

Keempat, masyarakat. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, bahwa terselenggaranya pendidikan harus dilakukan secara demokratis dengan menempatkan peran serta masyarakat dalam semua proses pendidikan. Peran serta masyarakat ini dapat diwujudkan dengan upaya pengawasan, penciptaan suasana yang kondusif bagi pendidikan, serta menghadirkan keteraturan sosial di masyarakat dengan memberikan ruang bagi anak didik untuk belajar atas apa yang dilihat dan dirasakannya dalam berinteraksi sosial di masyarakat.

Masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi langsung memberikan pemikiran tentang bagaimana seharusnya dan ke mana anak didik akan dibawa (sistem). Bagaimana melaksanakan sistem yang telah dibangun itu agar efektif dan menjawab kebutuhan pembangunan. Juga masyarakat berkontribusi dalam mewujudkan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan.
Kelima, pemerintah.

Selaku institusi yang bertanggung jawab terhadap regulasi, pemerintah harus mampu menjamin keberlangsungan pendidikan dalam kesinambungan peran dan sinergi dengan peran tiap-tiap stake holder pendidikan. Peran regulasi ini hendaknya diwujudkan antara lain dengan menyelesaikan tugas penyusunan berbagai peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Regulasi-regulasi tersebut hadir sebagai payung hukum sekaligus jaminan atas penyelenggaraan pendidikan, dengan tidak mengesampingkan aspek pluralisme, daerah rawan konflik serta potensi antardaerah yang berbeda. Dalam proses inilah, pemetaan potensi, permasalahan, dan basis-basis tradisi dari pendidikan menjadi kata kunci dalam setiap regulasi yang akan dikeluarkan.

Konsekuensi dari peran tersebut, pemerintah harus merealisasi anggaran pendidikan sesuai amanat konstitusi yang menetapkan besaran anggaran 20% dari APBN dan APBD tidak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan (UU Sisdiknas). Dalam kesinambungan peran dari semua stake horder yang didasari berbagai aturan yang disusun, maka harapan untuk menemukan hakikat pembangunan SDM--mutu, kualitas, dan akhlak mulia kemungkinan besar akan lebih mudah untuk dicapai.

Karena bagaimanapun, pendidikan sekarang tidak bisa lagi kembali kepada bentuk-bentuk kegiatan belajar-mengajar tradisional masa lalu. Masyarakat tradisional lebih menyerupai serangkaian lingkaran konsentris struktur makna. Sedangkan manusia modern, harus tetap belajar bagaimana menemukan makna dan hakikat insaninya dalam banyak struktur makna dengan beragam peran.

Dalam esensi itulah, pendidikan menempati ruang yang amat penting bagi proses pembangunan di berbagai bidang. Kita mencatat laporan PBB tahun 1997 (Report on The World Social Situation 1997) yang menyebutkan, pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin perkembangan sosial maupun ekonomi. Semoga.

Oleh: Ahmad Darodji, anggota Komisi X DPR RI


ARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL

P

Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.

Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.

Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.

DEMOKRATISASI DAN DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)

Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).

Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - ("Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)

Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.

Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.

Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).

Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

PERAN SERTA MASYARAKAT

Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).

Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).

TANTANGAN GLOBALISASI

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2).

Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).

Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.

Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.

Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).

KESETARAAN DAN KESEIMBANGAN

Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning"; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).

Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).

Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.

JALUR PENDIDIKAN

Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.

Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).

Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).

Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.

Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).

Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA.

Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3). Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22).

Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).

_________________________________

Sumber: Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003.

Koalisi Ampera Munculkan Empat Nama Calon Bupati


Line
Rabu, 26 September 2007 BANYUMAS
Line

PURWOKERTO-(SM)Koalisi Ampera (PAN-PPP) memunculkan empat nama calon bupati. Dari PAN Mardjoko, Aris Wahyudi, dan Singgih Wiranto, sedangkan PPP Bambang Priyono (BP), Aris Wahyudi, dan Singgih Wiranto. Ada dua nama yang sama-sama dicalonkan, yakni Aris Wahyudi dan Singgih.

''Dua tiga hari lagi kami memutuskan satu nama. Kami masih butuh masukan dan rumusan yang jelas, antara lain memenuhi kriteria yang sudah ditentukan,'' kata Prian Restriyanto, Ketua Tim Koalisi Ampera, kemarin.

Ketua Tim Penjaringan PPP Sunarto Arif menambahkan tiga nama yang dimunculkan merupakan hasil maksimal dari proses penjaringan. Ketiganya dinilai memiliki peluang dan kemampuan untuk memimpin Banyumas lima tahun ke depan. ''Namun siapa yang akan diusung bersama PAN, akan ditentukan dalam beberapa hari ini,'' ujarnya.

Kalau Koalisi Ampera mencalonkan sendiri, harus mengusung nama Aris Wahyudi. Tiga nama lainnya, yakni Singgih sudah dicalonkan Partai Golkar, BP kemungkinan besar diusung PDI-P, sedangkan Mardjoko lewat PKB kendati masih menunggu rekomendasi DPP setelah memenangi Musyawarah Kebangkitan. Kalau tidak mengusung calon sendiri, koalisi itu hanya sebagai pendukung. Bisa bergabung dengan Partai Golkar, PDI-P, atau PKB.

''Dalam penjaringan calon bupati dan wakil sejak awal kami menentukan dua sikap, yaitu kalau tidak mengusung sendiri ya bergabung dengan partai lain. Kalau bergabung, diharapkan calon wakil bupati dari kami,'' tutur Prian.

Tawaran calon wakil bupati hanya bisa diusulkan kepada Mardjoko, BP, dan Aris Wahyudi. Singgih sudah tertutup karena Partai Golkar sudah menentukan calon sendiri, yakni Laily Sofiyah Manshur.

Pimpinan Partai

Tim Sembilan Koalisi Poros Rakyat (KPR), gabungan Partai Demokrat, PKS, dan aliansi 12 partai nonparlemen, sudah menyelesaikan penjaringan calon bupati dan wakil bupati. Calon-calon yang mendaftar dan telah menyampaikan visi-misi dan programnya, kemarin diserahkan ke pimpinan partai yang beraliansi.

''Tim sudah menyelesaikan tugas dan melaporkan hasilnya ke pimpinan partai. Keputusan siapa nama calon bupati dan wakil yang akan diusung ada di tangan partai yang berkoalisi,'' kata Ketua Tim Sembilan KPR Agus Wijayanto.

PKS sebelumnya telah menentukan tiga nama, yakni BP, Imam Durori, dan Mardjoko. Partai Demokrat dan aliansi partai nonparlemen belum tegas, namun BP dan Aris Wahyudi santer disebut-sebut.

Dari sepuluh calon bupati yang sudah muncul diprediksi yang tipis peluangnya mendapatkan kendaraan politik adalah Tarsun (Kepala Dinas Pendidikan Brebes), Sudjatmo (Polri), Supriyadi (TNI), Toto Dirgantoro (fungsionaris Partai Golkar dan pengusaha), Jon Prayitno (pengusaha), dan Tjaroko Wibowo (kader PDI-P yang diusung GMPK). (G22,in-27)




Monday, September 24, 2007

Karakteristik Pribadi Mulia



CARI :







Jumat, 14 September 2007

JIKA seluruh manusia di dunia ini memiliki karakter pribadi mulia, dapat dibayangkan betapa indahnya kehidupan ini: tidak ada konflik, permusuhan, kerusuhan, tindak kriminal, dan sebagainya. Sebaliknya, yang ada adalah semangat kerjasama, saling berkasih-sayang, tolong-menolong, dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Dapatkah kondisi demikian tercipta? Insya Allah, jika dakwah Islamiyah terus-menerus berlangsung dengan para jurudakwah berjiwa mujaddid (pembaharu), muwahid (pemersatu), mujahid (pejuang), muadib (pendidik), dan musadid (pelurus) dengan keimanan dan keikhlasanya. Sasaran utama dakwah adalah perubahan pola pikir dan sikap, sehingga terbentuk manusia-manusia berkepribadian mulia. Itu pula yang menjadi misi Islam sejak kelahirannya, yakni membentuk budi pekerti yang mulia.

Akhlak tempatnya di dalam hati. Ia adalah “sentral komando” perilaku manusia. Akhlak adalah penentu baik-buruk perilaku seseorang. Fondasi akhlak yang membawa kebaikan amal perbuatan adalah dzikrullah, yakni selalu mengingat Allah SWT dalam segala kondisi. Dzikrullah adalah dasar akhlak mulia, bersama sifat pemaaf, suka mengajak kepada kebenaran, berpaling dari orang-orang bodoh, suka berlindung kepada Allah SWT dari godan setan (QS Al A’raf [7]: 199-201).

UPAYA dakwah hendaknya tidak lepas dari upaya pembentukan karakter pribadi mulia dengan fondasi akhlak yang mulia sebagai berikut:

Pertama, berbicara yang baik saja. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah pembicaraan dikatakan baik apabila isinya bermanfaat, mengandung kebajikan, membuat senang pendengarnya, atau tidak menyakiti hati orang lain. Pembicaraan yang baik juga bercirikan penggunaan kata-kata yang benar atau sesuai kaidah bahasa yang berlaku (qaulan sadida, QS An-Nisaa’ [4]: 9), kata-kata yang tepat sasaran, komunikatif, atau mudah dimengerti (qaulan baligha, QS 4: 63), serta mengunakan kata-kata yang santun, lemah-lembut, atau tidak kasar (qaulan karima, QS Al Isra [17]: 23). Pembicaraan yang baik juga harus penuh kejujuran atau kebenaran (shidqi).

Kedua, malu (haya’). Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Malu kepada manusia harus dalam konteks malu kepada-Nya. “Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari).

Ketiga, rendah hati (tawadhu’), yaitu perasaan lemah dan kecil di hadapan Allah. Sifat ini akan membuat seseorang tidak berlaku sombong, tidak memandang dirinya mulia apalagi merasa paling benar. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak kecil.

Keempat, senyum atau bermanis muka. Senyum adalah suatu kebajikan dan sama dengan ibadah sedekah. Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya agar murah senyum, atau bermuka manis. Menyenangkannya senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang lain pada kita. Sebaliknya, sukakah kita melihat orang cemberut dan bermuka masam terhadap kita? Rasulullah bersabda, “Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu, tetapi hendaklah bermanis muka dan perangai yang baik dari kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).

Kelima, sabar. Bersabar dalam pergaulan adalah sifat mukmin sejati. Dalam bergaul kita menemui banyak orang dengan ragam watak dan perilakunya: ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan. Terhadap yang tidak menyenangkan, kita diharuskan bersabar menghadapi sikap mereka. “Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama". Menurut Nabi SAW ada beberapa tingkatan sabar, yaitu (1) sabar dalam menghadapi musibah, (2) sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT, dan (3) sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar yang pertama merupakan kesabaran terendah, yang kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran tertinggi (HR Ibnu Abi Ad-Dunia).

Keenam, kuat atau tahan banting. Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa dimaknai unggul dan berkualitas. Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir (QS Yusuf [12]:87).

Ketujuh, pemaaf, tidak pendendam. Memaafkan kesalahan manusia dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 134). “Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan dengan kemuliaan.” (HR Muslim).

Kedelapan, menahan amarah. Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu dan syetan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak berfungsi normal. Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya (dirinya) ketika sedang marah.” (HR Bukhari Muslim). Kesembilan, zuhud. Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan manusia, Nabi SAW menegaskan, Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia menyukaimu. (HR Ibnu Majah). Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam batas-batas yang wajar. Menurut Rasulullah SAW, “Zuhud di dunia tidak mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta...” (HR Tirmidzi).

Kesepuluh, Qonaah, yaitu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Sikap demikian membuatnya tenang dan senantiasa mensyukuri pemberian-Nya, sedikit ataupun banyak. “Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya (hatinya).” (HR Bukhari dan Muslim). Kesebelas, wara, yakni menjauhi hal syubhat karena takut jatuh kepada keharaman. Syubhat artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara halal dan haram). Nabi SAW mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram. (HR Muttafaq ‘Alaih).

Keduabelas, suka menolong, yaitu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selama berada pada garis kebaikan dan takwa. Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak membuatnya malu. “Siapa yang menutupi aib orang mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR Muslim). Demikianlah karakteristik pribadi mulia yang harus kita tanamkan dalam diri kita dan didakwahkan kepada orang lain. Semoga Allah memberikan bimbingan dan pertolongan kepada kita dan para mujahid dakwah. Wallahu a’lam.

( )



© 2006 Hak Cipta oleh Republika Online

Sunday, September 23, 2007

Puasa bagi Harmoni Keluarga


Line
Senin, 24 September 2007 NASIONAL
Line


  • Oleh Sri Suhandjati Sukri



MENGINJAK hari keempat puasa, ada seorang ibu memberitahukan melalui telepon bahwa masalah perselisihan dengan suaminya yang pernah dikeluhkan sebulan lalu, sekarang sudah selesai. Bahkan mulai puasa Ramadan ini, kebahagiaan keluarga yang sebelumnya terenggut oleh hadirnya pihak ketiga, sekarang sudah kembali seperti semula.

Kedamaian semakin dirasakan oleh anak-anak, karena ayah dan ibunya selalu bersama mereka saat berbuka puasa. Bahkan ayahnya sekarang banyak membaca buku-buku agama, mau memimpin doa sewaktu akan berbuka.

Kebersamaan di meja makan itu dilanjutkan di musala rumah mereka dengan shalat magrib berjamaah. Dan, ibu itu mengakhiri kisahnya dengan mengatakan, "Semua kekecewaan yang pernah singgah di hati ini karena ulah suami beberapa waktu yang lalu, telah hilang bersama dengan jabat tangan kami setelah selesai shalat. Saya pun tak kuasa menahan air mata, ketika anak-anak mencium tangan kami berdua dan mereka saling bersalaman antara kakak dan adik." Ibu itu mengungkapkannya sambil terisak karena haru dan bahagia.

Perekat Emosional

Ibadah puasa terbukti banyak mengandung perekat emosional, yang mampu mendekatkan hati suami dengan istri, antara orang tua dan anak serta sesama anak. Masalah yang dihadapi masyarakat di era global ini semakin kompleks, dan mempersempit ruang komunikasi dengan keluarganya, setelah bekerja seharian untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Situasi yang menyebabkan terputusnya komunikasi antara suami-istri maupun dengan anak-anak, dapat mengakibatkan masing-masing anggota keluarga pasif dan kurang peduli dengan kesulitan yang dihadapi anggota keluarga lainnya.

Dengan demikian, secara individual akan mencari solusi sendiri-sendiri. Jika solusi yang diperoleh dari teman atau media lain justru menjerumuskan pada kerusakan, maka keluargalah yang akan berantakan.

Karena itu, bulan puasa yang membuka peluang terciptanya komunikasi antaranggota keluarga, perlu digunakan untuk memperkuat ikatan kasih sayang dan kebersamaan menjadi lebih kokoh.

Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga keutuhan keluarga, yang setiap saat terancam oleh perpecahan karena berbagai sebab.

Timbulnya kedekatan emosional dengan keluarga saat melaksanakan tarawih, dirasakan pula oleh remaja yang beberapa bulan lalu mengaku kering jiwanya.

Meskipun ia telah melakukan shalat wajib, ia mengaku pada tahun lalu banyak meninggalkan puasa wajib. Karena ia kuliah di kota lain, ayah dan ibunya tidak tahu kalau anaknya sering meninggalkan kewajiban puasa.

Secara kebetulan, bulan Ramadan ini ia tinggal menyelesaikan tugas akhir, sehingga lebih banyak di rumah. Ia mengaku, merasakan nikmatnya berpuasa setelah terbuka hatinya oleh kultum yang disampaikan ayahnya pada shalat tarawih di rumah tentang hikmahnya berpuasa.

Ayahnya mengutip nasihat Lukman Hakim (seorang ahli filsafat yang bijak) kepada putranya: "Wahai anakku, jika perutmu penuh dengan makanan, maka pikiran dan semangatmu akan mati. Seluruh anggota tubuhmu menjadi malas melakukan ibadah kepada Allah, dan hilanglah kebersihan hatimu serta kehalusan perasaanmu. Padahal keduanya itu menyebabkan engkau dapat merasakan nikmatnya bermunajat pada Allah dan mendorongmu untuk selalu ingat dan memuji padaNya."

Apa yang dikutip ayahnya itu ternyata benar. Setelah beberapa hari berpuasa, ia mengaku hatinya menjadi tenang dan pikiran jernih. Kini ia bersama keluarganya sering menggunakan waktu menjelang berbuka puasa untuk membaca buku-buku agama agar pengamalan agamanya semakin bertambah baik dari hari ke hari.

Pendidikan dalam keluarga, pada prinsipnya menjadi dasar bagi pendidikan sesudahnya. Maka keharmonisan dalam keluarga akan berpengaruh pula pada hasil pendidikan lainnya.

Karena pendidikan di lingkungan keluarga saling mendukung dengan pendidikan di sekolah maupun masyarakat.

Sebagian orang tua menganggap bahwa tugas mendidik anak adalah untuk membina kecerdasannya saja. Jika tugas itu sudah dilimpahkan kepada guru di sekolah atau tempat pendidikan lain di masyarakat, mereka merasa telah bebas dari tanggung jawab.

Persepsi tentang pendidikan semacam ini perlu diubah karena pembinaan kecerdasan saja tidak menjamin anak tumbuh menjadi orang yang bermanfaat. Maka paradigma pendidikan dalam keluarga perlu diubah menjadi cerdas, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Tujuannya supaya kecerdasan tidak digunakan untuk tujuan yang merusak, tetapi untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan bangsanya.

Dan bulan Ramadan menjadi media latihan pendidikan yang tepat dan utuh, meliputi pengendalian unsur jasmani dan memperteguh rohani, agar terbentuk kepribadian muttakin.(60)

- Prof DR Sri Suhandjati Sukri, dosen IAIN Walisongo